Kamis, 30 Agustus 2012

Negeri Para Raksasa, Roh dan Jin


Dalam satu hari, waktu yang paling saya suka adalah menjelang matahari terbenam. Semakin malam semakin suka saya pada suasananya. Apalagi kalau saat itu saya sedang dalam perjalanan di tempat yang agak sepi di daerah pedesaan yang jauh dari kota. Pohon lebat di kiri kanan, jurang dan lembah, jembatan kayu di atas sungai yang deras. Ini diselingi dengan kelompok rumah-rumah sederhana yang diterangi lampu yang suram, sedangkan orang hanya terlihat satu dua di sana-sini. Inilah saatnya ketika para raksana, jin dan makhluk halus lainnya berkeliaran, mengendap, dan mengintai orang-orang yang lengah.

Ada satu foto dari masa kecil yang sangat saya sukai dan saya simpan selama beberapa waktu. Foto yang diambil oleh ayah saya itu memperlihatkan saya bersama ibu, kakak, dan adik berpose di depan VW kodok berwarna putih yang diparkir di pinggir jalan. Latar belakangnya adalah sawah yang luas membentang. Langitnya hitam mendung, suram sekali. Semua warna diliputi oleh sapuan kelabu gelap. Suasana suram di foto itu begitu mencekam, bahkan senyum kami terlihat ragu-ragu. Saya ingat bahwa waktu itu kami segan sekali keluar mobil untuk diambil gambarnya.

Hari Galungan yang sekarang ini saya lewatkan dengan diam di rumah. Tidak seperti tahun lalu—yang saya maksud adalah tahun Bali yang lamanya lebih kurang 6 bulan Masehi—di mana pagi-pagi sudah keluar, sekarang saya tidak terlalu antusias dengan segala macam penjor. Baru pada sore harinya teman saya mengajak ke Ubud. Saya senang, pergi ke Ubud berarti bisa makan es krim Italia yang lembut dan enak sekali. Tapi karena motor kami terhalang kemacetan panjang yang disebabkan oleh rombongan barong, teman saya yang tidak sabar memutar motor dan kemudian berbelok ke kiri keluar dari kota Ubud. Motor dijalankannya berkilo-kilo meter. Haduh, mau ke mana ini? Saya tidak siap ke luar kota karena pakaian saya hanya celana pendek dan kaos. Untung di bagasi ada sehelai sarung, jadi saya ikatkan saja di bahu jadi semacam ponco. Teman saya juga meyakinkan saya bahwa kami tidak akan pergi sampai ke Kintamani. Terlalu jauh dan dingin.

Sedikit setelah melewati Tegallalang motor dibelokkan ke kiri. Suasana jadi berbeda. Jalan raya yang mulus digantikan dengan perkampungan dan pohon-pohon besar yang lebat. Menjelang matahari terbenam kami berhenti di sebuah pura. Gerbangnya yang dikunci hanya mengijinkan kami melongok melalui tembok yang tua dan tak terurus serta diliputi lumut ke pelatarannya yang sama suramnya. Dua raksasa menjaga gerbang itu, masing-masing membawa gada di tangannya. Mata mereka membelalak menyeramkan, mulutnya menyeringai memperlihatkan sepasang taring yang tajam. Saya merasa tidak diinginkan ada di sini. Sekelompok anak kecil ribut menyapa sambil melambaikan tangan dari kejauhan, meminta maaf atas sambutan raksasa yang kurang ramah.

Perjalanan dilanjutkan melewati jalan yang semakin sepi. Pohon-pohon beringin tumbuh lebat sekali, akarnya yang bergantungan menjulur ke bawah sampai menyentuh kepala kami. Sinar matahari yang hanya sedikit tersisa tidak sanggup menembus lebatnya dedaunan. Motor dijalankan pelan-pelan. Ketika lembabnya suasana hutan lebat terlewati, yang kami temukan adalah pura-pura kecil tak terurus yang berlumut dengan gerbang yang lagi-lagi dikunci. Kemudian muncul kelompok rumah-rumah, toko dan warung sederhana dengan lampu yang sudah dinyalakan. Jajaran penjor terlihat kurang meriah karena suasananya sudah menjelang malam. Kebanyakan rumah memiliki halaman yang bertembok yang menghalangi pandangan orang yang serba ingin tahu. Ketika ini pun terlewati, sawah terbentang luas di kejauhan. Di sebelah sana ada Pak Tani yang terlambat pulang ke rumah, dia memanggul karung besar sambil membawa celurit di tangan. Pembantu saya dulu sering menakut-nakuti bahwa petani di sawah yang membawa karung dan celurit ini menyembunyikan seorang anak kecil yang baru diculiknya di dalam karung. Ceritanya ini sanggup membuat saya cepat-cepat pulang begitu Magrib menjelang. Bahkan kalau bersepeda siang-siang, begitu melihat petani membawa karung saya cepat-cepat mengayuh sepeda pulang sambil ketakutan.

Kami kembali melewati jejeran rumah-rumah yang semua pintu dan jendelanya tertutup. Rumah-rumah itu juga mengingatkan saya pada waktu yang sudah lewat. Sebagai anak kecil, saya selalu terdiam dan terseret dalam imajinasi liar ketika dalam perjalanan dengan mobil dari Bandung ke Malang atau sebaliknya, bertahun-tahun yang lalu. Apa yang ada di dalam rumah-rumah berdinding bilik, berlantai tanah yang pintunya tertutup rapat itu? Mungkin di sana ada sepasang adik kakak yang sedang menunggu orang tuanya yang tidak pulang-pulang? Mungkin ada seorang ibu yang sedang menghidangkan nasi dan sayur bayam untuk seluruh keluarga yang semuanya diam? Mungkin ada kamar yang kotor dengan seseorang sedang berbaring di dipan? Ingin sekali rasanya saya tinggal di salah satu rumah itu, berbaju sederhana, bertelanjang kaki, dan tidak perlu sekolah.

