Jumat, 20 Juli 2012

Cerita Reuni


Cerita reuni saya kali ini tidak lagi ada sinisme atau sarkasmenya, hehehe. Mari kita datang ke reuni dengan hati gembira dan senang. Jadi begitulah, setelah saling tunggu dengan menjadikan kemacetan sebagai kambing hitam, kami bertiga datang bersama-sama ke tempat reuni dengan sedikit terlambat. Oya, ini adalah reuni angkatan, jadi kalau semuanya hadir maka akan ada 11 kelas. Dari kelas saya yang hadir 19 orang. Cukup lumayanlah.

Kami disambut penerima tamu yang berpakaian putih abu-abu. Tadinya saya kira mereka adalah adik kelas yang sudah dipisahkan oleh tahun-tahun yang lama sekali. Kalau begitu sih sebutannya bukan ‘adik’ lagi ya, tapi ‘keponakan’ dan kami-kami ini adalah ‘tante’ dan ‘oom’ buat mereka. Dari dekat baru kelihatan bahwa roknya pendek sekali, hanya setengah paha. Mereka cantik-cantik dan berdandan lengkap dengan maskara, lipstik dan perona mata serta pipi. Rambut panjang terurai. Tahulah saya bahwa mereka di sana sedang bekerja, bukan mencari inspirasi dari kami-kami kakak kelasnya yang sudah berhasil jadi orang ini, hihihi. Boleh juga idenya, penerima tamu didandani seperti anak sekolahan. Asal saja nama sekolah saya tidak tertempel di baju ‘seragam’  dan kemudian mereka berkeliaran keliling kota naik angkot!

Teman saya Sussy sebelum masuk gedung agak senewen. Sadar dirinya pelupa, dia minta saya menyebutkan nama-nama teman kami sekelas. Tapi rupanya dia tidak perlu kuatir. Kami diberi pin lengkap dengan nama masing-masing. Tak lama kemudian saya melihatnya di seberang ruangan sedang ngobrol bersama Yanti. Sussy senang karena dia ingat nama dan wajah Yanti, tapi lupa, kapan mereka pernah sekelas? Setelah memberi tahu Sussy, Yanti yang sedikit keki menyimpulkan dengan pertanyaan retoris, “O… ternyata kita ini sekelas dari kelas 1, kelas 2, sampai kelas 3 ya, Sus?” :)

Lupa itu wajar, kan sudah tahunan berlalu. Kalau ingatan terlalu tajam malah mencurigakan. Ini seperti kejadian beberapa tahun yang lalu dalam reuni SMP. Kami yang berasal dari kelas berbeda-beda kebetulan berdiri berkelompok. Kenalnya ya baru pada saat itu. Tiba-tiba seorang laki-laki mendekat, menyalami kami satu-satu dengan cara orang Sunda. Sambil menyalami dia menyebut nama kami satu per satu. “Eh, Ika...” “Eh, Sri...” “Eh, Anna…” “Eh, Yuni…” dst. Kemudian dia langsung ngeloyor pergi. Kami semua terheran-heran. Bagaimana dia bisa tahu nama kami semua, padahal kami saja belum saling kenal sebelumnya? Kami saling bertanya-tanya, sampai pada akhirnya salah seorang menunduk dan terlihatlah name tag-nya tersemat di dada. Terang saja dia tahu! Kurang asem tuh orang….

Tapi untunglah daya ingat saya lumayan bagus untuk mengenali teman-teman sekelas di reuni SMA ini. Hanya Kiki yang bikin pangling sehingga saya terpaksa memandangi pin-nya untuk membaca namanya. Martin juga saya kenali berkat Facebook. Kalau tidak ada Facebook saya pasti tidak menyangka bahwa dia sudah sebotak itu sekarang. Hehehe, maaf Martin. Martin langsung menantang saya dan Sussy untuk menebak siapa laki-laki yang berdiri di sampingnya. Saya langsung ingat! Tapi cuma wajahnya, bukan namanya. “Tunggu, tunggu, jangan dikasih tahu dulu,” kata saya. Sesudah memeras otak beberapa saat tidak juga ketemu namanya, saya cuma bilang, “Pemusik kan?” Dwiono mengangguk senang. Tidak apa lupa nama, asal tidak lupa saja bahwa dulu saya anak band, mungkin begitu pikirnya.

Namun teman-teman saya masih mengenali saya kok. Yang tidak kenal ya itu karena sejak SMA memang tidak kenal saja. Kecuali Lily. Dia lupa karena rambut saya sekarang beda. “Di-rebonding ya?” Waduh, bukan Ly. Ini rambut saya yang asli, justru waktu itu rambutnya saya buat keriting (entah kerasukan apa saya waktu itu, maklum masih labil).

Rambut memang bisa bikin susah. Saya pernah menguping sebuah percakapan, masih dalam reuni SMP. ‘Ini Ibo,” kata seorang perempuan. “Beneran. Sumpah, gua Ibo. Emang rambut gua udah lurus, tapi beneran kok, ini Ibo,” katanya berusaha meyakinkan sementara teman-temannya memandang dengan dingin dan curiga. Hihihi, kalau sudah dapat julukan sayang ‘Ibo’ karena rambutnya kribo, ya jangan sekali-sekali meluruskan rambut! Akibatnya bisa tidak dikenali oleh teman-teman dekatnya sendiri.

Banyak kejadian, orang-orang yang tadinya tidak kenal kemudian jadi dekat setelah sama-sama menghadiri reuni. Atau bisa juga tiga tahun berada di kelas yang sama, baru kenal sifat aslinya bertahun-tahun kemudian, juga di reuni. Seperti teman sekelas saya Michael. Dengan senang hati dia mempromosikan teman lainnya yang punya bisnis saham. Alur promosi diarahkan olehnya, diselingi dengan komentar-komentar kocak. Aduh, Mike, kamu itu sudah lucu dari dulu-dulu, apa ya. Kok saya tidak tahu sih? Saya pikir dia itu orangnya pendiam. Tapi Sussy membantah. Katanya, Michael dari dulu juga sudah lucu.

Bicara bisnis di reuni tentu saja tidak dilarang. Siapa tahu kan, yang tadinya cuma senang-senang ternyata bisa juga membawa keuntungan. Tapi itu bergantung kepada jenis bisnisnya dulu. Yanti terang-terangan berkata bahwa dia tidak akan mau diperiksa oleh Boy yang dokter kandungan, sampai kapan pun. Betul Yan, setuju! Cari dokter kandungan yang sama sekali belum pernah kenal saja. Lain halnya untuk dokter yang lain. Begitu ketemu dengan teman yang saya tahu dulu kuliah di fakultas kedokteran, saya menyambutnya dengan sapaan, “Sekarang kamu jadi dokter apa Din?” “Dokter Rehabilitasi Medik,” jawabnya. “Kebetulan! Gini Din, aku punya masalah. Bla bla bla….” Yang dengar pada protes. “Woy, datang ke reuni jangan malah konsultasi!” Ah, masa bodolah. Ini kan kesempatan. Tapi sayang, ternyata Dindin tinggalnya di Cirebon, sudah begitu saya lupa lagi minta nomor teleponnya. Duh….

Acara yang paling ditunggu dalam reuni tentu saja foto bersama. Saya yang biasanya paling malas bawa kamera ke mana-mana untunglah saat itu bawa kamera saku. Mas tukang fotonya saya titipi kamera saya. “Mas, kalau mau motret bilang aba-abanya ya,” kata Michael, “biar kami sempat nahan perut.” Hehehe, tidak usah dipikirlah Mike, itu sudah jadi problem semua orang, kok. Maka kami pun bergaya dengan mengacungkan tiga jari. Tiga, artinya SMA 3. Tapi karena susunan jarinya yang khas itu juga bisa merupakan lambang dari musik Metal (apa ini sekarang masih berlaku ya?).

Sebelum pulang kami sempatkan lagi foto-foto. Di depan gedung didirikan foto dua anak SMA, laki-laki dan perempuan, dengan ukuran asli. Kedua wajahnya dilubangi. Nah, ini dia! Langsung saya ajak Kukuh untuk memasukkan muka ke sana dan… klik! klik! Jadilah saya punya foto berpakaian seragam putih abu-abu lagi. Kami berlima (sayang David dan Dina tidak bisa datang ke reuni) lalu foto bersama di depan kain merah yang bertulisan moto sekolah kami: Knowledge is Power but Character is More. Keren kan motonya? Sudah itu pamitan, dadah-dadahan, sampai ketemu lagi, kalau ke Bali mampir ya. Tidak ada pembahasan lagi mengenai pergi bersama mendaki Gunung Tangkuban Perahu lewat jalur Jayagiri. Zaman dulu saja hampir semaput menjalaninya, sekarang mau gagah-gagahan? Sudah ah!

Selasa, 10 Juli 2012

Dengan atau Tanpa Baju, Silakan Pilih


Jalan-jalan di sepanjang trotoar kota Ubud memang menggoda. Restoran dari segala jenis makanan, kedai kopi, toko baju, toko suvenir, toko asesoris, dsb., berlomba-lomba tampil semenarik mungkin agar naluri impulsif berbelanja kita jadi tergelitik. Supir-supir ramai berteriak meneriakkan jasanya. “Taxi?” “Do you need taxi?” “Taxi, Miss?” “Hello! Taxi?” Jalan seratus meter saja bisa ditawari taksi lima kali, bahkan diteriakkan dari seberang jalan. Sebenarnya yang dimaksud bukan taksi seperti di kota-kota besar. Mobil yang biasa dipakai adalah minibus, biasanya Kijang, dengan tarif bergantung kepintaran kita nego. Di musim sepi liburan biasanya mereka banting harga. Selain taksi jasa yang sering ditawarkan adalah pijat. Gadis-gadis muda, kadang-kadang berseragam sarung, yang menawarkannya. Kalau kita setuju untuk dipijat Mbak ini akan membawa kita memasuki sebuah gang kecil. Tempatnya sempit, sepi, gelap, mencurigakan, bau kemenyan. Hehehe, ya tidaklah.

Pemijat yang sekarang sering saya datangi namanya Gede. Dia beserta istrinya membuka bisnis pijatnya di tempat yang sangat sederhana. Kamarnya cuma dua, mungil sekali, hanya cukup untuk satu dipan, satu kursi dan sedikit ruang tempat dia berdiri. Kamar yang satunya lagi agak besar karena isinya ditambahi bath tub dan sebuah toilet walaupun tempatnya mepet sekali, agar pelanggan yang baru luluran bisa mandi. Toilet duduknya tidak mengeluarkan air dengan cara ditekan namun Gede suami-istri menyediakan ember besar berisi air. Walaupun begitu, terlihat tanda-tanda usaha mereka yang sangat maksimal untuk menghias tempatnya. Begitu masuk kita disambut oleh patung Ganesha yang dikalungi untaian bunga. Dindingnya penuh dengan gambar-gambar Budha, Krishna, Yesus, dan tokoh-tokoh pewayangan seperti Hanoman dan Kurawa. Kadang-kadang musik meditasi juga diputar, bersahutan dengan kicau tiga burung kenari yang sangkarnya digantung di teras. Sarung, bunga dan handuk diatur cantik di atas dipan.

Ketika pertama kali memanfaatkan jasa ini saya minta dipijat serta dilulur oleh istrinya. Ketika tiba waktunya mandi istri Gede memasak air panas sepanci. Kemudian dia mempersilakan saya masuk ke bak yang sudah diisi air hangat dan kelopak bunga. Ada servis tambahannya, yaitu, istri Gede membasuh dan menyabuni tubuh saya seakan-akan saya seorang bayi saja. Hahaha. Terus terang saya lebih suka mandi sendiri, tapi bukan itu alasannya saya tidak pernah minta dipijat lagi oleh istri Gede. Pijatannya kurang keras. Otot sekeras batu yang saya miliki hanya bisa ditaklukkan oleh yang bertenaga besar. Jadilah saya pindah ke sang suami, Gede.

Biasanya saya akan masuk ke kamar lebih dahulu sementara Gede menunggu di luar. Setelah melepas pakaian dan menumpuknya di kursi dan menyelubungi badan dengan sarung dan kemudian berbaring telungkup di dipan, saya memanggil Gede. Pertama dia akan menekan punggung saya dengan sangat keras sampai terdengar suara tulangnya krek-krek-krek. Sedap! Saya memang memilih deep tissue massage, pijatannya keras dan bayarnya sedikit lebih mahal. Pijat seperti ini yang saya suka, walaupun kadang-kadang saya terpaksa meringis kesakitan dan minta tekanannya sedikit dikurangi. Gede sedikit terkekeh seakan ingin bilang, “Makanya jangan sok belagu minta dipijat keras-keras.” Tapi pada umumnya pijatannya enak sekali, bisa bikin mata merem melek. Saya suka dipijat oleh Gede karena dia sopan dan tidak banyak ngobrol kalau saya sedang tidak ingin ngobrol. Ketika menyuruh saya membalik badan menjadi terlentang dia akan memegangi sarung sehingga terbentuk tirai yang menghalangi pandangannya, hehehe.

Beberapa teman saya tidak suka dipijat. Rata-rata bilang dipijat itu geli, tapi ada juga yang cukup jujur mengatakan bahwa alasan sebenarnya adalah tidak suka membuka pakaian di depan orang lain dan dipegang-pegang. Saya rasa ini memang soal yang agak peka. Untuk saya pribadi, saya tidak mau manfaat pijat tidak didapat hanya karena soal ini. Mbak-mbak pemijat yang bekerja di spa betulan alias mahal sepertinya punya kode etik untuk tidak mengomentari tubuh kita, entah itu bagus atau kurang bagus. Seperti Mbak pemijat yang memijat saya di spa terkenal di Bandung, dia cukup beretika untuk tidak mengomentari tubuh saya, tapi celetuknya adalah, “Celana dalamnya warnanya bagus.” Saya terbengong-bengong mendengarnya. Komentar seperti ini harus dijawab apa coba? :D

Sebenarnya spa mahal bukan jaminan bahwa pijatannya pasti memuaskan. Saya pernah mencoba spa semacam ini di Ubud, bangunannya luas, bagus, ada taman dan kolamnya, tapi ternyata… pijatannya lembek sekali. Begitu juga pijatan creambath-nya. Waktu keramas Mas yang mencuci rambut saya memasukkan air ke kuping dan bukannya memijat kulit kepala dengan ujung jari dia menggaruk keras-keras dengan kuku. Hmmfftt. Sakit tahu! Ini memang masalah klasik. Banyak sekali kapster yang tidak bisa membedakan antara memijat dan menggaruk.

Pernah saya dipijat oleh pemijat laki-laki yang direkomendasikan oleh Kadek. Seperti bisa ditebak, pemijat ini masih ada hubungan keluarga dengannya. Pertama sih oke-oke saja, tapi kemudian dia cerita tentang para langganannya yang minta dipijat untuk membesarkan pinggul, membentuk betis yang tadinya kurus jadi montok, membesarkan payudara, dan mengencangkan kulit seluruh badan. Saya langsung merasa risi. Bahkan kemudian dia menawari saya untuk memberi salah satu servisnya dengan jaminan pasti berhasil. Langsung saya jadi jengah, saya bilang tidak tertarik, yang penting Anda bisa tidak menyembuhkan tangan saya? Setelah itu saya tidak pernah lagi memintanya datang.

Satu lagi yang saya suka adalah pijat refleksi. Kalau yang ini tidak perlu buka baju, dan karena tidak menggunakan minyak, badan tidak lengket sehingga tidak perlu mandi sesudahnya. Tempat pijat refleksi langganan saya selalu terlihat kosong tanpa pekerja, tapi begitu kita minta dipijat para pemijat ini muncul secara misterius dari seberang jalan. Rupanya mereka lebih senang nongkrong di luar menunggu pelanggan. Kalau semua dipan terisi, para Mbak dan Mas ini akan bekerja sambil ngobrol dan bercanda. Walaupun tidak mengerti bahasanya saya tertular keriangan mereka dan ikut-ikutan tertawa kalau mereka tertawa.

Ada lagi pijat yang ingin saya coba, kalau tidak salah namanya sport massage. Badan ditekuk-tekuk dalam segala posisi. Kalau mau coba pijat jenis ini jangan pakai rok pendek ya. :)

Saya merasa otot-otot saya perlu diregangkan setiap hari. Tapi kalau setiap hari, berapa tuh biayanya? Refleksi setengah jam cuma punggung, bahu, dan kepala harganya 60 ribu. Pijat a la Gede yang lamanya satu jam 120 ribu. Hm, jatuhnya mahal juga. Akhirnya saya mencoba yoga. Sudah empat hari ini setiap pagi saya mengikuti langkah-langkah yoga dari Youtube. Ajaib. Youtube yang biasanya berhenti-berhenti diselingi download, khusus untuk sesi yoga yang ini lancar-mulus selama 57 menit penuh! Karena muka harus selalu menghadap laptop, maka posisi saya muter-muter. Tadinya saya bingung. Balik ke samping kiri, layar tidak terlihat. Balik ke samping kanan, tidak juga. Miring 45 derajat, tidak juga. Miring ke arah lain, kok masih belum pas juga ya. Akhirnya dapat juga. Saya harus memantati laptop! Kaki lurus, pinggang dibungkukkan sampai tangan menyentuh lantai sehingga tubuh membentuk segitiga dengan lantai. Dengan posisi muka terbalik layar laptop bisa terlihat melalui sela-sela kaki saya. Yoga yang hanya ‘begitu-begitu saja’ ini ternyata bikin capek, tapi enak sesudahnya. Namaste.

Selasa, 03 Juli 2012

Iklan adalah Bacaan Terbaik


Sudah bertahun-tahun saya sangat membatasi baca koran. Padahal,  baca koran ini dulu hukumnya wajib buat saya. Sebagai mahasiswa ekonomi (dulu) saya merasa harus tahu mengenai apa saja yang terjadi dalam perekonomian kita. Pengetahuan teori yang di peroleh di kelas harus ditunjang dengan pengetahuan akan realitas di lapangan dong. Tempo, Kompas, ditambah lagi dengan jurnal ekonomi. Saya sering memandang rendah teman-teman lain yang cuma berusaha mendapat nilai bagus tanpa bisa melihat kesinambungan antara teori dan praktik. Semakin banyak tahu saya merasa semakin terpenuhi. Tapi tentu saja ini tidak benar. Semakin ingin dan berusaha tahu semakin membuat kita sadar masih banyak yang belum diketahui yang mendorong kita berusaha lebih banyak tahu lagi yang semua itu tidak berujung dan akhirnya membuat diri lelah sendiri. Seperti lingkaran setan saja. Akhirnya saya berhenti baca koran. Berita ekonomi dan politik tidak lagi jadi perhatian saya. Seiring dengan berhenti baca koran, saya juga berhenti nonton televisi. Wah, seperti mendapat pembebasan!


Saya tidak bermaksud menganjurkan orang, apalagi mahasiswa, untuk berhenti membaca atau peduli pada permasalahan bangsa kita. Bukan! Kalau pengetahuan itu berhubungan dengan bidang atau pekerjaan, tentu saja harus tahu. Tapi apakah memang kita harus tahu segala? Percaya deh, membaca koran sekali seminggu, dan hanya membaca judul-judulnya saja, itu lebih dari cukup. Perang masih ada, demonstrasi masih ada, kemiskinan masih ada, ketidakadilan juga sama saja. Hanya pelaku dan tempatnya saja yang mungkin berubah. Perlu dibilang tidak ya, saya ini tidak tahu siapa mentri keuangan kita sekarang. Nanti deh, kalau beliau sudah membuat gebrakan mendasar atau mendapat gelar mentri keuangan terbaik se Asia, bagaimanapun jalannya, akan sampai juga infonya ke saya.

Ada lelucon yang kurang lucu yang saya baca entah di mana. Di suatu acara penting di Jakarta, acara tidak juga dimulai. Seorang peserta bertanya, tunggu apa lagi sih, yang dijawab temannya bahwa kita sedang menunggu wakil presiden. Si penanya itu berkata lagi, “Lha, itu, Pak Jusuf Kalla sudah datang, kok.” “Wakil Presiden kita namanya Boediono,” temannya membetulkan. “Oh ya? Sejak kapan ganti?” Hahaha, ini sih keterlaluan.

Kembali ke koran dan televisi. Walaupun sengaja mengurangi, bukan berarti saya sama sekali tidak membaca atau nonton. Salah satu alasan kenapa saya teratur makan di restoran padang adalah karena ada televisinya di sana. Saya selalu memilih meja yang menghadap televisi. Kalau meja itu sudah ditempati saya jadi kecewa dan ingin menegur orang itu agar pindah. Untung cepat sadar, hehehe. Juga, ketika teman saya memberi tahu ada artikel yang menarik di koran, saya pergi ke sebuah kafe di sore harinya. Pesannya cuma keik dan teh karena memang tidak bermaksud makan malam di situ. Sudah itu segera mengambil koran dan mencari artikel yang dimaksud. Toleh kiri toleh kanan, merasa keadaan aman, cepat-cepat koran itu saya masukkan ke dalam tas. Pembelaan saya adalah, waktu itu sudah sore menjelang malam, sebentar lagi juga korannya kadaluwarsa. Hehehe, ini jangan ditiru, kawan. Tapi ini bukan berarti saya cuma mau yang gratisan lho. Pemilik restoran padang itu senang karena saya sudah jadi pelanggan tetapnya. Pemilik kafe itu juga tidak rugi-rugi amat, karena harga korannya cuma enam ribu sedangkan saya bayar hampir lima puluh ribu untuk keik dan teh. Dan, sesudah nonton televisi dan baca artikel di koran itu saya semakin yakin dengan pilihan saya bahwa yang terbaik adalah mengurangi televisi dan koran sebisa-bisanya.

Lalu, kalau sudah berhenti baca koran, apa saja yang dibaca? Wah, banyak! Kandungan gizi pada minuman dan makanan dalam kemasan, misalnya. Atau petunjuk arah menuju toilet di mall. Atau mencari arti kata dalam kamus. Hehehe, ya tidak cuma itu. Ketika ingin belajar photoshop saya membaca buku mengenai photoshop, ketika diminta menulis tentang alpukat ya saya membaca buku tentang buah ini. Novel dan fiksi juga masih baca, siapa tahu jadi ketularan pintar menulis novel nantinya. Tapi, um… saya masih baca Bali Advertiser ding. Walaupun bentuknya koran, Bali Advertiser tidak seperti koran pada umumnya. Media yang terbit setiap dua minggu serta terutama ditujukan untuk para ekspat di Bali ini 85% isinya adalah iklan. Sisanya ramalan bintang, budaya Indonesia, tips-tips praktis, artikel “Say What?” yang menjawab persoalan pribadi, dan resep makanan. Berita lokal maupun mancanegara sedikit sekali. Jadi, menurut definisi saya, koran ini tidak termasuk koran betulan.

Ada dua alasan kenapa saya suka baca koran ini. Saya selalu tertarik dengan pandangan serta komentar orang asing mengenai bagaimana mereka melihat kita. Yang tadinya tidak disadari dan biasa-biasa saja sekarang jadi sesuatu yang menarik untuk dipikirkan. Misalnya ada orang Jepang yang berkomentar bahwa orang Indonesia suka sekali duduk. Dalam buku pelajaran di sekolah pun diberi ilustrasi keluarga bahagia dengan ayah yang duduk di sofa, ibu yang duduk di kursi sambil menyulam, kakak duduk di bangku pendek, adik duduk di lantai. Wah, betul juga. Kalau kita bertamu begitu masuk bukankah langsung dipersilakan duduk? Di percetakan, di agen perjalanan, di salon, sambil menunggu juga dipersilakan duduk. Memberi kursi berarti memberi penghormatan. Walaupun saya tidak ingin duduk dan lebih suka berdiri saja, mereka berulang-ulang menyuruh saya duduk. Ya sudah, turuti saja.

Ada juga tulisan yang membuka rahasia bahwa banyak orang Bali yang tidak patuh pada Hari Nyepi. Walaupun sering dipuji sebagai satu-satunya yang tidak merayakan tahun barunya dengan hura-hura, ternyata banyak di antara mereka yang menumpuk stok untuk melewati hari ini. Ya stok makanan, ya stok DVD. Nah lo, ketahuan….

Alasan kedua, saya sudah lama tergila-gila pada iklan yang sifatnya personal. Baru di koran ini saya tahu bahwa apa saja bisa diiklankan. Ada perempuan yang mau menjual baju-bajunya yang berukuran kecil karena akan pindah (bukan karena sudah gemuk). Ada yang menawarkan anjing untuk diadopsi. Anjing ini pintar dan terdidik dengan baik, katanya. Ada yang memberi tahu bahwa dia mengumpulkan plastik-plastik bekas, bersedia membayar lagi. Ada yang memberi info bahwa masih ada tempat dalam kontainer yang akan berangkat menuju Brisbane. Ada yang freezernya bocor karena tertusuk pisau dan mencari orang yang bisa membetulkan serta mengisi gasnya kembali. “I know this can be done,” tulisnya setengah memaksa. (Saya tahu memang bisa karena kakak saya pernah punya masalah yang sama. Perlu diinfokan tidak ya?). Ada bapak tua yang membutuhkan perempuan pendamping, maksudnya bukan istri lho, yang bisa berbicara Prancis. Ada juga iklan yang didonasikan oleh korannya sendiri. Ini adalah iklan-iklan mencari donor darah Rh negatif yang jarang di sini, serta program penyembuhan gratis untuk para pecandu alkohol dan narkoba. Lengkap kan? Dengan membaca iklan-iklan ini saya jadi merasa lebih mengenal manusia. Apa harapan mereka, apa kekhawatiran mereka, apa kebutuhan mereka, apa kegembiraan mereka, apa ketakutan mereka. Akhirnya, saya temukan sudah bacaan favorit saya, yaitu… iklan. :)