Hari itu Lia pergi ke sekolah dengan mengenakan kebaya dan
sarung. Alas kakinya adalah sandal bertumit rendah. Selain tas sekolah Lia juga
membawa sesajen sederhana. Hari itu adalah hari bulan tilem, murid-murid
sekolah mengenakan pakaian adat sesuai pilihan sendiri untuk pergi ke sekolah. Untuk hari-hari biasa selain seragam putih merah ada kode etiknya sendiri untuk tata
rambut anak-anak perempuan. Semuanya berambut panjang, dikepang, dan berpita. Saya
sering melihat anak-anak SD yang berombongan, yang perempuan semuanya berambut
panjang dan berkucir dua. Entah di tingkat apa penyeragaman tata rambut ini
diakhiri. Nggak lucu, ah kalau anak-anak SMU juga diharuskan berambut kucir.
Sekarang banyak murid-murid sekolah ber-rok biru tua atau abu-abu
menyapu tanah. Saya kasihan pada mereka. Apa enaknya berpakaian seperti itu
pada saat gerakan gesit diperlukan? Rok panjang sih cocoknya buat ibu-ibu. Di
SMP dan SMA dulu, murid-murid mengenakan rok pada umumnya sepanjang lutut atau
sedikit di atasnya. Yang memakai rok di bawah lutut biasanya karena ada masalah
dengan kakinya, entah masalah betulan atau masalah yang cuma dikhayalkannya
saja. Ada yang memakai rok sepuluh senti di bawah lutut dengan kaus kaki
panjang selutut agar kulitnya tetap putih :D.
Karena rok panjang mudah kotor, saya lihat banyak murid sekolah sedikit memendekkan rok. Penampilan mereka kelihatan kedodoran, ditambah pula
dengan ransel besar dan sepatu basket. Memang susah untuk bisa tampil segar dan
manis ke sekolah kalau harus memakai rok yang ketinggalan zaman ini. Tidak
panjang tidak pendek. Beda masa beda pandangan, ya. Di SMP dulu pada
waktu-waktu tertentu kami pergi ke stadion olah raga yang tidak begitu jauh
dari sekolah dengan berjalan kaki. Perginya sudah dengan berseragam olah raga,
kaos lengan pendek dan celana pendek. Apakah sekarang murid-murid sekolah
diwajibkan mengenakan kaos olah raga lengan panjang dan bercelana panjang? Jadi
terasa tuanya, karena soal seperti ini saja saya tidak tahu, hehehe…..
Salah satu alasan saya memilih sekolah di SMP dulu adalah
karena suka seragamnya. Rok kami yang berwarna abu-abu ini ada selempangnya,
dimulai dari depan di bagian kiri dan kanan, naik ke masing-masing bahu, dan
bertemu di bagian belakang tepat di tengah-tengah. Kalau dilihat dari belakang
selempang itu membentuk huruf V, cocok
dengan nama sekolah kami SMP V. Kemudian angka romawi itu diganti menjadi 5,
tapi seragam kami tetap seperti semula. Tetangga kami adalah SMP 2, bersebelahan,
hanya dibatasi selapis tembok. Anak-anak SMP 2 mengenakan rok panjang di bawah
lutut. Warnanya hijau cerah bermodel rimpel.
Rok yang lebar ini punya banyak rimpel
tersembunyi yang membuat rok jadi jauh lebih lebar lagi kalau terkembang. Kalau
saya naik seangkot dan duduk bersebelahan dengan anak SMP 2, roknya ini
mengembang sangat lebar sehingga menutupi lutut saya. Saya kibaskan rok hijau itu.
Wus! Pemiliknya cemberut lalu menyelipkan roknya di bawah lutut.
Kalau seragam SMP 2 penuh rimpel rahasia, seragam kami ada pleats-nya. Di bagian belakang enam
buah dan diatur tiga lipatan ke arah kanan dan tiga lipatan ke arah kiri. Di
bagian depan juga seperti itu, jadi totalnya ada dua belas. Ada seorang anak
perempuan di kelas saya yang selalu menjaga agar lipatan pleats-nya selalu rapi. Setiap akan duduk dia akan meratakan
lipatan yang di belakang dari atas sampai ke bawah, baru duduk dengan sangat
hati-hati. Bertahun-tahun kemudian, ketika ketemu dengan teman sekelas, saya
membuat tebakan, “Siapa coba yang setiap mau duduk lipetan roknya diatur
satu-satu dulu?” Dia menjawab dengan benar, “Dony!” Rupanya bukan saya saja
yang memperhatikan kebiasaan Dony ini.
Ada sedikit rasa tidak senang yang tersembunyi di antara dua
sekolah yang bersebelahan itu. Saya belum pernah masuk ke SMP tetangga, tapi
katanya sekolahnya lebih luas. Sepertinya sudah kebiasaan, lagi-lagi, saya masuk SMA yang bersebelahan
dengan sekolah lain, bahkan tanpa tembok pemisah. Zaman dulu sekolah ini
disebut HBS. Saya sering membayangkan betapa enaknya murid-murid zaman Belanda
dulu, kelasnya luas-luas sekali sedangkan muridnya cuma sedikit. Sekarang dibangun
kelas tambahan yang kecil-kecil yang membuat lahan terbuka semakin sempit. Tapi
tidak ada rasa persaingan di antara dua SMA ini. Saya rasa karena tidak ada
tembok pemisahnya, hanya ada garis imajiner yang boleh saja dilanggar di jam
istirahat. Sekolah-sekolah negeri juga sudah tidak diperbolehkan punya seragam
yang beda-beda. Dua sekolah itu pembagiannya sangat simetris, tepat di
tengah-tengah. Di bagian tengah ini ada tangga lebar yang digunakan bersama untuk
naik ke tingkat dua dan baru kemudian berpisah, satu ke kiri dan satu ke kanan.
Para tukang bersih-bersih rupanya juga suka perhitungan. Waktu menyapu dan
mengepel tangga lebar ini mereka cuma mengepel setengah bagian saja, sesuai
dengan sekolah yang diwakilinya.
Kembali ke masalah busana sekolah, saya kira di Bali saja
murid-murid bisa berkebaya dan bersarung sambil belajar di kelas. Sepertinya
itu biasa saja. Di restoran, di jalan, di pasar swalayan, berkebaya itu biasa saja.
Tidak seperti teman saya yang baru pulang kondangan dan langsung janjian ketemu di mall, seharian merasa dirinya salah kostum karena berkebaya. Dan
apa yang dibilang ‘sarung’ di sini kalau di P. Jawa dibilang kain, jadi
ujungnya tidak disambung, dan pakainya juga harus ketat. Perempuan Bali suka
warna-warna kontras untuk kombinasi kebaya, sarung, dan selendangnya. Misalnya,
ungu-biru muda-oranye, merah muda-coklat-hijau, merah-lembayung-kuning, dsb.
Cantik-cantik kombinasinya. Warna-warna senada terlalu membosankan kalau untuk
berkebaya.
Karena seringnya berkebaya, mereka cepat sekali
ketika berdandan. Pakai sarung tinggal sret-sret-sret, hasilnya ketat, singset,
dan rapi. Setelah itu dipakai korset yang juga ketat, dan dilapisi lagi dengan
kebaya yang seringnya berbahan brokat lubang-lubang. Seksi sekali! Rambut
disanggul sederhana atau cuma diikat saja, yang penting jangan bersasak karena
sering harus menjunjung sesajen di atas kepala. Saya pernah ikut Kadek pergi ke
pura yang agak jauh. Untuk sampai ke jalan raya kami harus menuruni anak tangga
yang jumlahnya ada 92 buah. Setelah itu menyusuri jalan raya, dan berbelok lagi
untuk menuruni lembah melalui undak-undakan lagi, lalu menaiki tangga terjal ke
pura. Kadek mengenakan sandal bertumit tujuh senti dan dengan lihainya dia
melewati semua anak tangga tanpa menunduk karena kepalanya yang menjunjung
kotak anyaman berisi sesajen harus selalu tegak. Waktu pulang ya tinggal
dibalik saja, jalan yang tadinya menurun sekarang terus menanjak! Saya coba
untuk menaruh sesajen itu di kepala saya. Aduh mak, berat sekali, saya sampai
terhuyung-huyung sehingga cepat saya serah terimakan lagi. Untung saya sudah cepat-cepat dipotret sehingga bisa untuk
pamer nanti, hehehe.
Untuk menuju ke daerah tempat tinggal saya akses kendaraan
beroda empat dibatasi. Di timur ada penghalang anak tangga berjumlah 92 buah
tadi, di sebelah selatan sawah dan jalan setapak, di barat dibuat penghalang
sehingga hanya motor yang bisa masuk. Selain itu banyak jalan setapaknya, jadi
motor juga tidak bisa leluasa menjelajah. Dalam medan seperti ini ketrampilan
menjunjung itu perlu sekali. Kalau ada yang sedang membangun, batu bata, semen,
batu, kayu, dan sebagainya dijunjung di atas kepala. Para perempuan yang
melakukannya. Duh…, laki-lakinya ke mana saja?
Baik yang kurus maupun gemuk, muda maupun sedikit tua, semua
perempuan itu berotot kuat. Mereka juga ahli mendorong gerobak, baik menanjak
maupun menurun serta menahannya agar tidak meluncur jatuh. Mereka masih sempat tersenyum
ramah pada orang yang berpapasan. Di hari-hari tertentu para perempuan perkasa
ini datang ke pura untuk mengikuti upacara agama. Mereka berkebaya dan
berselendang rapi menggantikan sepatu bot dan baju tumpuk-tumpuk serta lusuh yang
biasa digunakan sehari-hari. Dengan kebaya warna-warni dan raut muka khusuk
ketika bersembahyang, wajah mereka yang berwarna
gelap terbakar matahari terlihat cantik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar