Ketika saya sedang bicara dengan adik saya di telepon, Ayu
sedang berada di ruangan yang sama. Setelah pembicaraan selesai dia bertanya
dengan kagum, “Bisa juga ya berbahasa Sunda?” Saya menerangkan bahwa itu Bahasa
Jawa, bukan Sunda. Untuk menjawab pandangannya yang bingung dan meminta
penjelasan lebih lanjut, saya menerangkan bahwa saya lahir di Jawa Timur, besar
di Bandung, tapi sebenarnya asli Padang. Mendengar penjelasan saya itu Ayu
kelihatan sedikit kecewa. Hey, ada apa gerangan?
Bandung itu katanya terkenal dengan perempuan-perempuannya
yang cantik. Dan kabar kabur seperti ini ternyata sampai juga ke Bali. Sudah
beberapa kali ketika mengatakan Bandung
sebagai asal saya, orang mengomentari bahwa orang Bandung cantik-cantik. Saya
tidak keburu ge-er, kan yang dibilang cantik itu orang Bandung, bukan saya?
Selain soal cantik ini, beberapa orang juga suaranya menjadi halus seperti
merindu ketika mengatakan Bandung fashion-nya
bagus-bagus, baik pakaian maupun barang-barang kulit seperti tas dan sepatu.
Ada benarnya juga sih, bahkan ratusan turis Malaysia datang ke Bandung setiap
hari untuk belanja baju, tas, sepatu, dan barang sejenis lainnya.
Kekecewaan Ayu di awal tulisan ini mudah dijelaskan. Terang
saja dia kecewa karena ternyata saya bukan asli Bandung! Dibilang cantik, tentu
saja membanggakan untuk orang (asli) Bandung. Sudah cantik-cantik, modis lagi. Suku
yang juga sering dibilang dipenuhi oleh orang-orang cantik dan tampan adalah
Palembang dan Manado. Kalau Manado saya sudah membuktikan sendiri. Bahkan
sampai ke pelosok-pelosok, mencari orang yang ganteng tidak terlalu sulit.
Kalau sedang jalan sendirian di Ubud dan ditawari berbagai
macam jasa baik pijat, taksi, maupun pertunjukan tari Bali dalam Bahasa
Inggris, saya jadi sering merasa tidak enak. Apa yang salah ya? Cat rambut yang
saya pakai terlalu pirang? Baju saya terlalu bergaya turis? Kaca mata hitam
saya sebaiknya dibuka saja? Maklum, walaupun berkulit sawo matang, kuning,
sipit, atau pesek, sekarang ini bisa saja ternyata dia adalah orang Amerika
atau Denmark atau Jerman atau apa saja. Tapi kemudian saya menghibur diri.
Orang-orang lokal di sini sangat jarang berjalan kaki. Kalau ke Ubud mereka
hanya lewat atau pergi ke pasar atau pura, itu pun biasanya menggunakan sepeda
motor. Yang berjalan kaki pasti disangka turis.
Dalam soal menebak kebangsaan, orang-orang bule itu menurut
saya tidak begitu pintar dalam membedakan orang Asia menurut ciri-ciri
fisiknya. Masa saya yang sudah jelas-jelas kulitnya coklat sering disangka
orang Cina atau Jepang? Kalau kita kan sudah mengerti: Cina, Korea, Jepang,
Taiwan itu satu kelompok, sedangkan Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand,
itu masuk ke kelompok yang lain. Ciri-cirinya beda banget! Ada juga sih orang
Jepang yang mirip Indonesia atau orang Indonesia mirip Jepang, tapi itu kan
cuma ‘kasus’. Tapi kalau dipikir-pikir memang tidak mudah membedakan kebangsaan
seseorang. Saya juga tidak bisa membedakan orang Inggris dari orang Prancis
atau Jerman misalnya, kecuali kalau mereka buka mulut dan bicara dalam bahasa
masing-masing.
Tebak-tebakan soal kebangsaan ini cukup menarik buat saya.
Dengan kesukaan orang Korea akan operasi plastik yang sudah terkenal itu, yang
menimbulkan debat berkepanjangan sampai menjurus ke pertengkaran di internet,
setiap melihat perempuan sangat cantik berkulit kuning dan halus sekali di Ubud
saya langsung yakin bahwa dia adalah orang Korea. Apalagi kalau dia jalan-jalan
dengan menggunakan sepatu super tinggi, baju panjang sifon berbunga atau
berwarna ngejreng, tas modis dan bertopi yang serba aduhai! Konon orang-orang
Korea sangat terobsesi dengan penampilan yang sempurna.
‘Dihakimi’ berdasarkan ciri-ciri fisik kadang tidak enak,
tapi lebih tidak enak kalau penghakiman itu didasarkan pada adat dan kebiasaan.
Misalnya, kalau ada orang yang ngotot menawar harga di pasar suvenir Ubud, banyak
yang memastikan asalnya dari Cina. Bagaimana kalau ada seorang di antara mereka
tersenyum dengan senang dan bertanya, “Kok tahu saya dari Cina?”, dan
jawabannya adalah “karena Anda ngotot menawar,” tentu senyum itu segera lenyap
dari wajahnya. Maklum, kebijakan ekonomi mereka adalah memberlakukan dumping dan devaluasi dengan sengaja,
jadi harga-harga di negara kita (atau negara mana pun) jadi super mahal buat
mereka. Kecuali yang kaya tentunya. Saran untuk orang Cina: kalau ingin beli
barang murah di luar negeri beli saja produk Cina yang sudah ada di mana-mana.
Dijamin murah :).
Saya pernah jadi korban penghakiman seperti itu juga. Ketika
sedang ikut kelas bahasa internasional, gurunya mengajak kami menyebutkan klise
tentang bangsa-bangsa yang pesertanya ada di kelas kami. Hasilnya adalah, orang
Amerika ramah dan suka menyapa siapa saja, orang Jerman disiplin tapi agak kaku,
orang Italia berbicara diiringi dengan gerak tangan dan sangat mencintai ibunya,
orang Jepang rajin, tekun, bersih, teratur. Waktu giliran orang Indonesia, sebelum
ada yang sempat bicara, gurunya langsung menyela, “orang Indonesia itu pokoknya
semuanya kebalikan dari orang Jepang.” Wah, ini sudah termasuk pelecehan
namanya! Heran deh, orang seperti itu kok bisa diterima mengajar di kelas
internasional yang jelas-jelas pesertanya berasal dari mana-mana?
Tapi saya pikir tidak perlu juga marah-marah. Bersikap defensif
tidak ada gunanya. Seperti teman saya Vita yang dengan ringan menceritakan
kejadian nyata yang dialami suaminya. Selesai mengajar suaminya pergi ke tempat
parkiran kampus. Dilihatnya ada orang di dalam mobil miliknya. Orang Jawa
Tengah kan sering dianggap bersikap sangat sopan dan takut menyakiti perasaan
orang kan? Suami Vita mendekati mobil itu, diketuknya jendela mobil dan berkata
dengan ragu-ragu karena takut menyakiti hati, “Mas, kalau nggak salah, ini
mobil saya deh.” Brrrmmm langsung saja orang itu tancap gas membawa kabur
mobilnya! Vita tertawa-tawa ketika cerita, “Dasar orang Jawa, bukannya teriak
maling malah bersopan-santun pada pencuri.” Padahal Vita itu orang Jawa juga
lho!
Saya jadi berkesimpulan bahwa meledek suku, bangsa, ras itu
tidak apa-apa asal dilakukan oleh anggotanya sendiri. Ada seorang yang sangat kebingungan
dan putus asa karena di tangannya tergenggam buah simalakama. Serba salah. Mau
dimakan, ibunya akan mati. Kalau tidak dimakan, ayahnya yang mati. Lewatlah orang
Padang di depannya. Orang yang sedang sedih hebat ini minta nasihat apa yang
harus dilakukan. Orang Padang itu santai saja menjawab, “Jual saja buahnya.” Nah,
tuh, meledek orang Padang tidak apa-apa kan? Asal yang meledek orang Padang
sendiri!
Kemampuan untuk menertawakan diri sendiri itu penting lho,
katanya di situlah tanda kedewasaan. Vita, teman saya tadi, juga pernah sekamar
kos dengan saya. Waktu itu belum banyak mahasiswa yang punya komputer pribadi.
Vita memperbolehkan yang lain memakai komputernya, dengan menyewa tentu saja,
tapi dia kesal ketika tidak ada yang membayar. Disuruhnya saya menagih. Lho,
kenapa saya? “Kan kamu orang Padang,” kata Vita. Komentar lain yang sering saya
dengar adalah, “Kok nggak suka pedes? Kamu kan orang Padang.” Saking seringnya
pertanyaan retoris ini diajukan saya sampai bosan mendengarnya.
Saya pernah baca buku yang bagus mengenai kajian beberapa
suku termasuk Padang. Bukan soal sukanya orang Padang pada cabe, kepandaian
berdagang, atau religius, tapi dilihat dari sisi psikologi dan bagaimana
rasanya jadi orang Padang. Penasaran kan? Pingin tahu? Nanti saja ya :).
Kalau Saya serving Dengar orang prancis Dan Aussie saling menghakimi. Mendengar Saya punya teman-teman orang Australia, kawan saya yg org Prancis heran, kok saya Bisa tahan brgaul sama org Aussie. ketika saya cerita sama teman saya yg Aussie kalau saya sedang marahan sama teman Perancis saya, teman Aussie bilang 'Ugh, orang Eropa memang begitu". dan saya dengar lebih dari 3 org loh. Dan ternyata lagi, teman2 saya di Ubud sering bilang, we hate French! Trus saya barusan nonton film. Dialogx gini
BalasHapus" god hate homoseksual!" " and French too" " WHO Said God hates French?!!" " Everybody hates French anyaway!!"
What d u think?