Selasa, 22 Desember 2015

Sawah

Sepertinya sawah sudah menjadi trade mark untuk Ubud sewaktu orang membicarakan kota kecil ini. Baik yang komentarnya positif maupun negatif. Seperti, “Mau jalan-jalan ke sawah ah, kalau ke Ubud nanti.” Ini komentar positif. Yang negatif, “Di Ubud sawahnya semakin berkurang ya?”  Hmm, sawah. Orang-orang ribut soal sawah. Kalau sawah berkurang, itu terjadi di mana-mana, bukan di Ubud saja, atau di Bali saja. Tapi kalau saya sedang jalan-jalan di Bali terutama ke pelosok-pelosok, sawah ditemukan di mana-mana dan sangat menyegarkan mata. Buat saya ingatan tentang sawah di Bali ini seperti potongan-potongan. Salah satu potongan ingatan itu misalnya, adalah sawah yang bisa dicapai dengan naik motor setelah keluar dari Ubud ke arah utara. Jalannya menanjak, semakin ke utara semakin tinggi. Setelah melewati Tegalalang tapi  jauh sebelum sampai ke Kintamani, kita belok ke kanan, lalu terus bermotor mengikuti jalan kecil yang berkelok-kelok. Motor bisa diparkir di pinggir sawah di bawah pohon. Meskipun bisa dilewati mobil di jalan ini motor sudah jarang yang melintas. Saya yang selalu bad mood kalau sudah merasa lapar tadi sudah maksa dulu untuk beli nasi bungkus. Teman saya melirik penuh minat melihat saya makan. Saya menawarinya setengah nasi bungkus saya. Biarlah, toh dia yang memboncengi saya, jadi saya juga tidak mengritik karena dia tadi menolak beli nasi bungkus untuk dirinya sendiri. Dia membalas dengan memberi saya apel yang sudah setengah digigitnya. Kami cuci tangan di kali yang jernih dan segar sekali. 
  
“Lihat, primitif sekali ya?” komentar saya sehubungan dengan benda yang berada di ujung bambu yang ditancapkan di pematang sawah. Selintas benda itu terlihat seperti kitiran karena ada bagian yang bisa berputar. Seperti mainan yang menarik sekali. Baru kalau diperhatikan detilnya sadarlah kita bahwa ini di Bali, bukan di tempat lain. Pulau seribu pura, pulau Dewata. Tempat sesembahan ada di mana-mana. Dan sawah adalah bagian penting dalam kehidupan manusia. Meskipun baru pertama kali melihat benda seperti itu ada bagian diri kita yang mengatakan itu bukan mainan. Tradisi ratusan tahun tertanam di sana, sebuah kepercayaan sehubungan dengan roh-roh tak kasat mata. “Itu juga, primitif sekali,” saya menunjuk benda lainnya. Saya berkata tanpa mengejek. Seperti tiba-tiba diliputi suasana magis. “Itu juga primitif,” kata saya sambil menunjuk yang lain. Teman saya tidak sedikit pun peduli. Dia sedang sibuk memotret berbagai obyek. Lalu mengarahkan kamera ke saya dan memencet tombol. “Ini baru primitif,” jawabnya. Disebut primitif saya cuma sebentar kaget. Biarin. Tidak perlu mau disebut modern terus deh, karena modern sering dekat sekali dengan mengeksploitasi, terutama alam. Orang yang disebut primitif justru punya kebijakan sendiri untuk hidup berdampingan dengan alam.

Potongan ingatan yang lain, lagi-lagi saya sedang dibonceng di sepeda motor di jalanan yang tak terlalu lebar. Angin meniup muka dan rambut terbang ke sana ke mari sampai awut-awutan. Waktu itu saya sedang tidak mau pakai helm. Di sebelah kiri dan kanan jalan sawahnya luas sekali dan padinya berwarna kuning hampir masak. Plastik berwarna hitam dan putih yang berasal dari kantong belanjaan dipotong panjang-panjang dan digantung melintang di atas sawah untuk menakut-nakuti burung. Plastik-plastik yang panjangnya beratus-ratus meter itu bergoyang ditiup angin. Seperti hiasan pesta. Jalan berkelok-kelok dan terus menurun. Letak matahari sudah rendah di sebelah barat dan cahayanya kekuningan. Di kejauhan samar-samar warna biru dari laut seperti mengundang minta didatangi. “Berhenti!” perintah saya. Motor diparkir. Di tempat yang tinggi itu, dengan hamparan padi di mana-mana, angin yang berhembus, langit yang luas serta kosong di atas, dan laut di kejauhan, saya jadi teringat sebuah buku lama.
‘Ke laut! Ke laut!’ teriak anak-anak laki-laki gaib dalam salah satu buku kanak-kanakku. Aku telah melupakan segalanya mengenai buku itu kecuali teriakan ini. ‘Ke laut!’, dan dari seberang Samudera Hindia ke tepi Laut Merah, di mana di malam-malam sunyi kau dapat mendengar bebatuan di padang pasir, hangus di siang hari, retak satu per satu, kami kembali ke laut kuno di mana semua tangisan ditenangkan. (Summer in Algiers, oleh Albert Camus).

Saya tidak yakin. Mana yang lebih mengesankan waktu itu, sawahnya atau lautnya? Tapi sawah sudah ada di situ, dekat sekali, sedangkan laut cuma samar-samar dan jauh. Saya punya perasaan bahwa kami tidak bakalan sampai ke laut itu. Benar saja, setelah tanya-tanya ke orang mengenai arah, diputuskan bahwa hari sudah terlalu sore untuk mendekati laut. Saya agak kecewa juga, tapi berusaha menghibur diri. Siapa tahu kalau sudah didatangi ternyata laut itu tidak sebagus dari jauh. Mungkin pasirnya kotor dan airnya butek. Dan saya juga cuma sekali berada di sana, di pebukitan yang bersawah itu. Dua kali mencoba kembali ke tempat yang sama, dua kali juga gagal. Saya tidak bisa menerangkan dengan jelas ke mana arah yang harus dituju yang akhirnya membuat kami nyasar ke jalan bypass yang panas dan gersang. Teman saya heran kenapa saya ingin sekali kembali ke sana. Akhirnya saya pasrah, menghibur diri sendiri dengan kata-kata“yang berkesan itu akan hilang kesannya kalau dijalani dua kali”.

Ada beberapa sawah yang sebenarnya ingin saya datangi lagi. Tapi gara-gara lebih sering pergi-pergi tanpa rencana detil dan tanpa peta, kecil kemungkinannya bisa sampai di tempat yang persis sama. La wong biasa ambil jalan-jalan kecil yang entah ke mana tujuannya, dan kalau kurang menarik balik lagi atau belok ke mana saja, apa tidak bingung kalau harus menemukan lagi satu tempat tertentu. Yang jelas, sawahnya pas dekat tikungan jalan dengan pohon-pohon besar di tepinya dengan akar-akar bergelantungan dari atas. Ada sungai kecil yang airnya dingin dan segar sekali. Enak sekali rendam-rendam kaki di situ. Anehnya, kalau sesekali ada motor melintas, pengendaranya menoleh seperti baru sekali itu lihat orang celupin kaki di kali. Ada yang terus menoleh sampai lehernya mau putus. Di dekat sawahnya ada pura kecil. Karena pintu gerbangnya dikunci teman saya melompati pagar supaya bisa masuk. Mau apa lagi dia pingin masuk, saya tidak mengerti. Di bagian sungai yang lebih dalam dan berair deras dua orang laki-laki sedang memancing entah apa dengan menggunakan botol air minum bekas dan benang. Dua atau tiga orang petani di kejauhan sedang membungkuk mengurus padi. Mereka begitu terserap pada pekerjaannya dan tidak memberi perhatian pada dunia sekitar. Tenang sekali tempat ini.

Sebuah tempat yang terkenal di Bali dengan areal persawahannya adalah Jatiluwih. Tempat ini sudah diresmikan oleh UNESCO sebagai warisan budaya yang harus dilestarikan. Untuk sampai ke tempat ini perjalanannya jauh sekali,setidaknya dari Ubud, dan melewati daerah pegunungan. Saya agak kecewa dengan tempat ini. Semuanya ditata, mulai dari pintu gerbang masuk yang menarik uang tiket, tempat-tempat makan (lumayan mahal) yang menghadap sawah, serta tour yang diorganisir. Bahkan pematang sawahnya rapi sekali, rumputnya dipotong pendek dan tidak dibiarkan tumbuh liar. Saya duduk saja di warung sambil makan. Ada tour ke sawah dengan pemandu yang sekalian menerangkan tentang subak. Sebenarnya tour ini menarik juga tapi matahari sedang panas-panasnya, jadi saya batal ikut. Perjalanan menuju tempat ini saya rasa jauh lebih menarik daripada tujuan akhirnya. Biarpun lama dan rasanya tidak sampai-sampai pemandangan di sepanjang perjalanan bagus sekali.

Sebenarnya sawah bukan sesuatu yang terlalu tidak biasa buat saya. Waktu kecil tinggal di desa, jadi biasa saja dengan sawah. Karena sudah biasa jadi tidak begitu menghargai. Baru sesudah tinggal belasan tahun di kota besar, dan sekarang tinggal lagi di (hehehe… ya ampun, sering lupa kalau Ubud itu secara administratif sebenarnya desa juga…) sini, sawah jadi barang yang istimewa. Dan harap-harap cemas tentunya, jangan-jangan tahun depan sawah di depan dan belakang rumah sudah ditimbun untuk dibuat bangunan di atasnya. Mudah-mudahan masih lama sekali ini baru terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar