Selasa, 29 Desember 2015

Rumah

Jen jengkel sekali dengan pemilik rumah kontrakannya yang sering masuk tanpa ijin dan tahu-tahu sudah nongol di depannya. Dia ngomel-ngomel.“Kamu untung saya tidak sedang telanjang!”Lah, kok ya Mbak Nurul juga lagi jengkel. Katanya,“Meskipun dia masuk ke halaman untuk memperbaiki pagar, atau membereskan kaleng-kaleng bekas, rumah itu sudah saya kontrak, jadi dia harus minta ijin untuk masuk ke rumah saya.” Suaranya berapi-api.Saya sebenarnya mau menambahi juga dengan cerita pengalaman pribadi, tapi karena tidak bisa mengimbangi kejengkelan mereka, malahan merasa senang dengan situasi yang ada, lebih baik diam saja.

Ceritanya, beberapa benda milik saya berpindah tempat. Karena Mawar baru cerita barang-barang miliknya yang tidak berharga (untuk pencuri) sudah menghilang, saya mengira ada orang yang iseng sama saya. Saya segan untuk bertanya pada induk semang yang tinggal di lantai bawah. Iya kalau benar dia, kalau tidak? Bisa tersinggung nanti. Tapi untunglah waktu ngobrol santai akhirnya dia sendiri yang bilang kalau istrinya masuk ke rumah saya, sebenarnya modelnya lebih mirip apartemen, untuk bersih-bersih. “Gak apa-apa kan?” tanyanya. Heran saya kenapa dia bisa bilang itu tidak apa-apa. Tapi saya juga menimbang-nimbang cepat, wah lumayan, ada yang ngebersihin rumah gratis. Maka saya mengambil keputusan,
“Iya, gak apa-apa, sering-sering aja!” hehehe.
Makanya saya tidak menambahi cerita Jane dan Mbak Nurul walaupun saya sebenarnya pendukung privacy nomor satu, dan membenarkan Jen dan Mbak Nurul sepenuhnya.

Hampir setahun saya menikmati rumah dibersihkan gratis, tanaman disiramkan gratis, sampah dibuangkan gratis. Baru bulan-bulan terakhir saja servis itu berhenti karena istri Mas Karmin sudah kerja. Rumah Mas Karmin yang saya sewa itu adalah tempat tinggal saya yang ketiga di Ubud. Pertama saya kos, kedua bertetangga dengan Intan (kangen sekali dengannya), ketiga di tempatnya Mas Karmin. Saya sekarang sudah pindah lagi ke nomor empat supaya lebih sepi. Di bulan-bulan terakhir tempat Mas Karmin sudah kurang nyaman. Suara orang membangun tidak berhenti dari siang sampai malam. Satu selesai, satu lagi dibangun. Di tempat nomor empat inilah rasa kepemilikan saya paling besar, hehehe. Di tempat Mas Karmin saya sudah kompromi, saya biarkan saja Andre, keponakannya Mas Karmin, naik ke tempat saya. Apalagi dia juga tahu diri, selalu memberi tahu sebelum muncul.
“Mbak, mau ambil sampah!” serunya dari jauh.
Meskipun jendela terbuka lebar dan gorden terpentang, saya tetap baring-baring di tempat tidur dan cuma berpose lebih sopan saja. Sesudah itu dia cepat turun lagi. Dia tidak pernah lupa bilang permisi, meskipun kadang-kadang saya sendiri yang minta tolong dipasangkan bola lampu atau keran dispenser. Kadang-kadang ada yang keluarga Mas Karmin lakukan tanpa bilang dulu. Sebenarnya lebih baik ngomong dulu sama saya meskipun semuanya itu untuk maksud baik. Ah, sudahlah, demi yang gratis-gratis tadi saya juga tidak banyak protes.

