Sudah bertahun-tahun saya sangat membatasi baca koran. Padahal, baca koran ini dulu hukumnya wajib buat saya.
Sebagai mahasiswa ekonomi (dulu) saya merasa harus tahu mengenai apa saja yang
terjadi dalam perekonomian kita. Pengetahuan teori yang di peroleh di kelas
harus ditunjang dengan pengetahuan akan realitas di lapangan dong. Tempo,
Kompas, ditambah lagi dengan jurnal ekonomi. Saya sering memandang rendah
teman-teman lain yang cuma berusaha mendapat nilai bagus tanpa bisa melihat
kesinambungan antara teori dan praktik. Semakin banyak tahu saya merasa semakin
terpenuhi. Tapi tentu saja ini tidak benar. Semakin ingin dan berusaha tahu
semakin membuat kita sadar masih banyak yang belum diketahui yang mendorong
kita berusaha lebih banyak tahu lagi yang semua itu tidak berujung dan akhirnya
membuat diri lelah sendiri. Seperti lingkaran setan saja. Akhirnya saya
berhenti baca koran. Berita ekonomi dan politik tidak lagi jadi perhatian saya.
Seiring dengan berhenti baca koran, saya juga berhenti nonton televisi. Wah,
seperti mendapat pembebasan!
Saya tidak bermaksud menganjurkan orang, apalagi mahasiswa, untuk
berhenti membaca atau peduli pada permasalahan bangsa kita. Bukan! Kalau
pengetahuan itu berhubungan dengan bidang atau pekerjaan, tentu saja harus
tahu. Tapi apakah memang kita harus tahu segala? Percaya deh, membaca koran
sekali seminggu, dan hanya membaca judul-judulnya saja, itu lebih dari cukup.
Perang masih ada, demonstrasi masih ada, kemiskinan masih ada, ketidakadilan
juga sama saja. Hanya pelaku dan tempatnya saja yang mungkin berubah. Perlu
dibilang tidak ya, saya ini tidak tahu siapa mentri keuangan kita sekarang.
Nanti deh, kalau beliau sudah membuat gebrakan mendasar atau mendapat gelar
mentri keuangan terbaik se Asia, bagaimanapun jalannya, akan sampai juga
infonya ke saya.
Ada lelucon yang kurang lucu yang saya baca entah di mana. Di
suatu acara penting di Jakarta, acara tidak juga dimulai. Seorang peserta
bertanya, tunggu apa lagi sih, yang dijawab temannya bahwa kita sedang menunggu
wakil presiden. Si penanya itu berkata lagi, “Lha, itu, Pak Jusuf Kalla sudah
datang, kok.” “Wakil Presiden kita namanya Boediono,” temannya membetulkan. “Oh
ya? Sejak kapan ganti?” Hahaha, ini sih keterlaluan.
Kembali ke koran dan televisi. Walaupun sengaja mengurangi, bukan
berarti saya sama sekali tidak membaca atau nonton. Salah satu alasan kenapa
saya teratur makan di restoran padang adalah karena ada televisinya di sana.
Saya selalu memilih meja yang menghadap televisi. Kalau meja itu sudah
ditempati saya jadi kecewa dan ingin menegur orang itu agar pindah. Untung
cepat sadar, hehehe. Juga, ketika teman saya memberi tahu ada artikel yang
menarik di koran, saya pergi ke sebuah kafe di sore harinya. Pesannya cuma keik
dan teh karena memang tidak bermaksud makan malam di situ. Sudah itu segera
mengambil koran dan mencari artikel yang dimaksud. Toleh kiri toleh kanan, merasa
keadaan aman, cepat-cepat koran itu saya masukkan ke dalam tas. Pembelaan saya
adalah, waktu itu sudah sore menjelang malam, sebentar lagi juga korannya
kadaluwarsa. Hehehe, ini jangan ditiru, kawan. Tapi ini bukan berarti saya cuma
mau yang gratisan lho. Pemilik restoran padang itu senang karena saya sudah jadi
pelanggan tetapnya. Pemilik kafe itu juga tidak rugi-rugi amat, karena harga
korannya cuma enam ribu sedangkan saya bayar hampir lima puluh ribu untuk keik
dan teh. Dan, sesudah nonton televisi dan baca artikel di koran itu saya
semakin yakin dengan pilihan saya bahwa yang terbaik adalah mengurangi televisi
dan koran sebisa-bisanya.
Lalu, kalau sudah berhenti baca koran, apa saja yang dibaca? Wah,
banyak! Kandungan gizi pada minuman dan makanan dalam kemasan, misalnya. Atau
petunjuk arah menuju toilet di mall.
Atau mencari arti kata dalam kamus. Hehehe, ya tidak cuma itu. Ketika ingin
belajar photoshop saya membaca buku
mengenai photoshop, ketika diminta
menulis tentang alpukat ya saya membaca buku tentang buah ini. Novel dan fiksi
juga masih baca, siapa tahu jadi ketularan pintar menulis novel nantinya. Tapi,
um… saya masih baca Bali Advertiser
ding. Walaupun bentuknya koran, Bali
Advertiser tidak seperti koran pada umumnya. Media yang terbit setiap dua
minggu serta terutama ditujukan untuk para ekspat di Bali ini 85% isinya adalah
iklan. Sisanya ramalan bintang, budaya Indonesia, tips-tips praktis, artikel
“Say What?” yang menjawab persoalan pribadi, dan resep makanan. Berita lokal
maupun mancanegara sedikit sekali. Jadi, menurut definisi saya, koran ini tidak
termasuk koran betulan.
Ada dua alasan kenapa saya suka baca koran ini. Saya selalu
tertarik dengan pandangan serta komentar orang asing mengenai bagaimana mereka
melihat kita. Yang tadinya tidak disadari dan biasa-biasa saja sekarang jadi
sesuatu yang menarik untuk dipikirkan. Misalnya ada orang Jepang yang
berkomentar bahwa orang Indonesia suka sekali duduk. Dalam buku pelajaran di
sekolah pun diberi ilustrasi keluarga bahagia dengan ayah yang duduk di sofa,
ibu yang duduk di kursi sambil menyulam, kakak duduk di bangku pendek, adik
duduk di lantai. Wah, betul juga. Kalau kita bertamu begitu masuk bukankah
langsung dipersilakan duduk? Di percetakan, di agen perjalanan, di salon,
sambil menunggu juga dipersilakan duduk. Memberi kursi berarti memberi
penghormatan. Walaupun saya tidak ingin duduk dan lebih suka berdiri saja,
mereka berulang-ulang menyuruh saya duduk. Ya sudah, turuti saja.
Ada juga tulisan yang membuka rahasia bahwa banyak orang Bali yang
tidak patuh pada Hari Nyepi. Walaupun sering dipuji sebagai satu-satunya yang
tidak merayakan tahun barunya dengan hura-hura, ternyata banyak di antara
mereka yang menumpuk stok untuk melewati hari ini. Ya stok makanan, ya stok
DVD. Nah lo, ketahuan….
Alasan kedua, saya sudah lama tergila-gila pada iklan yang sifatnya
personal. Baru di koran ini saya tahu bahwa apa saja bisa diiklankan. Ada
perempuan yang mau menjual baju-bajunya yang berukuran kecil karena akan pindah
(bukan karena sudah gemuk). Ada yang menawarkan anjing untuk diadopsi. Anjing
ini pintar dan terdidik dengan baik, katanya. Ada yang memberi tahu bahwa dia
mengumpulkan plastik-plastik bekas, bersedia membayar lagi. Ada yang memberi
info bahwa masih ada tempat dalam kontainer yang akan berangkat menuju
Brisbane. Ada yang freezernya bocor
karena tertusuk pisau dan mencari orang yang bisa membetulkan serta mengisi
gasnya kembali. “I know this can be
done,” tulisnya setengah memaksa. (Saya tahu memang bisa karena kakak saya
pernah punya masalah yang sama. Perlu diinfokan tidak ya?). Ada bapak tua yang
membutuhkan perempuan pendamping, maksudnya bukan istri lho, yang bisa
berbicara Prancis. Ada juga iklan yang didonasikan oleh korannya sendiri. Ini
adalah iklan-iklan mencari donor darah Rh negatif yang jarang di sini, serta
program penyembuhan gratis untuk para pecandu alkohol dan narkoba. Lengkap kan?
Dengan membaca iklan-iklan ini saya jadi merasa lebih mengenal manusia. Apa
harapan mereka, apa kekhawatiran mereka, apa kebutuhan mereka, apa kegembiraan
mereka, apa ketakutan mereka. Akhirnya, saya temukan sudah bacaan favorit saya,
yaitu… iklan. :)
Heran deh....kenapa kita banyak kesamaan ya. saya sudah beberapa tahun tidak nonton televisi lho. mungkin 4 tahunan. Memang kurang ada manfaatnya.
BalasHapusMeski pekerjaan saya wartawan saya juga angat jarang baca koran. Kalaupun sesekali adalah portal.. hehehe...
salam
tjapooenk.blogspot.com
Waduh, jadi wartawan kok malah buka rahasia begitu hehehe. Memang banyak persamaan. Saya juga ikutan MMD lho.
BalasHapuswaduh....ini siapa to? :) penasaran deh.
BalasHapus