Kamis, 13 Desember 2012

Bill the Builder


Bill datang ke Bali, tepatnya Ubud, setelah memutuskan untuk pensiun. Pekerjaannya yang dulu adalah jual beli properti, dan dia adalah seorang pengusaha yang sukses. Istrinya yang masih muda punya usaha sendiri dan masih ingin berkarir. Dia tidak mau menyertai Bill tinggal di Bali. Apa yang bisa dilakukannya di Bali? Dia pasti akan segera menjadi bosan. Karena itu Bill meninggalkan istri dan apartemennya yang indah di Australia dan memulai hidup barunya di Ubud. Langkah pertama yang dilakukannya adalah mencari rumah untuk disewa. Dia mendapatkan rumah besar berlantai dua, sebenarnya terlalu besar untuknya karena dia hidup sendiri, lengkap dengan kolam renang. Setelah itu dia membayar sebuah agen untuk mengurus untuk mendapatkan KITAS.

Tidak ada kegiatan penting yang dilakukannya sehari-hari. Dia amat jarang makan di rumah, bahkan untuk sarapan dia pergi ke kafe atau restoran favorit. Di beberapa restoran ini dia sudah jadi pengunjung tetap dan pelayan restoran selalu melayaninya dengan ramah walaupun hanya untuk secangkir kopi dan membiarkannya duduk di meja berjam-jam lamanya. Dia juga berkenalan dengan banyak orang. Dia jatuh cinta pada beberapa perempuan muda yang cukup pantas menjadi anaknya, dan mengejar-ngejar mereka. Beberapa nama perempuan ini menjadi akrab di telinga saya, seperti Diane si guru yoga, Sara si penulis buku perjalanan, dan Robin yang saya lupa apa profesinya. Saya mendapat kesan bahwa mereka ini sedikit mempermainkannya dan jual mahal. Walaupun Bill sering mengajak makan malam mewah lengkap dengan minuman anggur, ceritanya penuh dengan keraguan mengenai kelanjutan hubungannya dengan ketiga perempuan itu. Saya sampai bilang, sudahlah, cepat putuskan siapa pilihanmu. Tapi kalau perempuannya yang tidak mau ya itu soal lain.

Akhirnya Bill merasa bahwa yang diperlukannya adalah sebuah rumah baru. Rumah ini diperuntukkan bagi dirinya sendiri. Semua proses mulai dari mencari dan membeli tanah, mengawasi pembangunan sampai jadi, dan melengkapinya dengan mebel akan dilakukan sendiri. Mencari tanah tidak terlalu sukar. Asal ada uangnya, orang-orang setempat siap menjual tanah milik keluarga. Semakin bagus lokasinya semakin mahal harganya. Walaupun saya menggunakan kata 'menjual', sebenarnya yang saya maksud adalah menyewakan, biasanya minimal selama 20 tahun, karena orang asing tidak diperkenankan untuk membeli tanah.

Setelah melewati berbagai proses yang disebutnya tetek-bengek, yaitu membuat akta jual beli dan mengurus ijin pembangunan, sebuah acara selamatan khas Bali diadakan. Bill mengenakan pakaian adat Bali lengkap. Saya agak kecele di sini. Saya kira akan diundang pesta makan-makan, ternyata yang disuguhkan adalah ayam bakar bekas sesajen yang cuma dialasi koran serta diletakkan di tanah yang ditawarkan oleh pemilik asli tanah. Kami mati-matian menolak, tapi seorang perempuan Inggris ketiban sial dan terpaksa membawa ayam ini pulang dan kebingungan sendiri ayamnya mau diapakan. Lalu kami beramai-ramai pergi ke restoran dan makan siang di sana.

Bill bersemangat sekali dengan pembangunan rumah barunya. Dia yakin bahwa rumahnya akan selesai dalam waktu tiga bulan. Setelah tiga bulan terlewati dan rumahnya masih jauh dari selesai, dia harus menambahnya jadi 5 bulan, 7 bulan, 9 bulan,.... Waktu bulan puasa hampir tiba dia kuatir. Dia bertanya pada saya, apakah bulan puasa ini akan mempengaruhi kinerja para pekerjanya yang sebagian berasal dari Jawa? Saya bilang bahwa para pekerja kasar seperti mereka biasanya tidak berpuasa. "Oh, apakah itu karena mereka tinggal di Bali? Apa mereka juga tidak puasa seandainya tinggal di Indonesia?" Pertanyaan seperti ini sering membuat saya capek. Apa saya harus selalu memberi tahu bahwa Bali itu termasuk Indonesia?

Sekalipun sibuk dengan rumahnya dan terus berada di lokasi pembangunan di siang hari, malamnya Bill selalu siap beredar untuk menebarkan pesona. Heran juga saya, kenapa belum ada satu pun perempuan yang berhasil ditaklukkannya. Selalu saja muncul nama baru dan cerita Bill yang begitu penuh semangat tentang seorang perempuan kemudian berubah jadi ogah-ogahan di waktu yang lain untuk berubah jadi bersemangat lagi dengan seorang perempuan baru. Saya rasa perempuan-perempuan ini juga tidak bodoh. Daripada mengikatkan diri pada laki-laki yang masih berstatus menikah dan berumur jauh lebih tua, lebih baik memanfaatkannya saja untuk membiayai beberapa kegiatan yang menyenangkan. Ketika istri Bill datang mengunjunginya di Ubud, saya mengira hampir saja terjadi perang terbuka antara dua perempuan, yaitu istrinya dan Sara yang masih juga dikejar-kejarnya. Waktu itu kami sedang sarapan di sebuah kafe dan Sara yang ada di kafe yang sama datang mendekat. Rupanya Sara dan istri Bill sudah dikenalkan dua hari sebelumnya. Sara menyapa kami dan bahkan memeluk istri Bill. "How are you?" tanyanya. "Oh, fantastic!" istri Bill menjawab dengan ekspresi berlebihan yang sering saya lihat dilakukan oleh banyak perempuan ekspat di sini. Sampai sekarang ekspresi ini tidak pernah bisa saya tirukan. Terlalu lebay, ah.

Istri Bill bilang bahwa Bill terlihat sangat sehat dan bahagia tinggal di Ubud. Membangun rumah benar-benar cocok untuknya. Bill jadi punya kegiatan dan tidak cuma lontang-lantung sampai bosan setengah mati di sini. Bahkan kedua suami-istri ini sudah membuat kesepakatan bahwa si istri akan mengunjunginya dengan teratur, setiap lima minggu sekali. Bill juga akan pulang ke Australia di sekitar Natal selama tiga minggu. Wah, ini benar-benar kemajuan untuk Bill. Mungkin pada dasarnya dia orang yang menyukai kehidupan berkeluarga. Dia pernah menunjukkan sebuah foto pada saya yang menampakkan empat orang perempuan. Dua bekas istri, satu istri, dan satu anak perempuan. Dia bangga sekali waktu itu, dan mengatakan ketiga istrinya saling rukun dan bersahabat. "Itu karena saya baik terhadap mereka," tambahnya.

Tak lama setelah itu Bill memutuskan bahwa membangun rumah akan dijadikannya sebagai profesi. Dia akan membeli dan membangunkan rumah untuk orang lain. Katanya dia bisa mendapat untung besar sekali. Terus terang saya ngeri mendengarnya. Saya tahu bahwa orang begitu mudah melepas tanahnya. Himbauan agar orang lebih baik menyewa dan bukan membangun rumah yang akan ditempati hanya beberapa minggu dalam setahun, atau himbauan untuk tidak membeli tanah yang tadinya adalah sawah, sepertinya sia-sia saja.

Lama tidak bertemu dengan Bill, suatu hari saya melihatnya sedang makan siang di restoran. Saya dan teman saya diperkenalkannya pada teman makannya. Ternyata orang itu adalah klien yang minta dibangunkan rumah oleh Bill. Teman saya berkomentar, "Nah, karena sekarang kalian berdua sudah masuk dalam bisnis properti di Bali, saya yakin kalian tentu akan peduli dengan kelangsungan ekologis dan membangun rumah yang ramah lingkungan di sini." Bill memandang teman saya itu dengan dingin. "Apakah saya pernah mengajari kamu melakukan pekerjaan kamu?" tanyanya tanpa minta dijawab.

Jangan ganggu Bill, dia sedang asyik dengan mainan barunya! Tapi kegiatan lamanya mengejar-ngejar perempuan tidak ditinggalkan. Seorang teman yang lain menyuruhnya berhenti saja. "Kamu punya istri yang muda, cantik, dan mandiri. Untuk apa mengejar perempuan itu? Dia tidak mau sama kamu, karena tahu kamu beristri. Lebih baik berikan saja nomor telepon Ursula pada saya." Bill memandang si lancang mulut ini dengan dingin. Katanya, "Kamu sama sekali tidak punya kesempatan untuk mendapat perhatian dari Ursula." Sekali lagi, jangan ganggu dia. Bill tidak bisa dihentikan dan dia akan menantang setiap orang yang mencoba melakukannya.

Rabu, 07 November 2012

Di Keramaian


Saya tidak suka orang-orang yang berkumpul sampai banyak sekali. Pernah jalan-jalan di sekitar pertokoan dekat alun-alun Bandung menjelang buka puasa seminggu sebelum Lebaran? Selamat menikmati! Benar-benar seperti cendol. Berdesak-desakan, sampai bernapas juga susah. Kapok deh. Pengalaman yang mirip seperti ini harus saya jalani seminggu sekali selama satu semester di zaman saya matrikulasi dulu. Matrikulasinya di Jakarta dari hari Senin sampai Jumat, sedangkan setiap hari Sabtu ada kuliah matrikulasi lagi di Depok. Untuk pergi kuliah yang ini kami semua yang kos di Jakarta menggunakan kereta KRL jurusan Salemba-Depok. Haduh... baunya, sesaknya, keringatannya, sikut-sikutannya! Sampai sekarang perasaan saya campur aduk kalau ada orang yang naik kereta ini setiap hari. Antara kasihan, kagum akan keuletannya, dan bersyukur karena saya tidak perlu begitu lagi.

Di mana ada banyak orang berkumpul, di sana ada bunyi-bunyian ribut. Kalau soal ribut-ribut ini, ternyata tidak hanya ada di fasilitas minim kelas menengah ke bawah saja seperti kereta api kelas ekonomi, pasar malam, atau alun-alun. Mall-mall yang dianggap elit itu sama saja. Entah PVJ dan BSM di Bandung atau Galeria di Denpasar. Ada saja tempat yang memasang pengeras suara sampai pol, terus MC-nya teriak-teriak. Atau toko-toko yang dengan entengnya memutar lagu dengan sekencang-kencangnya. Apalagi kalau menjelang hari besar agama. Saking tidak sukanya pada bunyi ribut ini, saya rela melewati Lebaran tanpa baju baru, daripada belanja mepet sebelum Lebaran. Sampai sekarang saya tidak mengerti, kenapa banyak orang suka ramai-ramai dan ribut-ribut?

Herannya, di Ubud ini saya bisa menikmati keramaian. Waktu itu dengan teman saya pergi ke Pasar Ubud untuk pertama kali. Berangkatnya pagi-pagi. Ternyata pasarnya ramai sekali. Motor yang parkir di depan pasar sampai berlapis tiga. Orang asing sedikit sekali sedangkan penduduk lokalnya banyak sekali, beda dengan situasi sore hari. Di depan pasar banyak mobil bak terbuka yang dipakai jualan sayur, buah dan bunga-bunga yang dirontokkan kelopaknya untuk keperluan sesajen. Ada juga mobil yang mengangkut anak-anak babi dalam kandang bambu. Lucu juga mereka dengan kulit warna merah muda dan hidung basah yang selalu mendengus-dengus. Tapi, baunya minta ampun!

Pasar tradisional memang menarik, asal saja jangan terlalu kotor dan bau. Di pasar ini saya lihat beberapa turis asing dalam kelompok-kelompok kecil ditemani oleh pegawai hotel yang berseragam asisten koki. Mungkin mereka ini peserta kursus masak yang digiring untuk melihat-lihat pasar sebelum acara utamanya digelar. Saya tidak melihat mereka membawa keranjang belanja. Ada seorang yang bawa keranjang, tapi isinya cuma daun pisang. Saya bisa membayangkan pelajaran memasak mereka. Kokinya berkata, “Ibu-ibu dan Bapak-bapak, sekarang kita akan mulai memasak hidangan Bali yang eksotik. Anda semua sudah melihat pasar di mana keperluan dapur Bali diperoleh. Tapi jangan kuatir, semua bahan yang kita gunakan di sini berasal dari supermarket yang terjaga mutu dan kesegarannya.” Hehehe.

Keramaian lainnya saya datangi karena kebetulan. Waktu sedang putar-putar sedikit di luar Ubud, kami melihat orang-orang berkumpul. Kami yang tidak diundang ini mendekat sambil celingukan dan cari info acara apa yang sedang digelar. Ternyata itu pasar malam yang sederhana sekali, diselenggarakan untuk mengumpulkan dana perbaikan pura desa. Orang bisa membeli kupon seharga 10 ribu dengan hadiah utama motor. Kami membeli kupon masing-masing satu. Puncak acara yang ditunggu-tunggu adalah acara joget. Yiiha! Sambil menunggu saya melihat-lihat jualan. Saya ditawari main judi yang kebanyakan pesertanya mempertaruhkan uang dua ribuan. Saya tolak, alasannya mau lihat dulu permainannya. Ternyata menebak gambar binatang. Orang menaruh uang taruhannya pada kotak bergambar binatang yang dipilihnya. Sepertinya yang bertaruh jarang sekali menang, tapi kok tidak kapok-kapok juga, ya.

Sudah beberapa kali saya mendengar tentang joget. Dalam bayangan saya, itu adalah pertunjukan musik dan penyanyi dangdut berpakaian seronok yang mengajak para penonton terlarut dalam goyangan joget sambil mata merem melek. Tapi ternyata penarinya berkostum tari tradisional dan menari di hadapan laki-laki yang diundangnya ke panggung yang sekali-kali mencoleknya. Kalau colekan itu sudah keterlaluan, dipukulnya dengan kipas. Hm, ini sih namanya ronggeng atau tayub kalau di Pulau Jawa. Kebetulan waktu itu saya sedang membaca buku tentang ronggeng di Pantura Jawa Barat. Jadi saya sangat tertarik. Saya sampai naik ke atas bangku supaya bisa melihat lebih jelas, sambil menahan malu karena teman saya memanjat adalah anak-anak kecil. Para perempuan dewasanya semua berkebaya dan berdiri tenang. Mungkin mereka tidak mau memanjat karena repot ya, kan pakai sarung? Acara hura-hura ini termasuk sakral juga, jadi sarung itu wajib.

Akhirnya, keramaian ketiga yang saya ikuti adalah upacara piodalan. Tempatnya tidak jauh, dipusatkan di bale desa yang sehari-harinya digunakan bapak-bapak untuk kumpul sambil ngobrol, nonton TV, main kartu atau bengong saja. Bale yang kecil itu dijadikan tempat gamelan. Alat musik yang tidak tertampung diletakkan di mana saja di pinggir jalan. Peserta upacara semua duduk di tanah sampai mengisi setengah badan jalan. Pecalang mengatur lalu lintas mobil dengan memakai sistem buka tutup. Saya memandang upacara ini sebagai darurat dan heran kenapa tidak diselenggarakan di pura saja yang lebih luas dan tertutup, tapi buat mereka ini biasa-biasa saja.

Seperti biasa upacara dimulai dengan tarian yang dibawakan oleh anak-anak. Ada yang muda sekali, mungkin baru 5 tahun umurnya. Yang kecil-kecil ini cuma muter-muter saja sambil menggerakkan tangan seadanya. Lia yang menari di sini tidak bisa merentangkan lengannya dengan leluasa. Bagaimana ya rasanya menari seperti itu? Merentangkan tangan kanan, kena pagar tanaman. Merentangkan tangan kiri, kena orang-orang yang enak saja  seliweran. Saya juga kerepotan sekali waktu kehausan dan ingin beli air kemasan di warung. Saya nyelip-nyelip cari jalan di antara orang-orang yang bersimpuh. Beberapa kali saya menginjak kaki atau tangan mereka. Sambil jalan saya merasa sarung yang saya pakai ujungnya semakin lama semakin naik, naik, naik terus sampai ke lutut. Salah tingkah saya jadinya. Sampai di warung saya tarik-tarik sarung saya supaya turun lagi. Ibu penjaga warung bilang tidak usah ditarik-tarik, gaya baru memang begitu. Bener nih, Bu? Nggak yakin nih. Saya belum menguasai teknik memakai sarung cara baru ini. Sarung hanya sampai tengah betis, ujung kainnya serong. Keuntungannya kaki bisa melangkah dengan lebar, tidak seperti memakai sarung sampai ke mata kaki. Ngomong-ngomong, perempuan Bali itu seksi sekali lho kalau pakai kebaya ke pura untuk upacara. Tapi kalau ke pantai tidak ada yang mau pakai baju renang. Apa tidak terbalik, ya?

Waktu doa sedang dilangsungkan ada sepasang turis asing duduk di samping saya. Mereka tidak bawa banten, jadi yang dipakai adalah kipas yang dibuka lebar sebagai alas. Sebagai ganti bunga-bungaan mereka meletakkan sebiji salak dan roti yang disobek-sobek. Untung mereka bawa dupa, kalau tidak terpaksa deh pakai rokok. Bisa-bisa dewa marah karena tidak suka baunya.

Ternyata keramaian itu bisa juga dinikmati. Saya yang lebih suka suasana tenang dan teratur biasa saja melihat ada orang lewat di tengah-tengah upacara. Duduk saja harus geser-geser terus untuk memberi jalan pada sepeda motor dan mobil. Makan, minum, ngobrol di tengah upacara juga tidak apa-apa. Santai aja, lagi!

Jumat, 02 November 2012

Telanjang


Hari ini saya memeriksa statistik pengunjung yang membaca blog saya. Mau tahu tulisan mana yang paling banyak dibaca orang? Sampai pembacanya berlipat-lipat puluhan kali dibanding tulisan lain? Yak, betul, itu adalah tulisan yang berjudul Dengan atau Tanpa Baju, Silakan Pilih. Judul yang saya pilih tanpa maksud tertentu itu ternyata hasilnya di luar dugaan. Geli juga saya, kok orang mudah tertarik dengan judul semacam ini. Sayangnya, pasti banyak yang kecele membaca tulisan itu dan komentarnya adalah, 'Ah, cuma gitu doang. Kirain bakalan seru.' Mungkin beberapa orang malah merasa jengkel, dikiranya akan diberi kebebasan memilih dan menikmati keindahan wanita. Sepertinya banyak yang membaca tulisan itu karena tersesat. Ini terlihat dari statistik yang melacak pembaca blog melalui kata kunci. Salah satu kata kunci yang diketik oleh pembaca adalah foto-foto para pemijat cantik tanpa busana. Aw, salah pilih blog, Mas. Kok malah ke sini?

Adik saya pernah mengunjungi saya di Ubud bersama dua orang rekan kerjanya, satu laki-laki dan satu perempuan. Saya ajak mereka ke museum Antonio Blanco. Sepanjang perjalanan pulang, yang laki-laki terus berkomentar soal lukisan-lukisan tanpa busana Blanco. "Apa nggak malu, ya. Apa nggak dosa, ya. Itu kan istrinya sendiri. Memang dapat uang, tapi soal dosa gimana?" Begitu terus diulang-ulang. Ini kan membuktikan bahwa dia terkesan sekali dengan lukisan-lukisan tadi? Sampai gambarannya tidak hilang-hilang dari otaknya, dibolak-balik dan diolah terus. Dia juga tadi yang ketawa-ketawa mesum ketika seorang penjaga museum memberi teka-teki nakal mengenai salah satu lukisan.

Setelah itu saya juga dikirimi, atau lebih tepatnya lagi dititipi, oleh adik saya. Kali ini adalah bosnya, seorang perempuan Jepang. Karena dia bilang suka museum, dan menurut saya salah satu museum yang terbaik di Ubud adalah Museum Blanco, lagi-lagi dia saya ajak ke sana. Saya langsung tahu dia benar-benar suka lukisan. Saya memberinya waktu dan jarak, saya biarkan dia berlama-lama berdiri di setiap lukisan dan saya mengambil jurusan yang berbeda. Saya tahu betapa risinya kalau ada orang tepat di belakang kita memandang lukisan yang sama, apalagi kalau orang itu buru-buru dan ingin mendesak saja kerjanya. Atau, malah ribut membahas lukisan yang sedang kita pandangi. Jadi, ketika bos adik saya ini mengambil arah ke kanan, saya ke kiri. Walaupun sudah beberapa kali pergi ke museum ini, saya tidak bosan dan masih saja merasa kagum. Tapi bukan kagum model teman sekantor adik saya tadi, yang pura-pura anti padahal suka.

Teman sekamar saya di retret selama seminggu bulan September kemarin namanya Nina. Dia orang Inggris tapi sudah dua tahun tinggal di Australia. Selesai mengorganisasi sebuah festival di sana dan menabung sejumlah uang, dia ke Bali dan akhirnya nyangkut di retret ini. Sesudah retret dia akan ke India untuk belajar ilmu yoga dengan serius. Dia bilang, dia hidup hanya untuk di saat ini. Menikmati apa yang ada tanpa kuatir akan masa depan. Sepertinya dia memanfaatkan retret ini sebaik-baiknya. Waktu makan malam bersama, meskipun masih diperbolehkan bicara, dia sudah memilih tempat di pojokan dan makan sendirian.