Tempat tinggal yang nomor empat ini saya sukai terutama karena ada sawah di depan dan di belakangnya. Tapi halamannya benar-benar dirancang dengan cara yang sangat aneh. Pintu gerbangnya ada tiga dan semuanya aneh. Pintu gerbang utamanya bisa dimasuki dari jalan kecil  --namanya juga di pinggir sawah--  tapi begitu masuk jangan harap bisa langsung melihat pintu rumah karena kamu masuknya dari belakang!  Depan jadi belakang dan belakang jadi depan.  Kalau dari pintu gerbang utama ini langsung belok kiri menyusuri gang, ujungnya adalah pintu gerbang nomor dua yang tembus ke …rumah tetangga! Maksudnya apa coba?  Kalau tadi tidak langsung belok kiri melainkan lurus tentu saja akan ketemu halaman, teras dan pintu rumah. Halaman ini sudut sebelah kirinya tidak tertutup tembok atau pagar melainkan ada jalan tembusnya. Ke mana? Lorong ini terus melewati rumah tetangga dan di ujungnya barulah kita ketemu gerbang nomor tiga yang juga tembus ke rumah lain. Rumahnya Mawar. Jadi rumah saya bisa dimasuki dari jalan, dari rumah sebelah, dan dari rumah Mawar. Ini maksudnya apa to?

Memang pemilik dari tiga rumah itu adalah keluarga yang sama, keluarga Pak Wayan. Malah sekarang ada rumah ke empat di sebelah kiri saya yang ditempati oleh Miren. Rumah saya dijadikan pusat, jadi ada bangunan sanggah (tempat sembahyang serta menaruh banten)-nya di pojok halaman. Pak Wayan mengatur supaya dia bisa masuk dari semua pintu gerbang—dia punya kuncinya. Saya tidak keberatan dia pegang kunci gerbang utama supaya bisa menaruh banten di sanggah setiap saat diperlukan. Saya sudah dua kali mengganti kunci gembok gerbang ini karena macet, dan setiap kali saya beri dia kunci serepnya. Pintu gerbang yang tembus ke rumah Mawar cuma dibukanya kalau ada upacara keagamaan yang penting saja supaya orang-orang bisa keluar masuk ke sanggah dengan bebas. Saya sudah berdamai dengan kondisi ini. Tapi pintu gerbang nomor dua? Pintu ini sering dibuka karena Pak Wayan menyimpan kayu-kayu di rumah sebelah. Dengan kata-kata sopan saya protes waktu banyak tukang keluar masuk mengambil kayu. Pak Wayan bilang dia tidak punya kunci serep pintu utama rumah sebelah. Lah? Ya minta dong. Gerbang saya saja, tiga-tiganya dia punya kuncinya. Tapi Pak Wayan tidak begitu mengerti apa yang saya minta, atau dia tidak mengerti kenapa saya minta. Karena dia orangnya ramah sekali, saya bersabar saja dan berusaha melihat kebaikan-kebaikannya. Apa ya? Kebanyakan dia janji-janji saja. Mau membuat garasi bersama, cuma janji. Mau mengganti kulkas dan kipas besar yang harusnya adalah properti rumah, cuma janji. Yang penting ramah dan sopan. Protes ditampung, buka tutup gerbang jalan terus.

Pagi ini pas selesai mandi saya dengar suara-suara orang keluar masuk dari pintu gerbang nomor dua. Cepat-cepat saya melilitkan handuk di badan, menyambar kardigan dan memakainya untuk menutupi bahu lalu keluar. Saya lihat seorang laki-laki muda sedang mengeluarkan tangga besi yang disimpan di lorong antara pagar dan tembok rumah. Saya memberinya pandangan bertanya tanpa kata-kata,
Well, Anda mau menerangkan kenapa Anda masuk tanpa ijin?”
Eh, dia membalas dengan pandangan hampa yang sama,
Well, Anda mau menerangkan kenapa buru-buru keluar dengan pakaian yang tidak pantas, lagian ini kan tangganya Pak Wayan, bukan tangga Anda.”
Brengsek.
Begitu dia pergi dengan pesan akan kembali lagi untuk mengembalikan tangga, saya membongkar kotak sepatu yang isinya macam-macam benda yang disimpan karena prinsip siapa tahu perlu. Aha! Ini yang saya butuhkan. Gembok baru! Saya pasang gembok ini di pintu gerbang nomor dua. Beres deh.

