Ubud memberi saya ide untuk bercerita. Seandainya saya masih
tinggal di Bandung, apa yang akan saya ceritakan tentang kota itu ya?
Jalanannya yang macet, jajanannya yang macam-macam, factory outletnya yang bertebaran di mana-mana, dan perempuannya
yang cantik-cantik (maunya). Saya bayangkan saya harus keliling kota untuk
menulis itu semua. Bisa juga sih diam di rumah saja dan menulis tentang
teman-teman saya sendiri. Mungkin sebaiknya namanya disamarkan agar tidak ada
yang tersinggung, hehehe.
Bepergian sepertinya selalu memberi ide untuk bercerita. Dalam
hal saya, tinggal di kota lain. Semua terlihat baru dan tidak biasa. Itu
sebabnya kenapa orang bisa tiba-tiba dihinggapi keinginan tak tertahan untuk
bercerita setelah pulang dari bepergian. Bisa bercerita langsung pada teman
sampai teman itu bosan dan menganggapnya suka pamer. Bisa juga menuangkan
pengalaman itu secara tertulis. Jadi, mari kita mulai bercerita.
Waktu kelas 1 SMP dulu seorang guru Bahasa Indonesia
menyuruh semua murid maju satu per satu untuk mengisahkan satu cerita. Aduh,
bencinya saya pada tugas ini! Ketika tiba giliran saya, saya maju dengan kaki
yang diseret dan jantung berdebar karena maunya saya tetap duduk manis di
bangku saja. Saya menceritakan cerita yang saya ambil dari majalah Bobo dengan
pelan sekali, terbata-bata, tanpa intonasi serta mata tertunduk. Kembali ke bangku seperti dibebaskan dari
hukuman berat. Teman sebangku saya bertanya, “Tadi kamu ngomong apa sih?”
Saya lebih suka bercerita secara tertulis. Tapi dari
berbagai tugas yang diberikan oleh guru-guru, kecenderungan saya adalah terlalu
detil dalam bercerita. Misalnya, ketika disuruh menulis tentang warung yang
kotor, saya ngotot sekali menggambarkan tentang piring, air cucian, lantai,
lalat, tempat sampah yang semuanya serba kotor dan menjijikkan secara nyinyir
sehingga tulisan saya jadi seperti memaksa orang untuk percaya. Padahal, kalau cuma
dibilang gelasnya masih ada bekas lipstiknya, itu cukup mengejutkan dan membuat
orang bereaksi jijik kan?
Saya baru bersemangat menulis ketika ikut matrikulasi
sebelum mengikuti program penerjemahan Bahasa Prancis. Guru saya yang native speaker mencecar kami dengan tugas menulis hampir
setiap hari. Walaupun banyak teman sekelas yang tidak menyerahkan tugas (dan
tidak diberi sanksi) saya berusaha mengerjakan setiap tulisan. Biasanya kami
disuruh menulis sepanjang 1.000 kata dengan tema-tema menarik seperti apakah
kecerdasan itu, apa makna dongeng bagi anak, evolusi pemikiran manusia. Belum
pernah saya diharuskan menulis sebanyak itu, apalagi dalam bahasa asing. Ketika
belajar mengenai personifikasi kami diberi tugas membuat puisi berjudul La Jeunesse (masa muda) yang terdiri
dari 4 baris dengan menggunakan kata kerja yang boleh dipilih sendiri. Jadi
puisi saya bunyinya adalah: meloncat-loncat riang di bukit di musim semi, mencicipi
madu bunga-bunga musim panas, berlari di antara daun-daun keemasan musim gugur,
ledakan tawanya mencairkan es musim dingin. Sederhana sekali sih, kalau di
Prancis sana mungkin ini adalah hasil karya anak SD, tapi saya mendapat TB (tres
bien alias bagus sekali) untuk ini. Hehehe, terima kasih guru yang baik
hati.
Mungkin pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah sudah
dibuat lebih menyenangkan sekarang ini (mudah-mudahan) dan tidak sekaku,
seformal dan semembosankan seperti di zaman saya dulu. Anak kan sebaiknya diajari
menulis, bercerita, berpendapat yang sederhana saja dulu dan sedini mungkin dengan
metoda yang menyenangkan. Ada kejadian lho, mahasiswa satu angkatan di bawah
saya yang sudah di depan para dosen penguji untuk mempresentasikan skripsinya
kemudian tidak bisa mulai mengucapkan satu patah kata pun. Terpaksa ujian
skripsinya ditunda.
Saya tidak tahu caranya
agar berani bicara di depan orang banyak, la
wong saya sendiri tidak berani. Apalagi membuat pembicaraan kita menarik
bagi para pendengar. Tapi ada satu kejadian yang boleh jadi bisa menginspirasi
kita. Ketika baru pertama kali belajar Bahasa Prancis kami diharuskan menghapal
sebuah puisi yang tujuan sebenarnya untuk menghapal kosa kata. Judulnya lupa,
tapi bisa dikatakan itu adalah semacam catatan harian anak malas. Bunyinya
lebih kurang begini: hari Senin mandi-mandi di kolam, hari Selasa senang-senang
di kota, hari Rabu main-main di hutan, dst sampai hari Minggu pesta
gila-gilaan. Satu-satu disuruh maju. Ada perempuan di kelas kami yang badannya
kecil sekali dan mukanya seperti anak kecil juga. Dia maju dengan cuek dan
mulai mengucapkan puisinya dengan lantang: “Le lundi (hari Senin)”…. Diam.
Rupanya dia lupa kelanjutannya. Diulangi lagi dengan lebih keras “Le lundi…”
Diam lagi. Dicobanya lagi dengan semakin keras. “Le lundi!” “Le lundi!!!” “LE
LUNDI!!!!” teriaknya setinggi langit. Seluruh kelas tertawa. Walau gagal
mengucapkan puisi dia tidak gagal jadi pelawak.
Sekarang ini orang mudah sekali menulis dan menayangkan
ceritanya. Buat saja blog! Tidak perlu mengirimkan cerita kita ke
majalah-majalah atau koran dan menunggu berbulan-bulan untuk dimuat (itu pun
kalau dimuat). Saya suka ‘jalan-jalan’ ke berbagai blog ini. Ada yang menarik,
ada yang membosankan, ada yang kasar, ada yang diulang-ulang, ada yang lucu, ada
yang inspiratif. Ini biasa. Hanya satu keluhan saya. Kalau penulisnya perempuan,
banyak yang ‘terjatuh’ ke dalam curhat. Ada seorang yang menceritakan
kesialannya dalam hidup secara bertele-tele. Selalu gagal mendapat pekerjaan
yang diinginkan, depresi dengan pekerjaannya sekarang, hidupnya yang penuh
kehampaan. Membaca tulisannya itu saya seperti kelelep dan ingin minta tolong diselamatkan
dari banjir kata-kata yang mencekik.
Saya sebenarnya lebih suka blog yang bertema, apakah itu
pendidikan, jalan-jalan, masak-masak, atau cerita sehari-hari. Ada blog yang
menarik, tapi eh… setelah sukses membuat berbagai tulisan bertema pendidikan dengan
cara yang menarik, dia memunculkan tulisan mengenai keharuan hatinya melihat buah
hatinya yang “terlihat damai sekali ketika sedang tidur”. Ada yang blognya
isinya berbobot, maklum dia sudah pernah menerbitkan buku dan opininya tajam
serta cerdas, lagi-lagi… memunculkan cerita pertemuannya dengan seseorang yang
membuatnya berurai air mata setiap 10 menit serta cintanya yang sangat dalam
pada kekasihnya, lengkap dengan foto-foto mereka berdua dalam pose sedang
kasmaran. Toloong! Memang menulis itu bisa jadi terapi, tapi pikirkan juga dong
orang-orang yang membacanya. :(
Saya paling sedih kalau mendengar anak kecil diajari membaca
puisi yang sedih-sedih dan sendu-sendu, atau terlalu serius. Biasanya temanya tentang
kasih ibu atau sayangnya si anak pada ibu. Sebaliknya, saya suka tulisan anak
kecil yang menceritakan tentang keluarga monyet yang bijaksana: tidak melihat,
tidak mendengar, dan tidak bicara yang buruk. Dilanjutkan dengan cerita jujur
mengenai keluarganya sendiri, di antaranya Mama yang suka sekali fesbuk-an. Ini baru cerita yang bagus! Saya
rasa, kalau anak terlalu banyak menonton sinetron di televisi yang penuh dengan
air mata terurai dan kemalangan beruntun yang menimpa seorang gadis cantik dan
baik hati, kalau besar nanti dia akan menulis blog yang penuh dengan curhat.
Hehehe.
Hahahaha! Sudah 1 bulan Saya rajin ke blog ini. Suka!
BalasHapusSaya jg punya keel mahal suka menulis dg sangat detail, tapi akhir ya selalu khanate kalau tulisan Saya terlalu panjang. Padahal setelah Dibaca ulang, nggak juga kok.
Salam kenal:)
http://erikmarangga. blogspot.com
Salam kenal juga Erik:) Makasih untuk komennya. Nanti aku mampir juga ya.
HapusSeneng banget tulisan ini. Hehe. Api aku malah nggak prnh jalan2 ke blogg lain. Cara nyarinya gmn ya? Yang asyik gitu.
BalasHapusUntuk erik, salam kenal. Dari tjapoenk.blogspot.com. Sudilah mampir ke blog saya.
Salah satu cara pergi ke blog lain, lihat daftar blog yang di-link pada blog yang sdh dikenal. Dari blognya Erik misalnya, di sebelah kanan ada daftarnya.
Hapus