Kamis, 11 Juli 2013

Kisah Munmun dan Nyitnyit


Catatan: Kamu orang dewasa yang cinta dongeng? Terutama untuk kamulah cerita ini ditulis :) Ingat, semua tempat dalam cerita ini adalah nyata. Begitu juga tokoh-tokohnya, kalau kamu dapat memahami keajaiban dongeng.



Alkisah, hiduplah Munmun dan Nyitnyit di belantara Ubud. Sebenarnya zaman sekarang tidak ada lagi tempat yang pantas disebut ‘belantara Ubud’, namun Munmun sudah berhasil mengatur sedemikian rupa sehingga sepotong tanah yang didiaminya masih bisa disebut hampir belantara dengan pohon-pohon, semak-semak, dan sulur-suluran yang cukup rapat. Untuk menuju tempat itu kamu harus menuruni tangga tanah yang terjal, jauh ke bawah. Bawa serta handukmu, juga perlengkapan mandi seperti sabun dan sampo. Jangan lupa gayungnya juga. Kamu akan sampai di sebuah bak semen yang penuh dengan air. Airnya langsung dialirkan dari mata air yang segar sekali. Sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan air sumur maupun air ledeng. Ada  dinding yang tidak begitu tinggi yang mengitari bak itu. Kalau kamu cukup nekat untuk membuka baju dengan kemungkinan diintip orang dari atas, kamu bisa mandi di sana.



Namun, setelah berpikir sejenak kamu memutuskan bahwa semangat untuk merasakan sendiri bagaimana hidup seperti orang lokal, meskipun terdengar romantis, adalah terlalu berisiko. Maka kamu kembali menuruni tangga tanah itu, tertarik oleh suara menderu-deru yang disebabkan oleh air sungai yang mengalir deras. Lalu air menghalangi langkahmu. Kamu sudah sampai di ujung. Tapi jangan dikira kamu sudah menemukan tempat tinggal Munmun, apalagi bisa melihatnya sekilas di antara dahan pohon. Kamu tahu bahwa Munmun tinggal di sana hanya karena kamu sudah diberi tahu melalui cerita ini. Tapi orang-orang yang tidak seberuntung kamu, setelah diam dan kagum sejenak, mereka akan kembali mendaki tangga itu tanpa memikirkan Munmun. Sesampai di puncak tangga mereka menoleh lagi untuk melihat terakhir kali betapa hijau dan rimbunnya tempat itu, lalu menghela napas. Kemudian mereka kembali ke kota untuk belanja atau makan siang. Kepala mereka sibuk memikirkan hal-hal lain.



Munmun tidak mengijinkan satu orang pun mendatangi tempat tinggalnya. Begitu  rumahnya ditemukan orang, akan rusaklah tempat itu. Dengan cerdik dia sudah membuat lubang tersembunyi yang disamarkan dengan baik, tempatnya keluar masuk. Nyitnyit baru datang kemudian. Dia berasal dari tempat yang jauh. Munmun langsung menyukainya begitu dia melihat Nyitnyit. Dia suka bunyi-bunyian yang keluar dari mulut Nyitnyit, dia suka kembang kuning besar di atas telinganya, dan dia suka mata Nyitnyit yang terlihat cerdas. Nyitnyit juga suka pada Munmun dan dia terpesona oleh cerita Munmun mengenai tempat tinggalnya. Kamu tahu, di mana-mana belantara sudah mulai menghilang. Tempat asal Nyitnyit tidak bisa disebut belantara, hutan pun bukan. Maka Nyitnyit bersedia tinggal di tempatnya yang baru bersama Munmun.



Nyitnyit bahagia tinggal di rumah barunya. Kadang-kadang dia main-main keluar dari belantara itu, namun tidak terlalu jauh, dekat-dekat saja. Tentu saja dia harus waspada ketika keluar dari pintu tersembunyi, jangan sampai ada orang yang melihat. Itu tidak terlalu sulit untuknya karena dia lincah sekali. Matanya juga tajam, gerakan daun sehalus apapun akan terlihat olehnya. Maka dia tahu ada orang yang mengintip dari balik semak. Dia menunggu sampai orang itu pergi. Nyitnyit pernah mendengar tentang sebuah tempat yang bernama Monkey Forest. Dia ingin pergi ke tempat yang cukup jauh itu tapi Munmun meremehkan keinginannya. Katanya tempat itu sangat membosankan. “Itu hutan bohong-bohongan dan semua monyet di sana adalah badut-badut,” kata Munmun. Nyitnyit menurut saja karena dari cerita Munmun tempat itu kedengarannya memang kurang menarik. Nyitnyit segera melupakan tempat itu dan sibuk meloncat ke sana ke mari dengan riang.



“Nyitnyit, berhentilah mengendus-endus. Kamu monyet, bukan anjing,” kata Munmun. Tapi Nyitnyit terus mengendus-endus. Munmun menghela napas panjang tanda putus asa. Menurutnya Nyitnyit sudah tak tertolong lagi. Semua benda diendusnya. Jauh di atas belantara itu ada sebuah jembatan besar. Orang-orang menaruh sesajen di dinding pembatas jembatan di pagi hari. Setiap hari mereka menambah sesajen itu sampai jumlahnya banyak sekali. Sesajen-sesajen itu jadi bertumpuk-tumpuk dan berdesak-desakan. Angin menerbangkannya dan sebagian terbawa ke belantara di bawah sana. Ada yang menyangkut di pucuk pohon. Ada yang jatuh ke tanah. Nyitnyit mengendus semuanya. Kelopak-kelopak bunga. Potongan-potongan janur. Butir-butir nasi. Biskuit yang sudah melempem. Dan banyak permen juga. Nyitnyit tidak pernah makan permen. Padahal giginya sangat kuat, sedikit permen bukan masalah untuknya. Namun Nyitnyit selalu mengeluh tentang lingkar pinggangnya yang membuat Munmun bosan. “Dasar perempuan, di mana-mana sama saja,” keluh Munmun. Munmun pernah membawakan permen sisa sesajen yang masih bersih namun Nyitnyit tidak menggubrisnya. Dia takut gemuk.



Begitulah. Nyitnyit mengendus apa saja. Dia mengendus pisang sebelum memakannya. Mengendus ranting kayu, mengendus udara, mengendus kerikil. Apa saja. Dia suka bau-bauan. Dia bahkan bisa membaui air tawar. Dia juga mengendus kepala Munmun. Munmun merasa bosan dan menunggu saja dengan sabar. Akhirnya Munmun juga mencoba mengendus. Setelah itu dia jadi sedikit mengerti kesukaan Nyitnyit itu, namun Munmun cuma mengendus sedikit, tidak menjadikannya sebagai obsesi.



Sebaliknya, Nyitnyit juga punya keluhan tentang Munmun. Kalau Munmun bosan dengan endusannya, Nyitnyit bosan dengan perang abadi Munmun pada semut-semut.

“Semuuut!!!!” teriak Munmun.

Munmun kalang kabut. Dipatahkannya dahan pohon lengkap dengan daun-daunannya. Disapunya semut-semut itu dalam sekali libas. Kadang-kadang dia menginjak-injak semut-semut itu. Menenggelamkannya dengan semprotan air. Meniupnya kuat-kuat. Bahkan pernah akan membakarnya, tapi dicegah oleh Nyitnyit karena bisa saja terjadi kebakaran.

“Semuuut!!!!” lagi-lagi Munmun mengagetkan Nyitnyit yang sedang santai berayun-ayun.

Tanpa tertarik Nyitnyit melirik dengan malas. Mereka ini hidup dalam belantara, apa lagi yang bisa diharapkan? tanya Nyitnyit dalam hati.



Begitulah kehidupan Munmun dan Nyitnyit. Selain endusan dan perang semut yang saling dianggap membosankan oleh masing-masing, mereka menikmati hidup. Mereka senang mengejar-ngejar tupai, memanjat pohon, berayun-ayun di akar pohon beringin, berenang di sungai atau memancing ikan, dan macam-macam lagi. Sampai Munmun memikirkan hal-hal lain. Munmun ingin pindah ke pantai. Katanya di pantai banyak warna-warna.

“Di sini terlalu hijau,” keluh Munmun. “Pantai adalah tempat di mana kamu bisa melihat sinar matahari menari-nari untuk menghasilkan bayangan indah yang lembut bergetar di permukaan laut.”

“Di sini cahaya matahari tidak bisa bebas menerobos daun-daunan,” Munmun mengeluh lagi.

Tapi Nyitnyit suka tempat ini. Dia suka sinar redup kehijauan dan sejuknya udara. Dia suka mendengar suara burung. Di malam hari dia bisa mendengar daun saling berbisik dan kodok mendengkur. Dia tidak tahu sebelumnya bahwa Munmun adalah pencinta warna. Sedangkan dirinya adalah pencinta bau-bauan. Mereka terpaksa berpisah.


“Biarlah kamu tinggal di sini kalau kamu suka tempat ini,” kata Munmun. “Aku akan pergi ke pantai.”

“Tidak, Munmun, aku juga akan pergi dari sini,” jawab Nyitnyit.

“Apa? Ke mana kamu akan pergi?”

“Aku akan pergi ke Monkey Forest.”

“Sudah kubilang tempat itu payah! Hutannya bohong-bohongan dan semua monyet di sana adalah…”

“Badut-badut,” Nyitnyit menyelesaikan kalimat Munmun.

“Aku rasa kamu salah, Munmun. Monyet-monyet di sana sopan dan cukup berbudaya. Mereka memang harus tinggal di sana. Ke mana lagi mereka bisa pergi? Belantara tidak cukup luas untuk menampung semuanya.”

Munmun tidak setuju tapi diam saja.



Jadi, kalau kamu pergi ke Monkey Forest nanti kamu bisa berpikir tentang Nyitnyit sambil bertanya-tanya manakah dia di antara banyak monyet lainnya. Sayangnya kamu tidak bisa membedakan suara dari monyet-monyet itu. Nyitnyit punya suara yang indah. Kamu juga tidak bisa melihat bunga kuning besar di atas telinganya padahal dia selalu memakainya. Satu-satunya petunjuk adalah matanya yang bersinar cerdas. Tapi kamu juga tidak boleh menatap mata monyet. Monyet akan menyerang kalau kamu melakukan kontak mata dengannya. Ini adalah peringatan keras! Saya, penulis cerita ini dan satu-satunya yang tahu tentang kisah ini sebelum menyebarkannya, dengan serius memperingatkannya. Jangan sekali-sekali menatap mata monyet. Sedangkan mengenai Munmun, kamu tidak akan menemukannya di sana. Dia sudah pergi jauh ke pantai.