Saya puas sekali dengan yang sudah saya lakukan. Dua gembok untuk satu pintu, dengan kunci masing-masing dipegang oleh orang yang berbeda. Saya rasa kotak penyimpanan di bank yang bisa disewa orang menggunakan prinsip yang sama. Baik pihak bank maupun pihak penyewa punya kunci. Di film yang pernah saya tonton, suasana ruang penyimpanan ini dibuat misterius sekali. Ketika kunci diberikan kepada pemilik kotak penyimpanan, kamera mengambil gambar close up muka pegawai bank yang serius, muka penyewa kotak, lalu langkah-langkah kaki di lorong, dan akhirnya jari tangan yang sedang memutar kunci. Jreng! Ternyata isi kotak itu….. (surprise!).

Sama halnya dengan kejadian di bank, sekarang pintu gerbang sebelah cuma bisa dibuka kalau kedua kunci dipakai bersama-sama. Saya tidak bisa membuka gerbang dengan kunci saya saja, menyelinap diam-diam ke halaman rumah sebelah di malam yang gelap tanpa bulan (memangnya mau apa, ya? hahaha). Sebaliknya, Pak Wayan juga tidak bisa membuka pintu sendiri untuk pergi ke halaman rumah sebelah untuk mondar-mandir ambil kayu atau yang lainnya tanpa bilang dulu sama saya. Kalau nanti dia minta saya untuk membuka pintu itu, saya akan melayaninya dengan ramah sambil bertanya, kenapa tidak minta kunci serep pintu gerbang si penyewa rumah sebelah saja? Terserah dia sekarang. Kalau masih tidak mau minta, dia sendiri yang repot. Sekali-sekali akan saya isengi juga. Waktu dia mau minta kunci saya akan pura-pura tidur :D.

Selasa, 22 Desember 2015

Sawah

Sepertinya sawah sudah menjadi trade mark untuk Ubud sewaktu orang membicarakan kota kecil ini. Baik yang komentarnya positif maupun negatif. Seperti, “Mau jalan-jalan ke sawah ah, kalau ke Ubud nanti.” Ini komentar positif. Yang negatif, “Di Ubud sawahnya semakin berkurang ya?”  Hmm, sawah. Orang-orang ribut soal sawah. Kalau sawah berkurang, itu terjadi di mana-mana, bukan di Ubud saja, atau di Bali saja. Tapi kalau saya sedang jalan-jalan di Bali terutama ke pelosok-pelosok, sawah ditemukan di mana-mana dan sangat menyegarkan mata. Buat saya ingatan tentang sawah di Bali ini seperti potongan-potongan. Salah satu potongan ingatan itu misalnya, adalah sawah yang bisa dicapai dengan naik motor setelah keluar dari Ubud ke arah utara. Jalannya menanjak, semakin ke utara semakin tinggi. Setelah melewati Tegalalang tapi  jauh sebelum sampai ke Kintamani, kita belok ke kanan, lalu terus bermotor mengikuti jalan kecil yang berkelok-kelok. Motor bisa diparkir di pinggir sawah di bawah pohon. Meskipun bisa dilewati mobil di jalan ini motor sudah jarang yang melintas. Saya yang selalu bad mood kalau sudah merasa lapar tadi sudah maksa dulu untuk beli nasi bungkus. Teman saya melirik penuh minat melihat saya makan. Saya menawarinya setengah nasi bungkus saya. Biarlah, toh dia yang memboncengi saya, jadi saya juga tidak mengritik karena dia tadi menolak beli nasi bungkus untuk dirinya sendiri. Dia membalas dengan memberi saya apel yang sudah setengah digigitnya. Kami cuci tangan di kali yang jernih dan segar sekali. 
  
“Lihat, primitif sekali ya?” komentar saya sehubungan dengan benda yang berada di ujung bambu yang ditancapkan di pematang sawah. Selintas benda itu terlihat seperti kitiran karena ada bagian yang bisa berputar. Seperti mainan yang menarik sekali. Baru kalau diperhatikan detilnya sadarlah kita bahwa ini di Bali, bukan di tempat lain. Pulau seribu pura, pulau Dewata. Tempat sesembahan ada di mana-mana. Dan sawah adalah bagian penting dalam kehidupan manusia. Meskipun baru pertama kali melihat benda seperti itu ada bagian diri kita yang mengatakan itu bukan mainan. Tradisi ratusan tahun tertanam di sana, sebuah kepercayaan sehubungan dengan roh-roh tak kasat mata. “Itu juga, primitif sekali,” saya menunjuk benda lainnya. Saya berkata tanpa mengejek. Seperti tiba-tiba diliputi suasana magis. “Itu juga primitif,” kata saya sambil menunjuk yang lain. Teman saya tidak sedikit pun peduli. Dia sedang sibuk memotret berbagai obyek. Lalu mengarahkan kamera ke saya dan memencet tombol. “Ini baru primitif,” jawabnya. Disebut primitif saya cuma sebentar kaget. Biarin. Tidak perlu mau disebut modern terus deh, karena modern sering dekat sekali dengan mengeksploitasi, terutama alam. Orang yang disebut primitif justru punya kebijakan sendiri untuk hidup berdampingan dengan alam.

Potongan ingatan yang lain, lagi-lagi saya sedang dibonceng di sepeda motor di jalanan yang tak terlalu lebar. Angin meniup muka dan rambut terbang ke sana ke mari sampai awut-awutan. Waktu itu saya sedang tidak mau pakai helm. Di sebelah kiri dan kanan jalan sawahnya luas sekali dan padinya berwarna kuning hampir masak. Plastik berwarna hitam dan putih yang berasal dari kantong belanjaan dipotong panjang-panjang dan digantung melintang di atas sawah untuk menakut-nakuti burung. Plastik-plastik yang panjangnya beratus-ratus meter itu bergoyang ditiup angin. Seperti hiasan pesta. Jalan berkelok-kelok dan terus menurun. Letak matahari sudah rendah di sebelah barat dan cahayanya kekuningan. Di kejauhan samar-samar warna biru dari laut seperti mengundang minta didatangi. “Berhenti!” perintah saya. Motor diparkir. Di tempat yang tinggi itu, dengan hamparan padi di mana-mana, angin yang berhembus, langit yang luas serta kosong di atas, dan laut di kejauhan, saya jadi teringat sebuah buku lama.
‘Ke laut! Ke laut!’ teriak anak-anak laki-laki gaib dalam salah satu buku kanak-kanakku. Aku telah melupakan segalanya mengenai buku itu kecuali teriakan ini. ‘Ke laut!’, dan dari seberang Samudera Hindia ke tepi Laut Merah, di mana di malam-malam sunyi kau dapat mendengar bebatuan di padang pasir, hangus di siang hari, retak satu per satu, kami kembali ke laut kuno di mana semua tangisan ditenangkan. (Summer in Algiers, oleh Albert Camus).

Saya tidak yakin. Mana yang lebih mengesankan waktu itu, sawahnya atau lautnya? Tapi sawah sudah ada di situ, dekat sekali, sedangkan laut cuma samar-samar dan jauh. Saya punya perasaan bahwa kami tidak bakalan sampai ke laut itu. Benar saja, setelah tanya-tanya ke orang mengenai arah, diputuskan bahwa hari sudah terlalu sore untuk mendekati laut. Saya agak kecewa juga, tapi berusaha menghibur diri. Siapa tahu kalau sudah didatangi ternyata laut itu tidak sebagus dari jauh. Mungkin pasirnya kotor dan airnya butek. Dan saya juga cuma sekali berada di sana, di pebukitan yang bersawah itu. Dua kali mencoba kembali ke tempat yang sama, dua kali juga gagal. Saya tidak bisa menerangkan dengan jelas ke mana arah yang harus dituju yang akhirnya membuat kami nyasar ke jalan bypass yang panas dan gersang. Teman saya heran kenapa saya ingin sekali kembali ke sana. Akhirnya saya pasrah, menghibur diri sendiri dengan kata-kata“yang berkesan itu akan hilang kesannya kalau dijalani dua kali”.