Nina punya tato naga besar dan bagus sekali di pergelangan kaki kirinya. Dia tidur tanpa memakai pakaian, cuma sehelai sarung yang dipakai sebagai selimut. Memang di sini lumayan panas, juga untuk saya yang sudah biasa dengan udara Ubud. Kipas angin terus bekerja siang malam, meskipun malam-malam saya sering kedinginan dan mematikan kipas. Waktu bangun kipasnya sudah jalan lagi. Nina yang menghidupkannya. Nina berjalan ke kamar mandi setiap pagi dengan menyelubungi tubuhnya dengan sarung, tapi dia sering lupa menutupi tubuh bagian belakangnya sehingga saya bisa melihat bokongnya. Sepertinya dia tidak begitu peduli.

Selama delapan hari hanya dua kali saya bicara padanya. Pertama untuk minta maaf karena rambut panjang saya bertebaran di mana-mana dan dia harus memungutinya dari ujung sapu ketika bersih-bersih dan membuangnya di tempat sampah. Kedua waktu kelihatannya dia mau ke kamar mandi tapi saya sedang berdiri di depan lemari sehingga menghalangi jalannya. Saya menyingkir dan mempersilakannya menggunakan kamar mandi. Kalau saya dua kali buka mulut, Nina hanya mengeluarkan bunyi-bunyian tanpa buka mulut di dua hari terakhir. Dia bersenandung. Pasti karena capek terus membisu selama seminggu ini, hehehe.

Meditasi terakhir yang dilakukan di udara terbuka selesai dan wejangan sudah disampaikan. Retret berakhir. Kami spontan bersalaman sambil menyebutkan nama masing-masing. Lucu juga, delapan hari bersama-sama kenalannya baru sekarang. Saya cari-cari Nina, di mana dia ya? Oh, itu dia di sana dengan seseorang yang kemudian memperkenalkan diri sebagai Michal. Saya sapa Nina dan kami berangkulan. Semua rasa penasaran dan komentar yang dipendam keluar semua. Nina curhat, katanya di hari terkahir dia maju dengan gemas menghadap guru untuk menyatakan frustrasinya. "Kenapa, kenapa, oh kenapa (dia benar-benar bilang kenapa tiga kali), justru di hari-hari terakhir saya merasa gelisah dan ingin bicara, ingin bergerak terus dan menari-nari?" Kami melanjutkan pembicaraan di kamar Michal dan sepakat bahwa itu adalah perasaan di hari-hari terakhir, ketika sudah lelah mengamati diri sendiri selama seminggu.

"Aku ingin berdansa! Aku ingin menari! Aku ingin menyanyi!" seru Nina dengan ekspresif. Ditambahkannya lagi, "Aku akan berjalan seperti ini. Aku buka bajuku satu persatu, aku lempar ke atas rumput. Kemudian aku duduk telanjang dan bermeditasi." Diperagakannya kata-katanya itu sambil berjalan keluar dari pintu dan menirukan penari striptease yang membuka pakaiannya dengan sangat provokatif. Saat itu teman sekamar Michal masuk. Dipandangnya berkali-kali pintu tempat Nina barusan keluar. "Siapa dia? Benar dia meditasi sambil telanjang?" Saya berpandang-pandangan dengan Michal. Tak tahan lagi, kami pun tertawa terbahak-bahak.

Untuk merayakan selesainya retret, dengan beberapa orang lainnya kami ingin pergi ke sumber air panas. Saya duduk di tempat tidur sambil memeriksa buku Lonely Planet punya Nina, sementara dia sedang di kamar mandi. "Di mana sumbernya? Kok tidak ada di sini?" tanya saya. Nina keluar dari kamar mandi untuk menunjukkan di halaman mana saya harus memeriksa. Kali ini dia benar-benar telanjang, tidak ada sarung yang menutupi tubuhnya. Saya cuma melirik sedikit dan menunduk lagi memandangi halaman buku. Setelah memakai bikininya, Nina pergi ke teras untuk menghirup udara segar. Kami pergi ke sumber air panas dengan mobil sewaan, sedangkan Nina berangkat dengan mengendarai motor besarnya. Pantesan, saya lihat di bawah meja kami ada jaket kulit warna merah. Rupanya dia datang ke retret dengan mengendarai motor.

Nah, sekarang mengenai judul tulisan ini. Kenapa Telanjang? Bukannya itu untuk menarik orang agar mau membaca? Cis! (sambil menirukan sebuah adegan dari film jadul) maaf ya, saya tidak serendah itu. Tulisan ini memang bicara soal telanjang. Ya sudah, judulnya itu saja. Tidak perlu diperhalus atau distilisasi, hehehe. Kalau ada yang kesasar lagi dan merasa kecewa atau tertipu karena merasa judulnya beda dengan isinya, ya, maaf saja. Cuma, saya heran pada orang-orang yang selalu mengasosiasikan telanjang dengan mesum, lalu tertawa-tawa dengan ekspresi yang... gitu, deh. Melihatnya perut saya jadi mulas dan merasa bahwa ekspresinya lebih mesum dari telanjangnya sendiri.

Senin, 29 Oktober 2012

Masih tentang URWF


Untuk mengikuti acara-acara utama di Ubud Readers and Writers Festival ini kita harus pandai-pandai memilih, dan yang lebih penting, jangan serakah. Kalau serakah malah bisa frustrasi sendiri, kan tidak mungkin semua acara mau diikuti. Selama empat hari acara berlangsung serempak dari pagi sampai sore di tiga tempat berbeda. Ketiga tempat itu letaknya berdekatan, jadi peserta bisa pindah dari satu tempat ke tempat lainnya dengan mudah. Dua di antara tempat itu adalah restoran, letaknya bersebelahan, jadi benar-benar tinggal keluar dari satu pintu terus masuk ke pintu yang lain. Yang satu lagi adalah Museum Neka, harus ditempuh kira-kira lima menit jalan kaki (jalannya yang cepat, ya) dari kedua restoran tadi. Kalau masih pagi sih tidak apa-apa, tapi kalau sudah siang panasnya minta ampun. Jadi, walaupun ada acara menarik diselenggarakan di Museum Neka, saya yang sudah berada di suatu acara di restoran tadi memilih untuk tetap tinggal di tempat yang sama.

Gara-gara malas jalan kaki di siang bolong itulah saya kehilangan kesempatan untuk mendengar pembahasan buku Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer. Padahal ini adalah tema festival tahun ini. Karena tempatnya luas, Museum Neka dipilih untuk acara yang diperkirakan peminatnya pasti banyak. Jose Ramos Horta juga bicara di sini. Ternyata beliau ini juga seorang penulis, dan buku anak-anak yang ditulisnya kalau tidak salah tokoh utamanya adalah seekor buaya. Sudah bisa ditebak bahwa pembicara dan pendengar lebih suka untuk tidak membahas buku ini. Yang lebih menarik untuk dibicarakan adalah tentang masa depan Timor Timur, hubungannya dengan Indonesia, dan bagaimana mereka mengubur luka lama. Ramos Horta ini orangnya lucu sekali, dan tidak terlihat dendam sedikit pun pada perlakuan pemerintah kita dulu terhadapnya. Berkali-kali dia membuat para pendengarnya tertawa. Katanya, yang mestinya dapat penghargaan Nobel itu Presiden Soeharto. Namun panitia seleksi Nobel salah ucap, yang harusnya Pak Harto jadi Pak Horta.

Ada satu acara lain yang khusus membahas tentang humor dalam buku. Panitia memilih dua penulis dengan cara yang sangat ajaib, atau pintar sekali. Yang seorang adalah pastor dari Kupang, kulitnya hitam dan mukanya keras. Yang seorang lagi perempuan penulis muda dari Norwegia, mukanya pucat sekali dan rambutnya juga pirang sekali, hampir putih. Pastor ini sangat periang. Acara dibuka dengan permainan gitarnya sambil menyanyikan lagu ciptaannya sendiri. Saking riangnya lagu ini, para pendengar ikut bertepuk tangan mengikuti irama walaupun tidak mengerti lagunya: "kucing mengeong, ekornya melingkar, disambar kilat, meong-meong-meong," nyanyinya. Penulis Norwegia di sebelahnya hanya tersenyum sangat tipis sementara yang lain bertepuk.

Penulis Norwegia ini bilang bahwa dia sering ditanya orang, apakah benar orang-orang Nordic itu jarang tertawa? Dia bilang memang benar. Tapi bukan berarti mereka tidak suka humor. Hanya saja, humornya lain. Dia bercerita tentang  buku mengenai perang yang pernah dibacanya. Perang itu kejam dan absurd, menertawakan perang adalah lebih dari absurd. Dalam buku itu digambarkan kepala-kepala yang terpenggal, dan satu-satunya reaksi yang mungkin adalah tertawa terbahak-bahak. Hm, dalam bayangan saya, pastor dan perempuan Norwegia ini tentu tidak akan sepakat tentang apa yang disebut lucu, sampai kapan pun. Tapi para pendengar sangat tertarik dengan pembicaraan perempuan ini. Saya juga, jadi saya beli bukunya yang bercerita tentang perempuan tua yang dalam ketakutannya menyambut kematian melakukan hal-hal yang absurd.

Seorang pembicara di sesi lain adalah penulis puisi yang tinggal di kaki gunung Jawa Barat. Cara berbicaranya sangat Sunda, seperti profesi yang diucapkan propesi dan novel yang diucapkan nopel. Puisinya sama menariknya dengan ceritanya mengenai kehidupan sehari-hari, dan memang puisinya berisi cerita kehidupan sehari-hari. "Bagi saya, melihat petani kedinginan berangkat ke ladang di pagi hari sudah merupakan puisi itu sendiri," katanya menjelaskan. Kadang pembicaraannya terdengar lugu, seperti bagaimana petani miskin harus tahan mandi dengan air dingin. Kalaupun ingin mandi dengan air hangat, mereka menghangatkannya dengan cara mengalirkan listrik ke air. Jadi harus sangat hati-hati, bisa-bisa kesetrum! Sepertinya dia tidak selugu yang ditampilkannya karena dia berpendidikan tinggi. Tapi seperti banyak orang Sunda lainnya, dia suka melucu. Orang Sunda bilang ngabodor. Penerjemahnya yang berkulit putih tidak menerjemahkan semua banyolannya itu, mungkin karena tidak mengerti di mana letak lucunya.

Ketika diskusi selesai dan orang-orang meninggalkan tempat duduk untuk pindah ke tempat lain, saya tetap diam di tempat. Seorang perempuan duduk di samping saya. Katanya dia adalah guru SMU dari Jakarta yang membawa murid-muridnya ke Ubud khusus untuk menghadiri festival ini. Dia juga banyak tanya soal brem Bali, katanya pesanan orang. Belinya di mana, jenisnya apa saja, mereknya apa saja. "Maaf ya, saya banyak tanya-tanya, soalnya saya bukan peminum." Eh, apa maksudnya, nih. Dipikirnya saya ini peminum, apa? Dia tanya lagi, brem apa yang paling bagus? Saya jawab, pilih saja yang paling mahal. Wah, dia tertawa keras-keras sampai beberapa orang melirik tajam karena panelis sudah mulai berbicara di depan ruangan. Astaga, selucu itukah, sampai harus tertawa keras-keras? Selama acara berlangsung dia sibuk memencet-mencet dan memperhatikan layar handphonenya saja.

Beberapa kali saya melihat sekelompok remaja perempuan masuk ke ruangan berombongan, duduk sebentar mendengarkan, bergerak-gerak gelisah, kemudian keluar lagi sambil berjingkat-jingkat. Saya maklum, tentunya acara ini terlalu berat untuk mereka, apalagi semua pembicaraan dalam bahasa Inggris. Pasti ibu gurunya kurang teliti memilih program nih, karena sebenarnya festival ini juga menyelenggarakan berbagai acara khusus untuk remaja dan anak-anak. Kelompok remaja laki-lakinya bersikap lebih berani, mereka memilih untuk berlama-lama nongkrong di restoran sambil memasang musik keras-keras. Saya hampiri mereka, dan bilang, "Di sebelah sana dipasang musik gamelan Jawa baguus sekali, tapi saya nggak bisa dengar karena musik di sini terlalu keras." Mereka spontan menjawab, "Aduh..., maaf, Tante!" Penyesalannya tulus sekali dan musik langsung dimatikan, tapi... hey! siapa kasih ijin untuk panggil saya Tante? Sejak kapan saya nikah sama Oom-mu?

Waktu sedang istirahat di bangku di bawah tenda seorang kakek-kakek minta ijin untuk duduk di depan saya di bangku yang masih kosong. Dia bertanya apakah saya seorang penulis. "I am trying," jawab saya. Kakek itu dengan semangat membalas, "Me too." Wah, saya salut dengan kakek ini. Sudah tua tapi masih punya minat untuk melakukan sesuatu yang disukainya. Dia datang jauh-jauh dari negaranya untuk mengikuti acara festival ini. Karena saya sudah baca keempat tetralogi buku Pram, dan dia baru baca yang jilid satu, dipaksanya saya menceritakan apa yang terjadi pada suatu keluarga. Yang lupa pun saya karang-karang saja, habis, dia terus memaksa saya untuk ingat! Kakek ini juga bercerita mengenai buku yang sedang ditulisnya dan minta pendapat saya segala, hehehe. Enaknya jadi manula di negara maju. Sudah pensiun bisa menikmati hari-harinya dengan santai sambil bepergian ke sana ke mari. Anak-anak SMU itu juga beruntung. Walaupun bosan dengar ceramah mereka bisa nonton film yang tidak biasa setiap sore, seperti Drupadi misalnya. Kapan bisa nonton film sebagus ini kalau bukan di festival?

Jumat, 07 September 2012

Libur Dulu

Dari tanggal 8 sampai 16 September saya akan pergi ke luar kota tanpa akses komputer, internet, bahkan hp. Jadi, libur dulu menulisnya. Sampai ketemu lagi setelah tanggal 16 ya! :)

Minggu, 02 September 2012

Balada Nama


Ada seseorang yang meminta untuk ditambahkan pada daftar teman saya di situs pertemanan Facebook. Namanya panjang dan megah sekali, seperti nama raja-raja Jawa zaman dulu, tapi tidak saya kenali. Fotonya juga tidak. Bagaimana mau kenal, la wong fotonya hanya menampakkan satu buah matanya saja yang di-close up? Untung orang ini masih bisa berpikir panjang karena dia juga meninggalkan pesan untuk memberi tahu jati dirinya. Kalau tidak, tentu permintaannya itu akan saya abaikan saja.

Ternyata dia adalah teman sekelas saya waktu kuliah dulu. Dan dia sudah berganti nama. Pantas saja saya tidak kenal. Setelah beberapa kali chatting saya tahu bahwa dia serius sekali dalam hal mengganti nama ini. Namanya yang baru sudah disahkan melalui pengadilan segala. KTPnya pun sudah dengan nama yang baru. Dia bilang tidak sembarangan dalam memilih nama. Dalam namanya yang baru itu terkandung mantra yang akan menyebabkannya selalu tampil awet muda, murah rejeki, dan terkenal. “Ng…, sudah tercapaikah cita-citamu itu?” tanya saya. “Tentu saja,” jawabnya. Memang saya lihat dari foto-fotonya bahwa dia terlihat awet muda, punya rumah bagus, dan sepertinya punya usaha pula selain berprofesi sebagai dosen. Kalau soal terkenal tadi? “Saya pernah diwawancara oleh TV Bandung,” jawabnya. Oh!

Dia bilang nama saya harus diganti juga. “Kamu mau jadi seperti apa?” tanyanya. Saya ikuti saja permainannya, sebuah obrolan iseng dan menghibur, walaupun sebenarnya diam-diam saya juga mengharapkan bisa punya uang banyak melalui nama yang membawa hoki, hehehe. Tapi akhirnya saya cuma bilang mau jadi orang yang spiritualis. Soalnya malu mau bilang pingin kaya, hehehe. Katanya lagi, kalau begitu nama saya harus ada huruf Z dan Unya. “Bagaimana kalau Zuc?” katanya. Heh, nama apaan tuh! Jelas saya protes. Akhirnya setelah dikotak-katik didapatlah nama Zuba. Oke deh, nama itu akan saya tulis di selembar kertas, kemudian saya segel dan simpan baik-baik ya? “Tidak bisa,” katanya. Harus disahkan di pengadilan, digunakan di KTP, dan jangan mau menoleh lagi kalau dipanggil dengan nama yang lama. Wah… berat banget syaratnya! Gagal deh saya berganti nama. Dan benar saja, sekarang kalau latihan meditasi kok rasanya susah ya. Ini pasti karena nama saya bukan Zuc. :(

Jelas saja saya tidak mau ganti nama. Nama saya itu menurut saya cukup bagus dan mudah diucapkan oleh orang dari negara mana saja. Paling tidak, dengan sedikit latihan orang yang pengucapannya tidak benar bisa diperbaiki dengan segera. Nama saya itu juga sama dengan nama seorang bintang film. Walaupun bintang film zaman dulu, dia cukup terkenal (di antara orang-orang seumuran orang tua saya kalee). Selain itu, asal-usul nama saya itu tidak begitu jelas, dan saya suka yang tidak begitu jelas. Seperti misteri, begitu, hehehe. Kata yang memberi nama, yaitu ayah saya sendiri, nama saya itu disebut dalam sebuah lagu ninabobok berbahasa Jerman. Dari situlah nama saya diambil. Saya kok ragu ya, menurut saya lebih mungkin nama itu dicontek dari poster film di bioskop, tapi ayah saya berkeras bahwa kejadiannya memang begitu. Ya sudahlah. Mana bisa saya membantah, kan waktu itu saya belum lahir.

Setiap orang punya nama favorit, dan saya paling suka nama-nama Bali. Nama kesukaan saya adalah Ngurah. Tapi saya suka juga nama-nama seperti Rajig, Pugig, Jembong, Gerebig, Lempad. Sayang, banyak sekali di antara mereka yang menyesuaikan namanya agar lebih berterima di tingkat nasional, seperti Dewi atau Ani. Nama-nama seperti itu kan biasa banget, ya. Sedangkan nama-nama yang luar biasa seperti John, Raffles, Winston Churchill, Washington, jangan salah, itu adalah nama orang Padang dan Batak!

Ketika anak kedua kakak saya lahir, saya terheran-heran karena dia belum menyiapkan nama, tapi sekaligus senang karena kami diberi kesempatan untuk memilihkan. Nah, bagus itu, sebagai tantenya saya tidak mau dong punya keponakan namanya Oneng atau Iteung (aduh, aduh, maaf, bukan bermaksud menghina. Tapi setuju kan bahwa nama itu kurang manis di telinga?). Kami sepakat bahwa nama yang harus dipilih jangan kebarat-baratan namun tetap enak didengar. Akhirnya pilihan jatuh pada Puti, diambil dari Puti Reno Bungsu, seorang ratu (atau putri raja ya?) Minangkabau. Saya agak kesal kalau ada yang merasa nama itu asing dan mengira nama yang sesungguhnya adalah Putri. Haduh, Putri itu kan nama yang banyak banget pemakainya :( (maaf, sekali lagi maaf).

Di kalangan kelas menengah atas ada kecenderungan untuk memberi nama yang berbau Barat pada anak.  Waktu saya masih bekerja di sekolah yang katanya bertaraf internasional, nama-nama yang saya dapati di antaranya adalah Caitlyn, Rebecca, Matthew, Steven, Henry dsb. Dan mereka itu semuanya anak Indonesia, lho. Ada sepasang adik kakak di sekolah itu yang namanya saya suka sekali, yaitu Prince dan Lady. Saya agak heran, kok bisa pas sekali ya. Kedua nama itu saya kenal dari buku seri Rumah Kecil karangan Laura Ingalls, bacaan favorit saya sejak kecil sampai sekarang. Seorang tokoh dalam cerita itu, yaitu Almanzo Wilder, punya pasangan kuda bernama Prince dan Lady. Mungkin orang tua anak-anak itu juga penggemar seri Rumah Kecil. Kalau saja dia adalah teman saya sendiri, tentu akan saya tanyai untuk memastikan. Tapi saya diam saja walaupun penasaran, karena tidak mau menyinggung perasaan orang tua. Padahal sih, kan kuda itu yang menggunakan nama manusia, bukan sebaliknya, ya.

Nama-nama yang keren di sekolah itu sepertinya agak asing bagi Pio, seorang penjaga sekolah yang juga sering merangkap sebagai pekerja serabutan di sana. Salah seorang ibu dari anak-anak ini pernah mendatangi saya dengan muka yang kurang senang. Dia bilang, “Masa nama anak saya ditulisnya begini?” Saya baca nama yang tertera pada CD berisi foto-foto yang dipesannya beberapa hari yang lalu, yang disodorkannya di depan hidung saya. Ternyata di sana tertulis STHEPFEN. Terang saja ibu Steven kurang senang. Aduh Pio…, kamu bikin malu saya saja. Saya tidak berani membela diri dengan mengatakan itu tulisan Pio, nanti dia malah protes kenapa penjaga sekolah mengerjakan pekerjaan yang seharusnya saya lakukan? Yah, terpaksa saya pasrah saja dianggap kampungan tidak bisa menulis nama anaknya dengan benar. :(

Kalau kita senang menggunakan nama yang kebarat-baratan, sebaliknya, sementara orang Barat pun suka nama-nama yang dianggap eksotis. Di Ubud ini saya dapati orang-orang bule bernama Yaari, Shanti, Samapan, Rama. Pasti mereka ini orang-orang yang berinisiatif mengganti namanya sendiri. Kalau teman saya yang diceritakan di bagian awal tadi mengganti nama setelah menghitung-hitung dan menggunakan primbon segala, mereka ini mungkin mengganti namanya setelah pergi ke India atau bahkan Tibet dan mendapatkan bisikan gaib setelah memperoleh pencerahan di sana. Aduh, macam-macam saja, tapi menarik juga sih untuk dibicarakan. Di kelas conversation beberapa tahun lalu kami juga membahas soal nama. “Nama untuk anak perempuan yang khas Cina biasanya diambil dari nama bunga,” kata salah seorang. “Kalau untuk anak laki-laki….” Belum selesai dia bicara gurunya iseng melanjutkan, “Diambil dari nama sayuran?” Terbayang tidak sih, ada orang namanya Kentang, Wortel, Kol. Hehehe.

Kamis, 30 Agustus 2012

Negeri Para Raksasa, Roh dan Jin


Dalam satu hari, waktu yang paling saya suka adalah menjelang matahari terbenam. Semakin malam semakin suka saya pada suasananya. Apalagi kalau saat itu saya sedang dalam perjalanan di tempat yang agak sepi di daerah pedesaan yang jauh dari kota. Pohon lebat di kiri kanan, jurang dan lembah, jembatan kayu di atas sungai yang deras. Ini diselingi dengan kelompok rumah-rumah sederhana yang diterangi lampu yang suram, sedangkan orang hanya terlihat satu dua di sana-sini. Inilah saatnya ketika para raksana, jin dan makhluk halus lainnya berkeliaran, mengendap, dan mengintai orang-orang yang lengah.

Ada satu foto dari masa kecil yang sangat saya sukai dan saya simpan selama beberapa waktu. Foto yang diambil oleh ayah saya itu memperlihatkan saya bersama ibu, kakak, dan adik berpose di depan VW kodok berwarna putih yang diparkir di pinggir jalan. Latar belakangnya adalah sawah yang luas membentang. Langitnya hitam mendung, suram sekali. Semua warna diliputi oleh sapuan kelabu gelap. Suasana suram di foto itu begitu mencekam, bahkan senyum kami terlihat ragu-ragu. Saya ingat bahwa waktu itu kami segan sekali keluar mobil untuk diambil gambarnya.

Hari Galungan yang sekarang ini saya lewatkan dengan diam di rumah. Tidak seperti tahun lalu—yang saya maksud adalah tahun Bali yang lamanya lebih kurang 6 bulan Masehi—di mana pagi-pagi sudah keluar, sekarang saya tidak terlalu antusias dengan segala macam penjor. Baru pada sore harinya teman saya mengajak ke Ubud. Saya senang, pergi ke Ubud berarti bisa makan es krim Italia yang lembut dan enak sekali. Tapi karena motor kami terhalang kemacetan panjang yang disebabkan oleh rombongan barong, teman saya yang tidak sabar memutar motor dan kemudian berbelok ke kiri keluar dari kota Ubud. Motor dijalankannya berkilo-kilo meter. Haduh, mau ke mana ini? Saya tidak siap ke luar kota karena pakaian saya hanya celana pendek dan kaos. Untung di bagasi ada sehelai sarung, jadi saya ikatkan saja di bahu jadi semacam ponco. Teman saya juga meyakinkan saya bahwa kami tidak akan pergi sampai ke Kintamani. Terlalu jauh dan dingin.

Sedikit setelah melewati Tegallalang motor dibelokkan ke kiri. Suasana jadi berbeda. Jalan raya yang mulus digantikan dengan perkampungan dan pohon-pohon besar yang lebat. Menjelang matahari terbenam kami berhenti di sebuah pura. Gerbangnya yang dikunci hanya mengijinkan kami melongok melalui tembok yang tua dan tak terurus serta diliputi lumut ke pelatarannya yang sama suramnya. Dua raksasa menjaga gerbang itu, masing-masing membawa gada di tangannya. Mata mereka membelalak menyeramkan, mulutnya menyeringai memperlihatkan sepasang taring yang tajam. Saya merasa tidak diinginkan ada di sini. Sekelompok anak kecil ribut menyapa sambil melambaikan tangan dari kejauhan, meminta maaf atas sambutan raksasa yang kurang ramah.

Perjalanan dilanjutkan melewati jalan yang semakin sepi. Pohon-pohon beringin tumbuh lebat sekali, akarnya yang bergantungan menjulur ke bawah sampai menyentuh kepala kami. Sinar matahari yang hanya sedikit tersisa tidak sanggup menembus lebatnya dedaunan. Motor dijalankan pelan-pelan. Ketika lembabnya suasana hutan lebat terlewati, yang kami temukan adalah pura-pura kecil tak terurus yang berlumut dengan gerbang yang lagi-lagi dikunci. Kemudian muncul kelompok rumah-rumah, toko dan warung sederhana dengan lampu yang sudah dinyalakan. Jajaran penjor terlihat kurang meriah karena suasananya sudah menjelang malam. Kebanyakan rumah memiliki halaman yang bertembok yang menghalangi pandangan orang yang serba ingin tahu. Ketika ini pun terlewati, sawah terbentang luas di kejauhan. Di sebelah sana ada Pak Tani yang terlambat pulang ke rumah, dia memanggul karung besar sambil membawa celurit di tangan. Pembantu saya dulu sering menakut-nakuti bahwa petani di sawah yang membawa karung dan celurit ini menyembunyikan seorang anak kecil yang baru diculiknya di dalam karung. Ceritanya ini sanggup membuat saya cepat-cepat pulang begitu Magrib menjelang. Bahkan kalau bersepeda siang-siang, begitu melihat petani membawa karung saya cepat-cepat mengayuh sepeda pulang sambil ketakutan.

Kami kembali melewati jejeran rumah-rumah yang semua pintu dan jendelanya tertutup. Rumah-rumah itu juga mengingatkan saya pada waktu yang sudah lewat. Sebagai anak kecil, saya selalu terdiam dan terseret dalam imajinasi liar ketika dalam perjalanan dengan mobil dari Bandung ke Malang atau sebaliknya, bertahun-tahun yang lalu. Apa yang ada di dalam rumah-rumah berdinding bilik, berlantai tanah yang pintunya tertutup rapat itu? Mungkin di sana ada sepasang adik kakak yang sedang menunggu orang tuanya yang tidak pulang-pulang? Mungkin ada seorang ibu yang sedang menghidangkan nasi dan sayur bayam untuk seluruh keluarga yang semuanya diam? Mungkin ada kamar yang kotor dengan seseorang sedang berbaring di dipan? Ingin sekali rasanya saya tinggal di salah satu rumah itu, berbaju sederhana, bertelanjang kaki, dan tidak perlu sekolah.

Perjalanan bermotor terus dilanjutkan sampai kami tersadar bahwa kami tersesat. Di mana ini? Ada perempatan, tapi tidak ada petunjuk arah yang bisa kami ikuti. Kenapa pula mesti tersesat di tempat tidak ada orang untuk ditanyai ya. Untung tak lama kemudian ada seorang bapak tua datang menghampiri. Dia berpakaian rapi, mengenakan sarung dan ikat kepala. Suaranya ramah dan tidak pelit memberi informasi. Setelah bapak ini muncul beberapa orang juga, mereka berdatangan dan membentuk kelompok kecil. Rupanya mereka sedang menunggu barong, dan barong itu harus disambut sepantasnya dengan mengenakan pakaian adat yang layak. Kami pun melanjutkan perjalanan.

Kami bertemu juga dengan rombongan barong yang sedang ditunggu-tunggu itu. Barong muncul dari cahaya remang-remang dengan diiringi bunyi gamelan dan dikawal oleh ratusan orang. Tampilannya seperti singa dengan rambut tebal, putih dan panjang serta memakai berbagai perhiasan indah dari kaca warna-warni. Barong, raja dari segala macam roh. Sebagai pelindung manusia dia dihidupkan oleh roh yang merupakan pendamping seorang anak.. Baronglah yang mampu mengalahkan Rangda, sang Ratu Setan yang merupakan titisan Calon Arang yang jahat. Rangda menimbulkan mala petaka, banjir dan wabah penyakit. Peperangan di antara kedua makhluk luar biasa ini bersifat abadi. Kebaikan melawan Kejahatan.

Setelah memperhatikan sejenak kami tinggalkan pemandangan yang tak terlupakan itu. Kemeriahan musik dan pakaian warna-warni sekarang digantikan oleh malam yang semakin gelap dan udara dingin. Di siang hari tempat ini pasti indah sekali, terbukti dengan sebuah hotel yang sengaja didirikan di tebing pinggir jalan. Namun yang terlihat sekarang hanya jalan gelap yang terjal dengan pepohonan rapat, dan suara air sungai yang entah ada di mana. Lagi-lagi kepala saya disentuh halus oleh akar pohon beringin yang menggantung di atas, sementara motor terus meluncur perlahan. Kami berhenti sebentar ketika menemukan gerbang rumah yang indah beserta tempat sesajen yang dihiasi kain-kain cemerlang. Karena suasananya gelap gulita dan anjing menggonggongi kami dari balik tembok, tanpa berkata apa-apa kami bergegas pergi.

Akhirnya sampai juga ke jalan besar Tegallalang. Semuanya terang-benderang dan ramai. Penjor berjajar meriah sekali. Siapa sangka bahwa negeri para raksasa dan jin tadi hanya berada 8 kilometer dari hingar-bingar kota Ubud? Pasti saya akan kembali ke sana lagi, kalau bisa menjelang tengah malam, bukan menjelang Magrib.

Kamis, 23 Agustus 2012

Misteri Ingatan


Karena ingin variasi, pagi-pagi saya pergi ke pasar tradisional di Ubud. Seorang penjual tahu yang sudah kenal saya mengucapkan selamat lebaran. Saya tertegun. “Lebarannya besok, bukan sekarang,” jawab saya. “Bukan. Lebarannya sekarang. Memangnya Anda tidak merayakan? Kok tidak tahu?” pandangan matanya tajam sekali seperti menuduh. Cepat-cepat saya bilang bahwa saya pengikut Muhammadiyah yang merayakan Lebaran besok. Ibu itu mengiyakan saja. Untung dia tidak tahu bahwa Muhammadiyah biasanya berlebaran sehari lebih awal, bukan sehari terlambat.

Waduh, waduh, gawat ini. Saya langsung pulang dan minta diantar ke tempat shalat Idul Fitri. Sampai di sana tempatnya sudah penuh, maklum area yang tersedia agak sempit. Saya disuruh petugas untuk shalat Ied di Gianyar saja yang lebih lega tempatnya. Gianyar? Paling tidak perlu waktu 20 menit, belum lagi cari-cari tempatnya yang pasti. Sampai ke sana pasti terlambat juga. Ya sudah, pulang saja deh.

Beginilah akibatnya kalau tidak punya TV dan tidak suka baca koran. Tidak tahu perkembangan dunia luar! Saya bukannya tidak pernah memeriksa kalender (saya sudah punya kalender sekarang), tapi dari lirikan sekilas saja saya lihat bahwa hari Senin tanggal 20 ditandai dengan warna merah. Bodohnya saya, saya tidak sadar bahwa itu adalah libur hari raya kedua. Hari raya pertama jatuh di hari Minggu, dan dari zaman dulu sampai sekarang hari Minggu memang selalu ditandai warna merah. Makanya Neng, lain kali lebih teliti ya.

Ini bukan kejadian yang pertama kali. Baru saja tadi pagi seorang kenalan baru memberi saya dua buah coklat Bengbeng sebagai kado ulang tahun. Kado yang um… apa ya namanya? Sebut saja kreatif deh. Tidak apa-apa, yang penting kan perhatiannya. Kado itu diberikan lebih awal karena dia sudah mau berangkat ke pantai untuk berlibur. “Ulang tahun kamu sebenarnya hari Jumat kan?” katanya. Dengan agak bingung saya menghitung-hitung, sekarang hari apa ya? Untuk menutupi ketololan saya, saya bilang saya tahu ulang tahun saya tanggal 24, saya tahu itu jatuh minggu ini, tapi saya tidak biasa mengingat-ingat hari apa sekarang.

Saya punya prinsip bahwa mengingat hari itu cuma penting untuk orang yang sedang bersekolah atau bekerja kantoran. Saya dulu juga (hampir) selalu ingat akan hari. Tapi saya tidak pernah peduli mengenai tanggal kecuali kalau sudah mendekati ujian atau gajian, hehehe. Pernah saya datang kuliah di pagi hari Rabu padahal sebenarnya kuliah pagi itu setiap hari Kamis. Karena sudah terlambat saya tidak bisa duduk di bagian belakang, tempat favorit saya.  Biasa, mahasiswa kan berlomba-lomba duduk di belakang biar tidak ketahuan kalau ngantuk atau kalau pelajarannya susah. Dengan agak bosan saya mencatat uraian dosen yang gayanya sangat monoton dan baru sadar ada yang salah satu jam kemudian. Ini mata kuliah Statistik, bukan Ekonometrika! Padahal saya sudah lulus Statistik tahun lalu. Dosennya memang sama. Dan mata kuliahnya penuh dengan angka-angka yang juga mirip pemecahan soalnya. Saya tidak bisa menandai teman-teman sekelas karena saya menunda mengambil mata kuliah ini sampai tahun depannya sehingga para mahasiswanya tidak saya kenal. Mereka satu angkatan di bawah saya.

Bagaimana ya caranya supaya benar-benar pasti? Masa saya harus tanya ke tetangga sebelah, “Ini kuliah apa sih?” Pasti saya akan terlihat seperti orang tolol. Saya baru yakin ketika daftar absen datang dan tertera bahwa ini adalah kuliah Statistik. Sialan! Apakah saya harus menghabiskan satu setengah jam berikutnya dengan bertopang dagu dan bete mendengarkan uraian dosen yang sia-sia saja mengharapkannya mengucapkan sesuatu yang menarik? Akhirnya dengan nekat saya berjalan dari bangku paling depan ke pintu keluar yang terletak di belakang, dengan semua mata mengikuti langkah kaki saya. Kabuur!

Masih muda sudah pikun. Pergi kuliah dengan sepatu putih di kaki kiri dan sepatu hijau di kaki kanan juga pernah. Pergi kuliah naik mobil pribadi dan kemudian pulangnya naik angkot sementara mobil masih menunggu dengan sabar di tempat parkir juga pernah. Lupa bawa dompet dan baru sadar setelah berada di angkot sehingga terpaksa minta dibayari penumpang lain juga pernah. Tapi bukan berarti saya ini seperti profesor linglung, ya. Saya justru ingat hal-hal yang dilupakan oleh banyak orang. Saya ingat pada anak baru di SMA dulu yang aneh sekali dan tidak bisa bergaul, tapi sanggup membuat gadis paling cantik di kelas kami jatuh sakit keesokan harinya karena ditolak (ini cuma goyonan a la kelas kami, karena dua peristiwa itu hanya dihubung-hubungkan secara asal). Saya ingat ada murid dari kelas lain yang nyelonong masuk ke kelas kami ketika tidak ada guru dan kemudian berkotbah panjang lebar tentang surga dan neraka di depan semua murid. Saya ingat artikel di koran yang penerbitnya adalah kelas kami sendiri yang isinya memberi alternatif profesi yang bisa dipilih sesudah lulus, di antaranya buka bengkel ketok magic. Padahal ketika saya tes semua ingatan itu pada teman sekelas, dia tidak ingat sama sekali! Nah lho, bukankah ingatan itu sebuah misteri?

Saya kok tidak yakin bahwa tajamnya ingatan itu mutlak berhubungan dengan usia. Ada orang yang lebih mudah mengingat kejadian di masa lalu, tapi pelupa dengan detil-detil membosankan yang dianggapnya tidak penting. Seperti saya, hehehe. Kalau anak kecil, Intan misalnya, ingatan jenis apa yang bakalan lekat di otaknya ya? Dengan usianya yang empat tahun, apakah bertahun-tahun kemudian dia akan teringat pada seorang perempuan baik hati dari Bandung yang sering mengijinkannya bermain-main di kamarnya dan sering memutarkan film Ratatouille atau Garfield dan meladeni kecerewetannya? Apa dia juga ingat bahwa perempuan itu ternyata tidak sebaik yang kelihatannya, karena barang-barang yang menarik seperti kamera, tempat pinsil, cairan pembersih kaca, kosmetik, payung, kipas, mouse, teropong semuanya disingkarkan ke atas lemari supaya tidak bisa diraihnya? Kotak tisu saja disingkirkan ke sana!

Saya harap dia ingat yang baik-baik saja tentang saya. Kalau bisa, kebaikan saya itu jadi berlebihan dalam ingatannya nanti. Ini mungkin saja terjadi. Sering kan, ingatan masa kecil kita yang serba besar, serba indah, serba lucu, dan serba-serba lainnya kemudian terbukti tidak sesuai dengan kenyataan. Jangankan ingatan masa kecil, ingatan kita sebagai manusia dewasa saja kadang tidak bisa diandalkan. Saya pernah pergi ke pelosok Jawa Barat yang tidak direkomendasikan untuk turis. Jalannya berbatu-batu, sempit, turun naik dengan tikungan tajam. Di sebelah sana saya melihat hutan cemara kecil yang dihalangi kabut, dengan warna-warna seperti dari negeri dongeng tempat para peri tinggal. Waktu serasa berhenti beberapa detik. Tidak ada yang lebih saya inginkan selain kembali lagi ke sana. Ketika saya kembali minggu depannya, keajaiban itu tidak ada lagi. Hanya ada hutan kecil dengan warna hijau yang membosankan. Mengecewakan sekali. Jangan-jangan waktu itu saya hanya berkhayal saja, atau kena tenung.

Sabtu, 11 Agustus 2012

Soal Penampilan dan Kebiasaan


Ketika saya sedang bicara dengan adik saya di telepon, Ayu sedang berada di ruangan yang sama. Setelah pembicaraan selesai dia bertanya dengan kagum, “Bisa juga ya berbahasa Sunda?” Saya menerangkan bahwa itu Bahasa Jawa, bukan Sunda. Untuk menjawab pandangannya yang bingung dan meminta penjelasan lebih lanjut, saya menerangkan bahwa saya lahir di Jawa Timur, besar di Bandung, tapi sebenarnya asli Padang. Mendengar penjelasan saya itu Ayu kelihatan sedikit kecewa. Hey, ada apa gerangan?

Bandung itu katanya terkenal dengan perempuan-perempuannya yang cantik. Dan kabar kabur seperti ini ternyata sampai juga ke Bali. Sudah beberapa kali  ketika mengatakan Bandung sebagai asal saya, orang mengomentari bahwa orang Bandung cantik-cantik. Saya tidak keburu ge-er, kan yang dibilang cantik itu orang Bandung, bukan saya? Selain soal cantik ini, beberapa orang juga suaranya menjadi halus seperti merindu ketika mengatakan Bandung fashion-nya bagus-bagus, baik pakaian maupun barang-barang kulit seperti tas dan sepatu. Ada benarnya juga sih, bahkan ratusan turis Malaysia datang ke Bandung setiap hari untuk belanja baju, tas, sepatu, dan barang sejenis lainnya.

Kekecewaan Ayu di awal tulisan ini mudah dijelaskan. Terang saja dia kecewa karena ternyata saya bukan asli Bandung! Dibilang cantik, tentu saja membanggakan untuk orang (asli) Bandung. Sudah cantik-cantik, modis lagi. Suku yang juga sering dibilang dipenuhi oleh orang-orang cantik dan tampan adalah Palembang dan Manado. Kalau Manado saya sudah membuktikan sendiri. Bahkan sampai ke pelosok-pelosok, mencari orang yang ganteng tidak terlalu sulit.

Kalau sedang jalan sendirian di Ubud dan ditawari berbagai macam jasa baik pijat, taksi, maupun pertunjukan tari Bali dalam Bahasa Inggris, saya jadi sering merasa tidak enak. Apa yang salah ya? Cat rambut yang saya pakai terlalu pirang? Baju saya terlalu bergaya turis? Kaca mata hitam saya sebaiknya dibuka saja? Maklum, walaupun berkulit sawo matang, kuning, sipit, atau pesek, sekarang ini bisa saja ternyata dia adalah orang Amerika atau Denmark atau Jerman atau apa saja. Tapi kemudian saya menghibur diri. Orang-orang lokal di sini sangat jarang berjalan kaki. Kalau ke Ubud mereka hanya lewat atau pergi ke pasar atau pura, itu pun biasanya menggunakan sepeda motor. Yang berjalan kaki pasti disangka turis.

Dalam soal menebak kebangsaan, orang-orang bule itu menurut saya tidak begitu pintar dalam membedakan orang Asia menurut ciri-ciri fisiknya. Masa saya yang sudah jelas-jelas kulitnya coklat sering disangka orang Cina atau Jepang? Kalau kita kan sudah mengerti: Cina, Korea, Jepang, Taiwan itu satu kelompok, sedangkan Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, itu masuk ke kelompok yang lain. Ciri-cirinya beda banget! Ada juga sih orang Jepang yang mirip Indonesia atau orang Indonesia mirip Jepang, tapi itu kan cuma ‘kasus’. Tapi kalau dipikir-pikir memang tidak mudah membedakan kebangsaan seseorang. Saya juga tidak bisa membedakan orang Inggris dari orang Prancis atau Jerman misalnya, kecuali kalau mereka buka mulut dan bicara dalam bahasa masing-masing.

Tebak-tebakan soal kebangsaan ini cukup menarik buat saya. Dengan kesukaan orang Korea akan operasi plastik yang sudah terkenal itu, yang menimbulkan debat berkepanjangan sampai menjurus ke pertengkaran di internet, setiap melihat perempuan sangat cantik berkulit kuning dan halus sekali di Ubud saya langsung yakin bahwa dia adalah orang Korea. Apalagi kalau dia jalan-jalan dengan menggunakan sepatu super tinggi, baju panjang sifon berbunga atau berwarna ngejreng, tas modis dan bertopi yang serba aduhai! Konon orang-orang Korea sangat terobsesi dengan penampilan yang sempurna.

‘Dihakimi’ berdasarkan ciri-ciri fisik kadang tidak enak, tapi lebih tidak enak kalau penghakiman itu didasarkan pada adat dan kebiasaan. Misalnya, kalau ada orang yang ngotot menawar harga di pasar suvenir Ubud, banyak yang memastikan asalnya dari Cina. Bagaimana kalau ada seorang di antara mereka tersenyum dengan senang dan bertanya, “Kok tahu saya dari Cina?”, dan jawabannya adalah “karena Anda ngotot menawar,” tentu senyum itu segera lenyap dari wajahnya. Maklum, kebijakan ekonomi mereka adalah memberlakukan dumping dan devaluasi dengan sengaja, jadi harga-harga di negara kita (atau negara mana pun) jadi super mahal buat mereka. Kecuali yang kaya tentunya. Saran untuk orang Cina: kalau ingin beli barang murah di luar negeri beli saja produk Cina yang sudah ada di mana-mana. Dijamin murah :).

Saya pernah jadi korban penghakiman seperti itu juga. Ketika sedang ikut kelas bahasa internasional, gurunya mengajak kami menyebutkan klise tentang bangsa-bangsa yang pesertanya ada di kelas kami. Hasilnya adalah, orang Amerika ramah dan suka menyapa siapa saja, orang Jerman disiplin tapi agak kaku, orang Italia berbicara diiringi dengan gerak tangan dan sangat mencintai ibunya, orang Jepang rajin, tekun, bersih, teratur. Waktu giliran orang Indonesia, sebelum ada yang sempat bicara, gurunya langsung menyela, “orang Indonesia itu pokoknya semuanya kebalikan dari orang Jepang.” Wah, ini sudah termasuk pelecehan namanya! Heran deh, orang seperti itu kok bisa diterima mengajar di kelas internasional yang jelas-jelas pesertanya berasal dari mana-mana?

Tapi saya pikir tidak perlu juga marah-marah. Bersikap defensif tidak ada gunanya. Seperti teman saya Vita yang dengan ringan menceritakan kejadian nyata yang dialami suaminya. Selesai mengajar suaminya pergi ke tempat parkiran kampus. Dilihatnya ada orang di dalam mobil miliknya. Orang Jawa Tengah kan sering dianggap bersikap sangat sopan dan takut menyakiti perasaan orang kan? Suami Vita mendekati mobil itu, diketuknya jendela mobil dan berkata dengan ragu-ragu karena takut menyakiti hati, “Mas, kalau nggak salah, ini mobil saya deh.” Brrrmmm langsung saja orang itu tancap gas membawa kabur mobilnya! Vita tertawa-tawa ketika cerita, “Dasar orang Jawa, bukannya teriak maling malah bersopan-santun pada pencuri.” Padahal Vita itu orang Jawa juga lho!

Saya jadi berkesimpulan bahwa meledek suku, bangsa, ras itu tidak apa-apa asal dilakukan oleh anggotanya sendiri. Ada seorang yang sangat kebingungan dan putus asa karena di tangannya tergenggam buah simalakama. Serba salah. Mau dimakan, ibunya akan mati. Kalau tidak dimakan, ayahnya yang mati. Lewatlah orang Padang di depannya. Orang yang sedang sedih hebat ini minta nasihat apa yang harus dilakukan. Orang Padang itu santai saja menjawab, “Jual saja buahnya.” Nah, tuh, meledek orang Padang tidak apa-apa kan? Asal yang meledek orang Padang sendiri!

Kemampuan untuk menertawakan diri sendiri itu penting lho, katanya di situlah tanda kedewasaan. Vita, teman saya tadi, juga pernah sekamar kos dengan saya. Waktu itu belum banyak mahasiswa yang punya komputer pribadi. Vita memperbolehkan yang lain memakai komputernya, dengan menyewa tentu saja, tapi dia kesal ketika tidak ada yang membayar. Disuruhnya saya menagih. Lho, kenapa saya? “Kan kamu orang Padang,” kata Vita. Komentar lain yang sering saya dengar adalah, “Kok nggak suka pedes? Kamu kan orang Padang.” Saking seringnya pertanyaan retoris ini diajukan saya sampai bosan mendengarnya.

Saya pernah baca buku yang bagus mengenai kajian beberapa suku termasuk Padang. Bukan soal sukanya orang Padang pada cabe, kepandaian berdagang, atau religius, tapi dilihat dari sisi psikologi dan bagaimana rasanya jadi orang Padang. Penasaran kan? Pingin tahu? Nanti saja ya :).

Rabu, 08 Agustus 2012

Mari Bercerita


Ubud memberi saya ide untuk bercerita. Seandainya saya masih tinggal di Bandung, apa yang akan saya ceritakan tentang kota itu ya? Jalanannya yang macet, jajanannya yang macam-macam, factory outletnya yang bertebaran di mana-mana, dan perempuannya yang cantik-cantik (maunya). Saya bayangkan saya harus keliling kota untuk menulis itu semua. Bisa juga sih diam di rumah saja dan menulis tentang teman-teman saya sendiri. Mungkin sebaiknya namanya disamarkan agar tidak ada yang tersinggung, hehehe.

Bepergian sepertinya selalu memberi ide untuk bercerita. Dalam hal saya, tinggal di kota lain. Semua terlihat baru dan tidak biasa. Itu sebabnya kenapa orang bisa tiba-tiba dihinggapi keinginan tak tertahan untuk bercerita setelah pulang dari bepergian. Bisa bercerita langsung pada teman sampai teman itu bosan dan menganggapnya suka pamer. Bisa juga menuangkan pengalaman itu secara tertulis. Jadi, mari kita mulai bercerita.

Waktu kelas 1 SMP dulu seorang guru Bahasa Indonesia menyuruh semua murid maju satu per satu untuk mengisahkan satu cerita. Aduh, bencinya saya pada tugas ini! Ketika tiba giliran saya, saya maju dengan kaki yang diseret dan jantung berdebar karena maunya saya tetap duduk manis di bangku saja. Saya menceritakan cerita yang saya ambil dari majalah Bobo dengan pelan sekali, terbata-bata, tanpa intonasi serta mata tertunduk.  Kembali ke bangku seperti dibebaskan dari hukuman berat. Teman sebangku saya bertanya, “Tadi kamu ngomong apa sih?”

Saya lebih suka bercerita secara tertulis. Tapi dari berbagai tugas yang diberikan oleh guru-guru, kecenderungan saya adalah terlalu detil dalam bercerita. Misalnya, ketika disuruh menulis tentang warung yang kotor, saya ngotot sekali menggambarkan tentang piring, air cucian, lantai, lalat, tempat sampah yang semuanya serba kotor dan menjijikkan secara nyinyir sehingga tulisan saya jadi seperti memaksa orang untuk percaya. Padahal, kalau cuma dibilang gelasnya masih ada bekas lipstiknya, itu cukup mengejutkan dan membuat orang bereaksi jijik kan?

Saya baru bersemangat menulis ketika ikut matrikulasi sebelum mengikuti program penerjemahan Bahasa Prancis. Guru saya yang native speaker  mencecar kami dengan tugas menulis hampir setiap hari. Walaupun banyak teman sekelas yang tidak menyerahkan tugas (dan tidak diberi sanksi) saya berusaha mengerjakan setiap tulisan. Biasanya kami disuruh menulis sepanjang 1.000 kata dengan tema-tema menarik seperti apakah kecerdasan itu, apa makna dongeng bagi anak, evolusi pemikiran manusia. Belum pernah saya diharuskan menulis sebanyak itu, apalagi dalam bahasa asing. Ketika belajar mengenai personifikasi kami diberi tugas membuat puisi berjudul La Jeunesse (masa muda) yang terdiri dari 4 baris dengan menggunakan kata kerja yang boleh dipilih sendiri. Jadi puisi saya bunyinya adalah: meloncat-loncat riang di bukit di musim semi, mencicipi madu bunga-bunga musim panas, berlari di antara daun-daun keemasan musim gugur, ledakan tawanya mencairkan es musim dingin. Sederhana sekali sih, kalau di Prancis sana mungkin ini adalah hasil karya anak SD, tapi saya mendapat TB  (tres bien alias bagus sekali) untuk ini. Hehehe, terima kasih guru yang baik hati.

Mungkin pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah sudah dibuat lebih menyenangkan sekarang ini (mudah-mudahan) dan tidak sekaku, seformal dan semembosankan seperti di zaman saya dulu. Anak kan sebaiknya diajari menulis, bercerita, berpendapat yang sederhana saja dulu dan sedini mungkin dengan metoda yang menyenangkan. Ada kejadian lho, mahasiswa satu angkatan di bawah saya yang sudah di depan para dosen penguji untuk mempresentasikan skripsinya kemudian tidak bisa mulai mengucapkan satu patah kata pun. Terpaksa ujian skripsinya ditunda.

 Saya tidak tahu caranya agar berani bicara di depan orang banyak, la wong saya sendiri tidak berani. Apalagi membuat pembicaraan kita menarik bagi para pendengar. Tapi ada satu kejadian yang boleh jadi bisa menginspirasi kita. Ketika baru pertama kali belajar Bahasa Prancis kami diharuskan menghapal sebuah puisi yang tujuan sebenarnya untuk menghapal kosa kata. Judulnya lupa, tapi bisa dikatakan itu adalah semacam catatan harian anak malas. Bunyinya lebih kurang begini: hari Senin mandi-mandi di kolam, hari Selasa senang-senang di kota, hari Rabu main-main di hutan, dst sampai hari Minggu pesta gila-gilaan. Satu-satu disuruh maju. Ada perempuan di kelas kami yang badannya kecil sekali dan mukanya seperti anak kecil juga. Dia maju dengan cuek dan mulai mengucapkan puisinya dengan lantang: “Le lundi (hari Senin)”…. Diam. Rupanya dia lupa kelanjutannya. Diulangi lagi dengan lebih keras “Le lundi…” Diam lagi. Dicobanya lagi dengan semakin keras. “Le lundi!” “Le lundi!!!” “LE LUNDI!!!!” teriaknya setinggi langit. Seluruh kelas tertawa. Walau gagal mengucapkan puisi dia tidak gagal jadi pelawak.

Sekarang ini orang mudah sekali menulis dan menayangkan ceritanya. Buat saja blog! Tidak perlu mengirimkan cerita kita ke majalah-majalah atau koran dan menunggu berbulan-bulan untuk dimuat (itu pun kalau dimuat). Saya suka ‘jalan-jalan’ ke berbagai blog ini. Ada yang menarik, ada yang membosankan, ada yang kasar, ada yang diulang-ulang, ada yang lucu, ada yang inspiratif. Ini biasa. Hanya satu keluhan saya. Kalau penulisnya perempuan, banyak yang ‘terjatuh’ ke dalam curhat. Ada seorang yang menceritakan kesialannya dalam hidup secara bertele-tele. Selalu gagal mendapat pekerjaan yang diinginkan, depresi dengan pekerjaannya sekarang, hidupnya yang penuh kehampaan. Membaca tulisannya itu saya seperti kelelep dan ingin minta tolong diselamatkan dari banjir kata-kata yang mencekik.

Saya sebenarnya lebih suka blog yang bertema, apakah itu pendidikan, jalan-jalan, masak-masak, atau cerita sehari-hari. Ada blog yang menarik, tapi eh… setelah sukses membuat berbagai tulisan bertema pendidikan dengan cara yang menarik, dia memunculkan tulisan mengenai keharuan hatinya melihat buah hatinya yang “terlihat damai sekali ketika sedang tidur”. Ada yang blognya isinya berbobot, maklum dia sudah pernah menerbitkan buku dan opininya tajam serta cerdas, lagi-lagi… memunculkan cerita pertemuannya dengan seseorang yang membuatnya berurai air mata setiap 10 menit serta cintanya yang sangat dalam pada kekasihnya, lengkap dengan foto-foto mereka berdua dalam pose sedang kasmaran. Toloong! Memang menulis itu bisa jadi terapi, tapi pikirkan juga dong orang-orang yang membacanya. :(

Saya paling sedih kalau mendengar anak kecil diajari membaca puisi yang sedih-sedih dan sendu-sendu, atau terlalu serius. Biasanya temanya tentang kasih ibu atau sayangnya si anak pada ibu. Sebaliknya, saya suka tulisan anak kecil yang menceritakan tentang keluarga monyet yang bijaksana: tidak melihat, tidak mendengar, dan tidak bicara yang buruk. Dilanjutkan dengan cerita jujur mengenai keluarganya sendiri, di antaranya Mama yang suka sekali fesbuk-an. Ini baru cerita yang bagus! Saya rasa, kalau anak terlalu banyak menonton sinetron di televisi yang penuh dengan air mata terurai dan kemalangan beruntun yang menimpa seorang gadis cantik dan baik hati, kalau besar nanti dia akan menulis blog yang penuh dengan curhat. Hehehe.

Jumat, 03 Agustus 2012

Belajar Bahasa


Kebanyakan dari kita selalu mengatakan bahwa Bahasa Indonesia itu mudah dipelajari. Tidak seperti bahasa-bahasa Barat yang rumit tata bahasanya, mulai dari kala (tenses), konjugasi, gerund, conditional, dsb (ampun deh) atau bahasa Cina dan Jepang yang njelimet tulisannya, Bahasa Indonesia mudah dan tidak ribet. Tapi betulkah itu? Coba bayangkan bahwa kamu seorang asing yang baru belajar bahasa Indonesia secara informal. Bagaimana cara membedakan antara ‘ada apa’ (ketika penasaran melihat ada ramai-ramai di jalan), ‘adanya apa’ (pertanyaan yang diajukan pada pelayan restoran yang bilang tidak ada es campur), ‘apa adanya’ (persyaratan untuk calon suami apabila tidak juga menikah), ‘apa-apa ada’ (persyaratan untuk suami yang tadinya disembunyikan sebelum menikah), ‘ada apa-apanya’ (penasaran pada sahabat yang tidak mau lagi menyapa). Bingung kan?

Menurut saya keistimewaan Bahasa Indonesia itu, sekaligus kerumitannya, terletak pada awalan dan akhiran. Bayangkan, dari satu kata kerja ‘ajar’ saja bisa tercipta banyak sekali makna. Mulai dari belajar, mengajar, pelajar, pengajar, ajaran, pembelajaran, pengajaran, membelajarkan, diajar, pelajaran, mempelajari. Apalagi kalau ditambah dengan ‘mata ajaran’ dan ‘k****g ajar’. Semakin dan semakin mumet! Saking rumitnya aturan mengenai awalan, akhiran dan sisipan ini, dalam sebuah buku praktis belajar Bahasa Indonesia, penulisnya yang orang asing mengatakan bahwa untuk sementara pakai saja kata dasar, karena orang Indonesia juga hanya menggunakan kata kerja dalam bentuk dasar dalam percakapan sehari-hari. Nah, yang terakhir ini jelas-jelas salah. Yang benar adalah, dalam percakapan sehari-hari kita sangat dipengaruhi oleh bahasa daerah. Saya yang bertahun-tahun tinggal di Bandung yang jaraknya dekat dengan Jakarta sangat dipengaruhi oleh kota metropolitan itu, yang mendapat pengaruh besar dari Bahasa Betawi. Menghadapi jadi ngadepin, merusakkan jadi ngerusakin, memperhatikan jadi meratiin. Awalan dan akhirannya masih ada kan?

Saya termasuk orang yang susah sekali belajar bahasa secara informal. Sudah sepuluh bulan tinggal di Ubud, kosa kata Bali saya hanyalah yeh (air putih), joh (jauh), melali-lali (jalan-jalan), mulih (pulang). Sudah. Cuma itu. Kalau sedang iseng saya akan membuka kamus Bahasa Bali dan mempraktikkannya dengan berkali-kali menyuruh Intan untuk ‘berdiri’, ‘duduk’, ‘sembunyi’ dalam Bahasa Bali. Pertama dia senang, lama-lama mukanya cemberut sampai ingin menangis. Hahaha. Esok harinya kata yang baru saya pelajari itu pun sudah lenyap entah ke mana. Apa ada hubungannya dengan umur ya? Saya percaya bahwa 85% kosa kata Bahasa Inggris saya terkumpul sebelum umur 25. Setelah itu hanya sedikiit saja penambahannya. Daftar kata yang saya buat ketika masih jadi penerjemah beberapa tahun yang lalu, seperti begirt, excoriation, miscreant, inditer, reperuse, ensconded, hanya jadi kata-kata eksotis yang harus dicari lagi dan lagi di kamus, padahal di halaman sebelumnya sudah terdapat kata-kata itu.

Oleh karena itu saya selalu berbesar hati dan memaklumi orang-orang asing di sini yang masih juga belum bisa berbahasa Indonesia padahal sudah beberapa bulan, bahkan tahun, tinggal di Ubud. Saya tidak lagi memaksakan ‘kredo’ bahwa Bahasa Indonesia itu mudah. Ada teman saya orang Australia yang selalu bilang ‘susu batu’ untuk mentega. Dia tidak percaya ketika saya beri tahu kata yang benar. Dan ketika dia menanyakan susu batu di pasar swalayan kepada pelayan yang terbengong-bengong tidak mengerti, mukanya menunjukkan rasa tidak puas. Menurutnya, kalau ada es batu, kenapa tidak ada susu batu? Mentega kan asalnya dari susu juga, dan bentuknya padat. Benar juga, ya. Hihihi.

Kenalan saya yang lain bersemangat sekali ketika baru belajar Bahasa Indonesia. Dengan bangga dia membetulkan ucapan temannya. “Yang benar itu, kopinya enak, bukan kopinya bagus,” katanya menggurui. Ketika ketemu dengannya lagi beberapa minggu kemudian dia sudah segan membicarakan kemajuan berbahasanya. “Ternyata belajar bahasa itu harus rajin mengulang, bukan hanya belajar ketika gurunya datang,” katanya dengan lesu. Dua minggu berikutnya guru privatnya pun diberhentikan. Ini mengingatkan saya pada banyak orang yang ingin bisa lancar berbahasa Inggris hanya dalam waktu 3-4 bulan. Mana bisa?

Yang sering saya temui pada orang-orang yang baru belajar bahasa Indonesia ini adalah pemilihan kata yang kurang tepat.  Misalnya, kabar bagus, hari bagus, makanan bagus. Saking populernya penggunaan kata bagus yang kurang tepat ini, ada sebuah restoran di Ubud yang bernama Pizza Bagus. Entah ini disengaja atau kurang mengerti istilah yang tepat, saya tidak tahu. Ada juga toko peralatan tidur yang bernama Mimpi Manis. Memang bisa dimengerti sih maksudnya, tapi mana ada orang Indonesia yang berkata, “Tadi malam saya mimpi manis.” ? Orang-orang yang bahasa ibunya Bahasa Inggris juga kesulitan untuk menghentikan kebiasaannya menempatkan kata sifat sebelum kata benda. Yang benar itu rumah besar, bukan besar rumah, dan anak nakal, bukan nakal anak. Tapi kadang-kadang mereka kebablasan, karena setahunya penempatan kata berbeda dengan aturan Bahasa Inggris, semuanya jadi dibalik-balik: apa untuk, manis tidak, pergi sudah. :(

Di Ubud, dan mungkin di tempat turistik lain di Bali, orang yang berbahasa Inggris bisa survive. Tukang kebun dan pembantu rumah tangga saja bisa berbahasa Inggris, walaupun seringnya tidak lancar. Jadi untuk apa belajar Bahasa Indonesia? Mungkin ini juga alasannya kenapa saya tidak bisa berbahasa Sunda, padahal sudah lama sekali tinggal di Bandung. Bahasa Indonesia sudah cukup untuk berkomunikasi dengan siapa saja, bahkan di sekolah hampir tidak pernah terdengar orang berbahasa Sunda. Tapi bukan berarti saya tidak mengerti bahasa Sunda, lho. Jadi, kalau mau ngomongin saya di depan saya, jangan pakai bahasa Sunda ya, karena saya pasti mengerti.

Kalau tidak ingin lupa pada bahasa yang sudah pernah kita kenal atau pelajari, menurut saya kita harus sering mempraktikkannya. Ini sebabnya kenapa sampai sekarang saya masih bisa berbahasa Jawa, walaupun sudah meninggalkan tempat kelahiran saya di Jawa Timur sejak berumur 11 tahun. Kuncinya, karena sampai sekarang saya masih berbahasa Jawa pada kakak dan adik saya. Rasanya bangga juga kalau ada teman yang kagum mendengar saya berbahasa Jawa padahal saya bukan orang Jawa. Tapi pernah juga saya kena batunya. Ketika sedang menawar barang dagangan di Jogja, saya menggunakan Bahasa Jawa dengan harapan pedagangnya akan memberi harga murah. Eh, pedagangnya kemudian berbahasa Jawa kromo, padahal saya ngertinya hanya bahasa ngoko (rendahan). Terpaksa saya bilang, “Yo wis, iki tak bayar, sak karepmu piro.” (ya sudah, saya bayar berapa pun maumu). Sial!

Cara lain untuk tidak melupakan bahasa asing adalah dengan mengajari orang lain! Ini pernah saya lakukan dengan menggunakan surel. ‘Murid’ saya orang Amerika. Dia belajar Bahasa Prancis secara otodidak, tapi sering merasa kurang semangat karena mendapat banyak kesulitan. Saya sendiri pernah bertahun-tahun belajar Bahasa Prancis tapi sudah lama tidak mempraktikkannya lagi. Jadinya klop kan? Simbiosis mutualisma. Caranya, saya menulis mengenai apa saja, entah kehidupan sehari-hari atau opini saya mengenai topik tertentu, dalam Bahasa Prancis. Dia berusaha mengerti semua yang saya tulis dengan bantuan buku dan kamus. Kalau ada yang tidak mengerti dia bertanya. Saya sering tertantang dengan pertanyaannya. Senang kalau bisa memberi penjelasan lengkap, tapi kadang-kadang saya harus mengakui bahwa yang saya tulis kemarin itu tata bahasanya memang salah.

Saya sudah tidak surat-suratan lagi dengannya sekarang. Surat saya pada teman saya Lilly di Australia yang dulunya menggunakan Bahasa Prancis pun sekarang sudah menggunakan Bahasa Indonesia. Wah, bisa-bisa Bahasa Prancis saya hilang tak berbekas nih!