Kamis, 30 Agustus 2012

Negeri Para Raksasa, Roh dan Jin


Dalam satu hari, waktu yang paling saya suka adalah menjelang matahari terbenam. Semakin malam semakin suka saya pada suasananya. Apalagi kalau saat itu saya sedang dalam perjalanan di tempat yang agak sepi di daerah pedesaan yang jauh dari kota. Pohon lebat di kiri kanan, jurang dan lembah, jembatan kayu di atas sungai yang deras. Ini diselingi dengan kelompok rumah-rumah sederhana yang diterangi lampu yang suram, sedangkan orang hanya terlihat satu dua di sana-sini. Inilah saatnya ketika para raksana, jin dan makhluk halus lainnya berkeliaran, mengendap, dan mengintai orang-orang yang lengah.

Ada satu foto dari masa kecil yang sangat saya sukai dan saya simpan selama beberapa waktu. Foto yang diambil oleh ayah saya itu memperlihatkan saya bersama ibu, kakak, dan adik berpose di depan VW kodok berwarna putih yang diparkir di pinggir jalan. Latar belakangnya adalah sawah yang luas membentang. Langitnya hitam mendung, suram sekali. Semua warna diliputi oleh sapuan kelabu gelap. Suasana suram di foto itu begitu mencekam, bahkan senyum kami terlihat ragu-ragu. Saya ingat bahwa waktu itu kami segan sekali keluar mobil untuk diambil gambarnya.

Hari Galungan yang sekarang ini saya lewatkan dengan diam di rumah. Tidak seperti tahun lalu—yang saya maksud adalah tahun Bali yang lamanya lebih kurang 6 bulan Masehi—di mana pagi-pagi sudah keluar, sekarang saya tidak terlalu antusias dengan segala macam penjor. Baru pada sore harinya teman saya mengajak ke Ubud. Saya senang, pergi ke Ubud berarti bisa makan es krim Italia yang lembut dan enak sekali. Tapi karena motor kami terhalang kemacetan panjang yang disebabkan oleh rombongan barong, teman saya yang tidak sabar memutar motor dan kemudian berbelok ke kiri keluar dari kota Ubud. Motor dijalankannya berkilo-kilo meter. Haduh, mau ke mana ini? Saya tidak siap ke luar kota karena pakaian saya hanya celana pendek dan kaos. Untung di bagasi ada sehelai sarung, jadi saya ikatkan saja di bahu jadi semacam ponco. Teman saya juga meyakinkan saya bahwa kami tidak akan pergi sampai ke Kintamani. Terlalu jauh dan dingin.

Sedikit setelah melewati Tegallalang motor dibelokkan ke kiri. Suasana jadi berbeda. Jalan raya yang mulus digantikan dengan perkampungan dan pohon-pohon besar yang lebat. Menjelang matahari terbenam kami berhenti di sebuah pura. Gerbangnya yang dikunci hanya mengijinkan kami melongok melalui tembok yang tua dan tak terurus serta diliputi lumut ke pelatarannya yang sama suramnya. Dua raksasa menjaga gerbang itu, masing-masing membawa gada di tangannya. Mata mereka membelalak menyeramkan, mulutnya menyeringai memperlihatkan sepasang taring yang tajam. Saya merasa tidak diinginkan ada di sini. Sekelompok anak kecil ribut menyapa sambil melambaikan tangan dari kejauhan, meminta maaf atas sambutan raksasa yang kurang ramah.

Perjalanan dilanjutkan melewati jalan yang semakin sepi. Pohon-pohon beringin tumbuh lebat sekali, akarnya yang bergantungan menjulur ke bawah sampai menyentuh kepala kami. Sinar matahari yang hanya sedikit tersisa tidak sanggup menembus lebatnya dedaunan. Motor dijalankan pelan-pelan. Ketika lembabnya suasana hutan lebat terlewati, yang kami temukan adalah pura-pura kecil tak terurus yang berlumut dengan gerbang yang lagi-lagi dikunci. Kemudian muncul kelompok rumah-rumah, toko dan warung sederhana dengan lampu yang sudah dinyalakan. Jajaran penjor terlihat kurang meriah karena suasananya sudah menjelang malam. Kebanyakan rumah memiliki halaman yang bertembok yang menghalangi pandangan orang yang serba ingin tahu. Ketika ini pun terlewati, sawah terbentang luas di kejauhan. Di sebelah sana ada Pak Tani yang terlambat pulang ke rumah, dia memanggul karung besar sambil membawa celurit di tangan. Pembantu saya dulu sering menakut-nakuti bahwa petani di sawah yang membawa karung dan celurit ini menyembunyikan seorang anak kecil yang baru diculiknya di dalam karung. Ceritanya ini sanggup membuat saya cepat-cepat pulang begitu Magrib menjelang. Bahkan kalau bersepeda siang-siang, begitu melihat petani membawa karung saya cepat-cepat mengayuh sepeda pulang sambil ketakutan.