Perjalanan bermotor terus dilanjutkan sampai kami tersadar bahwa kami tersesat. Di mana ini? Ada perempatan, tapi tidak ada petunjuk arah yang bisa kami ikuti. Kenapa pula mesti tersesat di tempat tidak ada orang untuk ditanyai ya. Untung tak lama kemudian ada seorang bapak tua datang menghampiri. Dia berpakaian rapi, mengenakan sarung dan ikat kepala. Suaranya ramah dan tidak pelit memberi informasi. Setelah bapak ini muncul beberapa orang juga, mereka berdatangan dan membentuk kelompok kecil. Rupanya mereka sedang menunggu barong, dan barong itu harus disambut sepantasnya dengan mengenakan pakaian adat yang layak. Kami pun melanjutkan perjalanan.

Kami bertemu juga dengan rombongan barong yang sedang ditunggu-tunggu itu. Barong muncul dari cahaya remang-remang dengan diiringi bunyi gamelan dan dikawal oleh ratusan orang. Tampilannya seperti singa dengan rambut tebal, putih dan panjang serta memakai berbagai perhiasan indah dari kaca warna-warni. Barong, raja dari segala macam roh. Sebagai pelindung manusia dia dihidupkan oleh roh yang merupakan pendamping seorang anak.. Baronglah yang mampu mengalahkan Rangda, sang Ratu Setan yang merupakan titisan Calon Arang yang jahat. Rangda menimbulkan mala petaka, banjir dan wabah penyakit. Peperangan di antara kedua makhluk luar biasa ini bersifat abadi. Kebaikan melawan Kejahatan.

Setelah memperhatikan sejenak kami tinggalkan pemandangan yang tak terlupakan itu. Kemeriahan musik dan pakaian warna-warni sekarang digantikan oleh malam yang semakin gelap dan udara dingin. Di siang hari tempat ini pasti indah sekali, terbukti dengan sebuah hotel yang sengaja didirikan di tebing pinggir jalan. Namun yang terlihat sekarang hanya jalan gelap yang terjal dengan pepohonan rapat, dan suara air sungai yang entah ada di mana. Lagi-lagi kepala saya disentuh halus oleh akar pohon beringin yang menggantung di atas, sementara motor terus meluncur perlahan. Kami berhenti sebentar ketika menemukan gerbang rumah yang indah beserta tempat sesajen yang dihiasi kain-kain cemerlang. Karena suasananya gelap gulita dan anjing menggonggongi kami dari balik tembok, tanpa berkata apa-apa kami bergegas pergi.

Akhirnya sampai juga ke jalan besar Tegallalang. Semuanya terang-benderang dan ramai. Penjor berjajar meriah sekali. Siapa sangka bahwa negeri para raksasa dan jin tadi hanya berada 8 kilometer dari hingar-bingar kota Ubud? Pasti saya akan kembali ke sana lagi, kalau bisa menjelang tengah malam, bukan menjelang Magrib.

Kamis, 23 Agustus 2012

Misteri Ingatan


Karena ingin variasi, pagi-pagi saya pergi ke pasar tradisional di Ubud. Seorang penjual tahu yang sudah kenal saya mengucapkan selamat lebaran. Saya tertegun. “Lebarannya besok, bukan sekarang,” jawab saya. “Bukan. Lebarannya sekarang. Memangnya Anda tidak merayakan? Kok tidak tahu?” pandangan matanya tajam sekali seperti menuduh. Cepat-cepat saya bilang bahwa saya pengikut Muhammadiyah yang merayakan Lebaran besok. Ibu itu mengiyakan saja. Untung dia tidak tahu bahwa Muhammadiyah biasanya berlebaran sehari lebih awal, bukan sehari terlambat.

Waduh, waduh, gawat ini. Saya langsung pulang dan minta diantar ke tempat shalat Idul Fitri. Sampai di sana tempatnya sudah penuh, maklum area yang tersedia agak sempit. Saya disuruh petugas untuk shalat Ied di Gianyar saja yang lebih lega tempatnya. Gianyar? Paling tidak perlu waktu 20 menit, belum lagi cari-cari tempatnya yang pasti. Sampai ke sana pasti terlambat juga. Ya sudah, pulang saja deh.

Beginilah akibatnya kalau tidak punya TV dan tidak suka baca koran. Tidak tahu perkembangan dunia luar! Saya bukannya tidak pernah memeriksa kalender (saya sudah punya kalender sekarang), tapi dari lirikan sekilas saja saya lihat bahwa hari Senin tanggal 20 ditandai dengan warna merah. Bodohnya saya, saya tidak sadar bahwa itu adalah libur hari raya kedua. Hari raya pertama jatuh di hari Minggu, dan dari zaman dulu sampai sekarang hari Minggu memang selalu ditandai warna merah. Makanya Neng, lain kali lebih teliti ya.

Ini bukan kejadian yang pertama kali. Baru saja tadi pagi seorang kenalan baru memberi saya dua buah coklat Bengbeng sebagai kado ulang tahun. Kado yang um… apa ya namanya? Sebut saja kreatif deh. Tidak apa-apa, yang penting kan perhatiannya. Kado itu diberikan lebih awal karena dia sudah mau berangkat ke pantai untuk berlibur. “Ulang tahun kamu sebenarnya hari Jumat kan?” katanya. Dengan agak bingung saya menghitung-hitung, sekarang hari apa ya? Untuk menutupi ketololan saya, saya bilang saya tahu ulang tahun saya tanggal 24, saya tahu itu jatuh minggu ini, tapi saya tidak biasa mengingat-ingat hari apa sekarang.

Saya punya prinsip bahwa mengingat hari itu cuma penting untuk orang yang sedang bersekolah atau bekerja kantoran. Saya dulu juga (hampir) selalu ingat akan hari. Tapi saya tidak pernah peduli mengenai tanggal kecuali kalau sudah mendekati ujian atau gajian, hehehe. Pernah saya datang kuliah di pagi hari Rabu padahal sebenarnya kuliah pagi itu setiap hari Kamis. Karena sudah terlambat saya tidak bisa duduk di bagian belakang, tempat favorit saya.  Biasa, mahasiswa kan berlomba-lomba duduk di belakang biar tidak ketahuan kalau ngantuk atau kalau pelajarannya susah. Dengan agak bosan saya mencatat uraian dosen yang gayanya sangat monoton dan baru sadar ada yang salah satu jam kemudian. Ini mata kuliah Statistik, bukan Ekonometrika! Padahal saya sudah lulus Statistik tahun lalu. Dosennya memang sama. Dan mata kuliahnya penuh dengan angka-angka yang juga mirip pemecahan soalnya. Saya tidak bisa menandai teman-teman sekelas karena saya menunda mengambil mata kuliah ini sampai tahun depannya sehingga para mahasiswanya tidak saya kenal. Mereka satu angkatan di bawah saya.

Bagaimana ya caranya supaya benar-benar pasti? Masa saya harus tanya ke tetangga sebelah, “Ini kuliah apa sih?” Pasti saya akan terlihat seperti orang tolol. Saya baru yakin ketika daftar absen datang dan tertera bahwa ini adalah kuliah Statistik. Sialan! Apakah saya harus menghabiskan satu setengah jam berikutnya dengan bertopang dagu dan bete mendengarkan uraian dosen yang sia-sia saja mengharapkannya mengucapkan sesuatu yang menarik? Akhirnya dengan nekat saya berjalan dari bangku paling depan ke pintu keluar yang terletak di belakang, dengan semua mata mengikuti langkah kaki saya. Kabuur!

Masih muda sudah pikun. Pergi kuliah dengan sepatu putih di kaki kiri dan sepatu hijau di kaki kanan juga pernah. Pergi kuliah naik mobil pribadi dan kemudian pulangnya naik angkot sementara mobil masih menunggu dengan sabar di tempat parkir juga pernah. Lupa bawa dompet dan baru sadar setelah berada di angkot sehingga terpaksa minta dibayari penumpang lain juga pernah. Tapi bukan berarti saya ini seperti profesor linglung, ya. Saya justru ingat hal-hal yang dilupakan oleh banyak orang. Saya ingat pada anak baru di SMA dulu yang aneh sekali dan tidak bisa bergaul, tapi sanggup membuat gadis paling cantik di kelas kami jatuh sakit keesokan harinya karena ditolak (ini cuma goyonan a la kelas kami, karena dua peristiwa itu hanya dihubung-hubungkan secara asal). Saya ingat ada murid dari kelas lain yang nyelonong masuk ke kelas kami ketika tidak ada guru dan kemudian berkotbah panjang lebar tentang surga dan neraka di depan semua murid. Saya ingat artikel di koran yang penerbitnya adalah kelas kami sendiri yang isinya memberi alternatif profesi yang bisa dipilih sesudah lulus, di antaranya buka bengkel ketok magic. Padahal ketika saya tes semua ingatan itu pada teman sekelas, dia tidak ingat sama sekali! Nah lho, bukankah ingatan itu sebuah misteri?

Saya kok tidak yakin bahwa tajamnya ingatan itu mutlak berhubungan dengan usia. Ada orang yang lebih mudah mengingat kejadian di masa lalu, tapi pelupa dengan detil-detil membosankan yang dianggapnya tidak penting. Seperti saya, hehehe. Kalau anak kecil, Intan misalnya, ingatan jenis apa yang bakalan lekat di otaknya ya? Dengan usianya yang empat tahun, apakah bertahun-tahun kemudian dia akan teringat pada seorang perempuan baik hati dari Bandung yang sering mengijinkannya bermain-main di kamarnya dan sering memutarkan film Ratatouille atau Garfield dan meladeni kecerewetannya? Apa dia juga ingat bahwa perempuan itu ternyata tidak sebaik yang kelihatannya, karena barang-barang yang menarik seperti kamera, tempat pinsil, cairan pembersih kaca, kosmetik, payung, kipas, mouse, teropong semuanya disingkarkan ke atas lemari supaya tidak bisa diraihnya? Kotak tisu saja disingkirkan ke sana!

Saya harap dia ingat yang baik-baik saja tentang saya. Kalau bisa, kebaikan saya itu jadi berlebihan dalam ingatannya nanti. Ini mungkin saja terjadi. Sering kan, ingatan masa kecil kita yang serba besar, serba indah, serba lucu, dan serba-serba lainnya kemudian terbukti tidak sesuai dengan kenyataan. Jangankan ingatan masa kecil, ingatan kita sebagai manusia dewasa saja kadang tidak bisa diandalkan. Saya pernah pergi ke pelosok Jawa Barat yang tidak direkomendasikan untuk turis. Jalannya berbatu-batu, sempit, turun naik dengan tikungan tajam. Di sebelah sana saya melihat hutan cemara kecil yang dihalangi kabut, dengan warna-warna seperti dari negeri dongeng tempat para peri tinggal. Waktu serasa berhenti beberapa detik. Tidak ada yang lebih saya inginkan selain kembali lagi ke sana. Ketika saya kembali minggu depannya, keajaiban itu tidak ada lagi. Hanya ada hutan kecil dengan warna hijau yang membosankan. Mengecewakan sekali. Jangan-jangan waktu itu saya hanya berkhayal saja, atau kena tenung.

