Minggu, 21 April 2013

Di Kolam Renang


Seorang dokter curhat pada saya,  “Orang itu ada saja alasannya kalau disuruh berenang. Nanti kulit saya kasarlah, nanti rambut saya keringlah, nanti rambut saya merahlah. Padahal alasan sebenarnya kan bukan itu. Anda juga, waktu pertama kali disuruh berenang mukanya langsung asem.”  Kasihan sekali dokter ini, menyuruh orang berenang rupanya bukan tugas yang mudah. Padahal sebagai seorang chiropractor nasihatnya memang itu-itu saja. Berenang. Dan kalau saya tiga bulan terakhir ini rajin berenang tentu bukan karena kasihan pada dokter itu. Karena pengen sembuh dong.

Teman-teman saya pasti tidak akan percaya kalau tahu pelajaran yang paling saya sukai di sekolah adalah olah raga. Habis saya tidak ada potongan olahragawan sama sekali sih. Main voli tidak bisa. Main basket tidak becus. Main bulu tangkis apalagi. Walaupun tidak pernah terpakai dalam pertandingan olah raga antar kelas saya suka sekali lari-lari, lompat-lompat, dan menggerak-gerakkan badan di udara terbuka. Kalau guru olah raganya cerewet, terus berpidato sementara kami berdiri berbaris dan diharapkan mendengar saja, saya kesal betul. Udara sedang cerah, buat apa mendengar wejangan yang masuk kuping kanan keluar kuping kiri lagi? Apalagi kalau jam olah raga dipakai untuk mencatat teori. Itu pelanggaran hak asasi anak untuk bergerak badan namanya :(.

Dokter itu kembali melanjutkan bicaranya, “Saya tadinya ragu apakah Anda mau menuruti saya untuk berenang. Untunglah Anda mau.” Hehehe, dokter itu tidak tahu bahwa berenang adalah satu-satunya olah raga yang saya bisa. Bisa dan suka. Kalau dokter itu bilang muka saya asem disuruh berenang, itu karena sudah hampir dua tahun saya tidak pernah berenang dan percaya bahwa berenang akan membuat bahu dan lengan saya jadi sakit. Siapa sangka bahwa saya justru harus berenang? Setelah satu minggu membiarkan saya bersenang-senang dengan gaya dada dokter menyuruh saya untuk berenang gaya bebas juga. Nah, ini baru masalah. Gaya bebas bukan gaya favorit saya. Selain itu dokter juga meminta saya untuk berenang gaya bebas dengan mengambil napas tidak hanya ke arah kanan, tapi juga ke kiri. Halah, pelatih renang saja tidak bakalan minta yang aneh-aneh seperti ini. Memang itu keuntungannya jadi dokter, tidak perlu melakukan nasihatnya sendiri. Tapi untunglah setelah membiasakan diri saya bisa memenuhi perintah itu.  Gaya bebas yang sering saya hindari dulu sekarang tidak masalah lagi. Saya sampai ingin mengusulkan pada yang tidak bisa berenang untuk sakit punggung saja. Pasti nanti jadi jago berenang karena terpaksa.

Mendapatkan kolam renang yang sesuai selera itu urusan yang gampang gampang susah. Di sini sebenarnya banyak sekali kolam renang. Banyak vila yang dilengkapi dengan kolam renang pribadi. Tapi ukurannya membuat saya tidak sampai hati menceburkan diri ke dalamnya. Saya pernah mimpi berenang. Dalam mimpi saya itu saya tidak berhasil membuat badan saya basah. Baru satu kali kayuhan tangan, sudah sampai ke ujung kolam. Satu kayuhan lagi, sampai ke ujung kolam satunya lagi. Saya frustrasi, seperti berenang di udara kosong saja. Kolam-kolam yang ukurannya mini di vila-vila itu membuat saya trauma karena ingat mimpi saya. Tapi ternyata ada juga orang yang bisa menikmati kolam seperti itu. Seorang teman saya bergaya dalam foto yang dipasangnya di Facebook, di sebuah kolam di sebuah vila di Ubud. Ukuran kolamnya keciiil sekali,  lebih cocok untuk rendam-rendam saja pada saat udara sangat panas. Namun dia mengenakan perlengkapan snorkeling lengkap! Untuk mencari uang koinnya yang jatuh ke dasar kolam?

Kolam yang ideal buat saya juga sebaiknya sepi. Tidak ada anak-anak kecil yang tidak bisa berenang sehingga menghalangi  orang yang sedang berenang. Tidak ada anak yang menjerit-jerit ketakutan. Saya juga pernah kok beberapa kali masuk ke kolam untuk berenang basa-basi. Kecipak-kecipak sedikit, terus main oper-operan bola, diselingi dengan menghirup minuman dingin. Asyik juga sih, tapi kegiatan yang lebih bernilai sosialisasi daripada olah raga ini tidak terlalu saya nikmati. Saya lebih suka duduk selonjoran di kursi panjang di pinggir kolam dan memperhatikan tingkah polah bermacam-macam orang yang ada di sana.

Betapa senangnya saya ketika akhirnya menemukan kolam renang yang cocok. Ukurannya pas. Sepinya pas. Airnya yang dingin juga tidak masalah ketika saya sudah bergerak di dalamnya selama beberapa menit. Saya akui bahwa saya memerlukan waktu yang cukup lama untuk bersiap-siap. Minum dulu, kotak-katik ponsel dulu, celingak-celinguk dulu, padahal  sebenarnya sedang mempersiapkan mental untuk menerima kejutan dingin ketika pertama kali air menyentuh kulit. Yang saya perlukan adalah seorang teman yang iseng atau tidak sabaran yang mendorong saya ke dalam kolam sementara saya masih terus berpikir sambil mencelupkan sebelah ujung kaki, “Sekarang? Atau nanti dulu? Sekarang? Atau…?” Byur!

Waktu saya masih kecil dulu dan berenang di kolam yang sedikit lumutan, di pinggir kolam ada pengumuman yang mengharuskan orang berpakaian renang kalau ingin berenang. Dalam pikiran saya, kok aneh sekali, namanya berenang ya pasti pakai baju renang, dong. Tapi ternyata itu bukan suatu kepastian mutlak. Di kolam tempat saya berenang sekarang ini ada perempuan yang berenang dengan mengenakan celana pendek dan kaos biasa. Apa dia berpikir pakaian seperti itu lebih sopan? Dia tidak sadar bahwa kaos tipis warna putih yang dipakainya itu basah dan menempel ketat di badannya yang agak montok sehingga lipatan-lipatan lemaknya jelas terlihat begitu juga bulatan perut dan pusarnya. Garis-garis behanya juga. Mm, mungkin dia lupa bawa baju renang ketika menginap di hotel ini.

Setelah itu datang lagi seorang bapak-bapak. Karena dia memakai sepatu keds dan membawa tas, dia pasti bukan tamu yang menginap. Alat-alatnya lengkap. Kaca mata renang, sumpal kuping, topi renang. Tapi baju yang dipakainya berenang adalah kaus singlet biru muda dan celana pendek dari kain biasa. Ya ampun, boleh saja dia berpikir berbaju seperti itu sopan karena lebih banyak bagian tubuh yang tertutup, tapi buat saya, yang dipakainya itu adalah kolor! Hanya boleh dipakai di dalam kamar, bukan di tempat umum. Saya memalingkan muka dan tidak ingin menunggu sampai bapak ini selesai berenang dan keluar dari kolam. Sungguh, saya tidak ingin melihatnya. Bapak ini sepertinya punya jadual hari berenang yang sama dengan saya karena saya melihatnya lagi pada kesempatan lain. Untungnya dia selalu datang pada waktu saya hampir selesai. Saya keluar dari kolam dan langsung ganti baju, tidak jadi duduk selonjoran sambil berjemur.

Rekan kerja saya pernah menunjukkan fotonya di kolam renang sedang berbikini. Pesannya cukup jelas, bahwa dia hanya berbikini ketika jauh dari rumah. Waktu itu dia sedang berada di atas kapal pesiar yang berkeliling ke beberapa negara Asia Tenggara. Selama saya berenang di berbagai kolam renang umum di Bandung hanya sekali melihat orang berbikini. Itupun dia selalu bersidekap berusaha menutupi dadanya. Sekali waktu saya melihat seorang perempuan berjalan di tepi kolam dengan pacarnya. Perempuan ini berbaju renang dan pakai sarung Bali. Kemudian dia nyebur ke kolam sekalian dengan sarungnya! Saya melongo. Oh, ternyata, sarung itu kemudian dilepas dan diberikan pada pacarnya yang masih menunggu di pinggir kolam. Saya bingung melihat kerepotan yang diciptakan dua sejoli itu.

Di Ubud ini ketika berenang di salah sebuah kolam renang di rumah pribadi yang penampilannya seperti yang ada di majalah-majalah saya menjadi satu-satunya yang pakai baju renang one piece model klasik. Yang lainnya berbikini. Sampai sekarang saya masih bertahan dengan model baju renang kesukaan saya ini baik di Bandung maupun di Ubud, walaupun semakin banyak saya lihat perempuan yang mengenakan baju renang one piece berlengan pendek dan panjang celananya mencapai setengah paha. Menurut saya itu bukan baju buat berenang, tapi buat balap sepeda.

Selasa, 16 April 2013

Seragam dan Kebaya


Hari itu Lia pergi ke sekolah dengan mengenakan kebaya dan sarung. Alas kakinya adalah sandal bertumit rendah. Selain tas sekolah Lia juga membawa sesajen sederhana. Hari itu adalah hari bulan tilem, murid-murid sekolah mengenakan pakaian adat sesuai pilihan sendiri untuk pergi ke sekolah. Untuk hari-hari biasa selain seragam putih merah ada kode etiknya sendiri untuk tata rambut anak-anak perempuan. Semuanya berambut panjang, dikepang, dan berpita. Saya sering melihat anak-anak SD yang berombongan, yang perempuan semuanya berambut panjang dan berkucir dua. Entah di tingkat apa penyeragaman tata rambut ini diakhiri. Nggak lucu, ah kalau anak-anak SMU juga diharuskan berambut kucir.  

Sekarang banyak murid-murid sekolah ber-rok biru tua atau abu-abu menyapu tanah. Saya kasihan pada mereka. Apa enaknya berpakaian seperti itu pada saat gerakan gesit diperlukan? Rok panjang sih cocoknya buat ibu-ibu. Di SMP dan SMA dulu, murid-murid mengenakan rok pada umumnya sepanjang lutut atau sedikit di atasnya. Yang memakai rok di bawah lutut biasanya karena ada masalah dengan kakinya, entah masalah betulan atau masalah yang cuma dikhayalkannya saja. Ada yang memakai rok sepuluh senti di bawah lutut dengan kaus kaki panjang selutut agar kulitnya tetap putih :D.

Karena rok panjang mudah kotor, saya lihat banyak murid sekolah sedikit memendekkan rok. Penampilan mereka kelihatan kedodoran, ditambah pula dengan ransel besar dan sepatu basket. Memang susah untuk bisa tampil segar dan manis ke sekolah kalau harus memakai rok yang ketinggalan zaman ini. Tidak panjang tidak pendek. Beda masa beda pandangan, ya. Di SMP dulu pada waktu-waktu tertentu kami pergi ke stadion olah raga yang tidak begitu jauh dari sekolah dengan berjalan kaki. Perginya sudah dengan berseragam olah raga, kaos lengan pendek dan celana pendek. Apakah sekarang murid-murid sekolah diwajibkan mengenakan kaos olah raga lengan panjang dan bercelana panjang? Jadi terasa tuanya, karena soal seperti ini saja saya tidak tahu, hehehe…..

Salah satu alasan saya memilih sekolah di SMP dulu adalah karena suka seragamnya. Rok kami yang berwarna abu-abu ini ada selempangnya, dimulai dari depan di bagian kiri dan kanan, naik ke masing-masing bahu, dan bertemu di bagian belakang tepat di tengah-tengah. Kalau dilihat dari belakang selempang itu membentuk huruf  V, cocok dengan nama sekolah kami SMP V. Kemudian angka romawi itu diganti menjadi 5, tapi seragam kami tetap seperti semula. Tetangga kami adalah SMP 2, bersebelahan, hanya dibatasi selapis tembok. Anak-anak SMP 2 mengenakan rok panjang di bawah lutut. Warnanya hijau cerah  bermodel rimpel. Rok yang lebar ini  punya banyak rimpel tersembunyi yang membuat rok jadi jauh lebih lebar lagi kalau terkembang. Kalau saya naik seangkot dan duduk bersebelahan dengan anak SMP 2, roknya ini mengembang sangat lebar sehingga menutupi lutut saya. Saya kibaskan rok hijau itu. Wus! Pemiliknya cemberut lalu menyelipkan roknya di bawah lutut.

Kalau seragam SMP 2 penuh rimpel rahasia, seragam kami ada pleats-nya. Di bagian belakang enam buah dan diatur tiga lipatan ke arah kanan dan tiga lipatan ke arah kiri. Di bagian depan juga seperti itu, jadi totalnya ada dua belas. Ada seorang anak perempuan di kelas saya yang selalu menjaga agar lipatan pleats-nya selalu rapi. Setiap akan duduk dia akan meratakan lipatan yang di belakang dari atas sampai ke bawah, baru duduk dengan sangat hati-hati. Bertahun-tahun kemudian, ketika ketemu dengan teman sekelas, saya membuat tebakan, “Siapa coba yang setiap mau duduk lipetan roknya diatur satu-satu dulu?” Dia menjawab dengan benar, “Dony!” Rupanya bukan saya saja yang memperhatikan kebiasaan Dony ini.

Ada sedikit rasa tidak senang yang tersembunyi di antara dua sekolah yang bersebelahan itu. Saya belum pernah masuk ke SMP tetangga, tapi katanya sekolahnya lebih luas. Sepertinya sudah kebiasaan,  lagi-lagi, saya masuk SMA yang bersebelahan dengan sekolah lain, bahkan tanpa tembok pemisah. Zaman dulu sekolah ini disebut HBS. Saya sering membayangkan betapa enaknya murid-murid zaman Belanda dulu, kelasnya luas-luas sekali sedangkan muridnya cuma sedikit. Sekarang dibangun kelas tambahan yang kecil-kecil yang membuat lahan terbuka semakin sempit. Tapi tidak ada rasa persaingan di antara dua SMA ini. Saya rasa karena tidak ada tembok pemisahnya, hanya ada garis imajiner yang boleh saja dilanggar di jam istirahat. Sekolah-sekolah negeri juga sudah tidak diperbolehkan punya seragam yang beda-beda. Dua sekolah itu pembagiannya sangat simetris, tepat di tengah-tengah. Di bagian tengah ini ada tangga lebar yang digunakan bersama untuk naik ke tingkat dua dan baru kemudian berpisah, satu ke kiri dan satu ke kanan. Para tukang bersih-bersih rupanya juga suka perhitungan. Waktu menyapu dan mengepel tangga lebar ini mereka cuma mengepel setengah bagian saja, sesuai dengan sekolah yang diwakilinya.

Kembali ke masalah busana sekolah, saya kira di Bali saja murid-murid bisa berkebaya dan bersarung sambil belajar di kelas. Sepertinya itu biasa saja. Di restoran, di jalan, di pasar swalayan, berkebaya itu biasa saja. Tidak seperti teman saya yang baru pulang kondangan dan langsung  janjian ketemu di mall, seharian merasa dirinya salah kostum karena berkebaya. Dan apa yang dibilang ‘sarung’ di sini kalau di P. Jawa dibilang kain, jadi ujungnya tidak disambung, dan pakainya juga harus ketat. Perempuan Bali suka warna-warna kontras untuk kombinasi kebaya, sarung, dan selendangnya. Misalnya, ungu-biru muda-oranye, merah muda-coklat-hijau, merah-lembayung-kuning, dsb. Cantik-cantik kombinasinya. Warna-warna senada terlalu membosankan kalau untuk berkebaya.

Karena seringnya berkebaya, mereka cepat sekali ketika berdandan. Pakai sarung tinggal sret-sret-sret, hasilnya ketat, singset, dan rapi. Setelah itu dipakai korset yang juga ketat, dan dilapisi lagi dengan kebaya yang seringnya berbahan brokat lubang-lubang. Seksi sekali! Rambut disanggul sederhana atau cuma diikat saja, yang penting jangan bersasak karena sering harus menjunjung sesajen di atas kepala. Saya pernah ikut Kadek pergi ke pura yang agak jauh. Untuk sampai ke jalan raya kami harus menuruni anak tangga yang jumlahnya ada 92 buah. Setelah itu menyusuri jalan raya, dan berbelok lagi untuk menuruni lembah melalui undak-undakan lagi, lalu menaiki tangga terjal ke pura. Kadek mengenakan sandal bertumit tujuh senti dan dengan lihainya dia melewati semua anak tangga tanpa menunduk karena kepalanya yang menjunjung kotak anyaman berisi sesajen harus selalu tegak. Waktu pulang ya tinggal dibalik saja, jalan yang tadinya menurun sekarang terus menanjak! Saya coba untuk menaruh sesajen itu di kepala saya. Aduh mak, berat sekali, saya sampai terhuyung-huyung sehingga cepat saya serah terimakan lagi. Untung saya sudah cepat-cepat dipotret sehingga bisa untuk pamer nanti, hehehe.

Untuk menuju ke daerah tempat tinggal saya akses kendaraan beroda empat dibatasi. Di timur ada penghalang anak tangga berjumlah 92 buah tadi, di sebelah selatan sawah dan jalan setapak, di barat dibuat penghalang sehingga hanya motor yang bisa masuk. Selain itu banyak jalan setapaknya, jadi motor juga tidak bisa leluasa menjelajah. Dalam medan seperti ini ketrampilan menjunjung itu perlu sekali. Kalau ada yang sedang membangun, batu bata, semen, batu, kayu, dan sebagainya dijunjung di atas kepala. Para perempuan yang melakukannya. Duh…, laki-lakinya ke mana saja?

Baik yang kurus maupun gemuk, muda maupun sedikit tua, semua perempuan itu berotot kuat. Mereka juga ahli mendorong gerobak, baik menanjak maupun menurun serta menahannya agar tidak meluncur jatuh. Mereka masih sempat tersenyum ramah pada orang yang berpapasan. Di hari-hari tertentu para perempuan perkasa ini datang ke pura untuk mengikuti upacara agama. Mereka berkebaya dan berselendang rapi menggantikan sepatu bot dan baju tumpuk-tumpuk serta lusuh yang biasa digunakan sehari-hari. Dengan kebaya warna-warni dan raut muka khusuk ketika bersembahyang,  wajah mereka yang berwarna gelap terbakar matahari terlihat cantik.

Rabu, 10 April 2013

Monyet Sirik


Waktu dilihat lagi tulisan-tulisan yang pernah saya muat di sini, baru sadar lumayan banyak juga yang berhubungan dengan binatang. Saya memang paling suka nontoni binatang, apalagi hewan liar yang difilmkan. Saya pernah baca artikel bahwa dunia akan mengalami bencana kalau semua serangga dalam satu malam musnah semuanya. Bahkan kucing yang sering dianggap binatang pengganggu atau kesayangan itu bisa menyebabkan perubahan ekosistem yang ekstrem kalau tiba-tiba lenyap. Seekor kucing rata-rata membunuh sembilan ekor tikus setiap tahun. Kalau tidak ada kucing di muka bumi, dipastikan tikus merajalela dan hasil panen merosot drastis. Tidak disangka ya, kucing yang klemak-klemek manja dan hobi utamanya tidur ini bisa gesit juga kalau memang mau.



Saya selalu bilang bahwa ada syarat khusus pada binatang untuk bisa masuk kategori saya sebagai binatang yang enak dilihat. Binatang itu harus berambut (istilah yang benar memang rambut, bukan bulu. Bulu dimiliki oleh keluarga burung). Mulai dari tupai, domba, kuda, sampai macan tutul, cheetah, orangutan, menurut saya semuanya cakep. Dan favorit saya adalah keluarga kucing, baik kecil maupun besar, mulai dari kucing rumah sampai singa dan teman-temannya yang sekasta. Melihat binatang ini duduk anggun, aduh indahnya. Bagian mulut, mata, dan hidungnya sangat menggemaskan. Teman saya bilang, tunggu saja sampai dikejar dan diserang oleh cheetah, apa mulutnya yang bertaring itu  masih menggemaskan?



Saya cuma baru-baru ini saja lebih menghargai burung-burungan. Walaupun indah bulunya dan merdu suaranya, saya menganggap hewan ini miskin ekspresi (dan suka berisik). Tidak seperti golongan mamalia. Tapi saya jadi kagum ketika tahu bahwa burung telah berevolusi selama jutaan tahun dan mengubah dirinya yang tadinya adalah… reptil! Dari binatang yang cuma merangkak dan melata, evolusi jutaan tahun itu tidak membuatnya lebih canggih dalam merangkak dan bergerak di permukaan tanah. Dia melampaui merangkak dan berjalan. Dia terbang!



Mengamati burung ternyata asyik juga. Ada dua ekor merpati yang sering datang mematuki sisa-sisa sesajen di halaman, dan kadang-kadang sampai ke dekat pintu kalau saya bisa duduk diam cukup lama, tidak bergerak dan tidak bersuara. Merpati itu pendiam, tidak pernah mencicit-cicit berisik, cuma mendekut. Suaranya rendah dan merdu. Kalau terkuwak menguwak-nguwak berisik sekali. Sepasang terkuwak yang sering terlihat di sawah sekarang ketambahan satu ekor yang masih bujangan. Suatu hari terkuwak yang belum berpengalaman ini terbang ke halaman belakang saya melewati pagar. Kemudian dia mencoba terbang ke dalam rumah tapi kejeduk pintu kaca. Saya pura-pura tidak lihat supaya dia tidak merasa malu. Rupanya tidak ada yang menarik di halaman rumah saya, jadi dia ingin melompat keluar pagar lagi. Tapi dia kepeleset karena ancang-ancangnya kurang pas dan jatuh terjerembab di tanah. Saya akui bahwa saya tertawa terbahak-bahak melihatnya. Dia mencoba lagi. Berhasil. Hore!



Terkuwak adalah burung air yang terbangnya dekat-dekat saja dan tidak terlalu tinggi. Terkuwak muda ini masih datang beberapa kali. Waktu saya sedang berbaring malas di dipan, enak saja dia berjalan masuk dari pintu belakang dan keluar lagi melalui pintu samping. Selain itu saya juga baru sadar ada burung yang bersuara indah sekali. Burung ini tidak pernah saya lihat dan merupakan burung pertama yang berkicau di pagi hari. Suaranya benar-benar indah, seperti seruling, nada akhirnya meninggi dan hilang dibawa angin. Tapi yang membuat saya terpaku sampai tidak bisa bernapas adalah ketika melihat seekor burung bangau berdiri tenang-tenang di kolam ikan di halaman samping. Kakinya yang panjang seperti kaki peragawati terendam dalam air dan mukanya seperti sedang melamun. Tadinya mau saya potret, tapi kamera ada di lantai atas dan saya tidak mau kehilangan momen berharga yang hanya berlangsung beberapa detik itu. Burung ini tidak sudi dipandangi lama-lama, dia mengepakkan sayap dan terbang tinggi lagi. Sepertinya saya rela beberapa ekor ikan saya disantap asal burung bangau itu datang lagi (ups, yang ini baru terpikir belakangan. Apa saya benar rela? Rasanya tidak).



