Selasa, 29 Desember 2015

Rumah

Jen jengkel sekali dengan pemilik rumah kontrakannya yang sering masuk tanpa ijin dan tahu-tahu sudah nongol di depannya. Dia ngomel-ngomel.“Kamu untung saya tidak sedang telanjang!”Lah, kok ya Mbak Nurul juga lagi jengkel. Katanya,“Meskipun dia masuk ke halaman untuk memperbaiki pagar, atau membereskan kaleng-kaleng bekas, rumah itu sudah saya kontrak, jadi dia harus minta ijin untuk masuk ke rumah saya.” Suaranya berapi-api.Saya sebenarnya mau menambahi juga dengan cerita pengalaman pribadi, tapi karena tidak bisa mengimbangi kejengkelan mereka, malahan merasa senang dengan situasi yang ada, lebih baik diam saja.

Ceritanya, beberapa benda milik saya berpindah tempat. Karena Mawar baru cerita barang-barang miliknya yang tidak berharga (untuk pencuri) sudah menghilang, saya mengira ada orang yang iseng sama saya. Saya segan untuk bertanya pada induk semang yang tinggal di lantai bawah. Iya kalau benar dia, kalau tidak? Bisa tersinggung nanti. Tapi untunglah waktu ngobrol santai akhirnya dia sendiri yang bilang kalau istrinya masuk ke rumah saya, sebenarnya modelnya lebih mirip apartemen, untuk bersih-bersih. “Gak apa-apa kan?” tanyanya. Heran saya kenapa dia bisa bilang itu tidak apa-apa. Tapi saya juga menimbang-nimbang cepat, wah lumayan, ada yang ngebersihin rumah gratis. Maka saya mengambil keputusan,
“Iya, gak apa-apa, sering-sering aja!” hehehe.
Makanya saya tidak menambahi cerita Jane dan Mbak Nurul walaupun saya sebenarnya pendukung privacy nomor satu, dan membenarkan Jen dan Mbak Nurul sepenuhnya.

Hampir setahun saya menikmati rumah dibersihkan gratis, tanaman disiramkan gratis, sampah dibuangkan gratis. Baru bulan-bulan terakhir saja servis itu berhenti karena istri Mas Karmin sudah kerja. Rumah Mas Karmin yang saya sewa itu adalah tempat tinggal saya yang ketiga di Ubud. Pertama saya kos, kedua bertetangga dengan Intan (kangen sekali dengannya), ketiga di tempatnya Mas Karmin. Saya sekarang sudah pindah lagi ke nomor empat supaya lebih sepi. Di bulan-bulan terakhir tempat Mas Karmin sudah kurang nyaman. Suara orang membangun tidak berhenti dari siang sampai malam. Satu selesai, satu lagi dibangun. Di tempat nomor empat inilah rasa kepemilikan saya paling besar, hehehe. Di tempat Mas Karmin saya sudah kompromi, saya biarkan saja Andre, keponakannya Mas Karmin, naik ke tempat saya. Apalagi dia juga tahu diri, selalu memberi tahu sebelum muncul.
“Mbak, mau ambil sampah!” serunya dari jauh.
Meskipun jendela terbuka lebar dan gorden terpentang, saya tetap baring-baring di tempat tidur dan cuma berpose lebih sopan saja. Sesudah itu dia cepat turun lagi. Dia tidak pernah lupa bilang permisi, meskipun kadang-kadang saya sendiri yang minta tolong dipasangkan bola lampu atau keran dispenser. Kadang-kadang ada yang keluarga Mas Karmin lakukan tanpa bilang dulu. Sebenarnya lebih baik ngomong dulu sama saya meskipun semuanya itu untuk maksud baik. Ah, sudahlah, demi yang gratis-gratis tadi saya juga tidak banyak protes.

Tempat tinggal yang nomor empat ini saya sukai terutama karena ada sawah di depan dan di belakangnya. Tapi halamannya benar-benar dirancang dengan cara yang sangat aneh. Pintu gerbangnya ada tiga dan semuanya aneh. Pintu gerbang utamanya bisa dimasuki dari jalan kecil  --namanya juga di pinggir sawah--  tapi begitu masuk jangan harap bisa langsung melihat pintu rumah karena kamu masuknya dari belakang!  Depan jadi belakang dan belakang jadi depan.  Kalau dari pintu gerbang utama ini langsung belok kiri menyusuri gang, ujungnya adalah pintu gerbang nomor dua yang tembus ke …rumah tetangga! Maksudnya apa coba?  Kalau tadi tidak langsung belok kiri melainkan lurus tentu saja akan ketemu halaman, teras dan pintu rumah. Halaman ini sudut sebelah kirinya tidak tertutup tembok atau pagar melainkan ada jalan tembusnya. Ke mana? Lorong ini terus melewati rumah tetangga dan di ujungnya barulah kita ketemu gerbang nomor tiga yang juga tembus ke rumah lain. Rumahnya Mawar. Jadi rumah saya bisa dimasuki dari jalan, dari rumah sebelah, dan dari rumah Mawar. Ini maksudnya apa to?

Memang pemilik dari tiga rumah itu adalah keluarga yang sama, keluarga Pak Wayan. Malah sekarang ada rumah ke empat di sebelah kiri saya yang ditempati oleh Miren. Rumah saya dijadikan pusat, jadi ada bangunan sanggah (tempat sembahyang serta menaruh banten)-nya di pojok halaman. Pak Wayan mengatur supaya dia bisa masuk dari semua pintu gerbang—dia punya kuncinya. Saya tidak keberatan dia pegang kunci gerbang utama supaya bisa menaruh banten di sanggah setiap saat diperlukan. Saya sudah dua kali mengganti kunci gembok gerbang ini karena macet, dan setiap kali saya beri dia kunci serepnya. Pintu gerbang yang tembus ke rumah Mawar cuma dibukanya kalau ada upacara keagamaan yang penting saja supaya orang-orang bisa keluar masuk ke sanggah dengan bebas. Saya sudah berdamai dengan kondisi ini. Tapi pintu gerbang nomor dua? Pintu ini sering dibuka karena Pak Wayan menyimpan kayu-kayu di rumah sebelah. Dengan kata-kata sopan saya protes waktu banyak tukang keluar masuk mengambil kayu. Pak Wayan bilang dia tidak punya kunci serep pintu utama rumah sebelah. Lah? Ya minta dong. Gerbang saya saja, tiga-tiganya dia punya kuncinya. Tapi Pak Wayan tidak begitu mengerti apa yang saya minta, atau dia tidak mengerti kenapa saya minta. Karena dia orangnya ramah sekali, saya bersabar saja dan berusaha melihat kebaikan-kebaikannya. Apa ya? Kebanyakan dia janji-janji saja. Mau membuat garasi bersama, cuma janji. Mau mengganti kulkas dan kipas besar yang harusnya adalah properti rumah, cuma janji. Yang penting ramah dan sopan. Protes ditampung, buka tutup gerbang jalan terus.

Pagi ini pas selesai mandi saya dengar suara-suara orang keluar masuk dari pintu gerbang nomor dua. Cepat-cepat saya melilitkan handuk di badan, menyambar kardigan dan memakainya untuk menutupi bahu lalu keluar. Saya lihat seorang laki-laki muda sedang mengeluarkan tangga besi yang disimpan di lorong antara pagar dan tembok rumah. Saya memberinya pandangan bertanya tanpa kata-kata,
Well, Anda mau menerangkan kenapa Anda masuk tanpa ijin?”
Eh, dia membalas dengan pandangan hampa yang sama,
Well, Anda mau menerangkan kenapa buru-buru keluar dengan pakaian yang tidak pantas, lagian ini kan tangganya Pak Wayan, bukan tangga Anda.”
Brengsek.
Begitu dia pergi dengan pesan akan kembali lagi untuk mengembalikan tangga, saya membongkar kotak sepatu yang isinya macam-macam benda yang disimpan karena prinsip siapa tahu perlu. Aha! Ini yang saya butuhkan. Gembok baru! Saya pasang gembok ini di pintu gerbang nomor dua. Beres deh.

Saya puas sekali dengan yang sudah saya lakukan. Dua gembok untuk satu pintu, dengan kunci masing-masing dipegang oleh orang yang berbeda. Saya rasa kotak penyimpanan di bank yang bisa disewa orang menggunakan prinsip yang sama. Baik pihak bank maupun pihak penyewa punya kunci. Di film yang pernah saya tonton, suasana ruang penyimpanan ini dibuat misterius sekali. Ketika kunci diberikan kepada pemilik kotak penyimpanan, kamera mengambil gambar close up muka pegawai bank yang serius, muka penyewa kotak, lalu langkah-langkah kaki di lorong, dan akhirnya jari tangan yang sedang memutar kunci. Jreng! Ternyata isi kotak itu….. (surprise!).

Sama halnya dengan kejadian di bank, sekarang pintu gerbang sebelah cuma bisa dibuka kalau kedua kunci dipakai bersama-sama. Saya tidak bisa membuka gerbang dengan kunci saya saja, menyelinap diam-diam ke halaman rumah sebelah di malam yang gelap tanpa bulan (memangnya mau apa, ya? hahaha). Sebaliknya, Pak Wayan juga tidak bisa membuka pintu sendiri untuk pergi ke halaman rumah sebelah untuk mondar-mandir ambil kayu atau yang lainnya tanpa bilang dulu sama saya. Kalau nanti dia minta saya untuk membuka pintu itu, saya akan melayaninya dengan ramah sambil bertanya, kenapa tidak minta kunci serep pintu gerbang si penyewa rumah sebelah saja? Terserah dia sekarang. Kalau masih tidak mau minta, dia sendiri yang repot. Sekali-sekali akan saya isengi juga. Waktu dia mau minta kunci saya akan pura-pura tidur :D.

Selasa, 22 Desember 2015

Sawah

Sepertinya sawah sudah menjadi trade mark untuk Ubud sewaktu orang membicarakan kota kecil ini. Baik yang komentarnya positif maupun negatif. Seperti, “Mau jalan-jalan ke sawah ah, kalau ke Ubud nanti.” Ini komentar positif. Yang negatif, “Di Ubud sawahnya semakin berkurang ya?”  Hmm, sawah. Orang-orang ribut soal sawah. Kalau sawah berkurang, itu terjadi di mana-mana, bukan di Ubud saja, atau di Bali saja. Tapi kalau saya sedang jalan-jalan di Bali terutama ke pelosok-pelosok, sawah ditemukan di mana-mana dan sangat menyegarkan mata. Buat saya ingatan tentang sawah di Bali ini seperti potongan-potongan. Salah satu potongan ingatan itu misalnya, adalah sawah yang bisa dicapai dengan naik motor setelah keluar dari Ubud ke arah utara. Jalannya menanjak, semakin ke utara semakin tinggi. Setelah melewati Tegalalang tapi  jauh sebelum sampai ke Kintamani, kita belok ke kanan, lalu terus bermotor mengikuti jalan kecil yang berkelok-kelok. Motor bisa diparkir di pinggir sawah di bawah pohon. Meskipun bisa dilewati mobil di jalan ini motor sudah jarang yang melintas. Saya yang selalu bad mood kalau sudah merasa lapar tadi sudah maksa dulu untuk beli nasi bungkus. Teman saya melirik penuh minat melihat saya makan. Saya menawarinya setengah nasi bungkus saya. Biarlah, toh dia yang memboncengi saya, jadi saya juga tidak mengritik karena dia tadi menolak beli nasi bungkus untuk dirinya sendiri. Dia membalas dengan memberi saya apel yang sudah setengah digigitnya. Kami cuci tangan di kali yang jernih dan segar sekali. 
  
“Lihat, primitif sekali ya?” komentar saya sehubungan dengan benda yang berada di ujung bambu yang ditancapkan di pematang sawah. Selintas benda itu terlihat seperti kitiran karena ada bagian yang bisa berputar. Seperti mainan yang menarik sekali. Baru kalau diperhatikan detilnya sadarlah kita bahwa ini di Bali, bukan di tempat lain. Pulau seribu pura, pulau Dewata. Tempat sesembahan ada di mana-mana. Dan sawah adalah bagian penting dalam kehidupan manusia. Meskipun baru pertama kali melihat benda seperti itu ada bagian diri kita yang mengatakan itu bukan mainan. Tradisi ratusan tahun tertanam di sana, sebuah kepercayaan sehubungan dengan roh-roh tak kasat mata. “Itu juga, primitif sekali,” saya menunjuk benda lainnya. Saya berkata tanpa mengejek. Seperti tiba-tiba diliputi suasana magis. “Itu juga primitif,” kata saya sambil menunjuk yang lain. Teman saya tidak sedikit pun peduli. Dia sedang sibuk memotret berbagai obyek. Lalu mengarahkan kamera ke saya dan memencet tombol. “Ini baru primitif,” jawabnya. Disebut primitif saya cuma sebentar kaget. Biarin. Tidak perlu mau disebut modern terus deh, karena modern sering dekat sekali dengan mengeksploitasi, terutama alam. Orang yang disebut primitif justru punya kebijakan sendiri untuk hidup berdampingan dengan alam.

Potongan ingatan yang lain, lagi-lagi saya sedang dibonceng di sepeda motor di jalanan yang tak terlalu lebar. Angin meniup muka dan rambut terbang ke sana ke mari sampai awut-awutan. Waktu itu saya sedang tidak mau pakai helm. Di sebelah kiri dan kanan jalan sawahnya luas sekali dan padinya berwarna kuning hampir masak. Plastik berwarna hitam dan putih yang berasal dari kantong belanjaan dipotong panjang-panjang dan digantung melintang di atas sawah untuk menakut-nakuti burung. Plastik-plastik yang panjangnya beratus-ratus meter itu bergoyang ditiup angin. Seperti hiasan pesta. Jalan berkelok-kelok dan terus menurun. Letak matahari sudah rendah di sebelah barat dan cahayanya kekuningan. Di kejauhan samar-samar warna biru dari laut seperti mengundang minta didatangi. “Berhenti!” perintah saya. Motor diparkir. Di tempat yang tinggi itu, dengan hamparan padi di mana-mana, angin yang berhembus, langit yang luas serta kosong di atas, dan laut di kejauhan, saya jadi teringat sebuah buku lama.
‘Ke laut! Ke laut!’ teriak anak-anak laki-laki gaib dalam salah satu buku kanak-kanakku. Aku telah melupakan segalanya mengenai buku itu kecuali teriakan ini. ‘Ke laut!’, dan dari seberang Samudera Hindia ke tepi Laut Merah, di mana di malam-malam sunyi kau dapat mendengar bebatuan di padang pasir, hangus di siang hari, retak satu per satu, kami kembali ke laut kuno di mana semua tangisan ditenangkan. (Summer in Algiers, oleh Albert Camus).

Saya tidak yakin. Mana yang lebih mengesankan waktu itu, sawahnya atau lautnya? Tapi sawah sudah ada di situ, dekat sekali, sedangkan laut cuma samar-samar dan jauh. Saya punya perasaan bahwa kami tidak bakalan sampai ke laut itu. Benar saja, setelah tanya-tanya ke orang mengenai arah, diputuskan bahwa hari sudah terlalu sore untuk mendekati laut. Saya agak kecewa juga, tapi berusaha menghibur diri. Siapa tahu kalau sudah didatangi ternyata laut itu tidak sebagus dari jauh. Mungkin pasirnya kotor dan airnya butek. Dan saya juga cuma sekali berada di sana, di pebukitan yang bersawah itu. Dua kali mencoba kembali ke tempat yang sama, dua kali juga gagal. Saya tidak bisa menerangkan dengan jelas ke mana arah yang harus dituju yang akhirnya membuat kami nyasar ke jalan bypass yang panas dan gersang. Teman saya heran kenapa saya ingin sekali kembali ke sana. Akhirnya saya pasrah, menghibur diri sendiri dengan kata-kata“yang berkesan itu akan hilang kesannya kalau dijalani dua kali”.

Ada beberapa sawah yang sebenarnya ingin saya datangi lagi. Tapi gara-gara lebih sering pergi-pergi tanpa rencana detil dan tanpa peta, kecil kemungkinannya bisa sampai di tempat yang persis sama. La wong biasa ambil jalan-jalan kecil yang entah ke mana tujuannya, dan kalau kurang menarik balik lagi atau belok ke mana saja, apa tidak bingung kalau harus menemukan lagi satu tempat tertentu. Yang jelas, sawahnya pas dekat tikungan jalan dengan pohon-pohon besar di tepinya dengan akar-akar bergelantungan dari atas. Ada sungai kecil yang airnya dingin dan segar sekali. Enak sekali rendam-rendam kaki di situ. Anehnya, kalau sesekali ada motor melintas, pengendaranya menoleh seperti baru sekali itu lihat orang celupin kaki di kali. Ada yang terus menoleh sampai lehernya mau putus. Di dekat sawahnya ada pura kecil. Karena pintu gerbangnya dikunci teman saya melompati pagar supaya bisa masuk. Mau apa lagi dia pingin masuk, saya tidak mengerti. Di bagian sungai yang lebih dalam dan berair deras dua orang laki-laki sedang memancing entah apa dengan menggunakan botol air minum bekas dan benang. Dua atau tiga orang petani di kejauhan sedang membungkuk mengurus padi. Mereka begitu terserap pada pekerjaannya dan tidak memberi perhatian pada dunia sekitar. Tenang sekali tempat ini.

Sebuah tempat yang terkenal di Bali dengan areal persawahannya adalah Jatiluwih. Tempat ini sudah diresmikan oleh UNESCO sebagai warisan budaya yang harus dilestarikan. Untuk sampai ke tempat ini perjalanannya jauh sekali,setidaknya dari Ubud, dan melewati daerah pegunungan. Saya agak kecewa dengan tempat ini. Semuanya ditata, mulai dari pintu gerbang masuk yang menarik uang tiket, tempat-tempat makan (lumayan mahal) yang menghadap sawah, serta tour yang diorganisir. Bahkan pematang sawahnya rapi sekali, rumputnya dipotong pendek dan tidak dibiarkan tumbuh liar. Saya duduk saja di warung sambil makan. Ada tour ke sawah dengan pemandu yang sekalian menerangkan tentang subak. Sebenarnya tour ini menarik juga tapi matahari sedang panas-panasnya, jadi saya batal ikut. Perjalanan menuju tempat ini saya rasa jauh lebih menarik daripada tujuan akhirnya. Biarpun lama dan rasanya tidak sampai-sampai pemandangan di sepanjang perjalanan bagus sekali.

Sebenarnya sawah bukan sesuatu yang terlalu tidak biasa buat saya. Waktu kecil tinggal di desa, jadi biasa saja dengan sawah. Karena sudah biasa jadi tidak begitu menghargai. Baru sesudah tinggal belasan tahun di kota besar, dan sekarang tinggal lagi di (hehehe… ya ampun, sering lupa kalau Ubud itu secara administratif sebenarnya desa juga…) sini, sawah jadi barang yang istimewa. Dan harap-harap cemas tentunya, jangan-jangan tahun depan sawah di depan dan belakang rumah sudah ditimbun untuk dibuat bangunan di atasnya. Mudah-mudahan masih lama sekali ini baru terjadi.

Kamis, 29 Oktober 2015

Jack

Sebelum pindah ke rumah yang saya tempati sekarang ini saya memikirkan satu persoalan dengan serius. Apakah akan mulai memelihara kucing? Kucing saya rasa cocok untuk dipelihara karena tidak terlalu repot mengurusnya dibandingkan dengan kalau memelihara anjing. Ada teman kerja yang mau pulang ke negara asalnya dan dia juga sedang pusing memikirkan nasib dua ekor kucingnya, karena masih belum ada orang yang bersedia mengadopsi. Repotnya, dua ekor kucing ini tidak boleh dipisahkan. “Mereka sejak kecil tumbuh bersama,” katanya menerangkan. Saya belum siap untuk memelihara dua ekor kucing jadi tawarannya tidak saya ambil. Pilihan lainnya adalah keluarga kucing yang tidak punya majikan tetap dan senang bersantai-santai di teras rumah saya. Satu induk kucing dan dua ekor anaknya yang masih kecil. Salah satu anaknya akan saya bawa. Teman saya tidak mendukung. Mending ambil dari penampungan kucing saja, yang sudah divaksin, begitu pendapatnya. Iya sih, tapi kucing-kucing ini meskipun masih liar sudah sering saya kasih makan. Gimana, ya? Saya terus berpikir. “Susah nangkapnya!” katanya mengambil keputusan terakhir. Ah, bilang aja malas. Nangkap kucing apa susahnya sih. Memang saya sudah menyebut-nyebut dialah yang bertanggungjawab akan kesejahteraan kucing itu kalau saya sedang ke luar kota, datang ke rumah tiap hari untuk mengecek. Terang saja dia malas.

Sambil pindahan saya masih menimbang-nimbang apakah harus membawa anak kucing itu. Tidak jadi. Akhirnya keputusan ini malah menguntungkan. Soalnya sekarang saya punya binatang yang sering menemani tapi tidak perlu memberinya makan dan menyediakan semua keperluannya. Enak kan? Namanya Jack. Dia peliharaan Mawar, yang tinggal selang satu rumah dari rumah saya. Dia blasteran antara anjing bali dan anjing ras. Warnanya kuning. Itu kalau dalam keadaan biasa dan kering, tidak ditutupi lumpur sawah yang hitam kecoklatan. Pernah satu kali, sekitar jam sembilan Jack mendengking-dengking di depan pintu pagar minta masuk. Saya datang untuk memeriksa. Dia mengibas-ngibaskan ekornya, senang menyambut saya. Tapi badannya penuh lumpur, seluruhnya sampai ke muka dan ekornya. Baunya gak enak.
“Tunggu, Jack. Tunggu. Tunggu, ya,” kata saya bersemangat.
Saya lari masuk ke rumah. Jack menggoyang-goyang ekor dengan senang, tahu saya pergi untuk mengambil kunci pintu pagar. Saya datang lagi mendekatinya dengan HP di tangan. Ceklik, ceklik, ceklik. Tiga jepretan.
“Sori, Jack. Kamu kotor sekali, hari ini gak boleh masuk.” Lalu pergi meninggalkannya.
Jack kaget sekali, tidak menyangka saya setega itu. Dia menggonggong protes satu kali. Lalu menunggu selama sepuluh menit dengan sabar, siapa tahu saya berubah pikiran. Saya intip dia dari balik gorden. Akhirnya dia pergi juga.


Jack yang penuh lumpur
Jack bisa sekotor itu karena habis mengejar-ngejar bebek di sawah yang baru selesai dipanen. Kalau bebek-bebek yang tadinya ribut berkwekkwekkwek lalu tidak terdengar lagi suaranya, itu artinya mereka sudah kenyang dan sedang beristirahat. Kalau mereka tiba-tiba berteriak-teriak lagi dengan panik sambil berhamburan ke mana-mana, itu artinya Jack sedang mengejar mereka untuk hiburan gratisnya pada waktu bosan. Tapi Jack bukan anjing yang tidak tahu aturan. Dia sopan, sangat sopan malah. Itu yang membuat saya jadi gak tegaan. Di awal-awal dulu saya punya aturan untuk Jack, tidak boleh masuk rumah. Paling jauh sampai di teras saja. Jack tidak membantah, cuma melirik ke atas dengan mata sangat memelas.
 “Beneran, gak boleh…?” katanya sambil matanya melirik dengan rendah hati namun penuh harap.
“Yaa… sudahlah,” saya mengalah.
Jack masuk dengan senang. Tak terasa tangan saya meremas-remas kupingnya dan lipatan di dekat lehernya. Dia senang sekali. Sama senangnya kalau dia dengar saya buka pintu pagar yang selalu berderit kalau dibuka tutup. Dia datang dari rumahnya sendiri untuk menjemput. Ekornya bergoyang-goyang. Matanya yang biasanya sendu dan sering bikin saya tidak tega tanpa tahu untuk alasan apa sekarang berseri-seri. Mulutnya menyeringai. Mau ke mana nih sekarang, sepertinya itu yang ingin dia katakan. Dia tidak pernah mengikuti saya. Dia lebih senang berjalan di depan sambil sesekali menoleh ke belakang melihat ke mana saya pergi dan yang lebih penting lagi, memastikan saya masih ada di belakang dan tidak kabur darinya. Ke rumahnya untuk bertemu Mawar? Tidak. Belok kanan menuju rumah Rima? Tidak. Bagus! Jadi kita pergi jalan-jalan ke sawah kan?

Dia paling senang kalau diajak jalan-jalan ke sawah. Begitu sudah tahu tujuan saya dia berlari kencang duluan di dinding semen saluran irigasi yang sempit sementara saya harus jalan pelan dan hati-hati supaya tidak jatuh. Setelah lama mengendus-endus semak-semak ke sana ke mari Jack lari kencang mendatangi saya lagi. Kalau saya masih mau terus dia bersedia berbalik arah. Pergi ke mana saja tidak masalah buat dia selama punya kesempatan banyak untuk mengendus-endus dan lari-lari. Sedang saya mengagumi kecepatan larinya tanpa sedikitpun terpeleset, eh… saya lihat dia salah ambil ancang-ancang. Kedua kaki belakangnya terperosok ke saluran irigasi. Dia menarik badannya ke atas sambil melirik malu ke arah saya. Hahaha, sekali ini bisa luput juga dia.

Sekali waktu saya sudah siap jalan-jalan dengan Jack, ternyata Si Putih sudah menunggu. Dia adalah anjing betina yang tinggalnya agak jauh dan sekali-sekali pergi main di dekat rumah kami. Saya sering lihat Jack dan Si Putih main bersama-sama dan kejar-kejaran di sawah tanpa padi karena habis dipanen. Kadang-kadang ada beberapa anjing lain yang ikut bergabung tapi perhatian Jack cuma tertumpah pada Si Putih. Anehnya kali ini Jack tidak peduli pada Si Putih. Dia terus mengikuti saya padahal Si Putih terus berusaha mengingatkan Jack kalau dia ada di sana. Sampai acara jalan-jalannya selesai dan kami sudah pulang menuju rumah, Jack tetap mengabaikan Si Putih. Bisa-bisa Si Putih sakit hati dan lain kali tidak akan mau repot-repot lagi berkunjung untuk main bersama. Bukan salah saya lo, karena saya tidak pernah mengekang dan selalu memberinya kesempatan bergaul dengan siapa saja.

Jack sekarang sudah jarang datang dalam keadaan berlumpur. Saya rasa ini bukan karena dia jarang mengejar-ngejar bebek, tapi karena sawahnya tidak berair lagi. Saya perhatikan di beberapa tempat saluran irigasi ditutup dan air dibelokkan ke jurusan lain ke saluran yang mengairi petak-petak sawah yang masih membutuhkan air. Jack ternyata pernah pergi juga ke petak sawah ini. Dia tertangkap basah dalam keadaan berlumpur sedang tiduran di teras saya.
“Pergi, Jack,” kata saya. Jack langsung menurut. Saya masuk ke rumah, ambil minum, dan keluar lagi ke teras. Eh, ternyata Jack sudah ada di sana lagi. Untuk sampai ke teras ada tiga anak tangga yang harus didaki, seperti layaknya rumah-rumah di Bali. Satu kaki depannya yang sebelah kanan sudah berada di anak tangga nomor dua. Dia berhenti dalam adegan slow motion ini seakan tombol pause-nya saya tekan. Matanya melirik pada saya.
 “Boleh?” tanyanya.
“Gak!” kata saya galak dan memberi isyarat mengusir.
Tanpa sakit hati dia meninggalkan rumah saya, juga meninggalkan saya dalam perasaan bersalah. Aduh, Si Jack ini….

Sekarang sudah berhari-hari saya tidak mengajak Jack jalan-jalan. Jalan-jalan ini waktunya memang harus pas, kalau bisa sebelum jam tujuh. Setelah itu matahari terasa panas. Kalau saya bangun siang atau sibuk dengan yang lain saya sering lupa. Jack datangnya juga lebih siang karena saya terlambat membuka pintu pagar. Dengan sabar dia menemani saya. Tingkahnya sopan dan kalem. Dia mendadak bersemangat kalau saya bilang, “Ayo, jalan-jalan!” biarpun matahari sebenarnya agak panas, baik pagi maupun sore. Dan selalu, dia berlari-lari kecil dengan sekali-sekali menoleh ke belakang.
“Masih di situ? Cepet dikit napa.”
Tapi itu diisyaratkannya dengan sabar. Karena Jack selalu sabar. Sesekali dia mendengking tidak jelas, lari menjauh, mendekat, menjauh lagi, mengajak saya lompat-lompat bersamanya. Sepertinya dia tidak sadar saya sudah terlalu tua untuk lompat-lompat. Tapi di sebagian besar kesempatan dia sibuk mengendus semak-semak sendirian sementara saya menikmati cahaya keemasan sinar matahari di atas daun-daun dan batang padi dan langit yang berubah warna menjelang matahari terbenam.

Sabtu, 28 Februari 2015

Masukkan ke Kandang!

Paul menelpon waktu saya sedang ada di kantor sekitar jam setengah dua belas. Dia heran.
“Hari Sabtu kok kerja?”
Saya cepat-cepat mengiyakan dan pura-pura mengeluh mengenai banyaknya pekerjaan.
“Tapi sudah mau pulang,” saya menerangkan.
Dia ingin saya datang ke rumahnya karena ada tamu yang ingin ketemu saya, tapi tidak mau bilang siapa orangnya. Katanya biar surprise. Saya sebenarnya tidak begitu suka sama yang namanya surprise. Lebih tepatnya tidak percaya, karena kebanyakan ‘surprise’ itu garing ternyata. Tapi Paul tetap tidak mau bilang siapa surprisenya meskipun sudah didesak.
“Laki-laki apa perempuan?” tanya saya minta petunjuk, setelah mengancam tidak mau datang kalau tidak ada keterangan apapun.
“Sejujurnya, saya juga tidak yakin dia laki-laki atau perempuan,” jawab Paul.
Hah! Saya tidak sabar dengar caranya menjawab. Tapi saya diam saja karena takut kalau ditanggapi nanti dia mulai berfilosofi.
“Yah, saya mau datang asal dijemput,” jawab saya pada akhirnya.

