“Saya pergi ke mana-mana naik motor,” kata saya pada seorang
teman di Bandung.
Dia memandang dengan kasihan. Saya maklum. Dulu saya juga
berpikir seperti itu. Naik motor itu sengsara. Panas, berangin, kena debu.
Kalau hujan basah kuyup. Pokoknya tidak ada bagusnya sama sekali. Saya juga
memandang motor dengan negatif. Kalau jalan suka seenaknya, dan di kota-kota
besar jumlahnya luar biasa banyak sampai mengintimidasi. Sebagai pengendara
mobil saya memilih untuk mengalah. Selain itu, ada alasan lain kenapa naik
motor itu enggak banget. Kalau naik motor harus pakai ‘gelembung’ yang jelek di
kepala. Kalau mau pakai baju cantik dan sepatu tumit tinggi dan bawa tas tangan
jangan pakai motor, deh. Gak matching
banget!
Di sini suasananya lain. Saya kenal banyak orang yang lebih
dari sanggup kalau cuma untuk beli mobil, tapi memilih untuk tidak punya mobil.
Kebanyakan orang asing. Beli mobil kalau punya anak-anak yang masih kecil saja,
yang diperlukan untuk antar jemput ke sekolah. Alasannya adalah demi
kepraktisan. Ubud sudah sering macet dan banyak tempat yang tidak bisa
didatangi dengan motor. Bahkan rumahnya yang di tengah sawah sendiri tidak bisa
dicapai dengan mobil. Dan ternyata, naik motor itu enak banget. Memang ada
kekurangannya, tapi kalau dihitung-hitung, selama badan masih kuat, menurut
saya motor itu jauh lebih asyik untuk dipakai jalan-jalan menjelajah Pulau
Bali.
Orang-orang yang berkunjung ke Bali sukanya mendatangi
tempat yang itu-itu saja. Lihat saja daftar perjalanan tour anak-anak sekolah
atau rombongan ibu-ibu yang pergi ke Bali. Selalu Kuta, Pandawa, Tanah Lot,
Sangeh. Sesudah itu belanja di pasar Sukowati atau beli perak di Celuk. Dan
wajib hukumnya mampir di Krisna untuk beli oleh-oleh. Membosankan sekali, ya?
Bukannya tempat-tempat itu tidak layak dikunjungi. Tanah Lot itu indah sekali,
begitu juga Kintamani dan danau di Bedugul. Tapi kenapa selalu menjalani jalur
yang ‘aman’ dan banyak dikunjungi orang saja? Padahal banyak kemungkinan yang
bisa diambil di Bali. Lain kali kamu pergi ke Bali, saya mau mengusulkan jalur
lain. Dan percayalah, naik motor akan jauh lebih asyik, hehehe.
Ini adalah jalur yang kami ambil menjelang malam tahun baru
yang lalu. Kami mengunjungi Widya yang tinggal di Pupuan. Jadi, mulailah dari
Ubud dan ambil jalan ke arah Tabanan. Setelah itu pergi ke daerah pegunungan.
Jangan salah, ada tempat yang namanya Jatiluwih yang juga di pegunungan dan
titik awalnya juga dari Tabanan. Itu juga tempat yang menarik dan bisa
dikunjungi lain kali. Sekarang kita mau ke Pupuan saja. Widya bilang dari Ubud
ke Pupuan jaraknya 2,5 jam naik motor. Tapi kami menempuhnya lebih dari 4 jam.
Kenapa? Pertama karena hujan. Berhenti dulu dua kali dan mampir ke pasar beli
jas hujan untuk teman saya yang nyetir motor. Juga tersesat dan terpaksa balik
lagi. Alasan lain yang tidak perlu disesali: karena jalur di pegunungan ini
indaah sekali. Jangan ngebut di sini supaya bisa toleh-toleh kiri kanan. Kalau
diikuti, rasanya di setiap belokan mau berhenti dulu karena sering pemandangannya
lebih bagus dibandingkan di jalan yang lurus, bisa melihat lengkungan jalan
yang baru dilewati. Hutan lebat. Jurang dalam yang rapat ditutupi tanaman hijau
dan liar. Gunung-gunung di kejauhan. Sawah. Sambung menyambung tidak ada
habisnya. Baru di akhir perjalanan muncul desa-desa. Setelah itu Pupuan, yang
paling ramai. Biar capek dijamin tidak menyesal. Herannya, ada orang Tabanan
yang tidak tahu di mana Pupuan. Dua orang yang kami tanyai menjawab, “Pernah
dengar, tapi tidak tahu di mana. Tanya saja orang lain.” Duh. Orang Tabanan tapi
tidak pernah ke Pupuan? Rugi amat!
Setelah satu jam lebih di rumah Widya kami berangkat lagi.
Widya memberi bekal salak dan sumping, yang dulu saya kenal dengan nama
nagasari. Rumah Widya sedikit melewati pertigaan Pasar Pupuan. Kami harus
kembali ke pertigaan lalu belok ke kanan karena tujuan selanjutnya adalah
Lovina.
“Kalau dari pertigaan diteruskan, itu ke mana Wid?” tanya
saya.
“Ke Munduk,” jawab Widya.
Wah. Munduk. Dengar-dengar ini juga tempat yang bagus. Ada
kenalan saya yang tinggal di sana. Saya juga pernah ketemu beberapa turis asing
yang memasukkan Munduk dalam daftarnya untuk diinapi selama beberapa hari.
Belum pernah ketemu turis Indonesia yang melakukan hal yang sama. Gampang
ditebak, mereka maunya menginap di Kuta, Sanur, Seminyak dan sekitarnya. Menginap
di Ubud atau Lovina saja segan.
“Munduk itu bagus, kan?” tanya saya lagi.
“Nggak tahu. Belum pernah ke sana.”
Astaga. Ini sih sama saja dengan dua orang Tabanan yang
belum pernah ke Pupuan itu. Tapi ke teman saya saya membela Widya.
“Ngapain Widya harus ke sana? Memang ada orang yang pingin
pergi ke Munduk?”
“Ada. Saya,” jawab teman saya.
Maka kami berangkat. Ke Lovina, bukan Munduk. Tapi suatu
saat nanti pasti saya pergi ke Munduk. Dan jalur Lovina yang kami lalui itu, ya
ampun, indaah sekali. Pohon-pohonnya tidak begitu liar dan rapat seperti jalur
Pupuan, tapi sama mengagumkannya. Ada ruas jalan yang seperti di Puncak.
Bedanya, kalau di Puncak ada kebun teh, di sini sawah. Kami berhenti sebentar
dua kali untuk mengambil foto. Di lembah jauh di bawah terlihat sungai mengalir
deras. Gunung-gunung ada tiga, semuanya berada di kejauhan. Saya tidak tahu
gunung apa namanya. Sawahnya sedang menguning.
Kami menginap semalam saja di Lovina. Kembang api
diluncurkan dari hotel-hotel dan homestay
sepanjang pantai untuk menyambut tahun baru. Kami cuma menonton dari pantai
hotel kami sendiri. Besoknya, sesudah sarapan, perjalanan dilanjutkan dengan
tujuan… Amed. Tadinya saya tidak mau. Saya pikir untuk ke Amed perlu empat jam
juga seperti jarak Ubud-Pupuan. Untungnya saya mengalah. Pertama berangkat masih ogah-ogahan, eh
semakin lama semakin semangat sejalan dengan pemandangan yang berganti-ganti.
Kota besar, desa, pantai, desa lagi dan pantai lagi. Favorit saya adalah jalan
yang menyusuri laut. Dua kali kami mendekati laut karena percuma sekali kalau
pemandangan seperti itu cuma dilihat dari jauh. Ada juga jalan yang
berbelok-belok pas sekali di pinggir tebing, sementara di bawahnya laut
terbentang.Tidak lama sesudahnya sampai juga di Amed. Saya suka sekali desa kecil
yang tidak kekurangan hotel dan restoran ini. Padahal, tadinya saya ingin berhenti
dan menginap di mana saja sebelum Amed karena tempatnya bagus-bagus. Pantainya
berpasir hitam dan enak sekali dipakai berenang karena ombaknya tidak terlalu
besar.
Kembali ke premis awal bahwa naik motor lebih enak daripada
naik mobil. Yang jelas, di sini lalu lintasnya tidak sepadat di Pulau Jawa.
Naik motor masih oke kecuali kalau matahari sedang panas-panasnya. Keuntungan
naik motor, kita jadi ingin menjelajah semua jalan meskipun sempit dan sedikit bergerinjul.
Ke mana ujungnya, tidak penting amat. Pilihan yang tidak sengaja ini malah sering
membawa ke tempat-tempat indah yang tidak terduga. Pantai yang sepi dan tenang.
Hamparan sawah yang luas. Pura kecil yang pasti belum pernah dikunjungi
wisatawan. Kalau jalan itu buntu, gampang sekali untuk putar balik. Sedangkan kalau
naik mobil maunya kan mengikuti jalan besar yang biasa dilewati semua orang dan
tujuannya pasti-pasti saja. Karena kalau nyasar malah repot. Selain itu mobil tidak
bisa berhenti dan parkir di mana saja. Ada pohon berbunga lebat sekali seperti sakura di Jepang, yang tumbuh di depan
pura sebuah desa? Repot ah mau berhenti. Ada pemandangan bagus sekali di bawah tebing
sana, kombinasi antara laut dan deretan rumah nelayan? Gimana mau berhenti,
tepi jalannya sempit begini, belum lagi pas di belokan. Tambahan, dengan naik
motor kita bisa merasakan angin meniup muka, rambut terurai ditiup angin segar
(ini bohong. Mana bisa, kan harus pakai helm, hehehe). Pokoknya, tidak ada
batas dengan alam. Seperti ikan di sungai. Sedangkan naik mobil sama dengan
disekap dalam akuarium.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar