Rabu, 09 Maret 2016

Yang Lebay

Dalam perjalanan dari Ubud ke bandara menggunakan travel, sebagian besar penumpang turun di Sanur untuk menyeberang dengan kapal dan melanjutkan perjalanan mereka ke Nusa Penida. Cuma tinggal saya dan seorang perempuan yang tidak turun. Lalu kami ngobrol. Dia masih muda, orang Belanda yang liburan di Bali dua minggu. Di Ubud sendiri cuma sekitar lima hari. Dia minta pada sopir untuk diturunkan nanti di jalan karena tujuannya yang sebenarnya adalah Uluwatu. Dia bisa melanjutkan dengan taksi. Saya menanyakan kesannya tentang Ubud. Dia menimbang-nimbang lalu bilang, orang-orang ekspat yang ditemuinya semuanya berasal dari satu golongan. “Maksudnya?” tanya saya. Dia menjawab semuanya perempuan dan single. Saya mengerutkan kening. Saya bilang banyak yang berkeluarga, banyak yang laki-laki, yang punya anak, bahkan berusia lanjut. Dia kelihatan ragu dengan penjelasan saya. Dia bilang orang-orang itu dikenalnya dari sebuah tempat yang populer dengan kegiatan yoganya. Ah, pantesan. Para perempuan kalau sudah membentuk klik memang lengket dan kerap bersama-sama. Saya sendiri sering bertanya-tanya apa yang sebenarnya dilakukan oleh orang-orang ini, terutama yang muda, di Ubud. Kenapa mereka membuang waktu, meninggalkan negaranya, tidak kuliah atau berkarir di negaranya sendiri?

“Mereka itu too sweet,” kata kenalan baru saya. Mukanya bimbang, mungkin membayangkan orang-orang yang baru dikenalnya. Saya tidak heran. Mereka memang manis sekali. Bicara tentang persaudaraan, cinta kasih universal, mother earth, berpelukan erat setiap ketemu siapa saja baik laki-laki atau perempuan. Makanan vegan bahkan mentah adalah topik bahasan kegemaran mereka. Anti susu, anti daging, anti pemanfaatan hewan untuk pemenuhan selera manusia. Bagaimana tidak sweet coba, semua itu? Seorang teman saya cukup lama bekerja sebagai pengasuh dua anak dari seorang perempuan Rusia yang masih muda dan cantik (perempuan Rusia memang banyak yang cantik). Dia cerita bahwa kedua anak asuhannya sudah vegetarian sejak kecil dan suka cemilan berupa wortel dan brokoli mentah. Sehat sekali. Ayah mereka datang sekali-sekali saja ke Bali. Ibu muda ini sering bertengkar dengan suaminya mengenai gaya hidup yang berbeda. Dia keluar hampir tiap malam dengan kelompoknya. Mereka berpakaian longgar berimpel-rimpel, memakai gelang, kalung, gelang kaki manik-manik, dan suka menari dan menyanyi di sekeliling api unggun kalau purnama tiba. Mereka mengadakan ritual yang dikarang sendiri, upacara menjelang melahirkan. Pesertanya mengenakan rok atau celana panjang bercorak etnik. Atasannya ketat atau minim. Ada bunga-bunga, dupa, gong kecil, tarian dan nyanyian pujaan.

“Pekerjaannya apa?” tanya saya bersemangat ingin tahu. Teman saya bilang, dia model untuk katalog yang tentu ordernya tidak didapat tiap hari. Sepertinya perempuan ini menganggap suaminya kurang spiritualis dan terlalu keduniawian. Suaminya membalas dengan mengurangi jatah bulanan, sehingga ibu dan anak harus pindah ke rumah yang tidak ada kolam renangnya lagi. Bagaimanapun perempuan Rusia ini tidak bisa seenaknya sendiri karena sudah punya anak. Akhirnya mereka pindah ke Rusia, mungkin demi kebaikan anak-anaknya juga. Kalau yang single memang suka sembarangan dan bukan-bukan. Berombongan pergi ke danau di bawah sebuah air terjun, berenang-renang di sana, menyatakan cintanya pada Bali dan tidak ingin meninggalkan pulau ini selamanya, lalu… membuang paspornya ke danau! Untung ada seorang yang waras dalam rombongan itu yang cepat-cepat terjun menyelamatkan paspor itu.

Pernah saya diajak ke sebuah warung vegan. Saya pilih nasi campur yang seharusnya asli Bali tapi rasanya tidak bali. Ada rempah yang tidak biasa ada, baik di masakan padang, jawa, sunda, atau bali. Saya menyebutnya rempah rasa yoga, meskipun mungkin lebih tepat kalau disebut rasa india. Menu bali rasa india ini dipandang cocok untuk restoran yang sering dikunjungi para vegan yang berminat pada yoga, meditasi, dan hidup penuh cinta. Apa hubungannya pikir saja sendiri. Menunggu hidangan datang di tempat ini lama sekali. Saya jadi sempat jelalatan melihati orang-orang. Ada cewek bule yang manis tapi sayangnya kurang merawat diri. Rambut panjangnya seperti sudah sebulan tidak dicuci. Dia nyeker dan mengenakan rok sifon berbunga-bunga yang sobek-sobek dan diikat dengan tali rombeng di pinggangnya karena rok ini kepanjangan, jadi harus ditarik ke atas supaya tidak keserimpet waktu jalan. Temannya yang laki-laki langsung duduk di bantal untuk bermeditasi dan sekali-sekali mengeluarkan suara keras seperti orang sedang ngedan. Rambut rastanya yang panjang digulung di atas kepala. Lalu terdengar sekilas pembicaraan mereka. “Kamu harus dengar tentang vision yang saya dapatkan tadi malam,” kata yang seorang.

