Sabtu, 11 Agustus 2012

Soal Penampilan dan Kebiasaan


Ketika saya sedang bicara dengan adik saya di telepon, Ayu sedang berada di ruangan yang sama. Setelah pembicaraan selesai dia bertanya dengan kagum, “Bisa juga ya berbahasa Sunda?” Saya menerangkan bahwa itu Bahasa Jawa, bukan Sunda. Untuk menjawab pandangannya yang bingung dan meminta penjelasan lebih lanjut, saya menerangkan bahwa saya lahir di Jawa Timur, besar di Bandung, tapi sebenarnya asli Padang. Mendengar penjelasan saya itu Ayu kelihatan sedikit kecewa. Hey, ada apa gerangan?

Bandung itu katanya terkenal dengan perempuan-perempuannya yang cantik. Dan kabar kabur seperti ini ternyata sampai juga ke Bali. Sudah beberapa kali  ketika mengatakan Bandung sebagai asal saya, orang mengomentari bahwa orang Bandung cantik-cantik. Saya tidak keburu ge-er, kan yang dibilang cantik itu orang Bandung, bukan saya? Selain soal cantik ini, beberapa orang juga suaranya menjadi halus seperti merindu ketika mengatakan Bandung fashion-nya bagus-bagus, baik pakaian maupun barang-barang kulit seperti tas dan sepatu. Ada benarnya juga sih, bahkan ratusan turis Malaysia datang ke Bandung setiap hari untuk belanja baju, tas, sepatu, dan barang sejenis lainnya.

Kekecewaan Ayu di awal tulisan ini mudah dijelaskan. Terang saja dia kecewa karena ternyata saya bukan asli Bandung! Dibilang cantik, tentu saja membanggakan untuk orang (asli) Bandung. Sudah cantik-cantik, modis lagi. Suku yang juga sering dibilang dipenuhi oleh orang-orang cantik dan tampan adalah Palembang dan Manado. Kalau Manado saya sudah membuktikan sendiri. Bahkan sampai ke pelosok-pelosok, mencari orang yang ganteng tidak terlalu sulit.

Kalau sedang jalan sendirian di Ubud dan ditawari berbagai macam jasa baik pijat, taksi, maupun pertunjukan tari Bali dalam Bahasa Inggris, saya jadi sering merasa tidak enak. Apa yang salah ya? Cat rambut yang saya pakai terlalu pirang? Baju saya terlalu bergaya turis? Kaca mata hitam saya sebaiknya dibuka saja? Maklum, walaupun berkulit sawo matang, kuning, sipit, atau pesek, sekarang ini bisa saja ternyata dia adalah orang Amerika atau Denmark atau Jerman atau apa saja. Tapi kemudian saya menghibur diri. Orang-orang lokal di sini sangat jarang berjalan kaki. Kalau ke Ubud mereka hanya lewat atau pergi ke pasar atau pura, itu pun biasanya menggunakan sepeda motor. Yang berjalan kaki pasti disangka turis.

Dalam soal menebak kebangsaan, orang-orang bule itu menurut saya tidak begitu pintar dalam membedakan orang Asia menurut ciri-ciri fisiknya. Masa saya yang sudah jelas-jelas kulitnya coklat sering disangka orang Cina atau Jepang? Kalau kita kan sudah mengerti: Cina, Korea, Jepang, Taiwan itu satu kelompok, sedangkan Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, itu masuk ke kelompok yang lain. Ciri-cirinya beda banget! Ada juga sih orang Jepang yang mirip Indonesia atau orang Indonesia mirip Jepang, tapi itu kan cuma ‘kasus’. Tapi kalau dipikir-pikir memang tidak mudah membedakan kebangsaan seseorang. Saya juga tidak bisa membedakan orang Inggris dari orang Prancis atau Jerman misalnya, kecuali kalau mereka buka mulut dan bicara dalam bahasa masing-masing.

Tebak-tebakan soal kebangsaan ini cukup menarik buat saya. Dengan kesukaan orang Korea akan operasi plastik yang sudah terkenal itu, yang menimbulkan debat berkepanjangan sampai menjurus ke pertengkaran di internet, setiap melihat perempuan sangat cantik berkulit kuning dan halus sekali di Ubud saya langsung yakin bahwa dia adalah orang Korea. Apalagi kalau dia jalan-jalan dengan menggunakan sepatu super tinggi, baju panjang sifon berbunga atau berwarna ngejreng, tas modis dan bertopi yang serba aduhai! Konon orang-orang Korea sangat terobsesi dengan penampilan yang sempurna.

‘Dihakimi’ berdasarkan ciri-ciri fisik kadang tidak enak, tapi lebih tidak enak kalau penghakiman itu didasarkan pada adat dan kebiasaan. Misalnya, kalau ada orang yang ngotot menawar harga di pasar suvenir Ubud, banyak yang memastikan asalnya dari Cina. Bagaimana kalau ada seorang di antara mereka tersenyum dengan senang dan bertanya, “Kok tahu saya dari Cina?”, dan jawabannya adalah “karena Anda ngotot menawar,” tentu senyum itu segera lenyap dari wajahnya. Maklum, kebijakan ekonomi mereka adalah memberlakukan dumping dan devaluasi dengan sengaja, jadi harga-harga di negara kita (atau negara mana pun) jadi super mahal buat mereka. Kecuali yang kaya tentunya. Saran untuk orang Cina: kalau ingin beli barang murah di luar negeri beli saja produk Cina yang sudah ada di mana-mana. Dijamin murah :).

Saya pernah jadi korban penghakiman seperti itu juga. Ketika sedang ikut kelas bahasa internasional, gurunya mengajak kami menyebutkan klise tentang bangsa-bangsa yang pesertanya ada di kelas kami. Hasilnya adalah, orang Amerika ramah dan suka menyapa siapa saja, orang Jerman disiplin tapi agak kaku, orang Italia berbicara diiringi dengan gerak tangan dan sangat mencintai ibunya, orang Jepang rajin, tekun, bersih, teratur. Waktu giliran orang Indonesia, sebelum ada yang sempat bicara, gurunya langsung menyela, “orang Indonesia itu pokoknya semuanya kebalikan dari orang Jepang.” Wah, ini sudah termasuk pelecehan namanya! Heran deh, orang seperti itu kok bisa diterima mengajar di kelas internasional yang jelas-jelas pesertanya berasal dari mana-mana?

Tapi saya pikir tidak perlu juga marah-marah. Bersikap defensif tidak ada gunanya. Seperti teman saya Vita yang dengan ringan menceritakan kejadian nyata yang dialami suaminya. Selesai mengajar suaminya pergi ke tempat parkiran kampus. Dilihatnya ada orang di dalam mobil miliknya. Orang Jawa Tengah kan sering dianggap bersikap sangat sopan dan takut menyakiti perasaan orang kan? Suami Vita mendekati mobil itu, diketuknya jendela mobil dan berkata dengan ragu-ragu karena takut menyakiti hati, “Mas, kalau nggak salah, ini mobil saya deh.” Brrrmmm langsung saja orang itu tancap gas membawa kabur mobilnya! Vita tertawa-tawa ketika cerita, “Dasar orang Jawa, bukannya teriak maling malah bersopan-santun pada pencuri.” Padahal Vita itu orang Jawa juga lho!

Saya jadi berkesimpulan bahwa meledek suku, bangsa, ras itu tidak apa-apa asal dilakukan oleh anggotanya sendiri. Ada seorang yang sangat kebingungan dan putus asa karena di tangannya tergenggam buah simalakama. Serba salah. Mau dimakan, ibunya akan mati. Kalau tidak dimakan, ayahnya yang mati. Lewatlah orang Padang di depannya. Orang yang sedang sedih hebat ini minta nasihat apa yang harus dilakukan. Orang Padang itu santai saja menjawab, “Jual saja buahnya.” Nah, tuh, meledek orang Padang tidak apa-apa kan? Asal yang meledek orang Padang sendiri!

Kemampuan untuk menertawakan diri sendiri itu penting lho, katanya di situlah tanda kedewasaan. Vita, teman saya tadi, juga pernah sekamar kos dengan saya. Waktu itu belum banyak mahasiswa yang punya komputer pribadi. Vita memperbolehkan yang lain memakai komputernya, dengan menyewa tentu saja, tapi dia kesal ketika tidak ada yang membayar. Disuruhnya saya menagih. Lho, kenapa saya? “Kan kamu orang Padang,” kata Vita. Komentar lain yang sering saya dengar adalah, “Kok nggak suka pedes? Kamu kan orang Padang.” Saking seringnya pertanyaan retoris ini diajukan saya sampai bosan mendengarnya.

Saya pernah baca buku yang bagus mengenai kajian beberapa suku termasuk Padang. Bukan soal sukanya orang Padang pada cabe, kepandaian berdagang, atau religius, tapi dilihat dari sisi psikologi dan bagaimana rasanya jadi orang Padang. Penasaran kan? Pingin tahu? Nanti saja ya :).

1 komentar:

  1. Kalau Saya serving Dengar orang prancis Dan Aussie saling menghakimi. Mendengar Saya punya teman-teman orang Australia, kawan saya yg org Prancis heran, kok saya Bisa tahan brgaul sama org Aussie. ketika saya cerita sama teman saya yg Aussie kalau saya sedang marahan sama teman Perancis saya, teman Aussie bilang 'Ugh, orang Eropa memang begitu". dan saya dengar lebih dari 3 org loh. Dan ternyata lagi, teman2 saya di Ubud sering bilang, we hate French! Trus saya barusan nonton film. Dialogx gini
    " god hate homoseksual!" " and French too" " WHO Said God hates French?!!" " Everybody hates French anyaway!!"

    What d u think?

    BalasHapus