Sampai di rumah saya langsung tiduran dan berharap Paul datangnya nanti saja sekitar jam 3 supaya saya sempat tidur dulu. Harapan yang sia-sia, karena tadi dia sudah bilang tamunya bisa saja tiba-tiba pergi. Dalam hati saya bilang,
“Biarin aja pergi. Syukur malah.”
Ternyata benar. Paul tidak memberi saya kesempatan untuk tidur sebentar saja karena tiba-tiba dia sudah mengetuk pintu. Dengan ogah-ogahan saya menemuinya dan tanya apa perlu ganti baju? Dia bilang tidak usah. Maka berangkatlah kami.

Saya agak curiga karena pintu rumah Paul tertutup dan tidak ada sandal atau sepatu di depan pintunya. Bisa saja tamunya itu tidak mau copot sandal dan takut masuk angin, jadi ini bukan petunjuk pasti bahwa tamunya sudah pergi. Paul kelihatan tenang-tenang saja dan membukakan pintu untuk saya. Anehnya saya malah disuruh ke lantai atas dan dilarang berisik. Saat itu saya tahu bahwa mungkin ‘surprise’ kali ini tidak begitu garing. Mungkin saya akan menemukan sebuah lukisan di sana? Tapi kenapa dilarang berisik?
“Keluar ke teras, belok ke kanan, dan lihat ke atas,” instruksinya.
Saya melakukan perintahnya, berjalan berjingkat dan dengan hati-hati mengintip dari balik tembok, untuk melihat… seekor burung hantu! Dia sedang bertengger di balok penyangga atap. Besar dan sangat tampan. Dibukanya matanya perlahan lalu dipandangnya saya dengan mata mengantuk. Sepertinya dia bilang,
“Halo, ini saya. Iya, tadi juga sudah banyak orang datang satu per satu untuk lihat saya. Kamu juga, ya?”

Saya cepat-cepat mundur. Takut dia kabur karena merasa terganggu dipandangi terus dengan mata melotot. Wow! Ini baru namanya surprise!
“Sejak kapan dia di sini? Dia cuma berdiri saja atau kadang-kadang terbang? Dia tidak takut orang? Apa sebaiknya lapor ke…mmm siapa ya? Boleh lihat lagi?”
Paul bilang burung itu sudah ada di terasnya selama tiga hari (Saya mencela, “Sudah tiga hari kok baru bilang sekarang?”). Mungkin sebelumnya juga sudah ada di sana tapi dia tidak memperhatikan. Saya agak takut-takut mendekat, tidak mau burung itu terbang. Tapi ternyata burung itu tenang-tenang saja. Setiap saya mendekat dia selalu mendengar, membuka matanya setengah dan merem lagi kalau saya mundur menjauh. Dipandanginya saya dengan kelopak mata setengah tertutup dari tempat bertenggernya di atas. Setahu saya burung hantu tidur di siang hari dan berburu di malam hari. Burung itu tidur dengan satu kaki diangkat. Kakinya yang sebelah dilipat rapat dan disisipkan ke dalam bulu-bulu di perutnya. Sepertinya itu posisi favoritnya.

Burung hantu sebesar itu siapa yang punya, ya. Menurut Paul burung itu bukan asli Indonesia. Hmm, kalau begitu, burung ini mungkin kabur dari seorang kolektor! Pemiliknya mungkin juga masih tinggal di seputar Ubud.  Saya kembali menyebut-nyebut soal menelpon petugas, tapi Paul mengisahkan cerita mengharukan tentang betapa seekor burung yang terkungkung dalam sarang besar akhirnya berhasil menemukan lubang di kandang kawatnya, melarikan diri dan menemukan kebebasan yang selalu didambakannya. Menurut saya belum tentu juga. Bisa saja sekarang burung ini menyesal karena melarikan diri, ingin kembali ke kandang di mana makanan selalu tersedia. Paul menjawab, burung itu selalu terbang di malam hari mencari makan, dan dia sanggup tidur berdiri dengan satu kaki diangkat selama seharian.
“Jadi jangan kuatir, burung ini cukup makan dan sangat sehat,” katanya.

Yang jelas burung ini tidak punya teman dari bangsanya sendiri. Tidak ada siapa-siapa kecuali dirinya sendiri. Tapi dia kan burung, ya? Mungkin itu bukan masalah buat dia? Soal seperti ini bakalan sulit untuk dipecahkan karena seekor burung tidak bisa ditanyai apa maunya. Saya yakinkan saja bahwa burung ini tidak apa-apa, dan kalaupun benar dia melarikan diri dari kandang dia sanggup mengurus dirinya sendiri. Jadi saya tidak komentar lagi. Saya sangat berharap burung yang diberi nama Bond itu selamanya akan tinggal di teras Paul. Kalau dia mau. Kalau dia akhirnya pindah juga, terpaksa saya harus puas dengan burung-burung yang tidak begitu mengesankan dibanding dia.

Paul melarang saya untuk memberi tahu orang-orang mengenai Bond. Katanya orang akan datang untuk menangkapnya kalau mereka tahu dia ada di sana. Tadinya saya tidak percaya, tapi ternyata itu benar. Waktu saya cerita kepada beberapa orang di tempat saya kerja (ini tidak melanggar larangan Paul, karena ‘orang-orang’ yang dimaksudnya adalah mereka yang tinggal sedesa), dan menunjukkan fotonya untuk jadi bukti kalau saya tidak bohong, semua kagum dan banyak yang bertanya, “Nggak ditangkap?”. Ternyata benar kata Paul. Saya ceramahi mereka supaya sedikit maju pikirannya, tapi saya malah dianggap aneh. Akhirnya saya tahu bahwa untuk mereka, punya kurungan yang berisi makhluk eksotik supaya bisa dipandangi sendiri atau dipamerkan kepada orang lain adalah sebuah pencapaian tinggi yang bisa menaikkan prestise.



Bond si burung hantu bukan satu-satunya yang eksotik dan orang ingin mengurungnya kalau bisa. Tupai juga. Ada seekor yang tinggal di pepohonan dekat rumah saya. Saya pernah melihatnya sedang duduk dengan kaki depan diangkat ke dekat muka, dan mulutnya bergerak-gerak seperti sedang makan. Tupai ini membuat sarang beberapa meter di atas teras saya yang dibangunnya di atas batang-batang pohon bambu yang lebat dan tumbuh menjorok ke teras. Suatu pagi saya menemukan sarang ini tergeletak di lantai teras. Pasti karena malamnya hujan lebat sekali dan angin kencang menjatuhkan sarang itu. Pak Putu (tukang ojek saya yang baru) yang menunjukkan sarang itu. Saya mengamati sarang yang terbuat dari ijuk yang tebal sekali itu dan saling menjalin rapat. Lalu Pak Putu menemukan dua ekor bayi tupai di dalamnya! Kecil sekali, hanya sebesar jempol orang dewasa. Pak Putu mengembalikan sarang ke pohon bambu, tapi tidak bisa di tempat yang sama karena letaknya terlalu tinggi.

Saya cerita lagi mengenai kejadian ini. Salah seorang sangat bersemangat dan minta diijinkan untuk mengambil bayi tupai itu. Beuh. Ini lagi. Kenapa gak minta ijin sama ibu tupai, saya kan bukan orang tua dari bayi-bayi itu. Dia yakin bisa membesarkan bayi itu, dan tahu apa makanannya. “Susu, tapi harus dicairkan, kalau enggak jadi sakit perut dan bisa mati,” katanya yakin. “Kalau tupainya sudah besar dan lari-lari di dalam kandang, keren sekali!” Karena dia bujangan yang mengurus diri sendiri saja tidak mampu, dan menurut gosip kamar kosnya sendiri kaya kandang, saya cuma mendengus menghina.


Ada satu hal yang membuat saya kuatir. Orang bilang ibu tupai tidak akan mau menyentuh anaknya lagi kalau anaknya itu sudah tercampur dengan bau manusia. Saya mengingat-ingat apakah saya menyentuh bayi-bayi tupai itu. Sepertinya tidak. Pak Putu juga tidak. Besoknya lagi, saya minta Pak Putu menurunkan sarang tupai itu untuk diperiksa. Kosong. Berarti ibu tupai sudah memindahkan anaknya. Tapi dia tidak mau menggunakan sarang itu lagi. Dibiarkan kosong saja. Mungkin benar kata orang, karena sarang itu pernah dipegang manusia, sarang itu sudah tercemar. 

Rabu, 21 Januari 2015

Jalan-jalan Pakai Motor



“Saya pergi ke mana-mana naik motor,” kata saya pada seorang teman di Bandung.
Dia memandang dengan kasihan. Saya maklum. Dulu saya juga berpikir seperti itu. Naik motor itu sengsara. Panas, berangin, kena debu. Kalau hujan basah kuyup. Pokoknya tidak ada bagusnya sama sekali. Saya juga memandang motor dengan negatif. Kalau jalan suka seenaknya, dan di kota-kota besar jumlahnya luar biasa banyak sampai mengintimidasi. Sebagai pengendara mobil saya memilih untuk mengalah. Selain itu, ada alasan lain kenapa naik motor itu enggak banget. Kalau naik motor harus pakai ‘gelembung’ yang jelek di kepala. Kalau mau pakai baju cantik dan sepatu tumit tinggi dan bawa tas tangan jangan pakai motor, deh. Gak matching banget!

Di sini suasananya lain. Saya kenal banyak orang yang lebih dari sanggup kalau cuma untuk beli mobil, tapi memilih untuk tidak punya mobil. Kebanyakan orang asing. Beli mobil kalau punya anak-anak yang masih kecil saja, yang diperlukan untuk antar jemput ke sekolah. Alasannya adalah demi kepraktisan. Ubud sudah sering macet dan banyak tempat yang tidak bisa didatangi dengan motor. Bahkan rumahnya yang di tengah sawah sendiri tidak bisa dicapai dengan mobil. Dan ternyata, naik motor itu enak banget. Memang ada kekurangannya, tapi kalau dihitung-hitung, selama badan masih kuat, menurut saya motor itu jauh lebih asyik untuk dipakai jalan-jalan menjelajah Pulau Bali.

Orang-orang yang berkunjung ke Bali sukanya mendatangi tempat yang itu-itu saja. Lihat saja daftar perjalanan tour anak-anak sekolah atau rombongan ibu-ibu yang pergi ke Bali. Selalu Kuta, Pandawa, Tanah Lot, Sangeh. Sesudah itu belanja di pasar Sukowati atau beli perak di Celuk. Dan wajib hukumnya mampir di Krisna untuk beli oleh-oleh. Membosankan sekali, ya? Bukannya tempat-tempat itu tidak layak dikunjungi. Tanah Lot itu indah sekali, begitu juga Kintamani dan danau di Bedugul. Tapi kenapa selalu menjalani jalur yang ‘aman’ dan banyak dikunjungi orang saja? Padahal banyak kemungkinan yang bisa diambil di Bali. Lain kali kamu pergi ke Bali, saya mau mengusulkan jalur lain. Dan percayalah, naik motor akan jauh lebih asyik, hehehe.

Ini adalah jalur yang kami ambil menjelang malam tahun baru yang lalu. Kami mengunjungi Widya yang tinggal di Pupuan. Jadi, mulailah dari Ubud dan ambil jalan ke arah Tabanan. Setelah itu pergi ke daerah pegunungan. Jangan salah, ada tempat yang namanya Jatiluwih yang juga di pegunungan dan titik awalnya juga dari Tabanan. Itu juga tempat yang menarik dan bisa dikunjungi lain kali. Sekarang kita mau ke Pupuan saja. Widya bilang dari Ubud ke Pupuan jaraknya 2,5 jam naik motor. Tapi kami menempuhnya lebih dari 4 jam. Kenapa? Pertama karena hujan. Berhenti dulu dua kali dan mampir ke pasar beli jas hujan untuk teman saya yang nyetir motor. Juga tersesat dan terpaksa balik lagi. Alasan lain yang tidak perlu disesali: karena jalur di pegunungan ini indaah sekali. Jangan ngebut di sini supaya bisa toleh-toleh kiri kanan. Kalau diikuti, rasanya di setiap belokan mau berhenti dulu karena sering pemandangannya lebih bagus dibandingkan di jalan yang lurus, bisa melihat lengkungan jalan yang baru dilewati. Hutan lebat. Jurang dalam yang rapat ditutupi tanaman hijau dan liar. Gunung-gunung di kejauhan. Sawah. Sambung menyambung tidak ada habisnya. Baru di akhir perjalanan muncul desa-desa. Setelah itu Pupuan, yang paling ramai. Biar capek dijamin tidak menyesal. Herannya, ada orang Tabanan yang tidak tahu di mana Pupuan. Dua orang yang kami tanyai menjawab, “Pernah dengar, tapi tidak tahu di mana. Tanya saja orang lain.” Duh. Orang Tabanan tapi tidak pernah ke Pupuan? Rugi amat!

Setelah satu jam lebih di rumah Widya kami berangkat lagi. Widya memberi bekal salak dan sumping, yang dulu saya kenal dengan nama nagasari. Rumah Widya sedikit melewati pertigaan Pasar Pupuan. Kami harus kembali ke pertigaan lalu belok ke kanan karena tujuan selanjutnya adalah Lovina.
“Kalau dari pertigaan diteruskan, itu ke mana Wid?” tanya saya.
“Ke Munduk,” jawab Widya.
Wah. Munduk. Dengar-dengar ini juga tempat yang bagus. Ada kenalan saya yang tinggal di sana. Saya juga pernah ketemu beberapa turis asing yang memasukkan Munduk dalam daftarnya untuk diinapi selama beberapa hari. Belum pernah ketemu turis Indonesia yang melakukan hal yang sama. Gampang ditebak, mereka maunya menginap di Kuta, Sanur, Seminyak dan sekitarnya. Menginap di Ubud atau Lovina saja segan.
“Munduk itu bagus, kan?” tanya saya lagi.
“Nggak tahu. Belum pernah ke sana.”
Astaga. Ini sih sama saja dengan dua orang Tabanan yang belum pernah ke Pupuan itu. Tapi ke teman saya saya membela Widya.
“Ngapain Widya harus ke sana? Memang ada orang yang pingin pergi ke Munduk?”
“Ada. Saya,” jawab teman saya.

Maka kami berangkat. Ke Lovina, bukan Munduk. Tapi suatu saat nanti pasti saya pergi ke Munduk. Dan jalur Lovina yang kami lalui itu, ya ampun, indaah sekali. Pohon-pohonnya tidak begitu liar dan rapat seperti jalur Pupuan, tapi sama mengagumkannya. Ada ruas jalan yang seperti di Puncak. Bedanya, kalau di Puncak ada kebun teh, di sini sawah. Kami berhenti sebentar dua kali untuk mengambil foto. Di lembah jauh di bawah terlihat sungai mengalir deras. Gunung-gunung ada tiga, semuanya berada di kejauhan. Saya tidak tahu gunung apa namanya. Sawahnya sedang menguning.

Kami menginap semalam saja di Lovina. Kembang api diluncurkan dari hotel-hotel dan homestay sepanjang pantai untuk menyambut tahun baru. Kami cuma menonton dari pantai hotel kami sendiri. Besoknya, sesudah sarapan, perjalanan dilanjutkan dengan tujuan… Amed. Tadinya saya tidak mau. Saya pikir untuk ke Amed perlu empat jam juga seperti jarak Ubud-Pupuan. Untungnya saya mengalah.  Pertama berangkat masih ogah-ogahan, eh semakin lama semakin semangat sejalan dengan pemandangan yang berganti-ganti. Kota besar, desa, pantai, desa lagi dan pantai lagi. Favorit saya adalah jalan yang menyusuri laut. Dua kali kami mendekati laut karena percuma sekali kalau pemandangan seperti itu cuma dilihat dari jauh. Ada juga jalan yang berbelok-belok pas sekali di pinggir tebing, sementara di bawahnya laut terbentang.Tidak lama sesudahnya sampai juga di Amed. Saya suka sekali desa kecil yang tidak kekurangan hotel dan restoran ini. Padahal, tadinya saya ingin berhenti dan menginap di mana saja sebelum Amed karena tempatnya bagus-bagus. Pantainya berpasir hitam dan enak sekali dipakai berenang karena ombaknya tidak terlalu besar.

Kembali ke premis awal bahwa naik motor lebih enak daripada naik mobil. Yang jelas, di sini lalu lintasnya tidak sepadat di Pulau Jawa. Naik motor masih oke kecuali kalau matahari sedang panas-panasnya. Keuntungan naik motor, kita jadi ingin menjelajah semua jalan meskipun sempit dan sedikit bergerinjul. Ke mana ujungnya, tidak penting amat. Pilihan yang tidak sengaja ini malah sering membawa ke tempat-tempat indah yang tidak terduga. Pantai yang sepi dan tenang. Hamparan sawah yang luas. Pura kecil yang pasti belum pernah dikunjungi wisatawan. Kalau jalan itu buntu, gampang sekali untuk putar balik. Sedangkan kalau naik mobil maunya kan mengikuti jalan besar yang biasa dilewati semua orang dan tujuannya pasti-pasti saja. Karena kalau nyasar malah repot. Selain itu mobil tidak bisa berhenti dan parkir di mana saja. Ada pohon berbunga lebat sekali  seperti sakura di Jepang, yang tumbuh di depan pura sebuah desa? Repot ah mau berhenti. Ada pemandangan bagus sekali di bawah tebing sana, kombinasi antara laut dan deretan rumah nelayan? Gimana mau berhenti, tepi jalannya sempit begini, belum lagi pas di belokan. Tambahan, dengan naik motor kita bisa merasakan angin meniup muka, rambut terurai ditiup angin segar (ini bohong. Mana bisa, kan harus pakai helm, hehehe). Pokoknya, tidak ada batas dengan alam. Seperti ikan di sungai. Sedangkan naik mobil sama dengan disekap dalam akuarium.