Rabu, 10 April 2013

Monyet Sirik


Waktu dilihat lagi tulisan-tulisan yang pernah saya muat di sini, baru sadar lumayan banyak juga yang berhubungan dengan binatang. Saya memang paling suka nontoni binatang, apalagi hewan liar yang difilmkan. Saya pernah baca artikel bahwa dunia akan mengalami bencana kalau semua serangga dalam satu malam musnah semuanya. Bahkan kucing yang sering dianggap binatang pengganggu atau kesayangan itu bisa menyebabkan perubahan ekosistem yang ekstrem kalau tiba-tiba lenyap. Seekor kucing rata-rata membunuh sembilan ekor tikus setiap tahun. Kalau tidak ada kucing di muka bumi, dipastikan tikus merajalela dan hasil panen merosot drastis. Tidak disangka ya, kucing yang klemak-klemek manja dan hobi utamanya tidur ini bisa gesit juga kalau memang mau.



Saya selalu bilang bahwa ada syarat khusus pada binatang untuk bisa masuk kategori saya sebagai binatang yang enak dilihat. Binatang itu harus berambut (istilah yang benar memang rambut, bukan bulu. Bulu dimiliki oleh keluarga burung). Mulai dari tupai, domba, kuda, sampai macan tutul, cheetah, orangutan, menurut saya semuanya cakep. Dan favorit saya adalah keluarga kucing, baik kecil maupun besar, mulai dari kucing rumah sampai singa dan teman-temannya yang sekasta. Melihat binatang ini duduk anggun, aduh indahnya. Bagian mulut, mata, dan hidungnya sangat menggemaskan. Teman saya bilang, tunggu saja sampai dikejar dan diserang oleh cheetah, apa mulutnya yang bertaring itu  masih menggemaskan?



Saya cuma baru-baru ini saja lebih menghargai burung-burungan. Walaupun indah bulunya dan merdu suaranya, saya menganggap hewan ini miskin ekspresi (dan suka berisik). Tidak seperti golongan mamalia. Tapi saya jadi kagum ketika tahu bahwa burung telah berevolusi selama jutaan tahun dan mengubah dirinya yang tadinya adalah… reptil! Dari binatang yang cuma merangkak dan melata, evolusi jutaan tahun itu tidak membuatnya lebih canggih dalam merangkak dan bergerak di permukaan tanah. Dia melampaui merangkak dan berjalan. Dia terbang!



Mengamati burung ternyata asyik juga. Ada dua ekor merpati yang sering datang mematuki sisa-sisa sesajen di halaman, dan kadang-kadang sampai ke dekat pintu kalau saya bisa duduk diam cukup lama, tidak bergerak dan tidak bersuara. Merpati itu pendiam, tidak pernah mencicit-cicit berisik, cuma mendekut. Suaranya rendah dan merdu. Kalau terkuwak menguwak-nguwak berisik sekali. Sepasang terkuwak yang sering terlihat di sawah sekarang ketambahan satu ekor yang masih bujangan. Suatu hari terkuwak yang belum berpengalaman ini terbang ke halaman belakang saya melewati pagar. Kemudian dia mencoba terbang ke dalam rumah tapi kejeduk pintu kaca. Saya pura-pura tidak lihat supaya dia tidak merasa malu. Rupanya tidak ada yang menarik di halaman rumah saya, jadi dia ingin melompat keluar pagar lagi. Tapi dia kepeleset karena ancang-ancangnya kurang pas dan jatuh terjerembab di tanah. Saya akui bahwa saya tertawa terbahak-bahak melihatnya. Dia mencoba lagi. Berhasil. Hore!



Terkuwak adalah burung air yang terbangnya dekat-dekat saja dan tidak terlalu tinggi. Terkuwak muda ini masih datang beberapa kali. Waktu saya sedang berbaring malas di dipan, enak saja dia berjalan masuk dari pintu belakang dan keluar lagi melalui pintu samping. Selain itu saya juga baru sadar ada burung yang bersuara indah sekali. Burung ini tidak pernah saya lihat dan merupakan burung pertama yang berkicau di pagi hari. Suaranya benar-benar indah, seperti seruling, nada akhirnya meninggi dan hilang dibawa angin. Tapi yang membuat saya terpaku sampai tidak bisa bernapas adalah ketika melihat seekor burung bangau berdiri tenang-tenang di kolam ikan di halaman samping. Kakinya yang panjang seperti kaki peragawati terendam dalam air dan mukanya seperti sedang melamun. Tadinya mau saya potret, tapi kamera ada di lantai atas dan saya tidak mau kehilangan momen berharga yang hanya berlangsung beberapa detik itu. Burung ini tidak sudi dipandangi lama-lama, dia mengepakkan sayap dan terbang tinggi lagi. Sepertinya saya rela beberapa ekor ikan saya disantap asal burung bangau itu datang lagi (ups, yang ini baru terpikir belakangan. Apa saya benar rela? Rasanya tidak).



Kalau saya pulang malam dari kota Ubud, saya harus mengambil jalan sedikit memutar karena bagian jalan di depan pasar dibuat satu arah. Jadi saya harus melewati Monkey Forest. Monyet-monyet yang tinggal di sini rupanya suka berkeliaran sampai ke jalan di malam hari. Kita yang harus hati-hati jangan sampai menabrak. Ketika musim laron tiba, monyet-monyet ini mendadak gila. Meloncat ke sana, meloncat  ke sini. Setiap kali tangannya menyabet, beberapa ekor laron tertangkap. Mereka girang bukan kepalang. Makanan melimpah ruah dan datang sendiri minta disantap. Laron ini memang luar biasa. Berdiri di pinggir Jalan Raya Ubud, di setiap lampu jalan saya melihat laron berbondong-bondong, tebal sekali seperti awan mendung.



Saya punya pengalaman tidak enak sehubungan dengan monyet. Di pantai Pasir Putih Pangandaran, Jawa Barat, seekor monyet tertarik dengan tas anyaman saya yang digeletakkan di atas pasir. Saya tidak tahu apakah monyet ini seekor beruk, lutung atau jenis lainnya, tapi badannya lumayan besar. Dia menyentuh dan menggerayangi tas itu. Karena tidak suka barang-barang saya disentuh oleh makhluk apapun yang tidak bisa dipercaya, saya tarik tas itu. Monyet ini marah dan mendekati saya dengan mulut menyeringai. Saya ketakutan dan menendangnya. Walaupun tidak kena, monyet ini bersikap semakin mengancam dengan memperlihatkan taringnya. Dua ekor monyet lainnya solider dan ikut mendekati saya dengan sikap mengancam. Saya menjerit sekencang-kencangnya. Orang-orang cuma memandangi saya dengan cemas, tidak ada yang berani mendekat. Untunglah monyet-monyet itu sadar lagi dan mundur. Mungkin mereka sudah puas melihat saya ketakutan. Seekor monyet di Monkey Forest malah berhasil menggigit saya. Berbulan-bulan tinggal di Ubud saya tidak pernah menginjak tempat ini, eh begitu pergi ke sana digigit oleh penghuninya. Mungkin dia marah karena saya terlambat sowan. Setelah itu saya terus menjaga jarak. Seorang pawangnya bilang, “Jangan takut, nggak akan nggigit kok.” Nggak nggigit apa? Baruuuu saja saya digigit. Sebenarnya apa, ya masalah monyet-monyet ini?  Sepertinya iri pada saya yang sudah mencapai tingkat evolusi yang jauh lebih maju daripada mereka.



Di rumah sendiri, kolam ikan saya semakin hari semakin berantakan. Lotus yang dibeli dalam keadaan mekar dan menjadi titik perhatian utama di kolam itu sudah hampir mati. Tanaman teratai, yang warna bunganya  macam-macam, daunnya sobek-sobek. Ikan yang tadinya ada sepuluh satu per satu mati, cuma tinggal dua ekor. Padahal saya mengurus mereka dengan baik, diberi makan tiga kali sehari. Nyoman bilang justru itu masalahnya, ikan-ikan itu terlalu banyak diberi makan. Walaupun cuma setengah percaya saya ikuti sarannya dengan mengurangi jatah makan ikan, bahkan akhirnya hanya memberi remah-remah roti di pagi hari. Tanaman air yang indah-indah itu saya ganti dengan yang tidak begitu indah tapi tahan banting. Ternyata saya suka kolam saya yang sekarang! Airnya agak butek, ada ratusan kecebong di dalamnya, daun mati mengambang, sarang laba-laba di sebelah sana, kodok bertengger di atas batu. Sepasang ikan yang tersisa juga lebih bahagia. Mereka beranak pinak dan jumlahnya sudah tujuh ekor sekarang. Bapak-ibunya masih bisa ditandai karena ukurannya paling besar.



Suatu hari saya mendapati ikan saya ukurannya jadi sangat besar. Sudah beberapa lama saya tidak memeriksa ikan-ikan di kolam, tapi pertumbuhan ikan yang satu ini yang begitu pesat mengherankan saya. Saat itu saya melihat pasangannya berenang lewat dengan ukuran persis sama ketika terakhir saya melihatnya. Tapi kenapa yang satu ini begitu besar? Setelah berpikir-pikir saya mendapat sedikit ide. Saya tanyai Intan, apakah Nyoman, bapaknya, menaruh ikan di kolam saya? Intan mengangguk dengan serius. Ya ampun, ini ikan dititipkan di kolam sebelum digoreng, ya. Atau ditaruh di sana untuk bikin kejutan? Memang berhasil, sih. Tapi nggak perlu gitu-gitu amat, lah. Saya sudah puas kok dengan kolam saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar