Minggu, 21 April 2013

Di Kolam Renang


Seorang dokter curhat pada saya,  “Orang itu ada saja alasannya kalau disuruh berenang. Nanti kulit saya kasarlah, nanti rambut saya keringlah, nanti rambut saya merahlah. Padahal alasan sebenarnya kan bukan itu. Anda juga, waktu pertama kali disuruh berenang mukanya langsung asem.”  Kasihan sekali dokter ini, menyuruh orang berenang rupanya bukan tugas yang mudah. Padahal sebagai seorang chiropractor nasihatnya memang itu-itu saja. Berenang. Dan kalau saya tiga bulan terakhir ini rajin berenang tentu bukan karena kasihan pada dokter itu. Karena pengen sembuh dong.

Teman-teman saya pasti tidak akan percaya kalau tahu pelajaran yang paling saya sukai di sekolah adalah olah raga. Habis saya tidak ada potongan olahragawan sama sekali sih. Main voli tidak bisa. Main basket tidak becus. Main bulu tangkis apalagi. Walaupun tidak pernah terpakai dalam pertandingan olah raga antar kelas saya suka sekali lari-lari, lompat-lompat, dan menggerak-gerakkan badan di udara terbuka. Kalau guru olah raganya cerewet, terus berpidato sementara kami berdiri berbaris dan diharapkan mendengar saja, saya kesal betul. Udara sedang cerah, buat apa mendengar wejangan yang masuk kuping kanan keluar kuping kiri lagi? Apalagi kalau jam olah raga dipakai untuk mencatat teori. Itu pelanggaran hak asasi anak untuk bergerak badan namanya :(.

Dokter itu kembali melanjutkan bicaranya, “Saya tadinya ragu apakah Anda mau menuruti saya untuk berenang. Untunglah Anda mau.” Hehehe, dokter itu tidak tahu bahwa berenang adalah satu-satunya olah raga yang saya bisa. Bisa dan suka. Kalau dokter itu bilang muka saya asem disuruh berenang, itu karena sudah hampir dua tahun saya tidak pernah berenang dan percaya bahwa berenang akan membuat bahu dan lengan saya jadi sakit. Siapa sangka bahwa saya justru harus berenang? Setelah satu minggu membiarkan saya bersenang-senang dengan gaya dada dokter menyuruh saya untuk berenang gaya bebas juga. Nah, ini baru masalah. Gaya bebas bukan gaya favorit saya. Selain itu dokter juga meminta saya untuk berenang gaya bebas dengan mengambil napas tidak hanya ke arah kanan, tapi juga ke kiri. Halah, pelatih renang saja tidak bakalan minta yang aneh-aneh seperti ini. Memang itu keuntungannya jadi dokter, tidak perlu melakukan nasihatnya sendiri. Tapi untunglah setelah membiasakan diri saya bisa memenuhi perintah itu.  Gaya bebas yang sering saya hindari dulu sekarang tidak masalah lagi. Saya sampai ingin mengusulkan pada yang tidak bisa berenang untuk sakit punggung saja. Pasti nanti jadi jago berenang karena terpaksa.

Mendapatkan kolam renang yang sesuai selera itu urusan yang gampang gampang susah. Di sini sebenarnya banyak sekali kolam renang. Banyak vila yang dilengkapi dengan kolam renang pribadi. Tapi ukurannya membuat saya tidak sampai hati menceburkan diri ke dalamnya. Saya pernah mimpi berenang. Dalam mimpi saya itu saya tidak berhasil membuat badan saya basah. Baru satu kali kayuhan tangan, sudah sampai ke ujung kolam. Satu kayuhan lagi, sampai ke ujung kolam satunya lagi. Saya frustrasi, seperti berenang di udara kosong saja. Kolam-kolam yang ukurannya mini di vila-vila itu membuat saya trauma karena ingat mimpi saya. Tapi ternyata ada juga orang yang bisa menikmati kolam seperti itu. Seorang teman saya bergaya dalam foto yang dipasangnya di Facebook, di sebuah kolam di sebuah vila di Ubud. Ukuran kolamnya keciiil sekali,  lebih cocok untuk rendam-rendam saja pada saat udara sangat panas. Namun dia mengenakan perlengkapan snorkeling lengkap! Untuk mencari uang koinnya yang jatuh ke dasar kolam?

Kolam yang ideal buat saya juga sebaiknya sepi. Tidak ada anak-anak kecil yang tidak bisa berenang sehingga menghalangi  orang yang sedang berenang. Tidak ada anak yang menjerit-jerit ketakutan. Saya juga pernah kok beberapa kali masuk ke kolam untuk berenang basa-basi. Kecipak-kecipak sedikit, terus main oper-operan bola, diselingi dengan menghirup minuman dingin. Asyik juga sih, tapi kegiatan yang lebih bernilai sosialisasi daripada olah raga ini tidak terlalu saya nikmati. Saya lebih suka duduk selonjoran di kursi panjang di pinggir kolam dan memperhatikan tingkah polah bermacam-macam orang yang ada di sana.

Betapa senangnya saya ketika akhirnya menemukan kolam renang yang cocok. Ukurannya pas. Sepinya pas. Airnya yang dingin juga tidak masalah ketika saya sudah bergerak di dalamnya selama beberapa menit. Saya akui bahwa saya memerlukan waktu yang cukup lama untuk bersiap-siap. Minum dulu, kotak-katik ponsel dulu, celingak-celinguk dulu, padahal  sebenarnya sedang mempersiapkan mental untuk menerima kejutan dingin ketika pertama kali air menyentuh kulit. Yang saya perlukan adalah seorang teman yang iseng atau tidak sabaran yang mendorong saya ke dalam kolam sementara saya masih terus berpikir sambil mencelupkan sebelah ujung kaki, “Sekarang? Atau nanti dulu? Sekarang? Atau…?” Byur!

Waktu saya masih kecil dulu dan berenang di kolam yang sedikit lumutan, di pinggir kolam ada pengumuman yang mengharuskan orang berpakaian renang kalau ingin berenang. Dalam pikiran saya, kok aneh sekali, namanya berenang ya pasti pakai baju renang, dong. Tapi ternyata itu bukan suatu kepastian mutlak. Di kolam tempat saya berenang sekarang ini ada perempuan yang berenang dengan mengenakan celana pendek dan kaos biasa. Apa dia berpikir pakaian seperti itu lebih sopan? Dia tidak sadar bahwa kaos tipis warna putih yang dipakainya itu basah dan menempel ketat di badannya yang agak montok sehingga lipatan-lipatan lemaknya jelas terlihat begitu juga bulatan perut dan pusarnya. Garis-garis behanya juga. Mm, mungkin dia lupa bawa baju renang ketika menginap di hotel ini.

Setelah itu datang lagi seorang bapak-bapak. Karena dia memakai sepatu keds dan membawa tas, dia pasti bukan tamu yang menginap. Alat-alatnya lengkap. Kaca mata renang, sumpal kuping, topi renang. Tapi baju yang dipakainya berenang adalah kaus singlet biru muda dan celana pendek dari kain biasa. Ya ampun, boleh saja dia berpikir berbaju seperti itu sopan karena lebih banyak bagian tubuh yang tertutup, tapi buat saya, yang dipakainya itu adalah kolor! Hanya boleh dipakai di dalam kamar, bukan di tempat umum. Saya memalingkan muka dan tidak ingin menunggu sampai bapak ini selesai berenang dan keluar dari kolam. Sungguh, saya tidak ingin melihatnya. Bapak ini sepertinya punya jadual hari berenang yang sama dengan saya karena saya melihatnya lagi pada kesempatan lain. Untungnya dia selalu datang pada waktu saya hampir selesai. Saya keluar dari kolam dan langsung ganti baju, tidak jadi duduk selonjoran sambil berjemur.

Rekan kerja saya pernah menunjukkan fotonya di kolam renang sedang berbikini. Pesannya cukup jelas, bahwa dia hanya berbikini ketika jauh dari rumah. Waktu itu dia sedang berada di atas kapal pesiar yang berkeliling ke beberapa negara Asia Tenggara. Selama saya berenang di berbagai kolam renang umum di Bandung hanya sekali melihat orang berbikini. Itupun dia selalu bersidekap berusaha menutupi dadanya. Sekali waktu saya melihat seorang perempuan berjalan di tepi kolam dengan pacarnya. Perempuan ini berbaju renang dan pakai sarung Bali. Kemudian dia nyebur ke kolam sekalian dengan sarungnya! Saya melongo. Oh, ternyata, sarung itu kemudian dilepas dan diberikan pada pacarnya yang masih menunggu di pinggir kolam. Saya bingung melihat kerepotan yang diciptakan dua sejoli itu.

Di Ubud ini ketika berenang di salah sebuah kolam renang di rumah pribadi yang penampilannya seperti yang ada di majalah-majalah saya menjadi satu-satunya yang pakai baju renang one piece model klasik. Yang lainnya berbikini. Sampai sekarang saya masih bertahan dengan model baju renang kesukaan saya ini baik di Bandung maupun di Ubud, walaupun semakin banyak saya lihat perempuan yang mengenakan baju renang one piece berlengan pendek dan panjang celananya mencapai setengah paha. Menurut saya itu bukan baju buat berenang, tapi buat balap sepeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar