Senin, 29 Oktober 2012

Masih tentang URWF


Untuk mengikuti acara-acara utama di Ubud Readers and Writers Festival ini kita harus pandai-pandai memilih, dan yang lebih penting, jangan serakah. Kalau serakah malah bisa frustrasi sendiri, kan tidak mungkin semua acara mau diikuti. Selama empat hari acara berlangsung serempak dari pagi sampai sore di tiga tempat berbeda. Ketiga tempat itu letaknya berdekatan, jadi peserta bisa pindah dari satu tempat ke tempat lainnya dengan mudah. Dua di antara tempat itu adalah restoran, letaknya bersebelahan, jadi benar-benar tinggal keluar dari satu pintu terus masuk ke pintu yang lain. Yang satu lagi adalah Museum Neka, harus ditempuh kira-kira lima menit jalan kaki (jalannya yang cepat, ya) dari kedua restoran tadi. Kalau masih pagi sih tidak apa-apa, tapi kalau sudah siang panasnya minta ampun. Jadi, walaupun ada acara menarik diselenggarakan di Museum Neka, saya yang sudah berada di suatu acara di restoran tadi memilih untuk tetap tinggal di tempat yang sama.

Gara-gara malas jalan kaki di siang bolong itulah saya kehilangan kesempatan untuk mendengar pembahasan buku Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer. Padahal ini adalah tema festival tahun ini. Karena tempatnya luas, Museum Neka dipilih untuk acara yang diperkirakan peminatnya pasti banyak. Jose Ramos Horta juga bicara di sini. Ternyata beliau ini juga seorang penulis, dan buku anak-anak yang ditulisnya kalau tidak salah tokoh utamanya adalah seekor buaya. Sudah bisa ditebak bahwa pembicara dan pendengar lebih suka untuk tidak membahas buku ini. Yang lebih menarik untuk dibicarakan adalah tentang masa depan Timor Timur, hubungannya dengan Indonesia, dan bagaimana mereka mengubur luka lama. Ramos Horta ini orangnya lucu sekali, dan tidak terlihat dendam sedikit pun pada perlakuan pemerintah kita dulu terhadapnya. Berkali-kali dia membuat para pendengarnya tertawa. Katanya, yang mestinya dapat penghargaan Nobel itu Presiden Soeharto. Namun panitia seleksi Nobel salah ucap, yang harusnya Pak Harto jadi Pak Horta.

Ada satu acara lain yang khusus membahas tentang humor dalam buku. Panitia memilih dua penulis dengan cara yang sangat ajaib, atau pintar sekali. Yang seorang adalah pastor dari Kupang, kulitnya hitam dan mukanya keras. Yang seorang lagi perempuan penulis muda dari Norwegia, mukanya pucat sekali dan rambutnya juga pirang sekali, hampir putih. Pastor ini sangat periang. Acara dibuka dengan permainan gitarnya sambil menyanyikan lagu ciptaannya sendiri. Saking riangnya lagu ini, para pendengar ikut bertepuk tangan mengikuti irama walaupun tidak mengerti lagunya: "kucing mengeong, ekornya melingkar, disambar kilat, meong-meong-meong," nyanyinya. Penulis Norwegia di sebelahnya hanya tersenyum sangat tipis sementara yang lain bertepuk.

Penulis Norwegia ini bilang bahwa dia sering ditanya orang, apakah benar orang-orang Nordic itu jarang tertawa? Dia bilang memang benar. Tapi bukan berarti mereka tidak suka humor. Hanya saja, humornya lain. Dia bercerita tentang  buku mengenai perang yang pernah dibacanya. Perang itu kejam dan absurd, menertawakan perang adalah lebih dari absurd. Dalam buku itu digambarkan kepala-kepala yang terpenggal, dan satu-satunya reaksi yang mungkin adalah tertawa terbahak-bahak. Hm, dalam bayangan saya, pastor dan perempuan Norwegia ini tentu tidak akan sepakat tentang apa yang disebut lucu, sampai kapan pun. Tapi para pendengar sangat tertarik dengan pembicaraan perempuan ini. Saya juga, jadi saya beli bukunya yang bercerita tentang perempuan tua yang dalam ketakutannya menyambut kematian melakukan hal-hal yang absurd.

Seorang pembicara di sesi lain adalah penulis puisi yang tinggal di kaki gunung Jawa Barat. Cara berbicaranya sangat Sunda, seperti profesi yang diucapkan propesi dan novel yang diucapkan nopel. Puisinya sama menariknya dengan ceritanya mengenai kehidupan sehari-hari, dan memang puisinya berisi cerita kehidupan sehari-hari. "Bagi saya, melihat petani kedinginan berangkat ke ladang di pagi hari sudah merupakan puisi itu sendiri," katanya menjelaskan. Kadang pembicaraannya terdengar lugu, seperti bagaimana petani miskin harus tahan mandi dengan air dingin. Kalaupun ingin mandi dengan air hangat, mereka menghangatkannya dengan cara mengalirkan listrik ke air. Jadi harus sangat hati-hati, bisa-bisa kesetrum! Sepertinya dia tidak selugu yang ditampilkannya karena dia berpendidikan tinggi. Tapi seperti banyak orang Sunda lainnya, dia suka melucu. Orang Sunda bilang ngabodor. Penerjemahnya yang berkulit putih tidak menerjemahkan semua banyolannya itu, mungkin karena tidak mengerti di mana letak lucunya.

Ketika diskusi selesai dan orang-orang meninggalkan tempat duduk untuk pindah ke tempat lain, saya tetap diam di tempat. Seorang perempuan duduk di samping saya. Katanya dia adalah guru SMU dari Jakarta yang membawa murid-muridnya ke Ubud khusus untuk menghadiri festival ini. Dia juga banyak tanya soal brem Bali, katanya pesanan orang. Belinya di mana, jenisnya apa saja, mereknya apa saja. "Maaf ya, saya banyak tanya-tanya, soalnya saya bukan peminum." Eh, apa maksudnya, nih. Dipikirnya saya ini peminum, apa? Dia tanya lagi, brem apa yang paling bagus? Saya jawab, pilih saja yang paling mahal. Wah, dia tertawa keras-keras sampai beberapa orang melirik tajam karena panelis sudah mulai berbicara di depan ruangan. Astaga, selucu itukah, sampai harus tertawa keras-keras? Selama acara berlangsung dia sibuk memencet-mencet dan memperhatikan layar handphonenya saja.

Beberapa kali saya melihat sekelompok remaja perempuan masuk ke ruangan berombongan, duduk sebentar mendengarkan, bergerak-gerak gelisah, kemudian keluar lagi sambil berjingkat-jingkat. Saya maklum, tentunya acara ini terlalu berat untuk mereka, apalagi semua pembicaraan dalam bahasa Inggris. Pasti ibu gurunya kurang teliti memilih program nih, karena sebenarnya festival ini juga menyelenggarakan berbagai acara khusus untuk remaja dan anak-anak. Kelompok remaja laki-lakinya bersikap lebih berani, mereka memilih untuk berlama-lama nongkrong di restoran sambil memasang musik keras-keras. Saya hampiri mereka, dan bilang, "Di sebelah sana dipasang musik gamelan Jawa baguus sekali, tapi saya nggak bisa dengar karena musik di sini terlalu keras." Mereka spontan menjawab, "Aduh..., maaf, Tante!" Penyesalannya tulus sekali dan musik langsung dimatikan, tapi... hey! siapa kasih ijin untuk panggil saya Tante? Sejak kapan saya nikah sama Oom-mu?

Waktu sedang istirahat di bangku di bawah tenda seorang kakek-kakek minta ijin untuk duduk di depan saya di bangku yang masih kosong. Dia bertanya apakah saya seorang penulis. "I am trying," jawab saya. Kakek itu dengan semangat membalas, "Me too." Wah, saya salut dengan kakek ini. Sudah tua tapi masih punya minat untuk melakukan sesuatu yang disukainya. Dia datang jauh-jauh dari negaranya untuk mengikuti acara festival ini. Karena saya sudah baca keempat tetralogi buku Pram, dan dia baru baca yang jilid satu, dipaksanya saya menceritakan apa yang terjadi pada suatu keluarga. Yang lupa pun saya karang-karang saja, habis, dia terus memaksa saya untuk ingat! Kakek ini juga bercerita mengenai buku yang sedang ditulisnya dan minta pendapat saya segala, hehehe. Enaknya jadi manula di negara maju. Sudah pensiun bisa menikmati hari-harinya dengan santai sambil bepergian ke sana ke mari. Anak-anak SMU itu juga beruntung. Walaupun bosan dengar ceramah mereka bisa nonton film yang tidak biasa setiap sore, seperti Drupadi misalnya. Kapan bisa nonton film sebagus ini kalau bukan di festival?