Rabu, 11 Mei 2016

Suara Sepi dan Bintang Malam

Dua bulan yang lalu….

Hari ini saya bangun pagi. Matahari terbit dari belakang pohon-pohon kelapa yang  masih berupa bayangan hitam. Langit di balik pohon-pohon itu warnanya oranye menyala, begitu juga awan biru kelabu di atasnya dihiasi dengan warna oranye di sana-sini. Saya buka jendela untuk melihat lebih jelas. Udara yang dingin membuat saya benar-benar bangun sekarang. Terus turun ke lantai bawah untuk duduk selonjoran di teras. Hari masih gelap.  Lama-lama semakin terang namun tetap sepi, tidak seperti biasanya. Ada gonggongan satu kali di depan pintu pagar. Jack minta dibukakan pintu. Terdengar bunyi napasnya yang keras dan kalung di lehernya mendentingkan suara logam. Karena hari ini hari Nyepi saya tidak membuka pintu untuk Jack. Setelah menunggu beberapa menit Jack  pergi lagi dan suara kukunya di jalan setapak semakin jauh. Dia juga tidak terlalu ngotot minta masuk, tidak seperti biasa.

Wind chimes bambu saya bergoyang ditiup angin. Bambunya saling bersentuhan menghasilkan bunyi yang halus sekali. Sekaligus juga terdengar desir angin di telinga, juga sangat halus. Lalu, “brrr…..” seekor burung terbang dari arah kanan, melintas di depan saya terus hinggap di atas daun palem. “Brrr…” dia terbang lagi untuk pindah berdiri di kabel listrik. Tonggeret, serangga berbunyi nyaring yang tidak pernah kelihatan wujudnya tapi sering terdengar waktu hari sedang panas-panasnya, sudah berbunyi padahal ini masih pagi. Banyak sekali yang saya baru tahu. Wind chimes  ternyata sering berbunyi, cuma biasanya bunyinya terlalu halus untuk didengar. Angin tidak perlu bertiup keras dulu untuk terdengar. Kibasan sayap burung yang terbang selalu ada bunyinya. Dan ternyata tonggeret berbunyi juga di pagi hari. Suara-suara yang baru bisa terdengar kalau sepi sekali seperti hari ini.

Ada tawon terbang dekat sekali ke saya. Badan saya sampai mengerut takut disengat. Dia sering datang sebelumnya ke dalam rumah. Atau mungkin salah satu dari teman-temannya yang datang, karena tampang mereka semuanya sama. Sekarang dia terbang menjauh dan berputar-putar di sekitar pohon kembang sepatu yang berbunga banyak. Dari tempat saya berbaring kelihatan kakinya bergerak-gerak dan dada serta kepalanya agak menyeramkan seperti alien. Burung kuning pengisap madu ada di kembang sebelahnya, melayang di tempat dengan sayap bergerak terus. Dia berakrobat dengan kepala di bawah supaya bisa mengambil madu bunga yang tumbuhnya juga terbalik ke bawah. Ayam jago dan anjing suaranya sayup di kejauhan. Hari ini memang harinya alam, harinya tumbuhan dan hewan. Manusia dilarang keluar, dikurung dan diam-diam saja di sarangnya, tidak boleh mengumandangkan suara bisingnya ke mana-mana.

Seekor bebek di sawah senang sekali dengan suasana seperti itu. Dia berkwekkwek dengan bawel, semakin lama semakin keras. Anehnya bebek itu sendirian berbunyi, lama-lama capek sendiri dan akhirnya diam. Waktu saya masuk ke kamar mandi dan cuci tangan di wastafel kedengaran suara burung-burung mencicit pas di atas kepala di atas genteng. Pasti mereka punya sarang di sana. Terdengar suara paruhnya mematuk-matuk dan kaki-kaki berjalan menghentak. Cicit-cicit semakin keras begitu juga suara sayap-sayap yang dikebaskan. Angry birds. Saya sudah lama tahu bahwa sebenarnya banyak burung bukan pecinta damai. Mereka berisik dan suka ribut-ribut. Pasti kartun angry birds dibuat berdasarkan karakter yang benar-benar nyata. Burung-burung di atas atap itu ribut terus dengan paruh mematuk-matuk, kaki menjejak-jejak dan sayap dikibas-kibaskan untuk mengancam yang lain. Saya tinggalkan mereka untuk terus ribut dan menyelesaikan masalahnya sendiri.

Yang saya heran adalah suara kentongan yang suaranya sayup-sayup terdengar di kejauhan. Suara itu sepertinya salah waktu. Sampai akhirnya saya ingat, pagi ini juga ada gerhana matahari meskipun bukan gerhana total. Mestinya sekarang masih berlangsung. Saya naik ke lantai atas supaya bisa melihat dengan jelas. Dengan mengenakan kacamata hitam dan membuat lubang kecil dengan jari-jari tangan supaya bisa melihat melaluinya, cahaya matahari yang menyilaukan bisa tersaring. Matahari kelihatan tidak bulat utuh melainkan tertutup oleh bayangan hitam sebagian. Di luar keadaan jadi redup. Kentongan pun diam tak lama kemudian.

Bingung juga mau mengerjakan apa hari ini. Menyalakan api dan lampu adalah salah satu larangan di hari ini, juga larangan mendengar hiburan, bekerja dan bepergian. Karena saya bukan orang Bali saya rasa saya bebas dari pantangan memasak di hari Nyepi. Rencananya saya mau  masak yang sederhana saja. Kalau rumah sudah saya bersihkan sehari sebelumnya. Saya hidupkan musik tapi pelan supaya tidak terdengar dari luar. Setelah baca-baca sedikit, masak dan makan, saya pergi ke lorong yang tembus dari halaman saya menuju pagar yang membatasi rumah Mawar. Saya lihat dia sedang duduk di tangga makan salad. Kami terus bicara mengenai pompa air yang rusak dan baru bisa diperbaiki besok karena semua kegiatan berhenti hari ini. Mawar menyorongkan mangkuk saladnya melalui jeruji pagar supaya bisa saya cicipi. Setelah itu saya kembali lagi ke rumah.

Sekitar jam lima saya mendengar orang-orang ribut mengobrol di saung yang ada di sawah di belakang rumah. Suaranya terdengar terus lama sekali. Saya pasang musik lagi sambil tiduran di lantai. Sejuknya lantai menembus baju dan terasa dingin di punggung. Lalu saya keluar rumah untuk jalan-jalan sedikit, mumpung matahari masih bersinar. Orang-orang yang berkumpul itu pergi menjauh. Suaranya yang berlogat ibukota nyaring terdengar sampai mereka masuk ke sebuah rumah. Mereka tamu di rumah itu. Pasti buat mereka suasana hari Nyepi ini merupakan sensasi tersendiri, tapi saya akan lebih suka kalau mereka juga menghormatinya dengan bicara pelan-pelan kalau sedang berada di luar rumah. Seorang Bali yang tadi menyertai rombongan dari Jakarta itu menyapa saya dan mengingatkan supaya saya kembali masuk ke rumah sebelum gelap. Sebenarnya saya mau menyindirnya karena sudah membiarkan orang-orang tadi merusak suasana Nyepi tapi sekarang dia malah menyuruh saya cepat-cepat pulang. Tapi saya diam saja dan cuma mengangguk.

Malam sudah datang. Saya keluar untuk berbaring di teras. Di langit saya bisa melihat bintang-bintang yang terlihat lebih cemerlang dari biasanya.  Tapi daun dari pohon-pohon menghalangi pandangan, jadi saya masuk lagi ke dalam rumah dan naik ke lantai atas. Saya buka jendela. Luar biasa. Tidak pernah saya melihat bintang bertebaran sebanyak dan secemerlang itu. Jadi benar apa kata orang. Cahaya lampu di daratan sudah terlalu banyak. Mulai dari lampu rumah yang seringnya dinyalakan secara berlebihan, lampu jalanan dan lampu dari gedung-gedung lainnya. Semua cahaya ini dipantulkan ke langit dan menghalangi orang untuk bisa melihat benda-benda langit dengan jelas dan seperti apa adanya. Dengan suasana gelap seperti sekarang, bintang tak pernah terlihat sebanyak itu, secemerlang itu, dan anehnya, sedekat itu. Saya terus memandang ke langit atau ke sawah. Lalu saya matikan lampu kamar tidur, lampu terakhir yang menyala di rumah saya. Lampu di  rumah besar di seberang sawah juga menyusul dimatikan. Tidak ada hiburan malam ini, jadi orang cepat tidur. Gelap sekali. Sekarang rumah itu hanya berupa bayang-bayang hitam di kejauhan. Saya pindah ke jendela lain supaya bisa melihat dari arah lain. Di sini bangunannya lebih banyak, tapi suasana juga gelap. Beberapa rumah di sekeliling sawah hanya menyalakan lampu seperlunya, di ruangan di mana orang-orang berkumpul. Satu lagi lampu di sebuah rumah dimatikan. Siluetnya sekarang lebih hitam dari sekitarnya yang sudah hitam.


Waktunya tidur. Cuma bintang-bintang yang terus bersinar tanpa peduli, entah ada yang mengagumi atau tidak. Jangkrik dan kodok terus bernyanyi sepanjang malam. Besoknya pagi-pagi sekali, begitu bangun sudah ada pesan yang masuk di grup WA. Katanya, “lega banget, akhirnya bebaaasss. Seharian terkurung cuma bisa skype-an sama ngoprek komputer.” Sedangkan pesan lain lagi yang masuk bilang, “aku lihat bintang tadi malam. Bagus banget. Banyak lagi”.  Ya, memang bagus. Untung tadi malam langit tidak berawan jadi bintang bisa terlihat dengan jelas. Kesimpulannya, ada yang suka Hari Nyepi, ada yang menganggap beban. Kalau saya sih suka.

Kamis, 07 April 2016

Angin, Panas, dan Hujan

Di musim panas yang tidak selesai-selesai setiap hujan terasa seperti berkah. Setelah satu minggu tugas di luar kota, saya sampai di rumah lagi sekitar jam tujuh malam dan cepat-cepat mandi, makan, dan… tidur. Enak sekali rasanya bisa kembali ke tempat tidur di kamar sendiri. Seminggu lamanya saya hampir selalu ada di ruang kalengan. Kamar hotel, taksi, ruang kantor, semuanya ruang tertutup yang berAC. Kalau sekali-sekali keluar dari kantor udaranya panas sekali dan mata jadi silau kalau memandang keluar. Malamnya pasti terbangun dan susah untuk tidur lagi. Sekarang, bisa tidur di ranjang dan kamar sendiri rasanya seperti di surga. Malam-malam saya terbangun. Membuka mata setengah, dan kemudian merem lagi karena masih ngantuk. Angin yang berhembus terasa dingin. Selimut yang tadi malam ditendang keras-keras sekarang ditarik rapat-rapat. Terus berpikir, “Hujan, hmmm…” dan kembali tidur. Suara hujan jadi latar belakang. Saya beneran bangun dalam keadaan sudah segar. Dan untuk kesekian kali masih juga berpikir, “Enak sekali bisa tidur di sini.” Waktu lewat dekat jendela kaca yang gordennya sudah terbuka sejak semalam dan melihat deretan pohon kelapa dan sawah rasanya ingin mengumumkan lagi dengan keras, “senangnya di sini lagi!”

Sayangnya hujan cuma turun sebentar-sebentar dan jarang-jarang. Udara malah sehari-harinya jadi makin panas. Malam hari, kalau sedang siap-siap dandan untuk acara keluar, begitu muka dikeringkan dengan tisu untuk menyerap keringat begitu pula langsung keringatan lagi. Terpaksa krem muka tetap dioles dan diratakan meskipun teksturnya terasa aneh di muka karena basah sekali campur keringat. Kasih bedak saja dan ditepuk-tepuk dengan tisu. Lalu masukkan tisu yang banyak ke dalam tas untuk bekal. Apalagi kalau habis jalan agak lama. Saya jadi suka jalan akhir-akhir ini. Biasanya saya pilih waktu sore hari sekitar jam enam waktu udara tidak panas untuk pergi ke ATM, supermarket atau beli jajanan yang agak jauh. Pulangnya sudah jam tujuh dan agak gelap. Tapi kadang-kadang saya jalan kaki lebih siang waktu udara sedang panas dan harus buru-buru karena jam kursus nari di studio hampir mulai. Akibatnya keringat sebesar biji jagung muncul berderet-deret di dahi, hidung, dan bawah hidung. Sampai di studio saya dikira sakit. Ada yang minta ijin menempelkan tangan di dahi untuk mengecek apa saya demam.

Masih hari yang panas. Saya sibuk kipas-kipas dari tadi dan keringat mengalir di leher meskipun sudah pakai baju tipis. Saya keluar supaya muka dan badan sedikit adem. Percuma. Duduk di teras, jangankan bisa merasakan angin berhembus, di dalam badan serasa ada ovennya dan saya yakin kulit saya juga mengeluarkan uap kalau saja bisa terlihat. Tiba-tiba tanpa peringatan apapun angin mengamuk dan mengeluarkan suara keras whhuuuuuuuushhhhh. Jack terbirit-birit mendobrak pintu yang tertutup tapi tidak dikunci dan langsung meringkuk di pojok. Saya tidak tega mengusirnya keluar. Saya berdiri sambil diam mendengarkan. Seram suaranya. Hujan turun. Saya menyusul Jack ke dalam dan berdiri di bawah tangga. Percikan air menyiram muka. Ternyata jendela di lantai atas terbuka, hujan turun dan dihembus angin masuk ke rumah sampai menciprati saya. Saya lari ke atas. Gorden berkibar-kibar liar dihantam angin. Bersusah payah saya menutup jendela sambil berusaha tidak menjadi terlalu basah. Dari balik jendela kaca saya melihat serombongan burung bangau yang sedang terbang ke arah utara dibalikkan arah terbangnya ke barat oleh angin yang berputar-putar. Mereka mengembangkan dan menegakkan sayap ke arah datangnya angin supaya tidak terhempas dan bersusah payah untuk tetap mengudara. Seekor yang masih berusaha terbang ke utara mengibaskan sayapnya kuat-kuat, maju mundur, naik turun dipermainkan angin. Saya memandang dan mengagumi badai di luar. Langit berwarna abu-abu gelap dan deretan pohon kelapa di kejauhan tidak jelas terlihat dihalangi air hujan yang tiba-tiba menjadi sangat lebat turunnya. Warna-warna cerah dan segar serta cahaya matahari panas tiba-tiba lenyap digantikan energi yang campur aduk, mau tidak mau membuat orang kagum sekaligus takut. Kilat menyambar dan guruh menggelegar. Tidak lama, semua itu berhenti. Hujan dan angin berhenti. Matahari bersinar dan besoknya udara panas lagi berhari-hari.

Sedihnya, hujan yang sangat diharapkan tapi jarang turun itu membuat sawah di depan rumah tidak ditanami. Alang-alang memenuhi sawah sampai tinggi sekali. Padahal petak sawah di sebelah sana sedikit semuanya ditanami dan padinya sekarang sudah siap untuk dipanen. Setiap kali ditanya kenapa tidak tanam padi, jawabannya selalu karena tidak ada air. Padahal air bergemericik mengalir terus di saluran irigasi. Saya tidak pernah kekurangan air untuk mandi dan cuci. Juga untuk menyiram tanaman dengan selang air, walaupun kebiasaan saya adalah berhemat dan berusaha tidak banyak buang-buang air. Tapi rupanya itu masih kurang. Air cukup untuk mengairi sebagian sawah saja, yang lain harus menunggu giliran di musim berikutnya. Kalau untuk perhitungan seperti ini mereka tidak mungkin salah. Subak di Bali sudah terkenal dan bisa dipercaya.

Musim kemarau bagusnya cuma satu. Pohon bugenvil saya bunganya keluar banyak sekali dan warnanya cemerlang, asal saja tidak lupa disirami. Kalau sedang tertimpa sinar matahari yang sangat terik warnanya malah semakin keluar. Kalau musim hujan biasanya yang rimbun daunnya saja. Namun akhirnya perubahan terjadi juga. Sementara orang mulai panen padi di sawah yang duluan ditanami, sawah di depan rumah saya mulai diolah. Rumputnya yang keterlaluan tingginya dipotong dengan mesin yang sudah seminggu baru selesai. Lalu dibajak, dengan mesin juga. Sempat berhenti karena mereka ragu apakah akan diteruskan karena jumlah air belum seperti yang diharapkan. Untung kemudian dilanjutkan lagi. Seseorang ditugaskan untuk mengawasi aliran air. Di sudut sawah bibit padi ditumbuhkan dulu, dan beberapa hari kemudian dipindahkan di seluruh petak sawah dengan jarak tertentu. Nah. Akhirnya ditanami juga. Selain itu udara sudah terasa lebih dingin sekarang, dan dingin sekali menjelang subuh. Angin kencang datang lagi.

Saya tidak terlalu memperhatikan tapi saya yakin sudah beberapa bulan angin kencang ini tidak terdengar. Untuk orang yang baru pertama kali mendengar akan banyak yang mengira itu adalah suara truk di kejauhan. Tapi itu bukan truk. Itu angin. Kalau sedang bertiup, suaranya bisa menyeramkan atau menyedihkan seperti orang melolong, tergantung orang yang mengartikan. Saya sudah terbiasa sekarang, tidak seperti dulu yang agak takut juga mendengarnya. Malah tanpa sadar saya berharap mendengarnya lagi setelah beberapa bulan tidak ada. Jack jadi aneh tingkahnya sebelum angin ini datang. Dia gelisah dan mencium-cium udara. Waktu angin ini benar-benar bertiup dan melolong dia lupa semua aturan dan menghantamkan badannya ke pintu supaya bisa masuk.



Jack sedang suka bersikap aneh. Kemarin waktu pergi ke sawah dia tidak mau ikut ke arah yang saya pilih dan lari waktu dipanggil. Terpaksa saya mengikuti dia ke sawah yang dipilihnya dan dia pergi bersenang-senang semaunya. Saya tidak begitu suka karena di sini rumputnya tumbuh terlalu tinggi, membuat saya berpikir apa yang mungkin ada di baliknya. Saya ingin tahu apa jadinya kalau Jack diikat dengan tali dan saya yang menuntunnya jalan-jalan ke mana saya suka. Sayang saya tidak mungkin tahu, karena pasti tidak diijinkan oleh yang punya. Dia punya prinsip anjing tidak boleh diikat. Saya lihat ke sebelah. Ada bambu setinggi satu meter ditegakkan di antara padi-padi yang kuning. Bambu itu  dikerat runcing ujungnya dan di sana seekor kepiting tertusuk mati. Semeter dari sana daun kelapa diberdirikan. Setiap helai daunnya dipotong pendek meninggalkan hanya lidi, dan di situ ditusukkan juga beberapa kepiting mati. Masih ada beberapa daun kelapa berisi kepiting berdiri agak berjauhan di antara padi. Kepiting memang banyak berkeliaran di saluran irigasi dan pinggir sawah. Apakah ini persembahan untuk dewi padi menjelang panen? Saya merasa seram. Saya panggil Jack tapi suara saya tidak bisa keras. Mana bisa Jack mendengar. Saya panggil lagi dia. Jack tidak mau datang. Dia tetap lari-lari sendiri meskipun sudah melihat saya. Udara terasa berat dan padat dan bisikannya di antara daun seakan menggeram menyuruh saya pergi. Saya putuskan untuk pulang saja, merasa kurang diterima dengan ramah kali ini.

Jumat, 01 April 2016

Jack dan Kucing

Cerita Bergambar

Berkat gojek yang bisa disuruh-suruh bisalah sekali-sekali makan malam macam-macam di rumah





Ada kucing ingin bergabung







Lo mana dia?







Eh udah di sana dia sekarang







Lo ilang lagi?





Guk guk guk! Warf warf! Hffft! Shchsttt! Scruiit! Gubrak & krompyaang!





Mana! Mana kucing tadi?! Udah pergi kan?






Di sana gak ada. Ya, beneran gak ada.






Di sana juga gak ada...yakin!







Sudah... makanlah lagi. Saya jagain di sini siapa tahu kucing brengsek itu dateng lagi.

Saya: Sok tau kamu Jack. Aku kan suka sama kucing tadi <keluh>

Rabu, 09 Maret 2016

Yang Lebay

Dalam perjalanan dari Ubud ke bandara menggunakan travel, sebagian besar penumpang turun di Sanur untuk menyeberang dengan kapal dan melanjutkan perjalanan mereka ke Nusa Penida. Cuma tinggal saya dan seorang perempuan yang tidak turun. Lalu kami ngobrol. Dia masih muda, orang Belanda yang liburan di Bali dua minggu. Di Ubud sendiri cuma sekitar lima hari. Dia minta pada sopir untuk diturunkan nanti di jalan karena tujuannya yang sebenarnya adalah Uluwatu. Dia bisa melanjutkan dengan taksi. Saya menanyakan kesannya tentang Ubud. Dia menimbang-nimbang lalu bilang, orang-orang ekspat yang ditemuinya semuanya berasal dari satu golongan. “Maksudnya?” tanya saya. Dia menjawab semuanya perempuan dan single. Saya mengerutkan kening. Saya bilang banyak yang berkeluarga, banyak yang laki-laki, yang punya anak, bahkan berusia lanjut. Dia kelihatan ragu dengan penjelasan saya. Dia bilang orang-orang itu dikenalnya dari sebuah tempat yang populer dengan kegiatan yoganya. Ah, pantesan. Para perempuan kalau sudah membentuk klik memang lengket dan kerap bersama-sama. Saya sendiri sering bertanya-tanya apa yang sebenarnya dilakukan oleh orang-orang ini, terutama yang muda, di Ubud. Kenapa mereka membuang waktu, meninggalkan negaranya, tidak kuliah atau berkarir di negaranya sendiri?

“Mereka itu too sweet,” kata kenalan baru saya. Mukanya bimbang, mungkin membayangkan orang-orang yang baru dikenalnya. Saya tidak heran. Mereka memang manis sekali. Bicara tentang persaudaraan, cinta kasih universal, mother earth, berpelukan erat setiap ketemu siapa saja baik laki-laki atau perempuan. Makanan vegan bahkan mentah adalah topik bahasan kegemaran mereka. Anti susu, anti daging, anti pemanfaatan hewan untuk pemenuhan selera manusia. Bagaimana tidak sweet coba, semua itu? Seorang teman saya cukup lama bekerja sebagai pengasuh dua anak dari seorang perempuan Rusia yang masih muda dan cantik (perempuan Rusia memang banyak yang cantik). Dia cerita bahwa kedua anak asuhannya sudah vegetarian sejak kecil dan suka cemilan berupa wortel dan brokoli mentah. Sehat sekali. Ayah mereka datang sekali-sekali saja ke Bali. Ibu muda ini sering bertengkar dengan suaminya mengenai gaya hidup yang berbeda. Dia keluar hampir tiap malam dengan kelompoknya. Mereka berpakaian longgar berimpel-rimpel, memakai gelang, kalung, gelang kaki manik-manik, dan suka menari dan menyanyi di sekeliling api unggun kalau purnama tiba. Mereka mengadakan ritual yang dikarang sendiri, upacara menjelang melahirkan. Pesertanya mengenakan rok atau celana panjang bercorak etnik. Atasannya ketat atau minim. Ada bunga-bunga, dupa, gong kecil, tarian dan nyanyian pujaan.

“Pekerjaannya apa?” tanya saya bersemangat ingin tahu. Teman saya bilang, dia model untuk katalog yang tentu ordernya tidak didapat tiap hari. Sepertinya perempuan ini menganggap suaminya kurang spiritualis dan terlalu keduniawian. Suaminya membalas dengan mengurangi jatah bulanan, sehingga ibu dan anak harus pindah ke rumah yang tidak ada kolam renangnya lagi. Bagaimanapun perempuan Rusia ini tidak bisa seenaknya sendiri karena sudah punya anak. Akhirnya mereka pindah ke Rusia, mungkin demi kebaikan anak-anaknya juga. Kalau yang single memang suka sembarangan dan bukan-bukan. Berombongan pergi ke danau di bawah sebuah air terjun, berenang-renang di sana, menyatakan cintanya pada Bali dan tidak ingin meninggalkan pulau ini selamanya, lalu… membuang paspornya ke danau! Untung ada seorang yang waras dalam rombongan itu yang cepat-cepat terjun menyelamatkan paspor itu.

Pernah saya diajak ke sebuah warung vegan. Saya pilih nasi campur yang seharusnya asli Bali tapi rasanya tidak bali. Ada rempah yang tidak biasa ada, baik di masakan padang, jawa, sunda, atau bali. Saya menyebutnya rempah rasa yoga, meskipun mungkin lebih tepat kalau disebut rasa india. Menu bali rasa india ini dipandang cocok untuk restoran yang sering dikunjungi para vegan yang berminat pada yoga, meditasi, dan hidup penuh cinta. Apa hubungannya pikir saja sendiri. Menunggu hidangan datang di tempat ini lama sekali. Saya jadi sempat jelalatan melihati orang-orang. Ada cewek bule yang manis tapi sayangnya kurang merawat diri. Rambut panjangnya seperti sudah sebulan tidak dicuci. Dia nyeker dan mengenakan rok sifon berbunga-bunga yang sobek-sobek dan diikat dengan tali rombeng di pinggangnya karena rok ini kepanjangan, jadi harus ditarik ke atas supaya tidak keserimpet waktu jalan. Temannya yang laki-laki langsung duduk di bantal untuk bermeditasi dan sekali-sekali mengeluarkan suara keras seperti orang sedang ngedan. Rambut rastanya yang panjang digulung di atas kepala. Lalu terdengar sekilas pembicaraan mereka. “Kamu harus dengar tentang vision yang saya dapatkan tadi malam,” kata yang seorang.

Saya malas mendengar kelanjutannya lalu pindah memperhatikan perempuan lain yang duduk sendirian di atas bantal. Dia hampir menghabiskan semangkuk besar salad. Setiap gerakan menyendok sayur dan mengunyah dilakukannya secara meditatif. Pandangannya lurus ke depan. Lalu dia mengeluarkan pil-pil dari botol, ampun, banyak amat, menaruhnya dalam kepalan tangan dan sepertinya meminta semesta untuk memberkati pil-pil itu dengan mata tertutup. Kemudian ditelan dengan bantuan air. Perempuan ini jauh lebih enak dilihat dari yang pertama tadi. Dia bersih dan mengenakan pakaian yoga yang ketat dan mahal. Saya jadi berpikir untuk beli celana ketat seperti itu juga, yang punya bolong-bolong artistik di sisi luarnya. Saya juga berpikir perempuan yang terakhir ini mungkin dari golongan yang berbeda dengan yang pertama. Dia serius, rajin latihan yoga tiap hari, dan disiplin dalam melatih core-nya. Mungkin terlalu serius, melihat gerak-geriknya yang teratur dengan seulas senyum robot. Saya tidak bisa membayangkannya bersikap apa adanya, ketawa ngakak atau berkata konyol sekali-sekali. Jadi saya memutuskan untuk batal beli celana yoga. Alasannya karena melatih core itu berat dan susah. Lagi pula pakaian yoga sering bolong di mana-mana, sudah itu yang bermerek harganya mahal pula.

Sesudah lama tidak ketemu seorang teman kami janjian untuk ketemu lagi. Sebenarnya dia bukan benar-benar teman, cuma kenalan yang biasanya kebetulan ketemu dalam kelompok bersama-sama orang lain. Setahu saya dari pembicaran kami waktu itu dia cukup suka mengumpulkan uang dari beberapa usaha yang dipunyainya. Tapi sekarang, semakin lama ngobrol dengannya saya jadi semakin kehilangan arah. Dia ternyata serius beryoga dan bermeditasi. Kata-kata indah berhamburan dari mulutnya. Dia terharu sekali karena teman-teman non-vegetariannya datang memasakkan makanan di rumahnya dengan menu vegetarian. Dia mengajak saya untuk turut berpartisipasi dalam mengembalikan daya dukung bumi terhadap umat manusia yang jumlahnya semakin membengkak terus. Dia cerita baru saja menasihati anaknya untuk mengikuti kata hatinya, kerja selama dua tahun saja, kemudian berhenti karena pekerjaan itu akan sudah dikuasai dan tidak lagi memperkaya batin. Dia menganjurkan saya untuk mencari kebenaran diri saya sendiri yang letaknya jauh bersemayam dalam diri. Dia bilang bahwa uang bukan yang utama dalam hidup, bahkan bisa sangat merusak.

Tidak ada yang salah dalam semua yang dikatakannya, tapi tetap saja ada sesuatu yang tidak pas dan membuat saya gelisah. Saya cepat-cepat konsentrasi mendengarkannya lagi, karena dia sudah merasa kalau pikiran saya sedang melayang ke mana-mana. Dia bertanya sesuatu, saya menjawab, dan langsung tahu dia tidak tertarik mendengar jawaban saya. Kalimat saya dipotongnya, dia bilang mengerti maksud saya, bahkan memperjelas panjang lebar padahal bukan itu maksud saya. Sudah, ah. Saya malas sekarang. Cuma berpikir bagaimana menyudahi pembicaraan tanpa dianggap kurang sopan. Saya ubah topik pembicaraan tanpa kentara. Diceritakannya apa saja yang dilakukannya untuk mendapatkan uang tanpa susah payah. Otak bisnisnya langsung berputar dan sinar matanya berubah cerdik. Katanya uang tidak penting? Gampang memang bilang begitu, karena dia punya vila luas dan indah dengan kolam renang, anjing ras sebanyak tujuh ekor, mobil mahal, dan Harley Davidson.


“Kamu jadi ke Sumatra?” tanya saya. Dia waktu itu omong banyak, mau menjelajah Sumatra sampai pelosok dengan motornya, sendiri saja dengan semangat berpetualang. “Tidak,” jawabnya pendek. Lalu dia tahu saya yang lebih penakut, lebih manja dan lebih miskin dari dia sudah ke Pulau Derawan dan kepulauan Kei di Maluku sejak terakhir kami ketemu walaupun tanpa petulangan ala Indiana Jones. Pokoknya pergi. Dia kelihatan iri. Akhirnya saya berhasil pamitan. Kami berpisah dan dia pergi ke bar untuk minum-minum di sana, mungkin sampai bar itu tutup. 

Selasa, 23 Februari 2016

Hidup Harmonis dan Hepi Hepi

[Kenangan Pelangi atau sebuah dongeng]
Adalah suatu tempat di mana anak-anak berkumpul di pagi hari. Mereka datang dari mana-mana. Bermacam-macam rupa dan kelakuannya. Ada yang menangis waktu ditinggal pergi ibunya. Hmm, memang masih kecil sih. Ada yang sudah abege.  Ada yang galak sekali. Ada yang manis dan cantik. Ada yang berambut keriting atau lurus. Ada yang rambutnya pirang atau hitam. Ada yang pendiam, dan ada juga yang berisik. Anak-anak ini harus belajar dengan disiplin. Tapi mereka juga senang bermain dan berolah raga. Mereka makan siang bersama-sama di sebuah bangunan joglo. Ributnya mereka makan! Orang-orang dewasa yang adalah guru-guru mereka menjaga agar suasana agak tertib. Setelah makan, mereka berhamburan dan berpencar di taman.

Taman yang luas tentu saja harus ada orang-orang yang mengurusnya. Orang-orang ini punya tugas dan kedudukan yang berbeda-beda. Yang paling penting tentunya yang memiliki kedudukan paling tinggi. Dialah Pak Khar, ketua sekaligus perencana taman itu. Kalau ada orang yang datang enam bulan yang lalu, tidak pernah datang-datang lagi ke sana dan baru hari ini datang lagi, pasti akan berseru kagum, “Bagus sekali! Beda dengan keadaan enam bulan yang lalu.” Satu hal yang menarik di taman itu adalah jalan setapaknya. Begitu banyak jalan setapak di sana. Pak Khar yang memerintah orang untuk membuat semua jalan setapak itu. Jalan setapak itu ada yang datar, ada yang menurun atau sedikit menaik, dan ada yang berundak-undak membentuk tangga. Ada yang lurus, ada yang sedikit melengkung dan ada yang meliuk-liuk. Ada yang sempit dan ada yang lebar. Ada yang pendek dan ada yang panjang. Ada yang belok ke kiri, ada yang belok ke kanan, ada yang menuju ke atas dan menuju ke bawah. Bahkan ada yang tidak menuju ke mana-mana. Pak Khar suka sekali pada jalan setapak. Kalau ada anak nakal seenaknya saja menerobos semak atau menginjak rumput tanpa melalui jalan setapak, minggu berikutnya di tempatnya menerobos itu akan dibangun sebuah jalan setapak baru. Tapi Pak Khar harus berhati-hati untuk tidak terus membuat dan membuat lagi jalan setapak. Kalau tidak, taman itu akan berubah menjadi simpang siur jalan setapak yang saling memotong ruwet sekali.

Setelah Pak Khar ada lagi yang namanya Pak Gepe. Bisa dibilang dia orang paling penting kedua di taman itu. Karena Pak Khar sering sibuk mengenai hal-hal lain di tempat-tempat lain, Pak Gepe bebas bersikap seperti bos yang sesungguhnya. Pak Khar tidak keberatan karena dia percaya penuh pada Pak Gepe. Pak Gepe senang mengumpulkan semua pekerja dan memberi perintah-perintah. Dia berdiri tegak dengan tangan disatukan di belakang punggung. Matanya menyorot tajam dan kata-katanya tegas. “Kalian harus fokus,” katanya. “Kita bagian penting dari semua kebersamaan yang perlu ditanggapi dengan sepenuh hati. Keberhasilan kita menjadi alat penting dan penyangga dari keberlangsungan keindahan taman ini yang berkelanjutan secara abadi.” Di depannya empat orang pekerja bergerak-gerak dengan gelisah. Bertumpu di kaki kanan, lalu di kaki kiri, dan kembali lagi ke kaki kanan. Tidak seorangpun mengerti apa maunya Pak Gepe. “Baik. Sekarang kalian mulai bekerja dengan mengedepankan beragam kepentingan di mana setiap orang harus fokus untuk menjadikan pekerjaan ini suatu hal yang menggembirakan bagi setiap orang yang memandangnya.” Pak Gepe berbalik kanan dengan tegap seperti yang diajarkan pada anak-anak Pramuka. Pertemuan bubar. Keempat pekerja juga berbalik tapi tak menentu. Pilah bertabrakan dengan Pata. Keta berbisik-bisik pada Kudu. “Jadi kita harus mengerjakan apa sekarang?” Karena Kudu tidak bisa menjawab maka Pata yang bicara. “Kita harus fokus,” katanya. Pilah bergumam tidak acuh, “Betul. Fokus itu penting.” “Benar. Fokus,” Kudu setuju. Akhirnya Keta mengerti. “Iya, ya. Kok bisa lupa? Fokus, itu dia!”

Maka mereka semua menjadi fokus. Kudu fokus menggali tanah untuk ditanami pohon kamboja. Pilah fokus menyiram rumput. Pata fokus memperbaiki pagar yang rubuh. Keta fokus mencampur tanah dengan pupuk. Karena, meskipun mereka tidak becus baris-berbaris dan tidak bisa berdiri tegak ketika diberi wejangan, mereka tahu sekali pekerjaan apa yang harus dilakukan. Taman ini buktinya. Semakin hari semakin enak dipandang. Dengan Pak Khar yang punya berbagai ide brilyan, Pak Gepe yang menjaga agar semuanya fokus, dan empat serangkai yang sibuk bergerak ke sana ke mari walaupun sering diam-diam pergi menyelinap untuk minum kopi, apapun bisa diwujudkan di taman itu. Prestasi mereka yang cukup membanggakan adalah ketika berhasil memindahkan pohon yang sudah tumbuh besar. Karena setiap orang maklum, menanam pohon dari kecil dan menunggunya jadi besar itu sangat membosankan. Ada sebatang pohon yang bagus sekali bentuknya tapi sayang sekali tempatnya tumbuh kurang pas. Pohon ini harus dipindahkan. Mereka semua beramai-ramai mengerjakannya. Bahkan Pak Khar meninggalkan tugasnya yang lebih penting untuk ikut mengerahkan tenaga. Mereka senang ketika pohon ini tetap hidup dan tumbuh segar. Mereka jadi lebih percaya diri dan semakin sering memindahkan pohon. Jangan heran kalau mata seseorang silau ketika memandang keluar dari jendela kantor dan mengeluh, “kalau saja pohon itu berdiri dua meter lebih ke kiri, pasti mataku akan terlindungi,” tiba-tiba saja pohon itu sudah berpindah tempat ke posisi yang dia inginkan besok paginya. Daun-daunnya menahan sinar matahari untuk menerobos langsung.

