Kalau kamu punya anjing dan sayang padanya, jangan
menggodanya secara berlebihan. Sesabar-sabarnya anjing itu, dia bisa pergi. Ini
pernah terjadi pada anjing keluarga saya. Waktu itu itu umur saya kira-kira 12
tahun dan kami punya anjing belang hitam-putih bernama Panda. Bulunya panjang dan ekornya mekar seperti daun kelapa. Saat yang paling menyenangkan
(bagi kami) dan sekaligus paling menyengsarakan (bagi Panda) adalah ketika tiba
waktunya mandi. Kami menyeretnya ke kamar mandi dengan bersemangat. Panda mendengking-dengking
mengiba dan semakin merana setiap disiram dengan air. Badannya menggigil
kedinginan. Padahal kami menggunakan air hangat! Saya tidak berani menuduhnya berpura-pura,
hanya heran kenapa dia bisa begitu kedinginan. Dia mendengking-dengking terus
selama dimandikan, persis anak anjing saja. Acara berikutnya adalah
mengeringkannya dengan hair dryer.
Panda tidak pernah merasa terbiasa, dia selalu ketakutan pada alat ini. Akhirnya
hair dryer tidak lagi digunakan tapi
Panda harus diam di dalam rumah sampai bulunya kering. Nah, sekarang dia sudah wangi, bulunya halus,
lembut, dan mekar membuat kami tidak tahan ingin cepat-cepat mengelusnya. Kami
bangga akan hasil kerja kami. Kecuali Panda tentunya. Mungkin dia tidak suka bau
sabun dan kulit bersih justru membuatnya gatal-gatal. Begitu ada kesempatan,
hal pertama yang dilakukannya adalah berguling-guling di tanah! Aduh Panda, kok kamu mengecewakan sekali sih.
Ketahuan deh kalau kamu bukan anjing ras yang elit dan terdidik.
Namun begitu, untuk menutupi kekurangannya, Panda selalu
siap menunjukkan rasa antusiasnya. Begitu melihat saya muncul di tikungan
pulang dari sekolah, dia segera berpacu sejadi-jadinya dan kemudian menggabruk
saya sampai oleng. Kaki depannya dipijakkan ke dada saya sementara dia berusaha
menjilati muka saya. Aduh, saya jadi terharu. Ibu saya saja tidak segembira itu
melihat saya pulang sekolah Ups, ini bukan bermaksud membandingkan lho. Kata
orang, anjing cuma punya satu majikan. Tapi saya tidak ingat lagi kepada siapa
Panda menganggap sebagai majikan. Setiap anggota keluarga sayang padanya dan
merasa Panda adalah anjingnya. Sampai sekarang pun kadang-kadang kami masih
membicarakannya. Tentang bagaimana sukanya dia pada es krim. Tentang marahnya
dia kalau ditiup mukanya (lagian iseng amat sih). Tentang bersemangatnya dia
kalau diajak jalan-jalan. Tentang cemburunya dia kalau saya mengelus anjing
lain. Tentang… satu kejadian yang membuatnya pergi. Hiks.
Yang patut disalahkan dalam hal ini adalah kakak saya. Sifatnya
yang jahil itu memang tidak bisa melihat orang (atau anjing) lain senang. Panda
yang sedang berbaring santai dengan hidung terjulur di lantai memberinya ide
untuk menggoda yang dipikirnya sangat lucu. Kakak saya mendekat pura-pura tak
acuh, tapi kemudian disenggolnya moncong Panda dengan ujung kakinya. Panda
mendengking jengkel. Kakak saya berbalik, mendekat lagi dan menyenggol lagi
moncong Panda. Begitu dilakukannya berkali-kali sampai akhirnya Panda menjadi
marah. Ketika moncongnya disenggol lagi, dia menggigit. Kaki kakak saya
berdarah dan dia dibawa ke rumah sakit ke bagian UGD. Pulang dari rumah sakit,
kakak saya merasa perlu menunjukkan wibawanya. Memang yang jadi majikan itu
siapa? Dihardiknya Panda keras-keras, “Keluar!” Pintu dibukanya lebar-lebar,
mempersilakan Panda keluar. Panda keluar, dan itulah kali terakhir kami
melihatnya. Dia tidak pernah pulang.
Oh Panda, di mana kamu sekarang? Hiks. Mudah-mudahan dia
sedang berada di padang perburuan abadi khusus anjing-anjing, sedang lari-lari gembira.
Anjing yang baik tempatnya di sana.
Maaf kalau saya jadi melankolis begini. Maklum,
anjing-anjing yang banyak berkeliaran di Ubud ini mau tidak mau mengingatkan
saya pada Panda. Dan saya gembira karena cerita Panda ini bisa sedikiiit
mengubah pendapat Aryo mengenai anjing. Aryo sangat tidak suka anjing. Setiap kali ada
saja keluhannya tentang anjing. Dia paling tidak suka dengan gonggongan mereka.
Mendengar ceritanya saya jadi punya kesan bahwa anjing-anjing yang dikenalnya
semua gila, pemilik anjing-anjing itu pun sama sintingnya. Saya jadi kasihan
pada Aryo karena dia harus bertahan menghadapi semua cobaan itu. Saya bilang
pada Aryo bahwa Panda tidak pernah menggonggong, kalau mendengking sih iya.
Yaa, tidak juga sih, namanya juga anjing, mana pula tidak pernah menggonggong?
Tapi karena saya tidak ingat bahwa
Panda pernah menggonggong, itu kan berarti Panda jarang sekali menggonggong?
Aryo jadi sinis, dengan menyindir dikatakannya bahwa Panda adalah satu-satunya
anjing di dunia yang jarang menggonggong. Pelan-pelan saya ceritakan kisah
Panda. Akhirnya Aryo mengerti dan dengan tulus dia bilang bahwa Panda adalah
satu-satunya anjing di dunia yang jarang menggonggong. Hehehe. Mungkin itu
tidak benar, tapi karena bagi Aryo satu-satunya anjing yang bisa dihargai
adalah anjing yang jarang menggonggong, maka kata-katanya itu berarti pujian tertinggi
untuk Panda.
Dipikir-pikir, nama Panda itu sebenarnya kekanak-kanakan.
Anjing-anjing di sini namanya keren-keren. Max, Billy, Marco, dll. Majikannya
bisa saja bernama Koming, tapi nama anjingnya Robin, hehehe. Nama Panda itu
dipilih karena kami kehabisan ide. Nama Belang kok tidak ada keren-kerennya,
Bleki terlalu pasaran dan tidak sesuai dengan ciri-ciri, sedangkan Mingko
kedengaran aneh. Tidak pernah terpikir oleh kami bahwa anjing bisa juga
dinamakan seperti manusia, kenapa tidak? Bayu misalnya, atau Rangga. Gagah kan?
Jadilah Panda mendapat nama yang mengingatkan orang pada boneka imut, padahal
dia itu laki-laki, eh, jantan sejati lho. Panda sendiri tidak pernah pusing-pusing
soal namanya. Sebagai seekor anak anjing pada waktu itu, dia begitu berterima
kasih karena terpilih di antara saudara-saudaranya yang lain untuk dipelihara dan
sibuk memperlihatkannya dengan menggoyang ekor dan menjilat-jilat. Komentarnya
cuma: Guk! Panda? Oke, itulah namaku mulai dari sekarang.
Ah, kalau bicara tentang Panda bisa tidak ada habisnya.
Jadi, lebih baik saya akhiri di sini saja.