Kalau saya pulang malam dari kota Ubud, saya harus mengambil jalan sedikit memutar karena bagian jalan di depan pasar dibuat satu arah. Jadi saya harus melewati Monkey Forest. Monyet-monyet yang tinggal di sini rupanya suka berkeliaran sampai ke jalan di malam hari. Kita yang harus hati-hati jangan sampai menabrak. Ketika musim laron tiba, monyet-monyet ini mendadak gila. Meloncat ke sana, meloncat  ke sini. Setiap kali tangannya menyabet, beberapa ekor laron tertangkap. Mereka girang bukan kepalang. Makanan melimpah ruah dan datang sendiri minta disantap. Laron ini memang luar biasa. Berdiri di pinggir Jalan Raya Ubud, di setiap lampu jalan saya melihat laron berbondong-bondong, tebal sekali seperti awan mendung.



Saya punya pengalaman tidak enak sehubungan dengan monyet. Di pantai Pasir Putih Pangandaran, Jawa Barat, seekor monyet tertarik dengan tas anyaman saya yang digeletakkan di atas pasir. Saya tidak tahu apakah monyet ini seekor beruk, lutung atau jenis lainnya, tapi badannya lumayan besar. Dia menyentuh dan menggerayangi tas itu. Karena tidak suka barang-barang saya disentuh oleh makhluk apapun yang tidak bisa dipercaya, saya tarik tas itu. Monyet ini marah dan mendekati saya dengan mulut menyeringai. Saya ketakutan dan menendangnya. Walaupun tidak kena, monyet ini bersikap semakin mengancam dengan memperlihatkan taringnya. Dua ekor monyet lainnya solider dan ikut mendekati saya dengan sikap mengancam. Saya menjerit sekencang-kencangnya. Orang-orang cuma memandangi saya dengan cemas, tidak ada yang berani mendekat. Untunglah monyet-monyet itu sadar lagi dan mundur. Mungkin mereka sudah puas melihat saya ketakutan. Seekor monyet di Monkey Forest malah berhasil menggigit saya. Berbulan-bulan tinggal di Ubud saya tidak pernah menginjak tempat ini, eh begitu pergi ke sana digigit oleh penghuninya. Mungkin dia marah karena saya terlambat sowan. Setelah itu saya terus menjaga jarak. Seorang pawangnya bilang, “Jangan takut, nggak akan nggigit kok.” Nggak nggigit apa? Baruuuu saja saya digigit. Sebenarnya apa, ya masalah monyet-monyet ini?  Sepertinya iri pada saya yang sudah mencapai tingkat evolusi yang jauh lebih maju daripada mereka.



Di rumah sendiri, kolam ikan saya semakin hari semakin berantakan. Lotus yang dibeli dalam keadaan mekar dan menjadi titik perhatian utama di kolam itu sudah hampir mati. Tanaman teratai, yang warna bunganya  macam-macam, daunnya sobek-sobek. Ikan yang tadinya ada sepuluh satu per satu mati, cuma tinggal dua ekor. Padahal saya mengurus mereka dengan baik, diberi makan tiga kali sehari. Nyoman bilang justru itu masalahnya, ikan-ikan itu terlalu banyak diberi makan. Walaupun cuma setengah percaya saya ikuti sarannya dengan mengurangi jatah makan ikan, bahkan akhirnya hanya memberi remah-remah roti di pagi hari. Tanaman air yang indah-indah itu saya ganti dengan yang tidak begitu indah tapi tahan banting. Ternyata saya suka kolam saya yang sekarang! Airnya agak butek, ada ratusan kecebong di dalamnya, daun mati mengambang, sarang laba-laba di sebelah sana, kodok bertengger di atas batu. Sepasang ikan yang tersisa juga lebih bahagia. Mereka beranak pinak dan jumlahnya sudah tujuh ekor sekarang. Bapak-ibunya masih bisa ditandai karena ukurannya paling besar.



Suatu hari saya mendapati ikan saya ukurannya jadi sangat besar. Sudah beberapa lama saya tidak memeriksa ikan-ikan di kolam, tapi pertumbuhan ikan yang satu ini yang begitu pesat mengherankan saya. Saat itu saya melihat pasangannya berenang lewat dengan ukuran persis sama ketika terakhir saya melihatnya. Tapi kenapa yang satu ini begitu besar? Setelah berpikir-pikir saya mendapat sedikit ide. Saya tanyai Intan, apakah Nyoman, bapaknya, menaruh ikan di kolam saya? Intan mengangguk dengan serius. Ya ampun, ini ikan dititipkan di kolam sebelum digoreng, ya. Atau ditaruh di sana untuk bikin kejutan? Memang berhasil, sih. Tapi nggak perlu gitu-gitu amat, lah. Saya sudah puas kok dengan kolam saya.

Rabu, 03 April 2013

Pantangan Kasta


Beberapa tahun yang lalu waktu rekan kerja saya yang orang India bilang bahwa pacarnya tidak disukai orang tuanya gara-gara kastanya lebih rendah, saya mendengarkan saja dengan terbengong-bengong. Waktu itu di tempat kerja saya ada beberapa orang Indianya. Dalam dua tahun saya sudah punya empat rekan kerja orang India, semuanya perempuan. Yang satu sudah saya ceritakan tadi, pacarnya tidak disetujui. Yang tiga lainnya menikah di usia muda, semuanya dijodohkan oleh orang tua, dan ketiga-tiganya pernah merasa kalut karenanya. Bagaimana keadaannya sekarang? Semuanya sudah memaafkan ‘pemaksaan’ dulu itu dan sekarang cukup bahagia dengan suami masing-masing. Tapi yang seorang mungkin belum benar-benar lupa, sehingga berjanji untuk tidak menghalangi-halangi putrinya untuk pacaran dan menikah dengan siapa pun yang disukainya. Sedangkan yang satu lagi percaya bahwa perjodohan adalah sebaik-baiknya cara, meskipun dulu dia resah harus pergi dari India pada awal umur dua puluhan untuk menikah dengan laki-laki yang, walaupun sebangsa, tinggal nun jauh di seberang lautan. Bayangkan, pergi dari negerinya sendiri ke negara yang tidak dikenal untuk menikah dengan laki-laki yang tidak dikenal juga. Sepertinya mengerikan. 

Buat kebanyakan orang Indonesia, sistem kasta bukan hal biasa. Dan perjodohan adalah salah satu cara menghindari perkawinan dengan orang yang kastanya tidak diharapkan. Lalu apakah di Bali sistem ini masih diterapkan? Setelah agak lama pergi ke luar kota, pulang-pulang saya mendapati seorang gadis baru yang akan bekerja di bawah pengawasan saya, yang sudah bergabung dengan Widiya beberapa lama. Namanya Candra. Tapi semua orang memanggilnya Dewa Ayu. “Gimana kalau panggilannya Dayu saja?” saya mengusulkan. Dewa Ayu cuma tertawa, dan itu artinya tidak. Hush. Lain kali hati-hati sebelum menyingkat nama orang, ya, saya mengingatkan diri sendiri. Perasaan saya bilang, nama Dewa Ayu itu hanya dimiliki oleh kasta tinggi. Karena itu sesudah kenal lebih dekat saya menanyakan apa kastanya. Ternyata kastanya adalah Brahmana, kasta pendeta, dan kakeknya adalah seorang pemangku (pendeta). Dewa Ayu santai-santai saja bahwa dia tidak bisa bergaul dengan sembarang cowok dan menikah nanti juga harus dengan yang sama kastanya. Susah lho, karena persentase kasta ini kecil sekali. Perjodohan adalah jalan keluarnya.

Suatu hari Widiya minta ijin untuk menghadiri pesta perkawinan temannya. Karena tahu kebiasaan di Bali, saya tanya, “Temannya sudah hamil belum?” “Sudah doong,” jawab Widiya. Memang itu kebiasaan di sini, bulan madunya duluan, baru upacara pernikahan menyusul. Tidak perlu malu kalau menikah dalam keadaan hamil. Buku Island of Bali karangan Covarrubias diterbitkan pertama kali pada 1937 namun masih menjadi referensi meyakinkan tentang Bali sampai hari ini. Digambarkan dalam buku ini, seorang pemuda Bali harus melarikan gadis pilihan hatinya. Begitu hilangnya gadis ini diketahui, sang ayah memukul kentongan agar orang-orang desa berkumpul. Ayah bertanya adakah yang tahu siapa yang membawa lari putrinya? Tentu saja semua bilang tidak. Kemudian regu pencari dibentuk untuk menemukan gadis itu. Dengan bersemangat semua orang sibuk mencari dan tidak ketemu, karena mereka tidak mau mencari di tempat yang benar. Orang tua gadis itu tahu, semua orang tahu dengan siapa gadis itu sekarang, tapi memang begitu aturannya. Semua orang gembira dengan permainan ini. Sementara itu kedua sejoli hidup dalam persembunyian. Seru, ya.

Namun itu adalah kebiasaan dalam kasta pekerja atau kasta Sudra. Seorang gadis bangsawan pantang berkelakuan liar seperti itu dan dia dijaga ketat sampai hari perkawinan tiba. Widiya juga bilang bahwa sekarang tidak perlu lagi para pasangan yang sedang kasmaran ini melarikan diri. Sang pemuda meminta ijin untuk membawa gadisnya kabur. Duh, gimana sih, masa kawin lari pakai minta ijin segala? Begitulah akibat dari perkembangan zaman. Adat lama jadi berkurang serunya. Tidak ada kentongan, tidak ada ribut-ribut, tidak ada ketegangan pura-pura. Perkembangan zaman juga yang melonggarkan pemisahan jenis pekerjaan. Sekarang bisa saja seorang karyawan berkasta Kesatria, sedangkan bosnya dari kasta Sudra.

Browsing saya di internet menginfokan bahwa kasta di Bali tidak seketat di India. Kasta Bali adalah pembagian jenis pekerjaan yang dimulai pada abad 14. Tapi saya tidak ingin tahu terlalu dalam, nanti kalau ketemu seorang Ida Bagus, Cokorda, atau Desak, bisa-bisa saya terus bertanya-tanya harus bersikap seperti apa. Lebih baik bersikap sebagai orang luar saja yang tidak tahu apa-apa, hehehe.

Tentang kasta ini, saya baru baca sebuah artikel tentang daerah di Bali yang hampir tidak mengenal perbedaan kasta. Mereka adalah suku Bali Aga, yang sudah mendiami Tenganan sejak sebelum agama Hindu datang. Memang di Bali ini banyak ragam adat dan budayanya yang sering berbeda dari satu daerah dengan daerah lain. Ngaben dilaksanakan di seluruh Bali? Tidak. Ada daerah yang mengubur orang mati atau hanya meletakkannya di atas tanah. Barong selalu berbentuk singa? Tidak. Ada barong yang berwujud celeng, macan, dan naga. Semua keluarga Bali tinggal di kompleks keluarga besar? Tidak. Ada daerah yang mempunyai kebiasaan setiap keluarga inti tinggal terpisah.

Waktu pergi ke Singaraja mobil kami tertahan karena ada pawai ondel-ondel. Yak betul, pawai ondel-ondel. Sopir saya tidak bisa bercerita banyak mengenai ondel-ondel ini, bahkan tidak tahu namanya dalam bahasa Bali karena boneka yang mirip dengan milik orang Betawi itu tidak ada di derahnya. Tapi dia tidak merasa heran seperti saya yang bolak-balik protes, “Kok ada ondel-ondel di Bali?” Setiap daerah punya kebiasaan masing-masing, tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah, walaupun semuanya itu adalah bagian dari upacara agama. Pelajaran penting untuk sementara orang yang suka ribut-ribut soal perbedaan, hehehe. (Catatan: lama sekali saya baru tahu bahwa ‘ondel-ondel’ itu adalah barong juga!).

Saya selalu menanti hal-hal baru. Setelah beberapa malam terdengar suara gamelan sayup-sayup yang bersumber dari pura yang didirikan di lembah dekat aliran sungai, Kadek bilang nanti malam pemangku akan menghidupkan roh orang mati. Saya sangat tertarik untuk nonton walaupun sadar bahwa mungkin kejadiannya tidak akan sengeri yang dibayangkan. Tapi acaranya baru berakhir sekitar jam dua pagi dan tidak seorang pun diperkenankan meninggalkan tempat sebelum acara selesai. Tidak ada yang mengawasi pintu keluar, tapi orang yang berusaha kabur langkah kakinya akan terasa berat sehingga tidak bisa pergi, Kadek menerangkan. Jadi, saya batal pergi. Sayang, padahal acara ini jarang diadakan.

Waktu sedang beres-beres lemari saya menemukan baju terusan yang sudah lama tidak dipakai. Baju ini baru dipakai sekali untuk foto bersama di studio. Saya suka sekali baju ini, motifnya batik berbunga. Sejak di toko baju ini sudah kekecilan tapi saya maksa beli karena suka model dan coraknya dan yakin bisa menurunkan berat badan dua atau tiga kilo. Mudah ditebak, niat saya yang begitu mulia ini tidak pernah kesampaian, sampai akhirnya keputusan berat harus diambil: berikan baju ini kepada orang yang lebih pantas memakainya yang tidak harus berjuang mengempiskan perut sambil loncat-loncat supaya baju ini bisa masuk. Pilihan saya jatuh pada Dewa Ayu, karena kelangsingannya yang membuat iri itu. 

Spontan saja saya membentangkan dan mengangkat baju itu supaya terlihat oleh Dewa Ayu. Dewa Ayu menolak, dan mukanya bereaksi seakan-akan saya sudah mengatakan sesuatu yang tidak pantas. Aduh, jangan-jangan saya salah lagi, ya. Saya biasa memberi dan menerima baju di antara teman-teman kalau memang suka bajunya. Mungkin memberi baju bekas itu tidak sopan? Tapi ini bajunya bagus kok, hampir baru lagi. Oh, ya sudah. Mungkin Dewa Ayu tidak suka modelnya, mungkin saya yang harus lebih peka dan belajar mana yang boleh dan tidak boleh dikatakan. Sampai sekarang baju itu masih ada di lemari, dan saya memperbarui niat untuk bisa turun dua atau tiga kilo. Doakan, ya.