Ah, siapa itu yang baru saja mengeluh matanya silau? Kita maklum, dia harus duduk di tempat yang sama dari pagi sampai sore. Jadi kalau di siang yang sangat terik matanya silau dia tidak bisa seenaknya pindah tempat. Maka pasukan perkasa yang sanggup memindahkan pohon dalam sekejap adalah pahlawan yang sebenar-benarnya pahlawan. Dia bekerja dalam kantor, berbicara di telpon, memberi keterangan macam-macam untuk orang yang memerlukan. Tak lupa memuji tempatnya bekerja supaya semakin banyak anak-anak kecil yang disekolahkan di sana. Dia juga mengerjakan pekerjaan yang melibatkan formulir-formulir dan file-file. Dia keki kalau ada petugas pemerintahan datang ke sana, karena sering mengurusi hal-hal tidak penting seperti baju yang dipakainya. Kelemahannya adalah sering melewatkan waktu makan dan dua jam setelah jam makan lewat matanya jadi berkunang-kunang. “Aku lapaaar!” serunya.

Akuntan yang duduk di pojokan kantor mengangkat muka mendengar seruan itu namun terus menunduk lagi. “Salah sendiri, ah,” gumamnya tak peduli. Dia sedang sibuk dengan angka-angka. Dijumlahkannya deretan angka-angka itu. Kadang dijumlahkan ke bawah, kadang ke samping, kadang meloncat-loncat. Dia puas ketika penjumlahan ke bawah sama hasilnya dengan penjumlahan ke samping dan menghasilkan angka yang menurutnya sangat bagus serta mengesankan. Selesai sudah satu pekerjaan. Meskipun tadi ada anak rewel yang mencari perhatian di kantor dengan mengeluh keras-keras ibunya lupa menaruh makanan kesukaannya di kotak bekal. Dia ingin ibunya ditelpon saat itu juga, tidak peduli orang sedang sibuk. Akuntan memang kurang punya kesabaran untuk hal tetek-bengek. Mungkin itu kelemahannya. Ada yang mengganggu pikirannya akhir-akhir ini. Pekerjaan yang diserahkannya kepada Administrator beberapa hari yang lalu tidak selesai-selesai atau dijawab lupa kalau ditanya yang lainnya.

 “Semua orang harus harmonis dan didengar. Semua orang harus bahagia” kata Administrator. Dia juga duduk di pojokan tapi pojok yang berbeda.Maka dia berkeliling untuk mendengarkan keinginan orang yang macam-macam dan saling bertentangan. Pekerjaannya besok-besok, yang penting harmonis. Dia senang menyelenggarakan acara-acara, misalnya acara suntik masal. Dia cerah sekali ketika para penyuntik datang jam sembilan pagi. Dibawanya mereka ke ruang khusus. Setelah itu satu orang dijemputnya di kantin, diantar ke ruang suntik dengan menyeberangi taman luas. Selesai dengan satu orang, diseberanginya lagi taman, lalu pergi menjemput orang di lantai dua. Begitu seterusnya. Ketika Akuntan heran kenapa sudah jam dua acara suntik ini belum selesai, dia datang dan melihat enam orang tukang suntik beserta asisten tidak ada kerjaan dan Administrator sedang bercanda ria. Orang yang mau disuntik belum ada. Akuntannya gemes. Hidup Akuntan terlalu keras sih, dulu dia biasa kerja yang pakai deadline tanpa tawar-tawaran. Di sini pekerjaan administrasi yang setengah hari biasa diulur jadi tiga hari bahkan lebih. Yang penting hepiiiii.

Kamis, 14 Januari 2016

Menari Lagi

Musik berhenti dan para pemain band bubar untuk istirahat selama setengah jam. Kami bertepuk tangan dan kembali ke meja kami. Ngobrol dan bercanda sambil menghabiskan minuman. Memang enak kalau habis nari gini, hati ringan dan gampang ketawa. Seorang pramusaji datang lalu meletakkan satu botol anggur merah dan gelas lima buah. Diisinya gelas satu per satu. Lho? Kami kan tidak pesan anggur?
“Dari Bapak,” katanya.
Yang dimaksudnya dengan ‘Bapak’ adalah pemilik dari restoran dan bar itu. Di sini ada live music-nya setiap malam. Biasanya kami ke sana di malam minggu. Kami melambai dari jauh untuk mengucapkan terima kasih untuk anggurnya. Setelah itu masih beberapa kali kami mendapat hadiah yang sama kalau sedang ke sana. Malah pernah dikasih dua botol tapi kami tolak. Kalau nanti ada yang mabuk padahal harus naik motor pulangnya, bagaimana? Biasanya Mawar dan Miren cuma minum satu gelas anggur, sedangkan Rima bir. Saya senangnya jus cranberry, jahe panas, atau teh. Eh? Di bar minta teh panas? Dulu-dulu saya langsung merasakan efek mabuk meskipun cuma minum seperempat gelas anggur. Sekarang mendingan, mabuknya hilang, tapi ngantuknya jadi tidak tertahan. Mending tidak minum minuman beralkohol sekalian saja. Pernah dalam acara makan malam resmi saya terus berdoa dan melirik jam dengan putus asa. Ini acara makan sudah dua jam kok nggak selesai-selesai, sih. Ngantuuuuk. Hoahmmm! Tapi tetap saja anggur putihnya saya habiskan. Untung saya ingat untuk menutup mulut dengan tangan. Padahal saya kalau nguap biasanya baru puas kalau membuka mulut lebar-lebar yang bikin orang takjub. Mana mungkin muka dan kepala sekecil itu, yang kalau pinjam helm orang talinya harus disetel sependek-pendeknya, bisa punya bukaan mulut yang mengalahkan ukuran normal?

Di mana ada live music sedang berlangsung kami bisa membuat suasananya jadi lebih meriah dengan mulai menari pertama. Jenis musiknya bisa apa saja, asal enak dipakai nari. Yang lain-lainnya baru mau setelah melihat contoh benar yang kami lakukan, dan iri melihat kegembiraan yang kami rasakan. Pengunjung senang, pemain band senang dengan banyaknya yang menari. Mereka semakin bersemangat memainkan musik. Kadang musik yang berirama latin lebih dipercepat dan ini bikin penari salsa pemula jadi kalang kabut (udah, lupakan aturan salsa, bergerak semau dan sebebasnya sajaah…). Penyanyi band datang setelah acara musik selesai untuk bersalaman sekalian ngobrol sebentar. Pemilik restoran pasti senang juga, kalau tidak mana ada kasih-kasih wine gratis? Suasana meriah bisa membuat orang ingin datang lagi, jadi yang suka nari biasanya disambut dengan baik meskipun mereka cuma minum di sana, hahaha. Sepertinya dua tempat yang biasa kami datangi karena live musicnya ini punya pengunjung yang berganti-ganti terus. Mungkin mereka turis yang tidak sempat untuk membentuk kelompoknya sendiri. Akibatnya, ya itu tadi. Saling tunggu meskipun kaki sudah gatal bergerak. Kami juga begitu di tempat yang baru.

Acara tahun baru kami kemarin juga dirancang dengan ada acara narinya. Pertama makan dulu di restoran. Setelah itu pulang untuk menyalakan kembang api. Ini terutama untuk menyenangkan Jazz, anaknya Mawar yang berumur 9 tahun. Bunyi kembang api yang keras membuat Jack nyungsep ketakutan di bawah kursi. Seluruh badannya gemetar hebat. Harap dimaklum ya Jack, ini acara satu tahun sekali. Setelah itu baru kami keluar lagi untuk mendengarkan musik tanpa Jazz karena dia harus tidur. Tempat nongkrong yang didatangi ini suasananya sedikit dingin. Harus saya akui, pendapat ini subjektif sekali. Sekarang, kalau dengar musik di restoran atau yang lainnya tanpa ada acaranya narinya, saya anggap suasananya kurang asyik. Padahal ya salah sendiri, mau nari tidak dilarang kok. Tapi entah kenapa kami waktu itu tidak ada yang berminat untuk keluar dari kursi. Akhirnya sekitar jam sebelas  kami pindah tempat, ke tempat yang sudah biasa didatangi saja. Tempatnya penuh! Tapi manajernya santai saja, dia yakin bisa menyelipkan kami di antara para pengunjung. Kami dicarikan tempat supaya bisa bergabung dengan Miren dan Brett yang sudah dari tadi ada di sana dan sedang duduk dengan dua orang lagi. Maka kami berdelapan duduk berdesakan. Letak mejanya ideal sekali, di depan, jadi tidak ada yang merasa keberatan. Lagian ini malam tahun baru, masa mau sepi?

“Aku dari tadi belum dance,” kata Miren.
Kami bertukar pandang mengirim isyarat dan langsung saling mengerti. Saya dengan Miren memang klik kalau urusan nari. Kalau yang satu malas dance, dan yang satu juga malas dance, begitu keduanya digabung hasilnya jadi  semangat dance, hahaha. Kami ngobrol sambil minum sampai si manajer memutuskan suasana harus dibuat lebih hangat. Dia memberi isyarat ke arah meja kami menyuruh kami maju untuk menari. Gak perlu di suruh dua kali, langsung deh kami ngedance. Begitu juga yang lain. Lama-lama yang tadi masih mikir sekarang tidak ragu lagi. Suasana semakin lama semakin meriah. Setelah menghitung mundur untuk sampai ke jam duabelas malam, acara musik masih diteruskan. Kan tahun baru. Biasanya di Ubud musik di kafe dan bar harus berhenti paling lambat jam duabelas atau malah jam sebelas.

Saya bersyukur punya teman-teman yang suka nari meskipun agak disayangkan mereka tidak begitu suka nari salsa. Untunglah Lina sekarang sudah mau disuruh belajar salsa. Saya sedikit berkorban dengan mengulang lagi dari dasar demi menemaninya belajar di kelas. Kursus salsa privat juga masih saya teruskan meskipun tidak rutin lagi. Ternyata cara orang ngajar itu beda-beda. Made, guru privat saya yang pertama lebih mengutamakan sebanyak mungkin menari. Sejam belajar dengan dia bisa menari sampai delapan lagu. Belajar dengan dia fun! Apalagi dia punya kombinasi gerakan macam-macam. Kalau Agung lain lagi. Semua gerakan saya dikoreksi dan kebiasaan yang salah dipaksanya untuk dihilangkan. Muternya salah. Tangannya salah. Kakinya salah. Bahu mesti begini. Kaki mesti jinjit. Ulang lagi! Sampai bisa! Sejam dengan dia keringat menetes-netes. Dia duduk merokok sambil mengawasi sementara saya harus melangkah dengan gerakan dasar banget selama lima menit untuk mendapatkan 'hitungan 1'nya. Dapat apa tidak saya tidak tahu karena dia cuma ngeliatin tanpa komentar hehehe.Jadi ajarannya sebenarnya banyak manfaatnya.

Saya sadar tidak mungkin jadi penari salsa yang sangat baik. Disuruh rajin mendengarkan musik untuk melatih kepekaan saja malas. Latihan muter sendiri  cuma bertahan dua hari. Sekarang pun, kalau sudah berdiri berhadapan mau mulai menari latin, saya masih nanya sama partner narinya, “Ini salsa apa bachata?” karena belum bisa membedakan musiknya dari awal. Untung banget jadi cewek, semua urusan koreografi gak perlu mikir. Tapi ada yang bilang jadi cewek itu susah karena tidak tahu gerakan selanjutnya bakal gimana. Saya suka iri kalau melihat orang yang jago menari salsa. Tapi banyak penari salsa yang hanya mau atau bisa menari latin. Begitu selesai menari di satu tempat kadang-kadang kami pindah ke tempat lain. Di tempat yang kedua ini ketemu lagi dengan mereka. Para penari latin ini banyak yang diam saja karena musiknya bukan latin. Satu dua menari salsa meskipun musiknya rock. Oke deh. Boleh-boleh saja kok nari salsa dengan iringan musik rock.

Satu-satunya yang tidak suka saya menari adalah Jack. Kalau saya nyetel musik lalu goyang-goyang di depannya, pertama dia menonton dengan heran, terus mengalihkan mata, malu melihat kelakuan saya. Lama-lama dia tidak tahan dan terus pergi.
“Heh, ngapain kabur?!? Sini!” perintah saya, merasa dilecehkan.

Jack tidak mau dan terus ngeloyor pergi. Saya tersinggung nih. Tapi waktu dipikir lagi, ini adalah cara praktis mengusir Jack dari dalam rumah. Dia sudah sering nakal sekarang, tidak mau menurut kalau disuruh keluar. Maka saya praktikkan lagi hari berikutnya, goyang-goyang di depannya diiringi musik. Dia keheranan lalu melengos. Berhasil, pikir saya. Terus dia berdiri dan berjalan ke…. bawah sofa! Matanya merem serapat-rapatnya dan pura-pura budeg. Ternyata Jack lebih pintar dari saya. Kalau sudah di bawah sofa semakin susah saya mendorongnya dan semakin cuek dia membantah.