Rabu, 08 Agustus 2012

Mari Bercerita


Ubud memberi saya ide untuk bercerita. Seandainya saya masih tinggal di Bandung, apa yang akan saya ceritakan tentang kota itu ya? Jalanannya yang macet, jajanannya yang macam-macam, factory outletnya yang bertebaran di mana-mana, dan perempuannya yang cantik-cantik (maunya). Saya bayangkan saya harus keliling kota untuk menulis itu semua. Bisa juga sih diam di rumah saja dan menulis tentang teman-teman saya sendiri. Mungkin sebaiknya namanya disamarkan agar tidak ada yang tersinggung, hehehe.

Bepergian sepertinya selalu memberi ide untuk bercerita. Dalam hal saya, tinggal di kota lain. Semua terlihat baru dan tidak biasa. Itu sebabnya kenapa orang bisa tiba-tiba dihinggapi keinginan tak tertahan untuk bercerita setelah pulang dari bepergian. Bisa bercerita langsung pada teman sampai teman itu bosan dan menganggapnya suka pamer. Bisa juga menuangkan pengalaman itu secara tertulis. Jadi, mari kita mulai bercerita.

Waktu kelas 1 SMP dulu seorang guru Bahasa Indonesia menyuruh semua murid maju satu per satu untuk mengisahkan satu cerita. Aduh, bencinya saya pada tugas ini! Ketika tiba giliran saya, saya maju dengan kaki yang diseret dan jantung berdebar karena maunya saya tetap duduk manis di bangku saja. Saya menceritakan cerita yang saya ambil dari majalah Bobo dengan pelan sekali, terbata-bata, tanpa intonasi serta mata tertunduk.  Kembali ke bangku seperti dibebaskan dari hukuman berat. Teman sebangku saya bertanya, “Tadi kamu ngomong apa sih?”

Saya lebih suka bercerita secara tertulis. Tapi dari berbagai tugas yang diberikan oleh guru-guru, kecenderungan saya adalah terlalu detil dalam bercerita. Misalnya, ketika disuruh menulis tentang warung yang kotor, saya ngotot sekali menggambarkan tentang piring, air cucian, lantai, lalat, tempat sampah yang semuanya serba kotor dan menjijikkan secara nyinyir sehingga tulisan saya jadi seperti memaksa orang untuk percaya. Padahal, kalau cuma dibilang gelasnya masih ada bekas lipstiknya, itu cukup mengejutkan dan membuat orang bereaksi jijik kan?

Saya baru bersemangat menulis ketika ikut matrikulasi sebelum mengikuti program penerjemahan Bahasa Prancis. Guru saya yang native speaker  mencecar kami dengan tugas menulis hampir setiap hari. Walaupun banyak teman sekelas yang tidak menyerahkan tugas (dan tidak diberi sanksi) saya berusaha mengerjakan setiap tulisan. Biasanya kami disuruh menulis sepanjang 1.000 kata dengan tema-tema menarik seperti apakah kecerdasan itu, apa makna dongeng bagi anak, evolusi pemikiran manusia. Belum pernah saya diharuskan menulis sebanyak itu, apalagi dalam bahasa asing. Ketika belajar mengenai personifikasi kami diberi tugas membuat puisi berjudul La Jeunesse (masa muda) yang terdiri dari 4 baris dengan menggunakan kata kerja yang boleh dipilih sendiri. Jadi puisi saya bunyinya adalah: meloncat-loncat riang di bukit di musim semi, mencicipi madu bunga-bunga musim panas, berlari di antara daun-daun keemasan musim gugur, ledakan tawanya mencairkan es musim dingin. Sederhana sekali sih, kalau di Prancis sana mungkin ini adalah hasil karya anak SD, tapi saya mendapat TB  (tres bien alias bagus sekali) untuk ini. Hehehe, terima kasih guru yang baik hati.

Mungkin pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah sudah dibuat lebih menyenangkan sekarang ini (mudah-mudahan) dan tidak sekaku, seformal dan semembosankan seperti di zaman saya dulu. Anak kan sebaiknya diajari menulis, bercerita, berpendapat yang sederhana saja dulu dan sedini mungkin dengan metoda yang menyenangkan. Ada kejadian lho, mahasiswa satu angkatan di bawah saya yang sudah di depan para dosen penguji untuk mempresentasikan skripsinya kemudian tidak bisa mulai mengucapkan satu patah kata pun. Terpaksa ujian skripsinya ditunda.

 Saya tidak tahu caranya agar berani bicara di depan orang banyak, la wong saya sendiri tidak berani. Apalagi membuat pembicaraan kita menarik bagi para pendengar. Tapi ada satu kejadian yang boleh jadi bisa menginspirasi kita. Ketika baru pertama kali belajar Bahasa Prancis kami diharuskan menghapal sebuah puisi yang tujuan sebenarnya untuk menghapal kosa kata. Judulnya lupa, tapi bisa dikatakan itu adalah semacam catatan harian anak malas. Bunyinya lebih kurang begini: hari Senin mandi-mandi di kolam, hari Selasa senang-senang di kota, hari Rabu main-main di hutan, dst sampai hari Minggu pesta gila-gilaan. Satu-satu disuruh maju. Ada perempuan di kelas kami yang badannya kecil sekali dan mukanya seperti anak kecil juga. Dia maju dengan cuek dan mulai mengucapkan puisinya dengan lantang: “Le lundi (hari Senin)”…. Diam. Rupanya dia lupa kelanjutannya. Diulangi lagi dengan lebih keras “Le lundi…” Diam lagi. Dicobanya lagi dengan semakin keras. “Le lundi!” “Le lundi!!!” “LE LUNDI!!!!” teriaknya setinggi langit. Seluruh kelas tertawa. Walau gagal mengucapkan puisi dia tidak gagal jadi pelawak.

Sekarang ini orang mudah sekali menulis dan menayangkan ceritanya. Buat saja blog! Tidak perlu mengirimkan cerita kita ke majalah-majalah atau koran dan menunggu berbulan-bulan untuk dimuat (itu pun kalau dimuat). Saya suka ‘jalan-jalan’ ke berbagai blog ini. Ada yang menarik, ada yang membosankan, ada yang kasar, ada yang diulang-ulang, ada yang lucu, ada yang inspiratif. Ini biasa. Hanya satu keluhan saya. Kalau penulisnya perempuan, banyak yang ‘terjatuh’ ke dalam curhat. Ada seorang yang menceritakan kesialannya dalam hidup secara bertele-tele. Selalu gagal mendapat pekerjaan yang diinginkan, depresi dengan pekerjaannya sekarang, hidupnya yang penuh kehampaan. Membaca tulisannya itu saya seperti kelelep dan ingin minta tolong diselamatkan dari banjir kata-kata yang mencekik.

Saya sebenarnya lebih suka blog yang bertema, apakah itu pendidikan, jalan-jalan, masak-masak, atau cerita sehari-hari. Ada blog yang menarik, tapi eh… setelah sukses membuat berbagai tulisan bertema pendidikan dengan cara yang menarik, dia memunculkan tulisan mengenai keharuan hatinya melihat buah hatinya yang “terlihat damai sekali ketika sedang tidur”. Ada yang blognya isinya berbobot, maklum dia sudah pernah menerbitkan buku dan opininya tajam serta cerdas, lagi-lagi… memunculkan cerita pertemuannya dengan seseorang yang membuatnya berurai air mata setiap 10 menit serta cintanya yang sangat dalam pada kekasihnya, lengkap dengan foto-foto mereka berdua dalam pose sedang kasmaran. Toloong! Memang menulis itu bisa jadi terapi, tapi pikirkan juga dong orang-orang yang membacanya. :(

Saya paling sedih kalau mendengar anak kecil diajari membaca puisi yang sedih-sedih dan sendu-sendu, atau terlalu serius. Biasanya temanya tentang kasih ibu atau sayangnya si anak pada ibu. Sebaliknya, saya suka tulisan anak kecil yang menceritakan tentang keluarga monyet yang bijaksana: tidak melihat, tidak mendengar, dan tidak bicara yang buruk. Dilanjutkan dengan cerita jujur mengenai keluarganya sendiri, di antaranya Mama yang suka sekali fesbuk-an. Ini baru cerita yang bagus! Saya rasa, kalau anak terlalu banyak menonton sinetron di televisi yang penuh dengan air mata terurai dan kemalangan beruntun yang menimpa seorang gadis cantik dan baik hati, kalau besar nanti dia akan menulis blog yang penuh dengan curhat. Hehehe.

4 komentar:

  1. Hahahaha! Sudah 1 bulan Saya rajin ke blog ini. Suka!
    Saya jg punya keel mahal suka menulis dg sangat detail, tapi akhir ya selalu khanate kalau tulisan Saya terlalu panjang. Padahal setelah Dibaca ulang, nggak juga kok.

    Salam kenal:)

    http://erikmarangga. blogspot.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal juga Erik:) Makasih untuk komennya. Nanti aku mampir juga ya.

      Hapus
  2. tjapoenk.blogspot.com18 Agustus 2012 pukul 04.03

    Seneng banget tulisan ini. Hehe. Api aku malah nggak prnh jalan2 ke blogg lain. Cara nyarinya gmn ya? Yang asyik gitu.

    Untuk erik, salam kenal. Dari tjapoenk.blogspot.com. Sudilah mampir ke blog saya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salah satu cara pergi ke blog lain, lihat daftar blog yang di-link pada blog yang sdh dikenal. Dari blognya Erik misalnya, di sebelah kanan ada daftarnya.

      Hapus