Rabu, 27 Februari 2013

Siapa Tinggal di Ubud (1)


Seorang penulis merangkumkan seperti ini: ‘Kuta adalah kegilaan, Sanur steril, Nusa Dua terisolasi secara kultural.  Ke Ubudlah orang pergi’.

Waktu teman saya tahu saya tinggal di Ubud dia berkomentar iri, “Aduh, romantisnya.” Pasti yang dibayangkannya sawah kuning bertingkat-tingkat, kehidupan tenang bersuasana liburan, dan alam hijau di mana-mana. Mm, sebenarnya sih tidak seromantis itu, tapi mumpung tinggal di Ubud, saya senang mengamati orang-orang yang saya temui sambil mencari tahu alasan mereka tinggal di sini. Tentu tidak termasuk penduduk lokal atau turis yang hanya tinggal beberapa hari di Ubud.

Yang kaya.
Golongan ini mudah dikenali dari rumahnya saja. Di seberang sawah dari rumah saya ada dua rumah super besar yang selalu kosong, salah satunya berlantai tiga. Untuk perawatannya diserahkan pada orang setempat. Rumah hanya ditinggali beberapa minggu dalam setahun. Selama kosong rumah ini tidak disewakan karena pemiliknya tidak butuh uang. Duh, gayanya….

Ada lagi seorang perempuan muda dari Rusia. Dia kelihatan anggun sekali mengendarai Scoopy-nya yang berwarna krem, sewarna dengan gaun yang dikenakannya. Waktu turun dari motornya terlihat tubuhnya yang menjulang tinggi semakin tinggi karena hak sepatunya 10 senti dengan model terbaru. Ternyata bukan saya saja yang suka sepatu berhak yang bisa menciptakan ilusi tubuh yang tinggi, gadis yang sudah bertubuh tinggi juga suka sepatu ini. Baju sack dress yang dikenakannya kelihatannya saja sangat sederhana, tapi semua perempuan tahu bahwa gaun itu buatan perancang dan kesederhanaan detilnya sebenarnya sangat mahal. Tentu saja dia tidak memakai helm karena benda itu akan merusak tampilannya yang sempurna.

Dia cerita mengenai rumahnya yang katanya punya pemandangan sangat indah. Pekerjaannya diterangkannya dengan samar-samar sehingga saya tidak mengerti apa itu sebenarnya. Dia berjanji akan mengundang saya ke rumahnya, tapi tidak bisa sekarang, katanya, karena dia akan pergi ke Thailand dengan pacarnya selama satu bulan. Wah asyik banget, punya kerjaan yang bisa ditinggal lama sekaligus menghasilkan uang banyak. Saya rasa dia cuma bersikap rendah hati, tidak mau mengatakan ke mana-mana bahwa dia sebenarnya kaya tanpa perlu kerja.

Yang punya usaha.
Ubud bisa menghasilkan uang bagi yang bermodal dan pintar melihat peluang. Seorang perempuan Amerika, umurnya 60 tapi kelihatan seperti baru 45 tahun, adalah contohnya. Dia suka menyewa rumah-rumah dari penduduk lokal dengan jangka waktu panjang. Rumah ini diperbaiki, diberi fasilitas lengkap, dan didekor ulang agar sesuai dengan selera para ekspat. Kemudian rumah-rumah ini siap disewakan lagi olehnya dengan harga yang berlipat. Tentu usaha seperti ini butuh modal besar dan juga koneksi luas.

Pilihan lainnya adalah berjualan. Saya tidak tahu persentasenya, yang jelas banyak sekali toko yang pemiliknya orang asing di Ubud. Mulai dari usaha yang terlihat sangat mapan sampai usaha yang (sepertinya) kecil, misalnya toko mungil yang menjual baju-baju yoga atau es krim. Pemiliknya mengontrol toko dari waktu ke waktu, berbicara dengan penjaga toko, kemudian sibuk di depan laptop melakukan pembukuan. Seorang teman Malaysia saya maju mundur terus untuk pindah ke Ubud, dan hanya bisa iri dengan teman Inggrisnya yang nekat meninggalkan kehidupannya di Inggris, bilang bye-bye ke pacar, terus pindah ke Ubud. Di sini dia bekerja keras, baik sebagai guru yoga maupun mengurus toko ‘sungguhan’ dan toko online-nya. Jadi, tidak semua orang yang pindah ke Ubud punya kehidupan santai.

Yang mendapat hadiah.
Ini cara paling enak untuk tinggal di Ubud. Yang mendapatkan rejeki nomplok ini adalah seorang Amerika. Dia baru beberapa bulan di Ubud, dan cuek saja berkeliaran di kota dan supermarket dengan mengenakan celana pendek tanpa baju. Mungkin mau mempertontonkan dada bidangnya yang diperoleh berkat profesinya sebagai perenang. Dan bukan perenang sembarang perenang. Dia perenang jarak jauh yang kerjaannya menyeberangi selat antar pulau dengan menggunakan kayuhan tangan dan tendangan kaki. Itu dilakukannya terutama untuk amal. Sudah beberapa kali dia berenang di Indonesia, biasanya setelah terjadi bencana alam seperti tsunami atau gempa besar. Dia berterus terang tidak punya banyak uang, dan bisa tinggal di Ubud berkat kebaikan hati teman-temannya yang patungan membiayainya selama satu tahun . Ya begitulah, orang yang banyak amal akan mendapat ganjaran yang sepantasnya :).

Yang mencari kesembuhan.
Secara tidak langsung kedatangan seseorang ke Ubud untuk mencari kesembuhan merugikan saya. Ceritanya, waktu itu saya diminta oleh teman untuk mencarikan vila yang akan disewanya selama dua minggu. Saya pergi ke luar kota setelah menemukan vila yang cocok. Saya tenang karena sudah memesan jauh-jauh hari dan juga membayar uang muka. Betapa kaget dan jengkelnya saya, ketika menelpon pemilik vila satu minggu sebelum kedatangan teman saya itu, ternyata vila yang sudah saya pesan diberikan kepada orang lain, bahkan sudah ditempati! Tanpa rasa bersalah pemilik vila berkata, “Jangan marah gitu, dong.” Katanya yang menempati vila itu sedang sakit keras, kanker, dan ingin bermeditasi tanpa diganggu. Saya diharap maklum. Ya, ya, ya, saya maklum… maklum karena orang ini menyewa selama tiga bulan, bahkan ada kemungkinan diperpanjang. Tentu pemilik vila ngiler dengan kesempatan ini, hasilnya lebih banyak daripada kalau vila disewa teman saya selama cuma dua minggu :(.

Selain sakit fisik ada juga orang yang datang ke Ubud untuk menyembuhkan kondisi batinnya. Seorang ibu muda dari Latvia sangat serius mencari kesembuhan ini. Ditinggalkannya anak dan suaminya di Latvia sana untuk tinggal di Ubud selama beberapa bulan. Dia berkeliling dari satu pelatihan meditasi ke pelatihan meditasi lainnya. Setahu saya sudah empat pelatihan yang dijalaninya, belum lagi mendatangi berbagai penyembuh spiritual dan mengikuti sesi channeling. Semoga dia mendapatkan jawaban atas apapun yang dicarinya.

Yang berjuang.
Tetangga sebelah kiri saya adalah seorang Amerika berusia 50-an. Saya sering menghindar kalau berpapasan dengan dia, paling cuma bilang “hello”, lalu cepat-cepat kabur sebelum diajak ngobrol. Gara-gara Aryo, tuh, dia yang melarang saya beramah tamah dengan perempuan yang hidup sendiri ini. Betapa malangnya. Yey… tidaak! Perempuan malang tidak akan berbicara keras-keras dan ngobrol berjam-jam di telepon, apalagi ngomongnya penuh basa-basi tak penting. Karena begitulah adanya perempuan ini. Dia juga bisa ngobrol dari teras atas rumahnya dengan pembantu yang sedang bersih-bersih di teras atas rumah-seberang-sawah. Teriak-teriak tentunya. Tiada hari tanpa saya mendengarkan suara kerasnya. Sekalinya, ketika sedang duduk-duduk di kafe langganan bersama dua orang kawan, perempuan ini melambai dari jauh. Saya merasa dia tidak melambai pada saya, jadi saya toleh teman semeja di sebelah kiri. Dia melengos pura-pura tidak melihat. Saya toleh teman sebelah kanan. Sama. Dia menunduk dan berbisik, “Jangan diperhatikan. Pura-pura saja tidak lihat.” Perempuan malang. Sekali itu saya merasa kasihan padanya.

Simpati saya tidak berumur panjang karena besoknya, pagi-pagi sekali, dia mulai lagi berbicara lantang dengan seseorang di telepon. “Hello, David,” katanya memulai. Saya yang baru bangun dan terseok-seok ke kamar mandi dengan mata setengah terpejam langsung sadar sesadar-sadarnya mendengar suara kencangnya menyapa David. Begitu berturut-turut. Ada David, ada Annie, ada Howard. Jangan-jangan dia punya daftar yang diurutnya satu per satu sesuai giliran. Di hari Nyepi dia juga berbicara keras-keras sampai akhirnya diam sendiri. Mungkin ada seseorang yang memperingatkannya. Misteri telepon yang tidak putus-putusnya ini akhirnya terpecahkan. Dia adalah seorang penasihat yang memberi jasa secara online. Mungkin kliennya di Amerika sana, makanya pagi-pagi sudah berkicau menyesuaikan dengan waktu Amerika. Dia sedang kesulitan uang (dia sendiri yang mengumumkan ketika bicara keras-keras di telepon). Kemudian saya lihat iklannya di kafe dekat rumah mencari orang untuk tinggal bersamanya dan berbagi uang sewa. Akhirnya dia benar-benar pergi dari rumah itu. Sekali lagi saya merasa kasihan padanya (dan lega juga, sih).

(Bersambung)