Jumat, 09 Maret 2012

Kenangan Panda


Kalau kamu punya anjing dan sayang padanya, jangan menggodanya secara berlebihan. Sesabar-sabarnya anjing itu, dia bisa pergi. Ini pernah terjadi pada anjing keluarga saya. Waktu itu itu umur saya kira-kira 12 tahun dan kami punya anjing belang hitam-putih bernama Panda. Bulunya panjang dan ekornya mekar seperti daun kelapa. Saat yang paling menyenangkan (bagi kami) dan sekaligus paling menyengsarakan (bagi Panda) adalah ketika tiba waktunya mandi. Kami menyeretnya ke kamar mandi dengan bersemangat. Panda mendengking-dengking mengiba dan semakin merana setiap disiram dengan air. Badannya menggigil kedinginan. Padahal kami menggunakan air hangat! Saya tidak berani menuduhnya berpura-pura, hanya heran kenapa dia bisa begitu kedinginan. Dia mendengking-dengking terus selama dimandikan, persis anak anjing saja. Acara berikutnya adalah mengeringkannya dengan hair dryer. Panda tidak pernah merasa terbiasa, dia selalu ketakutan pada alat ini. Akhirnya hair dryer tidak lagi digunakan tapi Panda harus diam di dalam rumah sampai bulunya kering.  Nah, sekarang dia sudah wangi, bulunya halus, lembut, dan mekar membuat kami tidak tahan ingin cepat-cepat mengelusnya. Kami bangga akan hasil kerja kami. Kecuali Panda tentunya. Mungkin dia tidak suka bau sabun dan kulit bersih justru membuatnya gatal-gatal. Begitu ada kesempatan, hal pertama yang dilakukannya adalah berguling-guling di tanah!  Aduh Panda, kok kamu mengecewakan sekali sih. Ketahuan deh kalau kamu bukan anjing ras yang elit dan terdidik.

Namun begitu, untuk menutupi kekurangannya, Panda selalu siap menunjukkan rasa antusiasnya. Begitu melihat saya muncul di tikungan pulang dari sekolah, dia segera berpacu sejadi-jadinya dan kemudian menggabruk saya sampai oleng. Kaki depannya dipijakkan ke dada saya sementara dia berusaha menjilati muka saya. Aduh, saya jadi terharu. Ibu saya saja tidak segembira itu melihat saya pulang sekolah Ups, ini bukan bermaksud membandingkan lho. Kata orang, anjing cuma punya satu majikan. Tapi saya tidak ingat lagi kepada siapa Panda menganggap sebagai majikan. Setiap anggota keluarga sayang padanya dan merasa Panda adalah anjingnya. Sampai sekarang pun kadang-kadang kami masih membicarakannya. Tentang bagaimana sukanya dia pada es krim. Tentang marahnya dia kalau ditiup mukanya (lagian iseng amat sih). Tentang bersemangatnya dia kalau diajak jalan-jalan. Tentang cemburunya dia kalau saya mengelus anjing lain. Tentang… satu kejadian yang membuatnya pergi. Hiks.

Yang patut disalahkan dalam hal ini adalah kakak saya. Sifatnya yang jahil itu memang tidak bisa melihat orang (atau anjing) lain senang. Panda yang sedang berbaring santai dengan hidung terjulur di lantai memberinya ide untuk menggoda yang dipikirnya sangat lucu. Kakak saya mendekat pura-pura tak acuh, tapi kemudian disenggolnya moncong Panda dengan ujung kakinya. Panda mendengking jengkel. Kakak saya berbalik, mendekat lagi dan menyenggol lagi moncong Panda. Begitu dilakukannya berkali-kali sampai akhirnya Panda menjadi marah. Ketika moncongnya disenggol lagi, dia menggigit. Kaki kakak saya berdarah dan dia dibawa ke rumah sakit ke bagian UGD. Pulang dari rumah sakit, kakak saya merasa perlu menunjukkan wibawanya. Memang yang jadi majikan itu siapa? Dihardiknya Panda keras-keras, “Keluar!” Pintu dibukanya lebar-lebar, mempersilakan Panda keluar. Panda keluar, dan itulah kali terakhir kami melihatnya. Dia tidak pernah pulang.

Oh Panda, di mana kamu sekarang? Hiks. Mudah-mudahan dia sedang berada di padang perburuan abadi khusus anjing-anjing, sedang lari-lari gembira. Anjing yang baik tempatnya di sana.

Maaf kalau saya jadi melankolis begini. Maklum, anjing-anjing yang banyak berkeliaran di Ubud ini mau tidak mau mengingatkan saya pada Panda. Dan saya gembira karena cerita Panda ini bisa sedikiiit mengubah pendapat Aryo mengenai anjing. Aryo sangat tidak suka anjing. Setiap kali ada saja keluhannya tentang anjing. Dia paling tidak suka dengan gonggongan mereka. Mendengar ceritanya saya jadi punya kesan bahwa anjing-anjing yang dikenalnya semua gila, pemilik anjing-anjing itu pun sama sintingnya. Saya jadi kasihan pada Aryo karena dia harus bertahan menghadapi semua cobaan itu. Saya bilang pada Aryo bahwa Panda tidak pernah menggonggong, kalau mendengking sih iya. Yaa, tidak juga sih, namanya juga anjing, mana pula tidak pernah menggonggong? Tapi karena saya tidak ingat bahwa Panda pernah menggonggong, itu kan berarti Panda jarang sekali menggonggong? Aryo jadi sinis, dengan menyindir dikatakannya bahwa Panda adalah satu-satunya anjing di dunia yang jarang menggonggong. Pelan-pelan saya ceritakan kisah Panda. Akhirnya Aryo mengerti dan dengan tulus dia bilang bahwa Panda adalah satu-satunya anjing di dunia yang jarang menggonggong. Hehehe. Mungkin itu tidak benar, tapi karena bagi Aryo satu-satunya anjing yang bisa dihargai adalah anjing yang jarang menggonggong, maka kata-katanya itu berarti pujian tertinggi untuk Panda.

Dipikir-pikir, nama Panda itu sebenarnya kekanak-kanakan. Anjing-anjing di sini namanya keren-keren. Max, Billy, Marco, dll. Majikannya bisa saja bernama Koming, tapi nama anjingnya Robin, hehehe. Nama Panda itu dipilih karena kami kehabisan ide. Nama Belang kok tidak ada keren-kerennya, Bleki terlalu pasaran dan tidak sesuai dengan ciri-ciri, sedangkan Mingko kedengaran aneh. Tidak pernah terpikir oleh kami bahwa anjing bisa juga dinamakan seperti manusia, kenapa tidak? Bayu misalnya, atau Rangga. Gagah kan? Jadilah Panda mendapat nama yang mengingatkan orang pada boneka imut, padahal dia itu laki-laki, eh, jantan sejati lho. Panda sendiri tidak pernah pusing-pusing soal namanya. Sebagai seekor anak anjing pada waktu itu, dia begitu berterima kasih karena terpilih di antara saudara-saudaranya yang lain untuk dipelihara dan sibuk memperlihatkannya dengan menggoyang ekor dan menjilat-jilat. Komentarnya cuma: Guk! Panda? Oke, itulah namaku mulai dari sekarang.

Ah, kalau bicara tentang Panda bisa tidak ada habisnya. Jadi, lebih baik saya akhiri di sini saja.