Ada beberapa sawah yang sebenarnya ingin saya datangi lagi. Tapi gara-gara lebih sering pergi-pergi tanpa rencana detil dan tanpa peta, kecil kemungkinannya bisa sampai di tempat yang persis sama. La wong biasa ambil jalan-jalan kecil yang entah ke mana tujuannya, dan kalau kurang menarik balik lagi atau belok ke mana saja, apa tidak bingung kalau harus menemukan lagi satu tempat tertentu. Yang jelas, sawahnya pas dekat tikungan jalan dengan pohon-pohon besar di tepinya dengan akar-akar bergelantungan dari atas. Ada sungai kecil yang airnya dingin dan segar sekali. Enak sekali rendam-rendam kaki di situ. Anehnya, kalau sesekali ada motor melintas, pengendaranya menoleh seperti baru sekali itu lihat orang celupin kaki di kali. Ada yang terus menoleh sampai lehernya mau putus. Di dekat sawahnya ada pura kecil. Karena pintu gerbangnya dikunci teman saya melompati pagar supaya bisa masuk. Mau apa lagi dia pingin masuk, saya tidak mengerti. Di bagian sungai yang lebih dalam dan berair deras dua orang laki-laki sedang memancing entah apa dengan menggunakan botol air minum bekas dan benang. Dua atau tiga orang petani di kejauhan sedang membungkuk mengurus padi. Mereka begitu terserap pada pekerjaannya dan tidak memberi perhatian pada dunia sekitar. Tenang sekali tempat ini.

Sebuah tempat yang terkenal di Bali dengan areal persawahannya adalah Jatiluwih. Tempat ini sudah diresmikan oleh UNESCO sebagai warisan budaya yang harus dilestarikan. Untuk sampai ke tempat ini perjalanannya jauh sekali,setidaknya dari Ubud, dan melewati daerah pegunungan. Saya agak kecewa dengan tempat ini. Semuanya ditata, mulai dari pintu gerbang masuk yang menarik uang tiket, tempat-tempat makan (lumayan mahal) yang menghadap sawah, serta tour yang diorganisir. Bahkan pematang sawahnya rapi sekali, rumputnya dipotong pendek dan tidak dibiarkan tumbuh liar. Saya duduk saja di warung sambil makan. Ada tour ke sawah dengan pemandu yang sekalian menerangkan tentang subak. Sebenarnya tour ini menarik juga tapi matahari sedang panas-panasnya, jadi saya batal ikut. Perjalanan menuju tempat ini saya rasa jauh lebih menarik daripada tujuan akhirnya. Biarpun lama dan rasanya tidak sampai-sampai pemandangan di sepanjang perjalanan bagus sekali.

Sebenarnya sawah bukan sesuatu yang terlalu tidak biasa buat saya. Waktu kecil tinggal di desa, jadi biasa saja dengan sawah. Karena sudah biasa jadi tidak begitu menghargai. Baru sesudah tinggal belasan tahun di kota besar, dan sekarang tinggal lagi di (hehehe… ya ampun, sering lupa kalau Ubud itu secara administratif sebenarnya desa juga…) sini, sawah jadi barang yang istimewa. Dan harap-harap cemas tentunya, jangan-jangan tahun depan sawah di depan dan belakang rumah sudah ditimbun untuk dibuat bangunan di atasnya. Mudah-mudahan masih lama sekali ini baru terjadi.