Sepertinya sawah sudah menjadi trade mark untuk Ubud sewaktu orang membicarakan kota kecil ini.
Baik yang komentarnya positif maupun negatif. Seperti, “Mau jalan-jalan ke
sawah ah, kalau ke Ubud nanti.” Ini komentar positif. Yang negatif, “Di Ubud
sawahnya semakin berkurang ya?” Hmm,
sawah. Orang-orang ribut soal sawah. Kalau sawah berkurang, itu terjadi di
mana-mana, bukan di Ubud saja, atau di Bali saja. Tapi kalau saya sedang
jalan-jalan di Bali terutama ke pelosok-pelosok, sawah ditemukan di mana-mana
dan sangat menyegarkan mata. Buat saya ingatan tentang sawah di Bali ini
seperti potongan-potongan. Salah satu potongan ingatan itu misalnya, adalah
sawah yang bisa dicapai dengan naik motor setelah keluar dari Ubud ke arah utara.
Jalannya menanjak, semakin ke utara semakin tinggi. Setelah melewati Tegalalang
tapi jauh sebelum sampai ke Kintamani,
kita belok ke kanan, lalu terus bermotor mengikuti jalan kecil yang
berkelok-kelok. Motor bisa diparkir di pinggir sawah di bawah pohon. Meskipun
bisa dilewati mobil di jalan ini motor sudah jarang yang melintas. Saya yang
selalu bad mood kalau sudah merasa
lapar tadi sudah maksa dulu untuk beli nasi bungkus. Teman saya melirik penuh
minat melihat saya makan. Saya menawarinya setengah nasi bungkus saya. Biarlah,
toh dia yang memboncengi saya, jadi saya juga tidak mengritik karena dia tadi
menolak beli nasi bungkus untuk dirinya sendiri. Dia membalas dengan memberi
saya apel yang sudah setengah digigitnya. Kami cuci tangan di kali yang jernih
dan segar sekali.
“Lihat, primitif sekali ya?” komentar saya sehubungan dengan
benda yang berada di ujung bambu yang ditancapkan di pematang sawah. Selintas
benda itu terlihat seperti kitiran karena ada bagian yang bisa berputar. Seperti
mainan yang menarik sekali. Baru kalau diperhatikan detilnya sadarlah kita
bahwa ini di Bali, bukan di tempat lain. Pulau seribu pura, pulau Dewata.
Tempat sesembahan ada di mana-mana. Dan sawah adalah bagian penting dalam
kehidupan manusia. Meskipun baru pertama kali melihat benda seperti itu ada
bagian diri kita yang mengatakan itu bukan mainan. Tradisi ratusan tahun
tertanam di sana, sebuah kepercayaan sehubungan dengan roh-roh tak kasat mata.
“Itu juga, primitif sekali,” saya menunjuk benda lainnya. Saya berkata tanpa
mengejek. Seperti tiba-tiba diliputi suasana magis. “Itu juga primitif,” kata
saya sambil menunjuk yang lain. Teman saya tidak sedikit pun peduli. Dia sedang
sibuk memotret berbagai obyek. Lalu mengarahkan kamera ke saya dan memencet
tombol. “Ini baru primitif,” jawabnya. Disebut primitif saya cuma sebentar
kaget. Biarin. Tidak perlu mau disebut modern terus deh, karena modern sering
dekat sekali dengan mengeksploitasi, terutama alam. Orang yang disebut primitif
justru punya kebijakan sendiri untuk hidup berdampingan dengan alam.
Potongan ingatan yang lain, lagi-lagi saya sedang dibonceng
di sepeda motor di jalanan yang tak terlalu lebar. Angin meniup muka dan rambut
terbang ke sana ke mari sampai awut-awutan. Waktu itu saya sedang tidak mau pakai
helm. Di sebelah kiri dan kanan jalan sawahnya luas sekali dan padinya berwarna
kuning hampir masak. Plastik berwarna hitam dan putih yang berasal dari kantong
belanjaan dipotong panjang-panjang dan digantung melintang di atas sawah untuk
menakut-nakuti burung. Plastik-plastik yang panjangnya beratus-ratus meter itu
bergoyang ditiup angin. Seperti hiasan pesta. Jalan berkelok-kelok dan terus
menurun. Letak matahari sudah rendah di sebelah barat dan cahayanya kekuningan.
Di kejauhan samar-samar warna biru dari laut seperti mengundang minta didatangi.
“Berhenti!” perintah saya. Motor diparkir. Di tempat yang tinggi itu, dengan
hamparan padi di mana-mana, angin yang berhembus, langit yang luas serta kosong
di atas, dan laut di kejauhan, saya jadi teringat sebuah buku lama.
‘Ke laut! Ke laut!’ teriak anak-anak
laki-laki gaib dalam salah satu buku kanak-kanakku. Aku telah melupakan
segalanya mengenai buku itu kecuali teriakan ini. ‘Ke laut!’, dan dari seberang
Samudera Hindia ke tepi Laut Merah, di mana di malam-malam sunyi kau dapat mendengar
bebatuan di padang pasir, hangus di siang hari, retak satu per satu, kami
kembali ke laut kuno di mana semua tangisan ditenangkan. (Summer in Algiers, oleh Albert Camus).
Saya tidak yakin. Mana yang lebih mengesankan waktu itu,
sawahnya atau lautnya? Tapi sawah sudah ada di situ, dekat sekali, sedangkan
laut cuma samar-samar dan jauh. Saya punya perasaan bahwa kami tidak bakalan
sampai ke laut itu. Benar saja, setelah tanya-tanya ke orang mengenai arah,
diputuskan bahwa hari sudah terlalu sore untuk mendekati laut. Saya agak kecewa
juga, tapi berusaha menghibur diri. Siapa tahu kalau sudah didatangi ternyata
laut itu tidak sebagus dari jauh. Mungkin pasirnya kotor dan airnya butek. Dan
saya juga cuma sekali berada di sana, di pebukitan yang bersawah itu. Dua kali
mencoba kembali ke tempat yang sama, dua kali juga gagal. Saya tidak bisa
menerangkan dengan jelas ke mana arah yang harus dituju yang akhirnya membuat
kami nyasar ke jalan bypass yang
panas dan gersang. Teman saya heran kenapa saya ingin sekali kembali ke sana.
Akhirnya saya pasrah, menghibur diri sendiri dengan kata-kata“yang berkesan itu
akan hilang kesannya kalau dijalani dua kali”.
Ada beberapa sawah yang sebenarnya ingin saya datangi lagi.
Tapi gara-gara lebih sering pergi-pergi tanpa rencana detil dan tanpa peta,
kecil kemungkinannya bisa sampai di tempat yang persis sama. La wong
biasa ambil jalan-jalan kecil yang entah ke mana tujuannya, dan kalau kurang menarik
balik lagi atau belok ke mana saja, apa tidak bingung kalau harus menemukan
lagi satu tempat tertentu. Yang jelas, sawahnya pas dekat tikungan jalan dengan
pohon-pohon besar di tepinya dengan akar-akar bergelantungan dari atas. Ada
sungai kecil yang airnya dingin dan segar sekali. Enak sekali rendam-rendam
kaki di situ. Anehnya, kalau sesekali ada motor melintas, pengendaranya menoleh
seperti baru sekali itu lihat orang celupin kaki di kali. Ada yang terus
menoleh sampai lehernya mau putus. Di dekat sawahnya ada pura kecil. Karena
pintu gerbangnya dikunci teman saya melompati pagar supaya bisa masuk. Mau apa
lagi dia pingin masuk, saya tidak mengerti. Di bagian sungai yang lebih dalam
dan berair deras dua orang laki-laki sedang memancing entah apa dengan menggunakan
botol air minum bekas dan benang. Dua atau tiga orang petani di kejauhan sedang
membungkuk mengurus padi. Mereka begitu terserap pada pekerjaannya dan tidak
memberi perhatian pada dunia sekitar. Tenang sekali tempat ini.
Sebuah tempat yang terkenal di Bali dengan areal
persawahannya adalah Jatiluwih. Tempat ini sudah diresmikan oleh UNESCO sebagai
warisan budaya yang harus dilestarikan. Untuk sampai ke tempat ini perjalanannya
jauh sekali,setidaknya dari Ubud, dan melewati daerah pegunungan. Saya agak
kecewa dengan tempat ini. Semuanya ditata, mulai dari pintu gerbang masuk yang
menarik uang tiket, tempat-tempat makan (lumayan mahal) yang menghadap sawah,
serta tour yang diorganisir. Bahkan
pematang sawahnya rapi sekali, rumputnya dipotong pendek dan tidak dibiarkan
tumbuh liar. Saya duduk saja di warung sambil makan. Ada tour ke sawah dengan pemandu yang sekalian menerangkan tentang
subak. Sebenarnya tour ini menarik
juga tapi matahari sedang panas-panasnya, jadi saya batal ikut. Perjalanan
menuju tempat ini saya rasa jauh lebih menarik daripada tujuan akhirnya.
Biarpun lama dan rasanya tidak sampai-sampai pemandangan di sepanjang
perjalanan bagus sekali.
Sebenarnya sawah bukan sesuatu yang terlalu tidak biasa buat
saya. Waktu kecil tinggal di desa, jadi biasa saja dengan sawah. Karena sudah
biasa jadi tidak begitu menghargai. Baru sesudah tinggal belasan tahun di kota
besar, dan sekarang tinggal lagi di (hehehe… ya ampun, sering lupa kalau Ubud
itu secara administratif sebenarnya desa juga…) sini, sawah jadi barang yang
istimewa. Dan harap-harap cemas tentunya, jangan-jangan tahun depan sawah di
depan dan belakang rumah sudah ditimbun untuk dibuat bangunan di atasnya. Mudah-mudahan
masih lama sekali ini baru terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar