Selasa, 16 April 2013

Seragam dan Kebaya


Hari itu Lia pergi ke sekolah dengan mengenakan kebaya dan sarung. Alas kakinya adalah sandal bertumit rendah. Selain tas sekolah Lia juga membawa sesajen sederhana. Hari itu adalah hari bulan tilem, murid-murid sekolah mengenakan pakaian adat sesuai pilihan sendiri untuk pergi ke sekolah. Untuk hari-hari biasa selain seragam putih merah ada kode etiknya sendiri untuk tata rambut anak-anak perempuan. Semuanya berambut panjang, dikepang, dan berpita. Saya sering melihat anak-anak SD yang berombongan, yang perempuan semuanya berambut panjang dan berkucir dua. Entah di tingkat apa penyeragaman tata rambut ini diakhiri. Nggak lucu, ah kalau anak-anak SMU juga diharuskan berambut kucir.  

Sekarang banyak murid-murid sekolah ber-rok biru tua atau abu-abu menyapu tanah. Saya kasihan pada mereka. Apa enaknya berpakaian seperti itu pada saat gerakan gesit diperlukan? Rok panjang sih cocoknya buat ibu-ibu. Di SMP dan SMA dulu, murid-murid mengenakan rok pada umumnya sepanjang lutut atau sedikit di atasnya. Yang memakai rok di bawah lutut biasanya karena ada masalah dengan kakinya, entah masalah betulan atau masalah yang cuma dikhayalkannya saja. Ada yang memakai rok sepuluh senti di bawah lutut dengan kaus kaki panjang selutut agar kulitnya tetap putih :D.

Karena rok panjang mudah kotor, saya lihat banyak murid sekolah sedikit memendekkan rok. Penampilan mereka kelihatan kedodoran, ditambah pula dengan ransel besar dan sepatu basket. Memang susah untuk bisa tampil segar dan manis ke sekolah kalau harus memakai rok yang ketinggalan zaman ini. Tidak panjang tidak pendek. Beda masa beda pandangan, ya. Di SMP dulu pada waktu-waktu tertentu kami pergi ke stadion olah raga yang tidak begitu jauh dari sekolah dengan berjalan kaki. Perginya sudah dengan berseragam olah raga, kaos lengan pendek dan celana pendek. Apakah sekarang murid-murid sekolah diwajibkan mengenakan kaos olah raga lengan panjang dan bercelana panjang? Jadi terasa tuanya, karena soal seperti ini saja saya tidak tahu, hehehe…..

Salah satu alasan saya memilih sekolah di SMP dulu adalah karena suka seragamnya. Rok kami yang berwarna abu-abu ini ada selempangnya, dimulai dari depan di bagian kiri dan kanan, naik ke masing-masing bahu, dan bertemu di bagian belakang tepat di tengah-tengah. Kalau dilihat dari belakang selempang itu membentuk huruf  V, cocok dengan nama sekolah kami SMP V. Kemudian angka romawi itu diganti menjadi 5, tapi seragam kami tetap seperti semula. Tetangga kami adalah SMP 2, bersebelahan, hanya dibatasi selapis tembok. Anak-anak SMP 2 mengenakan rok panjang di bawah lutut. Warnanya hijau cerah  bermodel rimpel. Rok yang lebar ini  punya banyak rimpel tersembunyi yang membuat rok jadi jauh lebih lebar lagi kalau terkembang. Kalau saya naik seangkot dan duduk bersebelahan dengan anak SMP 2, roknya ini mengembang sangat lebar sehingga menutupi lutut saya. Saya kibaskan rok hijau itu. Wus! Pemiliknya cemberut lalu menyelipkan roknya di bawah lutut.

Kalau seragam SMP 2 penuh rimpel rahasia, seragam kami ada pleats-nya. Di bagian belakang enam buah dan diatur tiga lipatan ke arah kanan dan tiga lipatan ke arah kiri. Di bagian depan juga seperti itu, jadi totalnya ada dua belas. Ada seorang anak perempuan di kelas saya yang selalu menjaga agar lipatan pleats-nya selalu rapi. Setiap akan duduk dia akan meratakan lipatan yang di belakang dari atas sampai ke bawah, baru duduk dengan sangat hati-hati. Bertahun-tahun kemudian, ketika ketemu dengan teman sekelas, saya membuat tebakan, “Siapa coba yang setiap mau duduk lipetan roknya diatur satu-satu dulu?” Dia menjawab dengan benar, “Dony!” Rupanya bukan saya saja yang memperhatikan kebiasaan Dony ini.

Ada sedikit rasa tidak senang yang tersembunyi di antara dua sekolah yang bersebelahan itu. Saya belum pernah masuk ke SMP tetangga, tapi katanya sekolahnya lebih luas. Sepertinya sudah kebiasaan,  lagi-lagi, saya masuk SMA yang bersebelahan dengan sekolah lain, bahkan tanpa tembok pemisah. Zaman dulu sekolah ini disebut HBS. Saya sering membayangkan betapa enaknya murid-murid zaman Belanda dulu, kelasnya luas-luas sekali sedangkan muridnya cuma sedikit. Sekarang dibangun kelas tambahan yang kecil-kecil yang membuat lahan terbuka semakin sempit. Tapi tidak ada rasa persaingan di antara dua SMA ini. Saya rasa karena tidak ada tembok pemisahnya, hanya ada garis imajiner yang boleh saja dilanggar di jam istirahat. Sekolah-sekolah negeri juga sudah tidak diperbolehkan punya seragam yang beda-beda. Dua sekolah itu pembagiannya sangat simetris, tepat di tengah-tengah. Di bagian tengah ini ada tangga lebar yang digunakan bersama untuk naik ke tingkat dua dan baru kemudian berpisah, satu ke kiri dan satu ke kanan. Para tukang bersih-bersih rupanya juga suka perhitungan. Waktu menyapu dan mengepel tangga lebar ini mereka cuma mengepel setengah bagian saja, sesuai dengan sekolah yang diwakilinya.

Kembali ke masalah busana sekolah, saya kira di Bali saja murid-murid bisa berkebaya dan bersarung sambil belajar di kelas. Sepertinya itu biasa saja. Di restoran, di jalan, di pasar swalayan, berkebaya itu biasa saja. Tidak seperti teman saya yang baru pulang kondangan dan langsung  janjian ketemu di mall, seharian merasa dirinya salah kostum karena berkebaya. Dan apa yang dibilang ‘sarung’ di sini kalau di P. Jawa dibilang kain, jadi ujungnya tidak disambung, dan pakainya juga harus ketat. Perempuan Bali suka warna-warna kontras untuk kombinasi kebaya, sarung, dan selendangnya. Misalnya, ungu-biru muda-oranye, merah muda-coklat-hijau, merah-lembayung-kuning, dsb. Cantik-cantik kombinasinya. Warna-warna senada terlalu membosankan kalau untuk berkebaya.

Karena seringnya berkebaya, mereka cepat sekali ketika berdandan. Pakai sarung tinggal sret-sret-sret, hasilnya ketat, singset, dan rapi. Setelah itu dipakai korset yang juga ketat, dan dilapisi lagi dengan kebaya yang seringnya berbahan brokat lubang-lubang. Seksi sekali! Rambut disanggul sederhana atau cuma diikat saja, yang penting jangan bersasak karena sering harus menjunjung sesajen di atas kepala. Saya pernah ikut Kadek pergi ke pura yang agak jauh. Untuk sampai ke jalan raya kami harus menuruni anak tangga yang jumlahnya ada 92 buah. Setelah itu menyusuri jalan raya, dan berbelok lagi untuk menuruni lembah melalui undak-undakan lagi, lalu menaiki tangga terjal ke pura. Kadek mengenakan sandal bertumit tujuh senti dan dengan lihainya dia melewati semua anak tangga tanpa menunduk karena kepalanya yang menjunjung kotak anyaman berisi sesajen harus selalu tegak. Waktu pulang ya tinggal dibalik saja, jalan yang tadinya menurun sekarang terus menanjak! Saya coba untuk menaruh sesajen itu di kepala saya. Aduh mak, berat sekali, saya sampai terhuyung-huyung sehingga cepat saya serah terimakan lagi. Untung saya sudah cepat-cepat dipotret sehingga bisa untuk pamer nanti, hehehe.

Untuk menuju ke daerah tempat tinggal saya akses kendaraan beroda empat dibatasi. Di timur ada penghalang anak tangga berjumlah 92 buah tadi, di sebelah selatan sawah dan jalan setapak, di barat dibuat penghalang sehingga hanya motor yang bisa masuk. Selain itu banyak jalan setapaknya, jadi motor juga tidak bisa leluasa menjelajah. Dalam medan seperti ini ketrampilan menjunjung itu perlu sekali. Kalau ada yang sedang membangun, batu bata, semen, batu, kayu, dan sebagainya dijunjung di atas kepala. Para perempuan yang melakukannya. Duh…, laki-lakinya ke mana saja?

Baik yang kurus maupun gemuk, muda maupun sedikit tua, semua perempuan itu berotot kuat. Mereka juga ahli mendorong gerobak, baik menanjak maupun menurun serta menahannya agar tidak meluncur jatuh. Mereka masih sempat tersenyum ramah pada orang yang berpapasan. Di hari-hari tertentu para perempuan perkasa ini datang ke pura untuk mengikuti upacara agama. Mereka berkebaya dan berselendang rapi menggantikan sepatu bot dan baju tumpuk-tumpuk serta lusuh yang biasa digunakan sehari-hari. Dengan kebaya warna-warni dan raut muka khusuk ketika bersembahyang,  wajah mereka yang berwarna gelap terbakar matahari terlihat cantik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar