Kamis, 14 Januari 2016

Menari Lagi

Musik berhenti dan para pemain band bubar untuk istirahat selama setengah jam. Kami bertepuk tangan dan kembali ke meja kami. Ngobrol dan bercanda sambil menghabiskan minuman. Memang enak kalau habis nari gini, hati ringan dan gampang ketawa. Seorang pramusaji datang lalu meletakkan satu botol anggur merah dan gelas lima buah. Diisinya gelas satu per satu. Lho? Kami kan tidak pesan anggur?
“Dari Bapak,” katanya.
Yang dimaksudnya dengan ‘Bapak’ adalah pemilik dari restoran dan bar itu. Di sini ada live music-nya setiap malam. Biasanya kami ke sana di malam minggu. Kami melambai dari jauh untuk mengucapkan terima kasih untuk anggurnya. Setelah itu masih beberapa kali kami mendapat hadiah yang sama kalau sedang ke sana. Malah pernah dikasih dua botol tapi kami tolak. Kalau nanti ada yang mabuk padahal harus naik motor pulangnya, bagaimana? Biasanya Mawar dan Miren cuma minum satu gelas anggur, sedangkan Rima bir. Saya senangnya jus cranberry, jahe panas, atau teh. Eh? Di bar minta teh panas? Dulu-dulu saya langsung merasakan efek mabuk meskipun cuma minum seperempat gelas anggur. Sekarang mendingan, mabuknya hilang, tapi ngantuknya jadi tidak tertahan. Mending tidak minum minuman beralkohol sekalian saja. Pernah dalam acara makan malam resmi saya terus berdoa dan melirik jam dengan putus asa. Ini acara makan sudah dua jam kok nggak selesai-selesai, sih. Ngantuuuuk. Hoahmmm! Tapi tetap saja anggur putihnya saya habiskan. Untung saya ingat untuk menutup mulut dengan tangan. Padahal saya kalau nguap biasanya baru puas kalau membuka mulut lebar-lebar yang bikin orang takjub. Mana mungkin muka dan kepala sekecil itu, yang kalau pinjam helm orang talinya harus disetel sependek-pendeknya, bisa punya bukaan mulut yang mengalahkan ukuran normal?

Di mana ada live music sedang berlangsung kami bisa membuat suasananya jadi lebih meriah dengan mulai menari pertama. Jenis musiknya bisa apa saja, asal enak dipakai nari. Yang lain-lainnya baru mau setelah melihat contoh benar yang kami lakukan, dan iri melihat kegembiraan yang kami rasakan. Pengunjung senang, pemain band senang dengan banyaknya yang menari. Mereka semakin bersemangat memainkan musik. Kadang musik yang berirama latin lebih dipercepat dan ini bikin penari salsa pemula jadi kalang kabut (udah, lupakan aturan salsa, bergerak semau dan sebebasnya sajaah…). Penyanyi band datang setelah acara musik selesai untuk bersalaman sekalian ngobrol sebentar. Pemilik restoran pasti senang juga, kalau tidak mana ada kasih-kasih wine gratis? Suasana meriah bisa membuat orang ingin datang lagi, jadi yang suka nari biasanya disambut dengan baik meskipun mereka cuma minum di sana, hahaha. Sepertinya dua tempat yang biasa kami datangi karena live musicnya ini punya pengunjung yang berganti-ganti terus. Mungkin mereka turis yang tidak sempat untuk membentuk kelompoknya sendiri. Akibatnya, ya itu tadi. Saling tunggu meskipun kaki sudah gatal bergerak. Kami juga begitu di tempat yang baru.

Acara tahun baru kami kemarin juga dirancang dengan ada acara narinya. Pertama makan dulu di restoran. Setelah itu pulang untuk menyalakan kembang api. Ini terutama untuk menyenangkan Jazz, anaknya Mawar yang berumur 9 tahun. Bunyi kembang api yang keras membuat Jack nyungsep ketakutan di bawah kursi. Seluruh badannya gemetar hebat. Harap dimaklum ya Jack, ini acara satu tahun sekali. Setelah itu baru kami keluar lagi untuk mendengarkan musik tanpa Jazz karena dia harus tidur. Tempat nongkrong yang didatangi ini suasananya sedikit dingin. Harus saya akui, pendapat ini subjektif sekali. Sekarang, kalau dengar musik di restoran atau yang lainnya tanpa ada acaranya narinya, saya anggap suasananya kurang asyik. Padahal ya salah sendiri, mau nari tidak dilarang kok. Tapi entah kenapa kami waktu itu tidak ada yang berminat untuk keluar dari kursi. Akhirnya sekitar jam sebelas  kami pindah tempat, ke tempat yang sudah biasa didatangi saja. Tempatnya penuh! Tapi manajernya santai saja, dia yakin bisa menyelipkan kami di antara para pengunjung. Kami dicarikan tempat supaya bisa bergabung dengan Miren dan Brett yang sudah dari tadi ada di sana dan sedang duduk dengan dua orang lagi. Maka kami berdelapan duduk berdesakan. Letak mejanya ideal sekali, di depan, jadi tidak ada yang merasa keberatan. Lagian ini malam tahun baru, masa mau sepi?

“Aku dari tadi belum dance,” kata Miren.
Kami bertukar pandang mengirim isyarat dan langsung saling mengerti. Saya dengan Miren memang klik kalau urusan nari. Kalau yang satu malas dance, dan yang satu juga malas dance, begitu keduanya digabung hasilnya jadi  semangat dance, hahaha. Kami ngobrol sambil minum sampai si manajer memutuskan suasana harus dibuat lebih hangat. Dia memberi isyarat ke arah meja kami menyuruh kami maju untuk menari. Gak perlu di suruh dua kali, langsung deh kami ngedance. Begitu juga yang lain. Lama-lama yang tadi masih mikir sekarang tidak ragu lagi. Suasana semakin lama semakin meriah. Setelah menghitung mundur untuk sampai ke jam duabelas malam, acara musik masih diteruskan. Kan tahun baru. Biasanya di Ubud musik di kafe dan bar harus berhenti paling lambat jam duabelas atau malah jam sebelas.

Saya bersyukur punya teman-teman yang suka nari meskipun agak disayangkan mereka tidak begitu suka nari salsa. Untunglah Lina sekarang sudah mau disuruh belajar salsa. Saya sedikit berkorban dengan mengulang lagi dari dasar demi menemaninya belajar di kelas. Kursus salsa privat juga masih saya teruskan meskipun tidak rutin lagi. Ternyata cara orang ngajar itu beda-beda. Made, guru privat saya yang pertama lebih mengutamakan sebanyak mungkin menari. Sejam belajar dengan dia bisa menari sampai delapan lagu. Belajar dengan dia fun! Apalagi dia punya kombinasi gerakan macam-macam. Kalau Agung lain lagi. Semua gerakan saya dikoreksi dan kebiasaan yang salah dipaksanya untuk dihilangkan. Muternya salah. Tangannya salah. Kakinya salah. Bahu mesti begini. Kaki mesti jinjit. Ulang lagi! Sampai bisa! Sejam dengan dia keringat menetes-netes. Dia duduk merokok sambil mengawasi sementara saya harus melangkah dengan gerakan dasar banget selama lima menit untuk mendapatkan 'hitungan 1'nya. Dapat apa tidak saya tidak tahu karena dia cuma ngeliatin tanpa komentar hehehe.Jadi ajarannya sebenarnya banyak manfaatnya.

Saya sadar tidak mungkin jadi penari salsa yang sangat baik. Disuruh rajin mendengarkan musik untuk melatih kepekaan saja malas. Latihan muter sendiri  cuma bertahan dua hari. Sekarang pun, kalau sudah berdiri berhadapan mau mulai menari latin, saya masih nanya sama partner narinya, “Ini salsa apa bachata?” karena belum bisa membedakan musiknya dari awal. Untung banget jadi cewek, semua urusan koreografi gak perlu mikir. Tapi ada yang bilang jadi cewek itu susah karena tidak tahu gerakan selanjutnya bakal gimana. Saya suka iri kalau melihat orang yang jago menari salsa. Tapi banyak penari salsa yang hanya mau atau bisa menari latin. Begitu selesai menari di satu tempat kadang-kadang kami pindah ke tempat lain. Di tempat yang kedua ini ketemu lagi dengan mereka. Para penari latin ini banyak yang diam saja karena musiknya bukan latin. Satu dua menari salsa meskipun musiknya rock. Oke deh. Boleh-boleh saja kok nari salsa dengan iringan musik rock.

Satu-satunya yang tidak suka saya menari adalah Jack. Kalau saya nyetel musik lalu goyang-goyang di depannya, pertama dia menonton dengan heran, terus mengalihkan mata, malu melihat kelakuan saya. Lama-lama dia tidak tahan dan terus pergi.
“Heh, ngapain kabur?!? Sini!” perintah saya, merasa dilecehkan.

Jack tidak mau dan terus ngeloyor pergi. Saya tersinggung nih. Tapi waktu dipikir lagi, ini adalah cara praktis mengusir Jack dari dalam rumah. Dia sudah sering nakal sekarang, tidak mau menurut kalau disuruh keluar. Maka saya praktikkan lagi hari berikutnya, goyang-goyang di depannya diiringi musik. Dia keheranan lalu melengos. Berhasil, pikir saya. Terus dia berdiri dan berjalan ke…. bawah sofa! Matanya merem serapat-rapatnya dan pura-pura budeg. Ternyata Jack lebih pintar dari saya. Kalau sudah di bawah sofa semakin susah saya mendorongnya dan semakin cuek dia membantah.