Senin, 28 Mei 2012

Dua Penembak Jitu


Setelah beberapa lama—yang bagi saya terasa lama sekali—sawah dibiarkan saja kosong tidak ditanami, akhirnya bibit padi disemai juga. Menurut info yang saya tahu, sawah-sawah dibiarkan kosong agak lama untuk memutus siklus hama padi. Begitu dirasa waktu tanam sudah tiba para petani menanam padi secara serentak. Segera setelah ditanam kecepatan tumbuh padi ini sangat mengagumkan. Baru sebentar saja tingginya sudah setinggi lutut. Tidak perlu menunggu lama-lama, padi itu pun berbuah.

Ada seekor anjing yang suka berlari-lari di pematang sawah. Warna badannya seluruhnya hitam, kecuali sedikit warna putih di ujung ekornya. Kalau dia sedang berlari-lari di antara padi, yang kelihatan dari jendela saya hanya warna putih yang bergerak dari kiri ke kanan atau sebaliknya di atas pucuk padi. Lucu!

Padi menguning. Tiba waktunya Suwarji memasang orang-orangan di sawah. Orang-orangan ini adalah yang terjelek yang pernah saya lihat. Kepalanya hanya berupa ijuk dari sapu yang didirikan terbalik .Wajahnya tidak bermata, bermulut, apalagi berhidung atau telinga. Bajunya adalah baju kaos milik Suwarji sendiri, tentu saja yang sudah jelek. Kaos itu bertulisan SANIBEL. Kepalanya dipasangi kain, mungkin maksudnya adalah topi, tapi bagi saya kelihatan seperti bando kebesaran yang merosot. Entah apa lagi yang dilakukan Suwarji pada orang-orangan itu, karena hari berikutnya bentuknya semakin tidak keruan.  Ada benjolan besar di tengkuk yang seperti tumor besar. Saya sampai heran melihat orang-orangan ini. Bukankah orang Bali dikenal sangat artistik?

Seperti bisa diduga, burung-burung pipit sama sekali tidak merasa takut. Mereka santai saja bertengger di atas kabel listrik yang melintang tepat di atas Sanibel atau ribut mencicit-cicit kesenangan sambil mematuki padi. Saya tidak heran melihat tingkah burung-burung itu. Jelas saja, karena Sanibel terlihat lebih menakutkan bagi manusia daripada bagi burung. Tiba-tiba Suwarji muncul bergegas-gegas dan berteriak. Suaranya keras seperti salakan anjing yang sedang marah. “HAH! HAH! HAH!” Saya kagum akan kerasnya suaranya. Burung-burung terbirit-birit melarikan diri. Rupanya Suwarji tidak sedikit pun dalam suasana ingin berbagi, padahal burung-burung itu cuma mencuri sedikit saja. Bukan hanya Suwarji, istrinya kadang-kadang datang dan berteriak sama kerasnya. Memang mereka pasangan yang serasi. Mungkin kerasnya suara mereka itulah yang mempertemukan kedua sejoli itu dulu.

Suwarji Sniper
Suwarji juga memasang bendera dari plastik putih yang diharapkan kibarannya akan mengusir burung. Kaleng-kaleng bekas dirangkai pada tali yang ujungnya bisa ditarik untuk menimbulkan bunyi berkelontangan. Pak Tua ini biasa bersembunyi di semak-semak. Dengan topi pet bertulisan SNIPER dia meringkuk sambil berjongkok. Ketika burung-burung mulai berkumpul Suwarji membiarkan saja. Baru ketika mereka sudah merasa aman dan makan semakin asyik, ditariknya tali keras-keras. “HAH! HAH! HAH!” Seruannya tidak kalah keras dengan suara senapan betulan. Dengan jengkel dan kecewa burung-burung bergegas terbang. Suwarji puas dan kembali meringkuk, menunggu kesempatan lain. Mungkin seorang cucunya yang berselera humor tinggi dan tahu kebiasaan kakeknya bersembunyi sambil menunggu kesempatan menyalakkan HAH!-nya menghadiahinya topi pet itu.

Aksi Suwarji yang berlagak seperti penembak jitu itu membuat saya teringat pada peristiwa lain. Sudah lama saya mendapat gangguan dari tokek. Setiap pagi ketika saya memeriksa meja kerja, di atas laptop sering terdapat hasil karyanya yang sama sekali tidak menimbulkan kekaguman. Sebaliknya, itu selalu membuat saya marah-marah karena terpaksa membersihkannya dengan kertas tisu. Baunya minta ampun! Herannya, setiap saya geser posisi laptopnya tokek itu seakan tahu benar di mana harus mengambil ancang-ancang untuk menggunakan laptop saya sebagai toiletnya.

Gangguan ini harus segera diakhiri! Saya berkeluh-kesah kepada Nyoman karena dialah yang biasa membereskan semua persoalan yang berhubungan dengan urusan rumah. Nyoman berjanji akan mengatasi soal itu. Benar saja, pada suatu malam dia datang mengetuk pintu dan berkata akan memburu tokek itu sekarang juga. Di tangannya terdapat sebuah … senapan! Bukan bambu, bukan tongkat. Saya sama sekali tidak menyangka bahwa cara mengenyahkan tokek adalah dengan menembaknya. Sungguh, sebenarnya saya tidak ingin tokek itu dibunuh. Tapi bagaimana lagi, apa mau melatih tokek untuk buang air di tempat yang benar? Ya sudahlah, tidak ada pilihan. Tapi soal membunuh dengan senapan, baru kali ini saya melihat yang seperti ini. Namun harus diakui bahwa cara ini sangat praktis.  Tidak perlu repot mengejar tokek di tempatnya yang tinggi di langit-langit.  Intan dan Lia yang membuntuti di belakang punggung Nyoman terlihat bersemangat walaupun sedikit takut-takut untuk menyaksikan ayahnya beraksi.

Segera kami mendeteksi keberadaan tokek itu. Nyoman membidik penuh konsentrasi. DOR! Cukup sekali tembak, tokek itu jatuh dan mati. DOR! Seekor lagi dieksekusi dengan cara yang sama. Goliath, tokek super besar sudah beberapa hari menghilang dan tidak muncul-muncul sampai sekarang. Saya rasa dia memang cerdik. Nyoman sama sekali bukan tandingannya dan dia tahu kapan harus menghilang di saat yang kritis.

Sekarang hidup saya aman sentosa dan tidak perlu geser-geser laptop di meja mencari posisi yang aman. Ubud juga sudah mulai dingin karena hujan sering turun. Padi sudah siap untuk dipanen. Seperti kecepatan tumbuhnya yang pesat, proses panennya juga singkat sekali. Pagi-pagi sekali para perempuan sudah memotong padi-padi ini dan memukul-mukulkannya ke kayu. DUK! DUK! DUK! Bulir padi pun rontok. Walaupun bunyi ini bisa membangunkan saya yang sedang malas-malasan di hari Minggu, saya tidak keberatan. Sorenya para perempuan tadi melanjutkan pekerjaan yang tertunda karena hujan turun di siang hari. Burung-burung pipit ribut berceloteh sambil marah-marah karena padinya hilang dalam sekejap. Mereka melompat-lompat kebingungan dan akhirnya terbang pergi dengan kecewa. Setelah itu, batang padi yang masih tersisa dibakar.

Dengan dipanennya padi pemandangan sawah jadi coklat meranggas, terdiri dari batang-batang kering yang sudah terpotong. Di beberapa tempat terdapat bekas gundukan batang padi yang dibakar. Bebek-bebeklah sekarang yang datang tiap hari menggantikan burung pipit, sibuk mencari sisa-sisa padi yang tercecer. KWEK! KWEK! KWEK! Mereka dengan kompak membuntuti pemimpinnya ke sana ke mari di antara genangan air sawah dengan mulut yang tidak bisa diam. Sanibel terpuruk di sebelah sana, seluruh badannya kotor dan terbengkalai. Dengan tubuh patah-patah seperti sebuah boneka rusak, sungguh ini merupakan akhir yang tragis baginya. Suwarji tidak merasa perlu untuk menyelamatkannya. Berakhirnya tugas Sanibel juga berarti selesainya satu masa tanam padi. Saya tidak tahu berapa lama sawah akan dibiarkan sebelum tanahnya diolah lagi untuk musim tanam berikutnya. Tapi saya tahu apa saja yang bisa saya harapkan akan saya dengar lagi nanti. HAH! HAH! HAH! DUK! DUK! KWEK! KWEK! KWEK! Kalau DOR! DOR! saya harap tidak akan perlu saya dengar lagi.

Kamis, 10 Mei 2012

The Artist


Bahwa Ubud pernah dan masih menjadi rumah bagi para pelukis terkenal atau yang ingin terkenal, semua orang sudah tahu. Nama-nama seperti Arie Smith, Walter Spies, Rudolf Bonnet, I Gusti Nyoman Lempad dan masih banyak lagi dikenal pernah tinggal di Ubud. The Young Artist yang didirikan berpuluh tahun yang lalu masih hidup sampai sekarang dan menjadi satu gaya tersendiri. Papan iklannya berdiri di tikungan yang mengarah ke Penestanan, dengan megah mengumumkan keberadaannya. Rasanya tidak enak juga bahwa sesudah tujuh bulan tinggal di Ubud saya hanya pernah mengunjungi Museum Puri Lukisan dan Museum Antonio Blanco, padahal masih banyak museum lain. Akan tetapi, kalaupun tidak berniat mengunjungi museum, menemukan lukisan di sini sangat mudah. Lukisan ada di mana-mana. Jalan-jalan saja di kota Ubud atau desa-desa sekitarnya, macam-macam studio lukisan memajang karyanyanya dalam berbagai macam gaya.

Saya beruntung mengenal secara pribadi seorang pelukis di Ubud. Saya sebut saja dia The Artist. Saya tahu bagaimana lukisannya disiapkan dan dikerjakan. Pertama, memotong kanvas dari gulungan sebesar karpet dan kemudian merentangkannya pada rangka kayu . Ini merupakan pekerjaan yang cukup berat karena ukuran lukisannya cukup besar. Sudut kanvas tidak boleh longgar. Cuaca yang tepat perlu diperhatikan ketika melakukan pekerjaan ini, bisa-bisa kanvas memuai dan kendor nantinya. Berbagai alat pertukangan diperlukan dalam proses ini. Catok, palu, stapler khusus kayu, dsb. Saya rasa seorang perempuan pelukis lebih suka memesan kanvas yang sudah terentang pada rangka daripada mengerjakannya sendiri. Setelah dipasang pada rangka, kanvas perlu diamplas untuk menghilangkan benang-benang halus yang mencuat yang hanya bisa dilihat oleh kaca pembesar.

Barulah kanvas siap dilukis. Diambilnya kuas besar yang dicelupkan pada cat dan minyak, kemudian disapukan dari kiri ke kanan. Warnanya merah muda, oranye dan ungu. Jadilah langit sore hari menjelang matahari terbenam, tapi masih dalam bentuk kasar. Saya paling suka menonton bagian ini, karena tiba-tiba saja kanvas yang tadinya kosong jadi menggambarkan sesuatu hanya dalam beberapa kali sapuan kuas. Kelihatannya mudah. Saya ingin mencoba, tapi dia bilang ini pekerjaan berat, tidak cocok untuk saya kalau tangan sedang sakit.

Namun kalau kuas yang digunakan kecil, untuk membuat goresan pendek-pendek untuk melukiskan riak laut di kejauhan misalnya, saya tidak bisa lagi menahan diri. Walaupun memegang kuas saja kaku, saya berhasil membujuknya agar diijinkan mengoleskan kuas pada cat dan kemudian mencelupkannya pada minyak. Lalu, sret, sret, sret, saya membuat goresan kecil-kecil di kanvas. Tidak gampang ternyata. The Artist langsung berseru, “Hebat sekali! Luar biasa!” Langsung disambarnya kuas dari tangan saya. “Cukup untuk hari ini. Sebaiknya kamu melakukan pekerjaan lain. Menulis misalnya?” Hm, nyindir ya. Ditimpanya goresan yang sudah saya buat dengan warna lain. Tapi ujungnya masih disisakan sedikit. Nanti, goresan yang saya buat ini akan menjadi bagian dari lukisannya juga, dikirim ke galeri di Singapura, dan bisa saja dibeli dan dipasang di sebuah rumah di Australia. Numpang terkenal ah.

Kehidupan seorang pelukis tentu erat hubungannya dengan warna. Mereka punya cara sendiri untuk menerangkan warna yang bisa membuat saya terbengong-bengong. Untuk mata misalnya, dia tidak akan mengatakan warna mata saya hitam. Dia bilang mata saya berwarna hitam dan kuning (maksudnya? Loreng-loreng seperti harimau?) dengan semburat ungu. Wah! Bingung dengarnya. Tapi saya maklum, artinya warna-warna inilah yang akan digunakannya kalau diminta melukis mata saya. Pernah dia mengatakan sebuah kursi plastik berwarna hijau. Buat saya, kursi itu warnanya putih. Tapi kalau ditanya lebih jelas, saya akan mengatakan bahwa warna kursi itu adalah putih kalau berada di tempat yang terang dan dilihat dari dekat. Kalau kursi berada di tempat yang agak gelap, apakah masih akan putih? Bagi saya iya, karena saya tahu warnanya putih. Tapi mata yang jujur akan mengatakan bahwa warnanya kehijauan dan abu-abu gelap kan?

Juga, ketika dia baru beli kaca mata hitam, dia bilang gagangnya berwarna hijau. Agak kaget saya. Selama ini dia tidak menunjukkan tanda-tanda perilaku eksentrik, kenapa tiba-tiba beli kaca mata warna hijau? Jangan-jangan nanti dia pakai sepatu kuning dengan kaus kaki merah muda, seperti yang pernah saya lihat dipakai oleh seseorang. Ternyata ketika kaca mata itu diperlihatkan, warna gagangnya coklat konvensional. Memang tidak coklat sekali, dan memang benar, ada sedikit campuran warna hijaunya kalau dilihat dengan lebih teliti. Bagi saya ya coklat saja, bukan hijau.

Yang paling asyik adalah melihat-lihat peralatan melukisnya. Perempuan yang paling suka dandan yang saya kenal pun kalah oleh dia menyangkut jumlah koleksi botol dan kuas. Botol milik The Artist macam-macam jenisnya, besar dan kecil. Kuasnya saja lebih dari seratus! Mulai dari yang sehalus ujung rambut sampai yang sebesar kuas tembok, bahkan lebih besar lagi. Ujung kuas ada yang rata, miring, melengkung, seperti kipas, berantakan panjang-pendek, dan lainnya. Sedangkan si centil hobi dandan itu cuma punya lima kuas dan sikat: untuk bibir, untuk pipi, untuk alis, untuk muka, untuk bulu mata.

The Scream
Kalau selama ini saya kira pelukis cuma perlu cat dan minyak selain kuas, saya salah besar. Botol milik The Artist lengkap berisi serbuk baik halus maupun kasar bahkan besar-besar seperti kerikil atau gula batu. Kemudian ada yang berbentuk jeli serta cairan baik encer maupun kental. Menurut label yang tertera, itu adalah dammar, raw sienna, mica, stand oil, linseed oil, poppy oil, umber, liquin, safe-gel, rabbit skin glue (benar, ini dibuat dari kulit kelinci!) dan sebagainya. Bahan-bahan itu ada yang dicampurkan pada cat atau sebagai lapisan yang digunakan untuk menguatkan kanvas, mengilapkan cat, membuat lukisan tahan lama, mempercepat cat kering atau justru melambatkan proses pengeringan karena cat yang terlalu cepat kering akan jadi retak-retak. Ada bubuk yang kalau dibubuhkan akan kelihatan seperti butiran pasir. Pintar juga, karena ini jauh lebih mudah daripada melukis butir pasir satu per satu.

Melihat dia melukis selalu menimbulkan penyesalan pada diri saya kenapa saya tidak punya bakat seni sedikit pun, ya. Entah itu menyanyi, menari, main musik, atau menggambar. Berita paling gres dari dunia seni rupa adalah terjualnya sebuah lukisan berjudul The Scream dengan harga hampir 120 juta dolar AS! Padahal lukisannya tidak terlalu besar, dengan menggunakan pastel di atas kertas. Melihat gambarnya yang cuma coret-coret begitu saya yang orang awam jadi berpikir jangan-jangan sebenarnya saya bisa juga membuat lukisan? Tinggal gores sana gores sini, seratus tahun kemudian anak-cucu saya bisa jadi milyarder mendadak. Hehehe.