Rabu, 07 November 2012

Di Keramaian


Saya tidak suka orang-orang yang berkumpul sampai banyak sekali. Pernah jalan-jalan di sekitar pertokoan dekat alun-alun Bandung menjelang buka puasa seminggu sebelum Lebaran? Selamat menikmati! Benar-benar seperti cendol. Berdesak-desakan, sampai bernapas juga susah. Kapok deh. Pengalaman yang mirip seperti ini harus saya jalani seminggu sekali selama satu semester di zaman saya matrikulasi dulu. Matrikulasinya di Jakarta dari hari Senin sampai Jumat, sedangkan setiap hari Sabtu ada kuliah matrikulasi lagi di Depok. Untuk pergi kuliah yang ini kami semua yang kos di Jakarta menggunakan kereta KRL jurusan Salemba-Depok. Haduh... baunya, sesaknya, keringatannya, sikut-sikutannya! Sampai sekarang perasaan saya campur aduk kalau ada orang yang naik kereta ini setiap hari. Antara kasihan, kagum akan keuletannya, dan bersyukur karena saya tidak perlu begitu lagi.

Di mana ada banyak orang berkumpul, di sana ada bunyi-bunyian ribut. Kalau soal ribut-ribut ini, ternyata tidak hanya ada di fasilitas minim kelas menengah ke bawah saja seperti kereta api kelas ekonomi, pasar malam, atau alun-alun. Mall-mall yang dianggap elit itu sama saja. Entah PVJ dan BSM di Bandung atau Galeria di Denpasar. Ada saja tempat yang memasang pengeras suara sampai pol, terus MC-nya teriak-teriak. Atau toko-toko yang dengan entengnya memutar lagu dengan sekencang-kencangnya. Apalagi kalau menjelang hari besar agama. Saking tidak sukanya pada bunyi ribut ini, saya rela melewati Lebaran tanpa baju baru, daripada belanja mepet sebelum Lebaran. Sampai sekarang saya tidak mengerti, kenapa banyak orang suka ramai-ramai dan ribut-ribut?

Herannya, di Ubud ini saya bisa menikmati keramaian. Waktu itu dengan teman saya pergi ke Pasar Ubud untuk pertama kali. Berangkatnya pagi-pagi. Ternyata pasarnya ramai sekali. Motor yang parkir di depan pasar sampai berlapis tiga. Orang asing sedikit sekali sedangkan penduduk lokalnya banyak sekali, beda dengan situasi sore hari. Di depan pasar banyak mobil bak terbuka yang dipakai jualan sayur, buah dan bunga-bunga yang dirontokkan kelopaknya untuk keperluan sesajen. Ada juga mobil yang mengangkut anak-anak babi dalam kandang bambu. Lucu juga mereka dengan kulit warna merah muda dan hidung basah yang selalu mendengus-dengus. Tapi, baunya minta ampun!

Pasar tradisional memang menarik, asal saja jangan terlalu kotor dan bau. Di pasar ini saya lihat beberapa turis asing dalam kelompok-kelompok kecil ditemani oleh pegawai hotel yang berseragam asisten koki. Mungkin mereka ini peserta kursus masak yang digiring untuk melihat-lihat pasar sebelum acara utamanya digelar. Saya tidak melihat mereka membawa keranjang belanja. Ada seorang yang bawa keranjang, tapi isinya cuma daun pisang. Saya bisa membayangkan pelajaran memasak mereka. Kokinya berkata, “Ibu-ibu dan Bapak-bapak, sekarang kita akan mulai memasak hidangan Bali yang eksotik. Anda semua sudah melihat pasar di mana keperluan dapur Bali diperoleh. Tapi jangan kuatir, semua bahan yang kita gunakan di sini berasal dari supermarket yang terjaga mutu dan kesegarannya.” Hehehe.

Keramaian lainnya saya datangi karena kebetulan. Waktu sedang putar-putar sedikit di luar Ubud, kami melihat orang-orang berkumpul. Kami yang tidak diundang ini mendekat sambil celingukan dan cari info acara apa yang sedang digelar. Ternyata itu pasar malam yang sederhana sekali, diselenggarakan untuk mengumpulkan dana perbaikan pura desa. Orang bisa membeli kupon seharga 10 ribu dengan hadiah utama motor. Kami membeli kupon masing-masing satu. Puncak acara yang ditunggu-tunggu adalah acara joget. Yiiha! Sambil menunggu saya melihat-lihat jualan. Saya ditawari main judi yang kebanyakan pesertanya mempertaruhkan uang dua ribuan. Saya tolak, alasannya mau lihat dulu permainannya. Ternyata menebak gambar binatang. Orang menaruh uang taruhannya pada kotak bergambar binatang yang dipilihnya. Sepertinya yang bertaruh jarang sekali menang, tapi kok tidak kapok-kapok juga, ya.

Sudah beberapa kali saya mendengar tentang joget. Dalam bayangan saya, itu adalah pertunjukan musik dan penyanyi dangdut berpakaian seronok yang mengajak para penonton terlarut dalam goyangan joget sambil mata merem melek. Tapi ternyata penarinya berkostum tari tradisional dan menari di hadapan laki-laki yang diundangnya ke panggung yang sekali-kali mencoleknya. Kalau colekan itu sudah keterlaluan, dipukulnya dengan kipas. Hm, ini sih namanya ronggeng atau tayub kalau di Pulau Jawa. Kebetulan waktu itu saya sedang membaca buku tentang ronggeng di Pantura Jawa Barat. Jadi saya sangat tertarik. Saya sampai naik ke atas bangku supaya bisa melihat lebih jelas, sambil menahan malu karena teman saya memanjat adalah anak-anak kecil. Para perempuan dewasanya semua berkebaya dan berdiri tenang. Mungkin mereka tidak mau memanjat karena repot ya, kan pakai sarung? Acara hura-hura ini termasuk sakral juga, jadi sarung itu wajib.

Akhirnya, keramaian ketiga yang saya ikuti adalah upacara piodalan. Tempatnya tidak jauh, dipusatkan di bale desa yang sehari-harinya digunakan bapak-bapak untuk kumpul sambil ngobrol, nonton TV, main kartu atau bengong saja. Bale yang kecil itu dijadikan tempat gamelan. Alat musik yang tidak tertampung diletakkan di mana saja di pinggir jalan. Peserta upacara semua duduk di tanah sampai mengisi setengah badan jalan. Pecalang mengatur lalu lintas mobil dengan memakai sistem buka tutup. Saya memandang upacara ini sebagai darurat dan heran kenapa tidak diselenggarakan di pura saja yang lebih luas dan tertutup, tapi buat mereka ini biasa-biasa saja.

Seperti biasa upacara dimulai dengan tarian yang dibawakan oleh anak-anak. Ada yang muda sekali, mungkin baru 5 tahun umurnya. Yang kecil-kecil ini cuma muter-muter saja sambil menggerakkan tangan seadanya. Lia yang menari di sini tidak bisa merentangkan lengannya dengan leluasa. Bagaimana ya rasanya menari seperti itu? Merentangkan tangan kanan, kena pagar tanaman. Merentangkan tangan kiri, kena orang-orang yang enak saja  seliweran. Saya juga kerepotan sekali waktu kehausan dan ingin beli air kemasan di warung. Saya nyelip-nyelip cari jalan di antara orang-orang yang bersimpuh. Beberapa kali saya menginjak kaki atau tangan mereka. Sambil jalan saya merasa sarung yang saya pakai ujungnya semakin lama semakin naik, naik, naik terus sampai ke lutut. Salah tingkah saya jadinya. Sampai di warung saya tarik-tarik sarung saya supaya turun lagi. Ibu penjaga warung bilang tidak usah ditarik-tarik, gaya baru memang begitu. Bener nih, Bu? Nggak yakin nih. Saya belum menguasai teknik memakai sarung cara baru ini. Sarung hanya sampai tengah betis, ujung kainnya serong. Keuntungannya kaki bisa melangkah dengan lebar, tidak seperti memakai sarung sampai ke mata kaki. Ngomong-ngomong, perempuan Bali itu seksi sekali lho kalau pakai kebaya ke pura untuk upacara. Tapi kalau ke pantai tidak ada yang mau pakai baju renang. Apa tidak terbalik, ya?

Waktu doa sedang dilangsungkan ada sepasang turis asing duduk di samping saya. Mereka tidak bawa banten, jadi yang dipakai adalah kipas yang dibuka lebar sebagai alas. Sebagai ganti bunga-bungaan mereka meletakkan sebiji salak dan roti yang disobek-sobek. Untung mereka bawa dupa, kalau tidak terpaksa deh pakai rokok. Bisa-bisa dewa marah karena tidak suka baunya.

Ternyata keramaian itu bisa juga dinikmati. Saya yang lebih suka suasana tenang dan teratur biasa saja melihat ada orang lewat di tengah-tengah upacara. Duduk saja harus geser-geser terus untuk memberi jalan pada sepeda motor dan mobil. Makan, minum, ngobrol di tengah upacara juga tidak apa-apa. Santai aja, lagi!

Jumat, 02 November 2012

Telanjang


Hari ini saya memeriksa statistik pengunjung yang membaca blog saya. Mau tahu tulisan mana yang paling banyak dibaca orang? Sampai pembacanya berlipat-lipat puluhan kali dibanding tulisan lain? Yak, betul, itu adalah tulisan yang berjudul Dengan atau Tanpa Baju, Silakan Pilih. Judul yang saya pilih tanpa maksud tertentu itu ternyata hasilnya di luar dugaan. Geli juga saya, kok orang mudah tertarik dengan judul semacam ini. Sayangnya, pasti banyak yang kecele membaca tulisan itu dan komentarnya adalah, 'Ah, cuma gitu doang. Kirain bakalan seru.' Mungkin beberapa orang malah merasa jengkel, dikiranya akan diberi kebebasan memilih dan menikmati keindahan wanita. Sepertinya banyak yang membaca tulisan itu karena tersesat. Ini terlihat dari statistik yang melacak pembaca blog melalui kata kunci. Salah satu kata kunci yang diketik oleh pembaca adalah foto-foto para pemijat cantik tanpa busana. Aw, salah pilih blog, Mas. Kok malah ke sini?

Adik saya pernah mengunjungi saya di Ubud bersama dua orang rekan kerjanya, satu laki-laki dan satu perempuan. Saya ajak mereka ke museum Antonio Blanco. Sepanjang perjalanan pulang, yang laki-laki terus berkomentar soal lukisan-lukisan tanpa busana Blanco. "Apa nggak malu, ya. Apa nggak dosa, ya. Itu kan istrinya sendiri. Memang dapat uang, tapi soal dosa gimana?" Begitu terus diulang-ulang. Ini kan membuktikan bahwa dia terkesan sekali dengan lukisan-lukisan tadi? Sampai gambarannya tidak hilang-hilang dari otaknya, dibolak-balik dan diolah terus. Dia juga tadi yang ketawa-ketawa mesum ketika seorang penjaga museum memberi teka-teki nakal mengenai salah satu lukisan.

Setelah itu saya juga dikirimi, atau lebih tepatnya lagi dititipi, oleh adik saya. Kali ini adalah bosnya, seorang perempuan Jepang. Karena dia bilang suka museum, dan menurut saya salah satu museum yang terbaik di Ubud adalah Museum Blanco, lagi-lagi dia saya ajak ke sana. Saya langsung tahu dia benar-benar suka lukisan. Saya memberinya waktu dan jarak, saya biarkan dia berlama-lama berdiri di setiap lukisan dan saya mengambil jurusan yang berbeda. Saya tahu betapa risinya kalau ada orang tepat di belakang kita memandang lukisan yang sama, apalagi kalau orang itu buru-buru dan ingin mendesak saja kerjanya. Atau, malah ribut membahas lukisan yang sedang kita pandangi. Jadi, ketika bos adik saya ini mengambil arah ke kanan, saya ke kiri. Walaupun sudah beberapa kali pergi ke museum ini, saya tidak bosan dan masih saja merasa kagum. Tapi bukan kagum model teman sekantor adik saya tadi, yang pura-pura anti padahal suka.

Teman sekamar saya di retret selama seminggu bulan September kemarin namanya Nina. Dia orang Inggris tapi sudah dua tahun tinggal di Australia. Selesai mengorganisasi sebuah festival di sana dan menabung sejumlah uang, dia ke Bali dan akhirnya nyangkut di retret ini. Sesudah retret dia akan ke India untuk belajar ilmu yoga dengan serius. Dia bilang, dia hidup hanya untuk di saat ini. Menikmati apa yang ada tanpa kuatir akan masa depan. Sepertinya dia memanfaatkan retret ini sebaik-baiknya. Waktu makan malam bersama, meskipun masih diperbolehkan bicara, dia sudah memilih tempat di pojokan dan makan sendirian.

Nina punya tato naga besar dan bagus sekali di pergelangan kaki kirinya. Dia tidur tanpa memakai pakaian, cuma sehelai sarung yang dipakai sebagai selimut. Memang di sini lumayan panas, juga untuk saya yang sudah biasa dengan udara Ubud. Kipas angin terus bekerja siang malam, meskipun malam-malam saya sering kedinginan dan mematikan kipas. Waktu bangun kipasnya sudah jalan lagi. Nina yang menghidupkannya. Nina berjalan ke kamar mandi setiap pagi dengan menyelubungi tubuhnya dengan sarung, tapi dia sering lupa menutupi tubuh bagian belakangnya sehingga saya bisa melihat bokongnya. Sepertinya dia tidak begitu peduli.

Selama delapan hari hanya dua kali saya bicara padanya. Pertama untuk minta maaf karena rambut panjang saya bertebaran di mana-mana dan dia harus memungutinya dari ujung sapu ketika bersih-bersih dan membuangnya di tempat sampah. Kedua waktu kelihatannya dia mau ke kamar mandi tapi saya sedang berdiri di depan lemari sehingga menghalangi jalannya. Saya menyingkir dan mempersilakannya menggunakan kamar mandi. Kalau saya dua kali buka mulut, Nina hanya mengeluarkan bunyi-bunyian tanpa buka mulut di dua hari terakhir. Dia bersenandung. Pasti karena capek terus membisu selama seminggu ini, hehehe.

Meditasi terakhir yang dilakukan di udara terbuka selesai dan wejangan sudah disampaikan. Retret berakhir. Kami spontan bersalaman sambil menyebutkan nama masing-masing. Lucu juga, delapan hari bersama-sama kenalannya baru sekarang. Saya cari-cari Nina, di mana dia ya? Oh, itu dia di sana dengan seseorang yang kemudian memperkenalkan diri sebagai Michal. Saya sapa Nina dan kami berangkulan. Semua rasa penasaran dan komentar yang dipendam keluar semua. Nina curhat, katanya di hari terkahir dia maju dengan gemas menghadap guru untuk menyatakan frustrasinya. "Kenapa, kenapa, oh kenapa (dia benar-benar bilang kenapa tiga kali), justru di hari-hari terakhir saya merasa gelisah dan ingin bicara, ingin bergerak terus dan menari-nari?" Kami melanjutkan pembicaraan di kamar Michal dan sepakat bahwa itu adalah perasaan di hari-hari terakhir, ketika sudah lelah mengamati diri sendiri selama seminggu.

"Aku ingin berdansa! Aku ingin menari! Aku ingin menyanyi!" seru Nina dengan ekspresif. Ditambahkannya lagi, "Aku akan berjalan seperti ini. Aku buka bajuku satu persatu, aku lempar ke atas rumput. Kemudian aku duduk telanjang dan bermeditasi." Diperagakannya kata-katanya itu sambil berjalan keluar dari pintu dan menirukan penari striptease yang membuka pakaiannya dengan sangat provokatif. Saat itu teman sekamar Michal masuk. Dipandangnya berkali-kali pintu tempat Nina barusan keluar. "Siapa dia? Benar dia meditasi sambil telanjang?" Saya berpandang-pandangan dengan Michal. Tak tahan lagi, kami pun tertawa terbahak-bahak.

Untuk merayakan selesainya retret, dengan beberapa orang lainnya kami ingin pergi ke sumber air panas. Saya duduk di tempat tidur sambil memeriksa buku Lonely Planet punya Nina, sementara dia sedang di kamar mandi. "Di mana sumbernya? Kok tidak ada di sini?" tanya saya. Nina keluar dari kamar mandi untuk menunjukkan di halaman mana saya harus memeriksa. Kali ini dia benar-benar telanjang, tidak ada sarung yang menutupi tubuhnya. Saya cuma melirik sedikit dan menunduk lagi memandangi halaman buku. Setelah memakai bikininya, Nina pergi ke teras untuk menghirup udara segar. Kami pergi ke sumber air panas dengan mobil sewaan, sedangkan Nina berangkat dengan mengendarai motor besarnya. Pantesan, saya lihat di bawah meja kami ada jaket kulit warna merah. Rupanya dia datang ke retret dengan mengendarai motor.

Nah, sekarang mengenai judul tulisan ini. Kenapa Telanjang? Bukannya itu untuk menarik orang agar mau membaca? Cis! (sambil menirukan sebuah adegan dari film jadul) maaf ya, saya tidak serendah itu. Tulisan ini memang bicara soal telanjang. Ya sudah, judulnya itu saja. Tidak perlu diperhalus atau distilisasi, hehehe. Kalau ada yang kesasar lagi dan merasa kecewa atau tertipu karena merasa judulnya beda dengan isinya, ya, maaf saja. Cuma, saya heran pada orang-orang yang selalu mengasosiasikan telanjang dengan mesum, lalu tertawa-tawa dengan ekspresi yang... gitu, deh. Melihatnya perut saya jadi mulas dan merasa bahwa ekspresinya lebih mesum dari telanjangnya sendiri.