Saya malas mendengar kelanjutannya lalu pindah memperhatikan perempuan lain yang duduk sendirian di atas bantal. Dia hampir menghabiskan semangkuk besar salad. Setiap gerakan menyendok sayur dan mengunyah dilakukannya secara meditatif. Pandangannya lurus ke depan. Lalu dia mengeluarkan pil-pil dari botol, ampun, banyak amat, menaruhnya dalam kepalan tangan dan sepertinya meminta semesta untuk memberkati pil-pil itu dengan mata tertutup. Kemudian ditelan dengan bantuan air. Perempuan ini jauh lebih enak dilihat dari yang pertama tadi. Dia bersih dan mengenakan pakaian yoga yang ketat dan mahal. Saya jadi berpikir untuk beli celana ketat seperti itu juga, yang punya bolong-bolong artistik di sisi luarnya. Saya juga berpikir perempuan yang terakhir ini mungkin dari golongan yang berbeda dengan yang pertama. Dia serius, rajin latihan yoga tiap hari, dan disiplin dalam melatih core-nya. Mungkin terlalu serius, melihat gerak-geriknya yang teratur dengan seulas senyum robot. Saya tidak bisa membayangkannya bersikap apa adanya, ketawa ngakak atau berkata konyol sekali-sekali. Jadi saya memutuskan untuk batal beli celana yoga. Alasannya karena melatih core itu berat dan susah. Lagi pula pakaian yoga sering bolong di mana-mana, sudah itu yang bermerek harganya mahal pula.

Sesudah lama tidak ketemu seorang teman kami janjian untuk ketemu lagi. Sebenarnya dia bukan benar-benar teman, cuma kenalan yang biasanya kebetulan ketemu dalam kelompok bersama-sama orang lain. Setahu saya dari pembicaran kami waktu itu dia cukup suka mengumpulkan uang dari beberapa usaha yang dipunyainya. Tapi sekarang, semakin lama ngobrol dengannya saya jadi semakin kehilangan arah. Dia ternyata serius beryoga dan bermeditasi. Kata-kata indah berhamburan dari mulutnya. Dia terharu sekali karena teman-teman non-vegetariannya datang memasakkan makanan di rumahnya dengan menu vegetarian. Dia mengajak saya untuk turut berpartisipasi dalam mengembalikan daya dukung bumi terhadap umat manusia yang jumlahnya semakin membengkak terus. Dia cerita baru saja menasihati anaknya untuk mengikuti kata hatinya, kerja selama dua tahun saja, kemudian berhenti karena pekerjaan itu akan sudah dikuasai dan tidak lagi memperkaya batin. Dia menganjurkan saya untuk mencari kebenaran diri saya sendiri yang letaknya jauh bersemayam dalam diri. Dia bilang bahwa uang bukan yang utama dalam hidup, bahkan bisa sangat merusak.

Tidak ada yang salah dalam semua yang dikatakannya, tapi tetap saja ada sesuatu yang tidak pas dan membuat saya gelisah. Saya cepat-cepat konsentrasi mendengarkannya lagi, karena dia sudah merasa kalau pikiran saya sedang melayang ke mana-mana. Dia bertanya sesuatu, saya menjawab, dan langsung tahu dia tidak tertarik mendengar jawaban saya. Kalimat saya dipotongnya, dia bilang mengerti maksud saya, bahkan memperjelas panjang lebar padahal bukan itu maksud saya. Sudah, ah. Saya malas sekarang. Cuma berpikir bagaimana menyudahi pembicaraan tanpa dianggap kurang sopan. Saya ubah topik pembicaraan tanpa kentara. Diceritakannya apa saja yang dilakukannya untuk mendapatkan uang tanpa susah payah. Otak bisnisnya langsung berputar dan sinar matanya berubah cerdik. Katanya uang tidak penting? Gampang memang bilang begitu, karena dia punya vila luas dan indah dengan kolam renang, anjing ras sebanyak tujuh ekor, mobil mahal, dan Harley Davidson.


“Kamu jadi ke Sumatra?” tanya saya. Dia waktu itu omong banyak, mau menjelajah Sumatra sampai pelosok dengan motornya, sendiri saja dengan semangat berpetualang. “Tidak,” jawabnya pendek. Lalu dia tahu saya yang lebih penakut, lebih manja dan lebih miskin dari dia sudah ke Pulau Derawan dan kepulauan Kei di Maluku sejak terakhir kami ketemu walaupun tanpa petulangan ala Indiana Jones. Pokoknya pergi. Dia kelihatan iri. Akhirnya saya berhasil pamitan. Kami berpisah dan dia pergi ke bar untuk minum-minum di sana, mungkin sampai bar itu tutup.