Sabtu, 11 Agustus 2012

Soal Penampilan dan Kebiasaan


Ketika saya sedang bicara dengan adik saya di telepon, Ayu sedang berada di ruangan yang sama. Setelah pembicaraan selesai dia bertanya dengan kagum, “Bisa juga ya berbahasa Sunda?” Saya menerangkan bahwa itu Bahasa Jawa, bukan Sunda. Untuk menjawab pandangannya yang bingung dan meminta penjelasan lebih lanjut, saya menerangkan bahwa saya lahir di Jawa Timur, besar di Bandung, tapi sebenarnya asli Padang. Mendengar penjelasan saya itu Ayu kelihatan sedikit kecewa. Hey, ada apa gerangan?

Bandung itu katanya terkenal dengan perempuan-perempuannya yang cantik. Dan kabar kabur seperti ini ternyata sampai juga ke Bali. Sudah beberapa kali  ketika mengatakan Bandung sebagai asal saya, orang mengomentari bahwa orang Bandung cantik-cantik. Saya tidak keburu ge-er, kan yang dibilang cantik itu orang Bandung, bukan saya? Selain soal cantik ini, beberapa orang juga suaranya menjadi halus seperti merindu ketika mengatakan Bandung fashion-nya bagus-bagus, baik pakaian maupun barang-barang kulit seperti tas dan sepatu. Ada benarnya juga sih, bahkan ratusan turis Malaysia datang ke Bandung setiap hari untuk belanja baju, tas, sepatu, dan barang sejenis lainnya.

Kekecewaan Ayu di awal tulisan ini mudah dijelaskan. Terang saja dia kecewa karena ternyata saya bukan asli Bandung! Dibilang cantik, tentu saja membanggakan untuk orang (asli) Bandung. Sudah cantik-cantik, modis lagi. Suku yang juga sering dibilang dipenuhi oleh orang-orang cantik dan tampan adalah Palembang dan Manado. Kalau Manado saya sudah membuktikan sendiri. Bahkan sampai ke pelosok-pelosok, mencari orang yang ganteng tidak terlalu sulit.

Kalau sedang jalan sendirian di Ubud dan ditawari berbagai macam jasa baik pijat, taksi, maupun pertunjukan tari Bali dalam Bahasa Inggris, saya jadi sering merasa tidak enak. Apa yang salah ya? Cat rambut yang saya pakai terlalu pirang? Baju saya terlalu bergaya turis? Kaca mata hitam saya sebaiknya dibuka saja? Maklum, walaupun berkulit sawo matang, kuning, sipit, atau pesek, sekarang ini bisa saja ternyata dia adalah orang Amerika atau Denmark atau Jerman atau apa saja. Tapi kemudian saya menghibur diri. Orang-orang lokal di sini sangat jarang berjalan kaki. Kalau ke Ubud mereka hanya lewat atau pergi ke pasar atau pura, itu pun biasanya menggunakan sepeda motor. Yang berjalan kaki pasti disangka turis.

Dalam soal menebak kebangsaan, orang-orang bule itu menurut saya tidak begitu pintar dalam membedakan orang Asia menurut ciri-ciri fisiknya. Masa saya yang sudah jelas-jelas kulitnya coklat sering disangka orang Cina atau Jepang? Kalau kita kan sudah mengerti: Cina, Korea, Jepang, Taiwan itu satu kelompok, sedangkan Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, itu masuk ke kelompok yang lain. Ciri-cirinya beda banget! Ada juga sih orang Jepang yang mirip Indonesia atau orang Indonesia mirip Jepang, tapi itu kan cuma ‘kasus’. Tapi kalau dipikir-pikir memang tidak mudah membedakan kebangsaan seseorang. Saya juga tidak bisa membedakan orang Inggris dari orang Prancis atau Jerman misalnya, kecuali kalau mereka buka mulut dan bicara dalam bahasa masing-masing.

Tebak-tebakan soal kebangsaan ini cukup menarik buat saya. Dengan kesukaan orang Korea akan operasi plastik yang sudah terkenal itu, yang menimbulkan debat berkepanjangan sampai menjurus ke pertengkaran di internet, setiap melihat perempuan sangat cantik berkulit kuning dan halus sekali di Ubud saya langsung yakin bahwa dia adalah orang Korea. Apalagi kalau dia jalan-jalan dengan menggunakan sepatu super tinggi, baju panjang sifon berbunga atau berwarna ngejreng, tas modis dan bertopi yang serba aduhai! Konon orang-orang Korea sangat terobsesi dengan penampilan yang sempurna.

‘Dihakimi’ berdasarkan ciri-ciri fisik kadang tidak enak, tapi lebih tidak enak kalau penghakiman itu didasarkan pada adat dan kebiasaan. Misalnya, kalau ada orang yang ngotot menawar harga di pasar suvenir Ubud, banyak yang memastikan asalnya dari Cina. Bagaimana kalau ada seorang di antara mereka tersenyum dengan senang dan bertanya, “Kok tahu saya dari Cina?”, dan jawabannya adalah “karena Anda ngotot menawar,” tentu senyum itu segera lenyap dari wajahnya. Maklum, kebijakan ekonomi mereka adalah memberlakukan dumping dan devaluasi dengan sengaja, jadi harga-harga di negara kita (atau negara mana pun) jadi super mahal buat mereka. Kecuali yang kaya tentunya. Saran untuk orang Cina: kalau ingin beli barang murah di luar negeri beli saja produk Cina yang sudah ada di mana-mana. Dijamin murah :).

Saya pernah jadi korban penghakiman seperti itu juga. Ketika sedang ikut kelas bahasa internasional, gurunya mengajak kami menyebutkan klise tentang bangsa-bangsa yang pesertanya ada di kelas kami. Hasilnya adalah, orang Amerika ramah dan suka menyapa siapa saja, orang Jerman disiplin tapi agak kaku, orang Italia berbicara diiringi dengan gerak tangan dan sangat mencintai ibunya, orang Jepang rajin, tekun, bersih, teratur. Waktu giliran orang Indonesia, sebelum ada yang sempat bicara, gurunya langsung menyela, “orang Indonesia itu pokoknya semuanya kebalikan dari orang Jepang.” Wah, ini sudah termasuk pelecehan namanya! Heran deh, orang seperti itu kok bisa diterima mengajar di kelas internasional yang jelas-jelas pesertanya berasal dari mana-mana?

Tapi saya pikir tidak perlu juga marah-marah. Bersikap defensif tidak ada gunanya. Seperti teman saya Vita yang dengan ringan menceritakan kejadian nyata yang dialami suaminya. Selesai mengajar suaminya pergi ke tempat parkiran kampus. Dilihatnya ada orang di dalam mobil miliknya. Orang Jawa Tengah kan sering dianggap bersikap sangat sopan dan takut menyakiti perasaan orang kan? Suami Vita mendekati mobil itu, diketuknya jendela mobil dan berkata dengan ragu-ragu karena takut menyakiti hati, “Mas, kalau nggak salah, ini mobil saya deh.” Brrrmmm langsung saja orang itu tancap gas membawa kabur mobilnya! Vita tertawa-tawa ketika cerita, “Dasar orang Jawa, bukannya teriak maling malah bersopan-santun pada pencuri.” Padahal Vita itu orang Jawa juga lho!

Saya jadi berkesimpulan bahwa meledek suku, bangsa, ras itu tidak apa-apa asal dilakukan oleh anggotanya sendiri. Ada seorang yang sangat kebingungan dan putus asa karena di tangannya tergenggam buah simalakama. Serba salah. Mau dimakan, ibunya akan mati. Kalau tidak dimakan, ayahnya yang mati. Lewatlah orang Padang di depannya. Orang yang sedang sedih hebat ini minta nasihat apa yang harus dilakukan. Orang Padang itu santai saja menjawab, “Jual saja buahnya.” Nah, tuh, meledek orang Padang tidak apa-apa kan? Asal yang meledek orang Padang sendiri!

Kemampuan untuk menertawakan diri sendiri itu penting lho, katanya di situlah tanda kedewasaan. Vita, teman saya tadi, juga pernah sekamar kos dengan saya. Waktu itu belum banyak mahasiswa yang punya komputer pribadi. Vita memperbolehkan yang lain memakai komputernya, dengan menyewa tentu saja, tapi dia kesal ketika tidak ada yang membayar. Disuruhnya saya menagih. Lho, kenapa saya? “Kan kamu orang Padang,” kata Vita. Komentar lain yang sering saya dengar adalah, “Kok nggak suka pedes? Kamu kan orang Padang.” Saking seringnya pertanyaan retoris ini diajukan saya sampai bosan mendengarnya.

Saya pernah baca buku yang bagus mengenai kajian beberapa suku termasuk Padang. Bukan soal sukanya orang Padang pada cabe, kepandaian berdagang, atau religius, tapi dilihat dari sisi psikologi dan bagaimana rasanya jadi orang Padang. Penasaran kan? Pingin tahu? Nanti saja ya :).

Rabu, 08 Agustus 2012

Mari Bercerita


Ubud memberi saya ide untuk bercerita. Seandainya saya masih tinggal di Bandung, apa yang akan saya ceritakan tentang kota itu ya? Jalanannya yang macet, jajanannya yang macam-macam, factory outletnya yang bertebaran di mana-mana, dan perempuannya yang cantik-cantik (maunya). Saya bayangkan saya harus keliling kota untuk menulis itu semua. Bisa juga sih diam di rumah saja dan menulis tentang teman-teman saya sendiri. Mungkin sebaiknya namanya disamarkan agar tidak ada yang tersinggung, hehehe.

Bepergian sepertinya selalu memberi ide untuk bercerita. Dalam hal saya, tinggal di kota lain. Semua terlihat baru dan tidak biasa. Itu sebabnya kenapa orang bisa tiba-tiba dihinggapi keinginan tak tertahan untuk bercerita setelah pulang dari bepergian. Bisa bercerita langsung pada teman sampai teman itu bosan dan menganggapnya suka pamer. Bisa juga menuangkan pengalaman itu secara tertulis. Jadi, mari kita mulai bercerita.

Waktu kelas 1 SMP dulu seorang guru Bahasa Indonesia menyuruh semua murid maju satu per satu untuk mengisahkan satu cerita. Aduh, bencinya saya pada tugas ini! Ketika tiba giliran saya, saya maju dengan kaki yang diseret dan jantung berdebar karena maunya saya tetap duduk manis di bangku saja. Saya menceritakan cerita yang saya ambil dari majalah Bobo dengan pelan sekali, terbata-bata, tanpa intonasi serta mata tertunduk.  Kembali ke bangku seperti dibebaskan dari hukuman berat. Teman sebangku saya bertanya, “Tadi kamu ngomong apa sih?”

