Kebanyakan dari kita selalu mengatakan bahwa Bahasa
Indonesia itu mudah dipelajari. Tidak seperti bahasa-bahasa Barat yang rumit
tata bahasanya, mulai dari kala (tenses),
konjugasi, gerund, conditional, dsb (ampun deh) atau bahasa
Cina dan Jepang yang njelimet tulisannya, Bahasa Indonesia mudah dan tidak
ribet. Tapi betulkah itu? Coba bayangkan bahwa kamu seorang asing yang baru
belajar bahasa Indonesia secara informal. Bagaimana cara membedakan antara ‘ada
apa’ (ketika penasaran melihat ada ramai-ramai di jalan), ‘adanya apa’
(pertanyaan yang diajukan pada pelayan restoran yang bilang tidak ada es
campur), ‘apa adanya’ (persyaratan untuk calon suami apabila tidak juga
menikah), ‘apa-apa ada’ (persyaratan untuk suami yang tadinya disembunyikan
sebelum menikah), ‘ada apa-apanya’ (penasaran pada sahabat yang tidak mau lagi
menyapa). Bingung kan?
Menurut saya keistimewaan Bahasa Indonesia itu, sekaligus
kerumitannya, terletak pada awalan dan akhiran. Bayangkan, dari satu kata kerja
‘ajar’ saja bisa tercipta banyak sekali makna. Mulai dari belajar, mengajar,
pelajar, pengajar, ajaran, pembelajaran, pengajaran, membelajarkan, diajar,
pelajaran, mempelajari. Apalagi kalau ditambah dengan ‘mata ajaran’ dan ‘k****g
ajar’. Semakin dan semakin mumet! Saking rumitnya aturan mengenai awalan,
akhiran dan sisipan ini, dalam sebuah buku praktis belajar Bahasa Indonesia,
penulisnya yang orang asing mengatakan bahwa untuk sementara pakai saja kata
dasar, karena orang Indonesia juga hanya menggunakan kata kerja dalam bentuk
dasar dalam percakapan sehari-hari. Nah, yang terakhir ini jelas-jelas salah. Yang
benar adalah, dalam percakapan sehari-hari kita sangat dipengaruhi oleh bahasa
daerah. Saya yang bertahun-tahun tinggal di Bandung yang jaraknya dekat dengan
Jakarta sangat dipengaruhi oleh kota metropolitan itu, yang mendapat pengaruh
besar dari Bahasa Betawi. Menghadapi
jadi ngadepin, merusakkan jadi ngerusakin,
memperhatikan jadi meratiin. Awalan dan akhirannya masih
ada kan?
Saya termasuk orang yang susah sekali belajar bahasa secara
informal. Sudah sepuluh bulan tinggal di Ubud, kosa kata Bali saya hanyalah yeh (air putih), joh (jauh), melali-lali
(jalan-jalan), mulih (pulang). Sudah.
Cuma itu. Kalau sedang iseng saya akan membuka kamus Bahasa Bali dan mempraktikkannya
dengan berkali-kali menyuruh Intan untuk ‘berdiri’, ‘duduk’, ‘sembunyi’ dalam
Bahasa Bali. Pertama dia senang, lama-lama mukanya cemberut sampai ingin
menangis. Hahaha. Esok harinya kata yang baru saya pelajari itu pun sudah
lenyap entah ke mana. Apa ada hubungannya dengan umur ya? Saya percaya bahwa
85% kosa kata Bahasa Inggris saya terkumpul sebelum umur 25. Setelah itu hanya
sedikiit saja penambahannya. Daftar kata yang saya buat ketika masih jadi
penerjemah beberapa tahun yang lalu, seperti begirt, excoriation, miscreant, inditer, reperuse, ensconded, hanya
jadi kata-kata eksotis yang harus dicari lagi dan lagi di kamus, padahal di
halaman sebelumnya sudah terdapat kata-kata itu.
Oleh karena itu saya selalu berbesar hati dan memaklumi
orang-orang asing di sini yang masih juga belum bisa berbahasa Indonesia
padahal sudah beberapa bulan, bahkan tahun, tinggal di Ubud. Saya tidak lagi
memaksakan ‘kredo’ bahwa Bahasa Indonesia itu mudah. Ada teman saya orang
Australia yang selalu bilang ‘susu batu’ untuk mentega. Dia tidak percaya
ketika saya beri tahu kata yang benar. Dan ketika dia menanyakan susu batu di
pasar swalayan kepada pelayan yang terbengong-bengong tidak mengerti, mukanya
menunjukkan rasa tidak puas. Menurutnya, kalau ada es batu, kenapa tidak ada
susu batu? Mentega kan asalnya dari susu juga, dan bentuknya padat. Benar juga,
ya. Hihihi.
Kenalan saya yang lain bersemangat sekali ketika baru
belajar Bahasa Indonesia. Dengan bangga dia membetulkan ucapan temannya. “Yang
benar itu, kopinya enak, bukan kopinya
bagus,” katanya menggurui. Ketika
ketemu dengannya lagi beberapa minggu kemudian dia sudah segan membicarakan
kemajuan berbahasanya. “Ternyata belajar bahasa itu harus rajin mengulang,
bukan hanya belajar ketika gurunya datang,” katanya dengan lesu. Dua minggu
berikutnya guru privatnya pun diberhentikan. Ini mengingatkan saya pada banyak
orang yang ingin bisa lancar berbahasa Inggris hanya dalam waktu 3-4 bulan.
Mana bisa?
Yang sering saya temui pada orang-orang yang baru belajar bahasa
Indonesia ini adalah pemilihan kata yang kurang tepat. Misalnya, kabar bagus, hari bagus, makanan
bagus. Saking populernya penggunaan kata bagus yang kurang tepat ini, ada
sebuah restoran di Ubud yang bernama Pizza
Bagus. Entah ini disengaja atau kurang mengerti istilah yang tepat, saya
tidak tahu. Ada juga toko peralatan tidur yang bernama Mimpi Manis. Memang bisa dimengerti sih maksudnya, tapi mana ada
orang Indonesia yang berkata, “Tadi malam saya mimpi manis.” ? Orang-orang yang
bahasa ibunya Bahasa Inggris juga kesulitan untuk menghentikan kebiasaannya
menempatkan kata sifat sebelum kata benda. Yang benar itu rumah besar, bukan
besar rumah, dan anak nakal, bukan nakal anak. Tapi kadang-kadang mereka
kebablasan, karena setahunya penempatan kata berbeda dengan aturan Bahasa
Inggris, semuanya jadi dibalik-balik: apa untuk, manis tidak, pergi sudah. :(
Di Ubud, dan mungkin di tempat turistik lain di Bali, orang
yang berbahasa Inggris bisa survive.
Tukang kebun dan pembantu rumah tangga saja bisa berbahasa Inggris, walaupun
seringnya tidak lancar. Jadi untuk apa belajar Bahasa Indonesia? Mungkin ini
juga alasannya kenapa saya tidak bisa berbahasa Sunda, padahal sudah lama
sekali tinggal di Bandung. Bahasa Indonesia sudah cukup untuk berkomunikasi
dengan siapa saja, bahkan di sekolah hampir tidak pernah terdengar orang
berbahasa Sunda. Tapi bukan berarti saya tidak mengerti bahasa Sunda, lho.
Jadi, kalau mau ngomongin saya di depan saya, jangan pakai bahasa Sunda ya,
karena saya pasti mengerti.
Kalau tidak ingin lupa pada bahasa yang sudah pernah kita
kenal atau pelajari, menurut saya kita harus sering mempraktikkannya. Ini sebabnya
kenapa sampai sekarang saya masih bisa berbahasa Jawa, walaupun sudah
meninggalkan tempat kelahiran saya di Jawa Timur sejak berumur 11 tahun.
Kuncinya, karena sampai sekarang saya masih berbahasa Jawa pada kakak dan adik
saya. Rasanya bangga juga kalau ada teman yang kagum mendengar saya berbahasa
Jawa padahal saya bukan orang Jawa. Tapi pernah juga saya kena batunya. Ketika
sedang menawar barang dagangan di Jogja, saya menggunakan Bahasa Jawa dengan
harapan pedagangnya akan memberi harga murah. Eh, pedagangnya kemudian
berbahasa Jawa kromo, padahal saya
ngertinya hanya bahasa ngoko
(rendahan). Terpaksa saya bilang, “Yo
wis, iki tak bayar, sak karepmu piro.” (ya sudah, saya bayar berapa pun
maumu). Sial!
Cara lain untuk tidak melupakan bahasa asing adalah dengan
mengajari orang lain! Ini pernah saya lakukan dengan menggunakan surel. ‘Murid’
saya orang Amerika. Dia belajar Bahasa Prancis secara otodidak, tapi sering
merasa kurang semangat karena mendapat banyak kesulitan. Saya sendiri pernah
bertahun-tahun belajar Bahasa Prancis tapi sudah lama tidak mempraktikkannya
lagi. Jadinya klop kan? Simbiosis mutualisma. Caranya, saya menulis mengenai
apa saja, entah kehidupan sehari-hari atau opini saya mengenai topik tertentu,
dalam Bahasa Prancis. Dia berusaha mengerti semua yang saya tulis dengan
bantuan buku dan kamus. Kalau ada yang tidak mengerti dia bertanya. Saya sering
tertantang dengan pertanyaannya. Senang kalau bisa memberi penjelasan lengkap,
tapi kadang-kadang saya harus mengakui bahwa yang saya tulis kemarin itu tata
bahasanya memang salah.
Saya sudah tidak surat-suratan lagi dengannya sekarang.
Surat saya pada teman saya Lilly di Australia yang dulunya menggunakan Bahasa
Prancis pun sekarang sudah menggunakan Bahasa Indonesia. Wah, bisa-bisa Bahasa
Prancis saya hilang tak berbekas nih!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar