Kamis, 29 Oktober 2015

Jack

Sebelum pindah ke rumah yang saya tempati sekarang ini saya memikirkan satu persoalan dengan serius. Apakah akan mulai memelihara kucing? Kucing saya rasa cocok untuk dipelihara karena tidak terlalu repot mengurusnya dibandingkan dengan kalau memelihara anjing. Ada teman kerja yang mau pulang ke negara asalnya dan dia juga sedang pusing memikirkan nasib dua ekor kucingnya, karena masih belum ada orang yang bersedia mengadopsi. Repotnya, dua ekor kucing ini tidak boleh dipisahkan. “Mereka sejak kecil tumbuh bersama,” katanya menerangkan. Saya belum siap untuk memelihara dua ekor kucing jadi tawarannya tidak saya ambil. Pilihan lainnya adalah keluarga kucing yang tidak punya majikan tetap dan senang bersantai-santai di teras rumah saya. Satu induk kucing dan dua ekor anaknya yang masih kecil. Salah satu anaknya akan saya bawa. Teman saya tidak mendukung. Mending ambil dari penampungan kucing saja, yang sudah divaksin, begitu pendapatnya. Iya sih, tapi kucing-kucing ini meskipun masih liar sudah sering saya kasih makan. Gimana, ya? Saya terus berpikir. “Susah nangkapnya!” katanya mengambil keputusan terakhir. Ah, bilang aja malas. Nangkap kucing apa susahnya sih. Memang saya sudah menyebut-nyebut dialah yang bertanggungjawab akan kesejahteraan kucing itu kalau saya sedang ke luar kota, datang ke rumah tiap hari untuk mengecek. Terang saja dia malas.

Sambil pindahan saya masih menimbang-nimbang apakah harus membawa anak kucing itu. Tidak jadi. Akhirnya keputusan ini malah menguntungkan. Soalnya sekarang saya punya binatang yang sering menemani tapi tidak perlu memberinya makan dan menyediakan semua keperluannya. Enak kan? Namanya Jack. Dia peliharaan Mawar, yang tinggal selang satu rumah dari rumah saya. Dia blasteran antara anjing bali dan anjing ras. Warnanya kuning. Itu kalau dalam keadaan biasa dan kering, tidak ditutupi lumpur sawah yang hitam kecoklatan. Pernah satu kali, sekitar jam sembilan Jack mendengking-dengking di depan pintu pagar minta masuk. Saya datang untuk memeriksa. Dia mengibas-ngibaskan ekornya, senang menyambut saya. Tapi badannya penuh lumpur, seluruhnya sampai ke muka dan ekornya. Baunya gak enak.
“Tunggu, Jack. Tunggu. Tunggu, ya,” kata saya bersemangat.
Saya lari masuk ke rumah. Jack menggoyang-goyang ekor dengan senang, tahu saya pergi untuk mengambil kunci pintu pagar. Saya datang lagi mendekatinya dengan HP di tangan. Ceklik, ceklik, ceklik. Tiga jepretan.
“Sori, Jack. Kamu kotor sekali, hari ini gak boleh masuk.” Lalu pergi meninggalkannya.
Jack kaget sekali, tidak menyangka saya setega itu. Dia menggonggong protes satu kali. Lalu menunggu selama sepuluh menit dengan sabar, siapa tahu saya berubah pikiran. Saya intip dia dari balik gorden. Akhirnya dia pergi juga.


Jack yang penuh lumpur
Jack bisa sekotor itu karena habis mengejar-ngejar bebek di sawah yang baru selesai dipanen. Kalau bebek-bebek yang tadinya ribut berkwekkwekkwek lalu tidak terdengar lagi suaranya, itu artinya mereka sudah kenyang dan sedang beristirahat. Kalau mereka tiba-tiba berteriak-teriak lagi dengan panik sambil berhamburan ke mana-mana, itu artinya Jack sedang mengejar mereka untuk hiburan gratisnya pada waktu bosan. Tapi Jack bukan anjing yang tidak tahu aturan. Dia sopan, sangat sopan malah. Itu yang membuat saya jadi gak tegaan. Di awal-awal dulu saya punya aturan untuk Jack, tidak boleh masuk rumah. Paling jauh sampai di teras saja. Jack tidak membantah, cuma melirik ke atas dengan mata sangat memelas.
 “Beneran, gak boleh…?” katanya sambil matanya melirik dengan rendah hati namun penuh harap.
“Yaa… sudahlah,” saya mengalah.
Jack masuk dengan senang. Tak terasa tangan saya meremas-remas kupingnya dan lipatan di dekat lehernya. Dia senang sekali. Sama senangnya kalau dia dengar saya buka pintu pagar yang selalu berderit kalau dibuka tutup. Dia datang dari rumahnya sendiri untuk menjemput. Ekornya bergoyang-goyang. Matanya yang biasanya sendu dan sering bikin saya tidak tega tanpa tahu untuk alasan apa sekarang berseri-seri. Mulutnya menyeringai. Mau ke mana nih sekarang, sepertinya itu yang ingin dia katakan. Dia tidak pernah mengikuti saya. Dia lebih senang berjalan di depan sambil sesekali menoleh ke belakang melihat ke mana saya pergi dan yang lebih penting lagi, memastikan saya masih ada di belakang dan tidak kabur darinya. Ke rumahnya untuk bertemu Mawar? Tidak. Belok kanan menuju rumah Rima? Tidak. Bagus! Jadi kita pergi jalan-jalan ke sawah kan?

Dia paling senang kalau diajak jalan-jalan ke sawah. Begitu sudah tahu tujuan saya dia berlari kencang duluan di dinding semen saluran irigasi yang sempit sementara saya harus jalan pelan dan hati-hati supaya tidak jatuh. Setelah lama mengendus-endus semak-semak ke sana ke mari Jack lari kencang mendatangi saya lagi. Kalau saya masih mau terus dia bersedia berbalik arah. Pergi ke mana saja tidak masalah buat dia selama punya kesempatan banyak untuk mengendus-endus dan lari-lari. Sedang saya mengagumi kecepatan larinya tanpa sedikitpun terpeleset, eh… saya lihat dia salah ambil ancang-ancang. Kedua kaki belakangnya terperosok ke saluran irigasi. Dia menarik badannya ke atas sambil melirik malu ke arah saya. Hahaha, sekali ini bisa luput juga dia.

Sekali waktu saya sudah siap jalan-jalan dengan Jack, ternyata Si Putih sudah menunggu. Dia adalah anjing betina yang tinggalnya agak jauh dan sekali-sekali pergi main di dekat rumah kami. Saya sering lihat Jack dan Si Putih main bersama-sama dan kejar-kejaran di sawah tanpa padi karena habis dipanen. Kadang-kadang ada beberapa anjing lain yang ikut bergabung tapi perhatian Jack cuma tertumpah pada Si Putih. Anehnya kali ini Jack tidak peduli pada Si Putih. Dia terus mengikuti saya padahal Si Putih terus berusaha mengingatkan Jack kalau dia ada di sana. Sampai acara jalan-jalannya selesai dan kami sudah pulang menuju rumah, Jack tetap mengabaikan Si Putih. Bisa-bisa Si Putih sakit hati dan lain kali tidak akan mau repot-repot lagi berkunjung untuk main bersama. Bukan salah saya lo, karena saya tidak pernah mengekang dan selalu memberinya kesempatan bergaul dengan siapa saja.

Jack sekarang sudah jarang datang dalam keadaan berlumpur. Saya rasa ini bukan karena dia jarang mengejar-ngejar bebek, tapi karena sawahnya tidak berair lagi. Saya perhatikan di beberapa tempat saluran irigasi ditutup dan air dibelokkan ke jurusan lain ke saluran yang mengairi petak-petak sawah yang masih membutuhkan air. Jack ternyata pernah pergi juga ke petak sawah ini. Dia tertangkap basah dalam keadaan berlumpur sedang tiduran di teras saya.
“Pergi, Jack,” kata saya. Jack langsung menurut. Saya masuk ke rumah, ambil minum, dan keluar lagi ke teras. Eh, ternyata Jack sudah ada di sana lagi. Untuk sampai ke teras ada tiga anak tangga yang harus didaki, seperti layaknya rumah-rumah di Bali. Satu kaki depannya yang sebelah kanan sudah berada di anak tangga nomor dua. Dia berhenti dalam adegan slow motion ini seakan tombol pause-nya saya tekan. Matanya melirik pada saya.
 “Boleh?” tanyanya.
“Gak!” kata saya galak dan memberi isyarat mengusir.
Tanpa sakit hati dia meninggalkan rumah saya, juga meninggalkan saya dalam perasaan bersalah. Aduh, Si Jack ini….

Sekarang sudah berhari-hari saya tidak mengajak Jack jalan-jalan. Jalan-jalan ini waktunya memang harus pas, kalau bisa sebelum jam tujuh. Setelah itu matahari terasa panas. Kalau saya bangun siang atau sibuk dengan yang lain saya sering lupa. Jack datangnya juga lebih siang karena saya terlambat membuka pintu pagar. Dengan sabar dia menemani saya. Tingkahnya sopan dan kalem. Dia mendadak bersemangat kalau saya bilang, “Ayo, jalan-jalan!” biarpun matahari sebenarnya agak panas, baik pagi maupun sore. Dan selalu, dia berlari-lari kecil dengan sekali-sekali menoleh ke belakang.
“Masih di situ? Cepet dikit napa.”
Tapi itu diisyaratkannya dengan sabar. Karena Jack selalu sabar. Sesekali dia mendengking tidak jelas, lari menjauh, mendekat, menjauh lagi, mengajak saya lompat-lompat bersamanya. Sepertinya dia tidak sadar saya sudah terlalu tua untuk lompat-lompat. Tapi di sebagian besar kesempatan dia sibuk mengendus semak-semak sendirian sementara saya menikmati cahaya keemasan sinar matahari di atas daun-daun dan batang padi dan langit yang berubah warna menjelang matahari terbenam.