Saya lebih suka bercerita secara tertulis. Tapi dari berbagai tugas yang diberikan oleh guru-guru, kecenderungan saya adalah terlalu detil dalam bercerita. Misalnya, ketika disuruh menulis tentang warung yang kotor, saya ngotot sekali menggambarkan tentang piring, air cucian, lantai, lalat, tempat sampah yang semuanya serba kotor dan menjijikkan secara nyinyir sehingga tulisan saya jadi seperti memaksa orang untuk percaya. Padahal, kalau cuma dibilang gelasnya masih ada bekas lipstiknya, itu cukup mengejutkan dan membuat orang bereaksi jijik kan?

Saya baru bersemangat menulis ketika ikut matrikulasi sebelum mengikuti program penerjemahan Bahasa Prancis. Guru saya yang native speaker  mencecar kami dengan tugas menulis hampir setiap hari. Walaupun banyak teman sekelas yang tidak menyerahkan tugas (dan tidak diberi sanksi) saya berusaha mengerjakan setiap tulisan. Biasanya kami disuruh menulis sepanjang 1.000 kata dengan tema-tema menarik seperti apakah kecerdasan itu, apa makna dongeng bagi anak, evolusi pemikiran manusia. Belum pernah saya diharuskan menulis sebanyak itu, apalagi dalam bahasa asing. Ketika belajar mengenai personifikasi kami diberi tugas membuat puisi berjudul La Jeunesse (masa muda) yang terdiri dari 4 baris dengan menggunakan kata kerja yang boleh dipilih sendiri. Jadi puisi saya bunyinya adalah: meloncat-loncat riang di bukit di musim semi, mencicipi madu bunga-bunga musim panas, berlari di antara daun-daun keemasan musim gugur, ledakan tawanya mencairkan es musim dingin. Sederhana sekali sih, kalau di Prancis sana mungkin ini adalah hasil karya anak SD, tapi saya mendapat TB  (tres bien alias bagus sekali) untuk ini. Hehehe, terima kasih guru yang baik hati.

Mungkin pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah sudah dibuat lebih menyenangkan sekarang ini (mudah-mudahan) dan tidak sekaku, seformal dan semembosankan seperti di zaman saya dulu. Anak kan sebaiknya diajari menulis, bercerita, berpendapat yang sederhana saja dulu dan sedini mungkin dengan metoda yang menyenangkan. Ada kejadian lho, mahasiswa satu angkatan di bawah saya yang sudah di depan para dosen penguji untuk mempresentasikan skripsinya kemudian tidak bisa mulai mengucapkan satu patah kata pun. Terpaksa ujian skripsinya ditunda.

 Saya tidak tahu caranya agar berani bicara di depan orang banyak, la wong saya sendiri tidak berani. Apalagi membuat pembicaraan kita menarik bagi para pendengar. Tapi ada satu kejadian yang boleh jadi bisa menginspirasi kita. Ketika baru pertama kali belajar Bahasa Prancis kami diharuskan menghapal sebuah puisi yang tujuan sebenarnya untuk menghapal kosa kata. Judulnya lupa, tapi bisa dikatakan itu adalah semacam catatan harian anak malas. Bunyinya lebih kurang begini: hari Senin mandi-mandi di kolam, hari Selasa senang-senang di kota, hari Rabu main-main di hutan, dst sampai hari Minggu pesta gila-gilaan. Satu-satu disuruh maju. Ada perempuan di kelas kami yang badannya kecil sekali dan mukanya seperti anak kecil juga. Dia maju dengan cuek dan mulai mengucapkan puisinya dengan lantang: “Le lundi (hari Senin)”…. Diam. Rupanya dia lupa kelanjutannya. Diulangi lagi dengan lebih keras “Le lundi…” Diam lagi. Dicobanya lagi dengan semakin keras. “Le lundi!” “Le lundi!!!” “LE LUNDI!!!!” teriaknya setinggi langit. Seluruh kelas tertawa. Walau gagal mengucapkan puisi dia tidak gagal jadi pelawak.

Sekarang ini orang mudah sekali menulis dan menayangkan ceritanya. Buat saja blog! Tidak perlu mengirimkan cerita kita ke majalah-majalah atau koran dan menunggu berbulan-bulan untuk dimuat (itu pun kalau dimuat). Saya suka ‘jalan-jalan’ ke berbagai blog ini. Ada yang menarik, ada yang membosankan, ada yang kasar, ada yang diulang-ulang, ada yang lucu, ada yang inspiratif. Ini biasa. Hanya satu keluhan saya. Kalau penulisnya perempuan, banyak yang ‘terjatuh’ ke dalam curhat. Ada seorang yang menceritakan kesialannya dalam hidup secara bertele-tele. Selalu gagal mendapat pekerjaan yang diinginkan, depresi dengan pekerjaannya sekarang, hidupnya yang penuh kehampaan. Membaca tulisannya itu saya seperti kelelep dan ingin minta tolong diselamatkan dari banjir kata-kata yang mencekik.

Saya sebenarnya lebih suka blog yang bertema, apakah itu pendidikan, jalan-jalan, masak-masak, atau cerita sehari-hari. Ada blog yang menarik, tapi eh… setelah sukses membuat berbagai tulisan bertema pendidikan dengan cara yang menarik, dia memunculkan tulisan mengenai keharuan hatinya melihat buah hatinya yang “terlihat damai sekali ketika sedang tidur”. Ada yang blognya isinya berbobot, maklum dia sudah pernah menerbitkan buku dan opininya tajam serta cerdas, lagi-lagi… memunculkan cerita pertemuannya dengan seseorang yang membuatnya berurai air mata setiap 10 menit serta cintanya yang sangat dalam pada kekasihnya, lengkap dengan foto-foto mereka berdua dalam pose sedang kasmaran. Toloong! Memang menulis itu bisa jadi terapi, tapi pikirkan juga dong orang-orang yang membacanya. :(

Saya paling sedih kalau mendengar anak kecil diajari membaca puisi yang sedih-sedih dan sendu-sendu, atau terlalu serius. Biasanya temanya tentang kasih ibu atau sayangnya si anak pada ibu. Sebaliknya, saya suka tulisan anak kecil yang menceritakan tentang keluarga monyet yang bijaksana: tidak melihat, tidak mendengar, dan tidak bicara yang buruk. Dilanjutkan dengan cerita jujur mengenai keluarganya sendiri, di antaranya Mama yang suka sekali fesbuk-an. Ini baru cerita yang bagus! Saya rasa, kalau anak terlalu banyak menonton sinetron di televisi yang penuh dengan air mata terurai dan kemalangan beruntun yang menimpa seorang gadis cantik dan baik hati, kalau besar nanti dia akan menulis blog yang penuh dengan curhat. Hehehe.

Jumat, 03 Agustus 2012

Belajar Bahasa


Kebanyakan dari kita selalu mengatakan bahwa Bahasa Indonesia itu mudah dipelajari. Tidak seperti bahasa-bahasa Barat yang rumit tata bahasanya, mulai dari kala (tenses), konjugasi, gerund, conditional, dsb (ampun deh) atau bahasa Cina dan Jepang yang njelimet tulisannya, Bahasa Indonesia mudah dan tidak ribet. Tapi betulkah itu? Coba bayangkan bahwa kamu seorang asing yang baru belajar bahasa Indonesia secara informal. Bagaimana cara membedakan antara ‘ada apa’ (ketika penasaran melihat ada ramai-ramai di jalan), ‘adanya apa’ (pertanyaan yang diajukan pada pelayan restoran yang bilang tidak ada es campur), ‘apa adanya’ (persyaratan untuk calon suami apabila tidak juga menikah), ‘apa-apa ada’ (persyaratan untuk suami yang tadinya disembunyikan sebelum menikah), ‘ada apa-apanya’ (penasaran pada sahabat yang tidak mau lagi menyapa). Bingung kan?

Menurut saya keistimewaan Bahasa Indonesia itu, sekaligus kerumitannya, terletak pada awalan dan akhiran. Bayangkan, dari satu kata kerja ‘ajar’ saja bisa tercipta banyak sekali makna. Mulai dari belajar, mengajar, pelajar, pengajar, ajaran, pembelajaran, pengajaran, membelajarkan, diajar, pelajaran, mempelajari. Apalagi kalau ditambah dengan ‘mata ajaran’ dan ‘k****g ajar’. Semakin dan semakin mumet! Saking rumitnya aturan mengenai awalan, akhiran dan sisipan ini, dalam sebuah buku praktis belajar Bahasa Indonesia, penulisnya yang orang asing mengatakan bahwa untuk sementara pakai saja kata dasar, karena orang Indonesia juga hanya menggunakan kata kerja dalam bentuk dasar dalam percakapan sehari-hari. Nah, yang terakhir ini jelas-jelas salah. Yang benar adalah, dalam percakapan sehari-hari kita sangat dipengaruhi oleh bahasa daerah. Saya yang bertahun-tahun tinggal di Bandung yang jaraknya dekat dengan Jakarta sangat dipengaruhi oleh kota metropolitan itu, yang mendapat pengaruh besar dari Bahasa Betawi. Menghadapi jadi ngadepin, merusakkan jadi ngerusakin, memperhatikan jadi meratiin. Awalan dan akhirannya masih ada kan?

Saya termasuk orang yang susah sekali belajar bahasa secara informal. Sudah sepuluh bulan tinggal di Ubud, kosa kata Bali saya hanyalah yeh (air putih), joh (jauh), melali-lali (jalan-jalan), mulih (pulang). Sudah. Cuma itu. Kalau sedang iseng saya akan membuka kamus Bahasa Bali dan mempraktikkannya dengan berkali-kali menyuruh Intan untuk ‘berdiri’, ‘duduk’, ‘sembunyi’ dalam Bahasa Bali. Pertama dia senang, lama-lama mukanya cemberut sampai ingin menangis. Hahaha. Esok harinya kata yang baru saya pelajari itu pun sudah lenyap entah ke mana. Apa ada hubungannya dengan umur ya? Saya percaya bahwa 85% kosa kata Bahasa Inggris saya terkumpul sebelum umur 25. Setelah itu hanya sedikiit saja penambahannya. Daftar kata yang saya buat ketika masih jadi penerjemah beberapa tahun yang lalu, seperti begirt, excoriation, miscreant, inditer, reperuse, ensconded, hanya jadi kata-kata eksotis yang harus dicari lagi dan lagi di kamus, padahal di halaman sebelumnya sudah terdapat kata-kata itu.

Oleh karena itu saya selalu berbesar hati dan memaklumi orang-orang asing di sini yang masih juga belum bisa berbahasa Indonesia padahal sudah beberapa bulan, bahkan tahun, tinggal di Ubud. Saya tidak lagi memaksakan ‘kredo’ bahwa Bahasa Indonesia itu mudah. Ada teman saya orang Australia yang selalu bilang ‘susu batu’ untuk mentega. Dia tidak percaya ketika saya beri tahu kata yang benar. Dan ketika dia menanyakan susu batu di pasar swalayan kepada pelayan yang terbengong-bengong tidak mengerti, mukanya menunjukkan rasa tidak puas. Menurutnya, kalau ada es batu, kenapa tidak ada susu batu? Mentega kan asalnya dari susu juga, dan bentuknya padat. Benar juga, ya. Hihihi.

Kenalan saya yang lain bersemangat sekali ketika baru belajar Bahasa Indonesia. Dengan bangga dia membetulkan ucapan temannya. “Yang benar itu, kopinya enak, bukan kopinya bagus,” katanya menggurui. Ketika ketemu dengannya lagi beberapa minggu kemudian dia sudah segan membicarakan kemajuan berbahasanya. “Ternyata belajar bahasa itu harus rajin mengulang, bukan hanya belajar ketika gurunya datang,” katanya dengan lesu. Dua minggu berikutnya guru privatnya pun diberhentikan. Ini mengingatkan saya pada banyak orang yang ingin bisa lancar berbahasa Inggris hanya dalam waktu 3-4 bulan. Mana bisa?

Yang sering saya temui pada orang-orang yang baru belajar bahasa Indonesia ini adalah pemilihan kata yang kurang tepat.  Misalnya, kabar bagus, hari bagus, makanan bagus. Saking populernya penggunaan kata bagus yang kurang tepat ini, ada sebuah restoran di Ubud yang bernama Pizza Bagus. Entah ini disengaja atau kurang mengerti istilah yang tepat, saya tidak tahu. Ada juga toko peralatan tidur yang bernama Mimpi Manis. Memang bisa dimengerti sih maksudnya, tapi mana ada orang Indonesia yang berkata, “Tadi malam saya mimpi manis.” ? Orang-orang yang bahasa ibunya Bahasa Inggris juga kesulitan untuk menghentikan kebiasaannya menempatkan kata sifat sebelum kata benda. Yang benar itu rumah besar, bukan besar rumah, dan anak nakal, bukan nakal anak. Tapi kadang-kadang mereka kebablasan, karena setahunya penempatan kata berbeda dengan aturan Bahasa Inggris, semuanya jadi dibalik-balik: apa untuk, manis tidak, pergi sudah. :(

Di Ubud, dan mungkin di tempat turistik lain di Bali, orang yang berbahasa Inggris bisa survive. Tukang kebun dan pembantu rumah tangga saja bisa berbahasa Inggris, walaupun seringnya tidak lancar. Jadi untuk apa belajar Bahasa Indonesia? Mungkin ini juga alasannya kenapa saya tidak bisa berbahasa Sunda, padahal sudah lama sekali tinggal di Bandung. Bahasa Indonesia sudah cukup untuk berkomunikasi dengan siapa saja, bahkan di sekolah hampir tidak pernah terdengar orang berbahasa Sunda. Tapi bukan berarti saya tidak mengerti bahasa Sunda, lho. Jadi, kalau mau ngomongin saya di depan saya, jangan pakai bahasa Sunda ya, karena saya pasti mengerti.

Kalau tidak ingin lupa pada bahasa yang sudah pernah kita kenal atau pelajari, menurut saya kita harus sering mempraktikkannya. Ini sebabnya kenapa sampai sekarang saya masih bisa berbahasa Jawa, walaupun sudah meninggalkan tempat kelahiran saya di Jawa Timur sejak berumur 11 tahun. Kuncinya, karena sampai sekarang saya masih berbahasa Jawa pada kakak dan adik saya. Rasanya bangga juga kalau ada teman yang kagum mendengar saya berbahasa Jawa padahal saya bukan orang Jawa. Tapi pernah juga saya kena batunya. Ketika sedang menawar barang dagangan di Jogja, saya menggunakan Bahasa Jawa dengan harapan pedagangnya akan memberi harga murah. Eh, pedagangnya kemudian berbahasa Jawa kromo, padahal saya ngertinya hanya bahasa ngoko (rendahan). Terpaksa saya bilang, “Yo wis, iki tak bayar, sak karepmu piro.” (ya sudah, saya bayar berapa pun maumu). Sial!

Cara lain untuk tidak melupakan bahasa asing adalah dengan mengajari orang lain! Ini pernah saya lakukan dengan menggunakan surel. ‘Murid’ saya orang Amerika. Dia belajar Bahasa Prancis secara otodidak, tapi sering merasa kurang semangat karena mendapat banyak kesulitan. Saya sendiri pernah bertahun-tahun belajar Bahasa Prancis tapi sudah lama tidak mempraktikkannya lagi. Jadinya klop kan? Simbiosis mutualisma. Caranya, saya menulis mengenai apa saja, entah kehidupan sehari-hari atau opini saya mengenai topik tertentu, dalam Bahasa Prancis. Dia berusaha mengerti semua yang saya tulis dengan bantuan buku dan kamus. Kalau ada yang tidak mengerti dia bertanya. Saya sering tertantang dengan pertanyaannya. Senang kalau bisa memberi penjelasan lengkap, tapi kadang-kadang saya harus mengakui bahwa yang saya tulis kemarin itu tata bahasanya memang salah.

Saya sudah tidak surat-suratan lagi dengannya sekarang. Surat saya pada teman saya Lilly di Australia yang dulunya menggunakan Bahasa Prancis pun sekarang sudah menggunakan Bahasa Indonesia. Wah, bisa-bisa Bahasa Prancis saya hilang tak berbekas nih!