Kami kembali melewati jejeran rumah-rumah yang semua pintu dan jendelanya tertutup. Rumah-rumah itu juga mengingatkan saya pada waktu yang sudah lewat. Sebagai anak kecil, saya selalu terdiam dan terseret dalam imajinasi liar ketika dalam perjalanan dengan mobil dari Bandung ke Malang atau sebaliknya, bertahun-tahun yang lalu. Apa yang ada di dalam rumah-rumah berdinding bilik, berlantai tanah yang pintunya tertutup rapat itu? Mungkin di sana ada sepasang adik kakak yang sedang menunggu orang tuanya yang tidak pulang-pulang? Mungkin ada seorang ibu yang sedang menghidangkan nasi dan sayur bayam untuk seluruh keluarga yang semuanya diam? Mungkin ada kamar yang kotor dengan seseorang sedang berbaring di dipan? Ingin sekali rasanya saya tinggal di salah satu rumah itu, berbaju sederhana, bertelanjang kaki, dan tidak perlu sekolah.

Perjalanan bermotor terus dilanjutkan sampai kami tersadar bahwa kami tersesat. Di mana ini? Ada perempatan, tapi tidak ada petunjuk arah yang bisa kami ikuti. Kenapa pula mesti tersesat di tempat tidak ada orang untuk ditanyai ya. Untung tak lama kemudian ada seorang bapak tua datang menghampiri. Dia berpakaian rapi, mengenakan sarung dan ikat kepala. Suaranya ramah dan tidak pelit memberi informasi. Setelah bapak ini muncul beberapa orang juga, mereka berdatangan dan membentuk kelompok kecil. Rupanya mereka sedang menunggu barong, dan barong itu harus disambut sepantasnya dengan mengenakan pakaian adat yang layak. Kami pun melanjutkan perjalanan.

Kami bertemu juga dengan rombongan barong yang sedang ditunggu-tunggu itu. Barong muncul dari cahaya remang-remang dengan diiringi bunyi gamelan dan dikawal oleh ratusan orang. Tampilannya seperti singa dengan rambut tebal, putih dan panjang serta memakai berbagai perhiasan indah dari kaca warna-warni. Barong, raja dari segala macam roh. Sebagai pelindung manusia dia dihidupkan oleh roh yang merupakan pendamping seorang anak.. Baronglah yang mampu mengalahkan Rangda, sang Ratu Setan yang merupakan titisan Calon Arang yang jahat. Rangda menimbulkan mala petaka, banjir dan wabah penyakit. Peperangan di antara kedua makhluk luar biasa ini bersifat abadi. Kebaikan melawan Kejahatan.

Setelah memperhatikan sejenak kami tinggalkan pemandangan yang tak terlupakan itu. Kemeriahan musik dan pakaian warna-warni sekarang digantikan oleh malam yang semakin gelap dan udara dingin. Di siang hari tempat ini pasti indah sekali, terbukti dengan sebuah hotel yang sengaja didirikan di tebing pinggir jalan. Namun yang terlihat sekarang hanya jalan gelap yang terjal dengan pepohonan rapat, dan suara air sungai yang entah ada di mana. Lagi-lagi kepala saya disentuh halus oleh akar pohon beringin yang menggantung di atas, sementara motor terus meluncur perlahan. Kami berhenti sebentar ketika menemukan gerbang rumah yang indah beserta tempat sesajen yang dihiasi kain-kain cemerlang. Karena suasananya gelap gulita dan anjing menggonggongi kami dari balik tembok, tanpa berkata apa-apa kami bergegas pergi.

Akhirnya sampai juga ke jalan besar Tegallalang. Semuanya terang-benderang dan ramai. Penjor berjajar meriah sekali. Siapa sangka bahwa negeri para raksasa dan jin tadi hanya berada 8 kilometer dari hingar-bingar kota Ubud? Pasti saya akan kembali ke sana lagi, kalau bisa menjelang tengah malam, bukan menjelang Magrib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar