Selasa, 03 Juli 2012

Iklan adalah Bacaan Terbaik


Sudah bertahun-tahun saya sangat membatasi baca koran. Padahal,  baca koran ini dulu hukumnya wajib buat saya. Sebagai mahasiswa ekonomi (dulu) saya merasa harus tahu mengenai apa saja yang terjadi dalam perekonomian kita. Pengetahuan teori yang di peroleh di kelas harus ditunjang dengan pengetahuan akan realitas di lapangan dong. Tempo, Kompas, ditambah lagi dengan jurnal ekonomi. Saya sering memandang rendah teman-teman lain yang cuma berusaha mendapat nilai bagus tanpa bisa melihat kesinambungan antara teori dan praktik. Semakin banyak tahu saya merasa semakin terpenuhi. Tapi tentu saja ini tidak benar. Semakin ingin dan berusaha tahu semakin membuat kita sadar masih banyak yang belum diketahui yang mendorong kita berusaha lebih banyak tahu lagi yang semua itu tidak berujung dan akhirnya membuat diri lelah sendiri. Seperti lingkaran setan saja. Akhirnya saya berhenti baca koran. Berita ekonomi dan politik tidak lagi jadi perhatian saya. Seiring dengan berhenti baca koran, saya juga berhenti nonton televisi. Wah, seperti mendapat pembebasan!


Saya tidak bermaksud menganjurkan orang, apalagi mahasiswa, untuk berhenti membaca atau peduli pada permasalahan bangsa kita. Bukan! Kalau pengetahuan itu berhubungan dengan bidang atau pekerjaan, tentu saja harus tahu. Tapi apakah memang kita harus tahu segala? Percaya deh, membaca koran sekali seminggu, dan hanya membaca judul-judulnya saja, itu lebih dari cukup. Perang masih ada, demonstrasi masih ada, kemiskinan masih ada, ketidakadilan juga sama saja. Hanya pelaku dan tempatnya saja yang mungkin berubah. Perlu dibilang tidak ya, saya ini tidak tahu siapa mentri keuangan kita sekarang. Nanti deh, kalau beliau sudah membuat gebrakan mendasar atau mendapat gelar mentri keuangan terbaik se Asia, bagaimanapun jalannya, akan sampai juga infonya ke saya.

Ada lelucon yang kurang lucu yang saya baca entah di mana. Di suatu acara penting di Jakarta, acara tidak juga dimulai. Seorang peserta bertanya, tunggu apa lagi sih, yang dijawab temannya bahwa kita sedang menunggu wakil presiden. Si penanya itu berkata lagi, “Lha, itu, Pak Jusuf Kalla sudah datang, kok.” “Wakil Presiden kita namanya Boediono,” temannya membetulkan. “Oh ya? Sejak kapan ganti?” Hahaha, ini sih keterlaluan.

Kembali ke koran dan televisi. Walaupun sengaja mengurangi, bukan berarti saya sama sekali tidak membaca atau nonton. Salah satu alasan kenapa saya teratur makan di restoran padang adalah karena ada televisinya di sana. Saya selalu memilih meja yang menghadap televisi. Kalau meja itu sudah ditempati saya jadi kecewa dan ingin menegur orang itu agar pindah. Untung cepat sadar, hehehe. Juga, ketika teman saya memberi tahu ada artikel yang menarik di koran, saya pergi ke sebuah kafe di sore harinya. Pesannya cuma keik dan teh karena memang tidak bermaksud makan malam di situ. Sudah itu segera mengambil koran dan mencari artikel yang dimaksud. Toleh kiri toleh kanan, merasa keadaan aman, cepat-cepat koran itu saya masukkan ke dalam tas. Pembelaan saya adalah, waktu itu sudah sore menjelang malam, sebentar lagi juga korannya kadaluwarsa. Hehehe, ini jangan ditiru, kawan. Tapi ini bukan berarti saya cuma mau yang gratisan lho. Pemilik restoran padang itu senang karena saya sudah jadi pelanggan tetapnya. Pemilik kafe itu juga tidak rugi-rugi amat, karena harga korannya cuma enam ribu sedangkan saya bayar hampir lima puluh ribu untuk keik dan teh. Dan, sesudah nonton televisi dan baca artikel di koran itu saya semakin yakin dengan pilihan saya bahwa yang terbaik adalah mengurangi televisi dan koran sebisa-bisanya.

Lalu, kalau sudah berhenti baca koran, apa saja yang dibaca? Wah, banyak! Kandungan gizi pada minuman dan makanan dalam kemasan, misalnya. Atau petunjuk arah menuju toilet di mall. Atau mencari arti kata dalam kamus. Hehehe, ya tidak cuma itu. Ketika ingin belajar photoshop saya membaca buku mengenai photoshop, ketika diminta menulis tentang alpukat ya saya membaca buku tentang buah ini. Novel dan fiksi juga masih baca, siapa tahu jadi ketularan pintar menulis novel nantinya. Tapi, um… saya masih baca Bali Advertiser ding. Walaupun bentuknya koran, Bali Advertiser tidak seperti koran pada umumnya. Media yang terbit setiap dua minggu serta terutama ditujukan untuk para ekspat di Bali ini 85% isinya adalah iklan. Sisanya ramalan bintang, budaya Indonesia, tips-tips praktis, artikel “Say What?” yang menjawab persoalan pribadi, dan resep makanan. Berita lokal maupun mancanegara sedikit sekali. Jadi, menurut definisi saya, koran ini tidak termasuk koran betulan.

Ada dua alasan kenapa saya suka baca koran ini. Saya selalu tertarik dengan pandangan serta komentar orang asing mengenai bagaimana mereka melihat kita. Yang tadinya tidak disadari dan biasa-biasa saja sekarang jadi sesuatu yang menarik untuk dipikirkan. Misalnya ada orang Jepang yang berkomentar bahwa orang Indonesia suka sekali duduk. Dalam buku pelajaran di sekolah pun diberi ilustrasi keluarga bahagia dengan ayah yang duduk di sofa, ibu yang duduk di kursi sambil menyulam, kakak duduk di bangku pendek, adik duduk di lantai. Wah, betul juga. Kalau kita bertamu begitu masuk bukankah langsung dipersilakan duduk? Di percetakan, di agen perjalanan, di salon, sambil menunggu juga dipersilakan duduk. Memberi kursi berarti memberi penghormatan. Walaupun saya tidak ingin duduk dan lebih suka berdiri saja, mereka berulang-ulang menyuruh saya duduk. Ya sudah, turuti saja.

Ada juga tulisan yang membuka rahasia bahwa banyak orang Bali yang tidak patuh pada Hari Nyepi. Walaupun sering dipuji sebagai satu-satunya yang tidak merayakan tahun barunya dengan hura-hura, ternyata banyak di antara mereka yang menumpuk stok untuk melewati hari ini. Ya stok makanan, ya stok DVD. Nah lo, ketahuan….

Alasan kedua, saya sudah lama tergila-gila pada iklan yang sifatnya personal. Baru di koran ini saya tahu bahwa apa saja bisa diiklankan. Ada perempuan yang mau menjual baju-bajunya yang berukuran kecil karena akan pindah (bukan karena sudah gemuk). Ada yang menawarkan anjing untuk diadopsi. Anjing ini pintar dan terdidik dengan baik, katanya. Ada yang memberi tahu bahwa dia mengumpulkan plastik-plastik bekas, bersedia membayar lagi. Ada yang memberi info bahwa masih ada tempat dalam kontainer yang akan berangkat menuju Brisbane. Ada yang freezernya bocor karena tertusuk pisau dan mencari orang yang bisa membetulkan serta mengisi gasnya kembali. “I know this can be done,” tulisnya setengah memaksa. (Saya tahu memang bisa karena kakak saya pernah punya masalah yang sama. Perlu diinfokan tidak ya?). Ada bapak tua yang membutuhkan perempuan pendamping, maksudnya bukan istri lho, yang bisa berbicara Prancis. Ada juga iklan yang didonasikan oleh korannya sendiri. Ini adalah iklan-iklan mencari donor darah Rh negatif yang jarang di sini, serta program penyembuhan gratis untuk para pecandu alkohol dan narkoba. Lengkap kan? Dengan membaca iklan-iklan ini saya jadi merasa lebih mengenal manusia. Apa harapan mereka, apa kekhawatiran mereka, apa kebutuhan mereka, apa kegembiraan mereka, apa ketakutan mereka. Akhirnya, saya temukan sudah bacaan favorit saya, yaitu… iklan. :)

3 komentar:

  1. Heran deh....kenapa kita banyak kesamaan ya. saya sudah beberapa tahun tidak nonton televisi lho. mungkin 4 tahunan. Memang kurang ada manfaatnya.

    Meski pekerjaan saya wartawan saya juga angat jarang baca koran. Kalaupun sesekali adalah portal.. hehehe...


    salam


    tjapooenk.blogspot.com

    BalasHapus
  2. Waduh, jadi wartawan kok malah buka rahasia begitu hehehe. Memang banyak persamaan. Saya juga ikutan MMD lho.

    BalasHapus
  3. tjapoenk.blogspot.com13 Juli 2012 pukul 00.57

    waduh....ini siapa to? :) penasaran deh.

    BalasHapus