Sabtu, 10 Agustus 2013

Dari Telur ke Telur


Made sudah berumur  50 atau 60, saya tidak tahu pasti. Bersama dua orang temannya dia senang nongkrong di ujung jalan di atas sepeda motor-sepeda motor yang diparkir di sana. Nama-nama Bali memang membingungkan. Made adalah nama yang diberikan pada anak yang lahir dengan nomor urut dua, bisa laki-laki bisa perempuan. Jadi bayangkan saja betapa banyaknya Made dalam satu kampung. Made yang saya maksud sekarang bukan Made yang pernah saya ceritakan sebelumnya. Kalau yang itu adalah Made  Sopir, sedangkan yang ini untuk mudahnya sebut saja Made Telur. Nah, di antara bapak-bapak temannya yang dua lagi Made ini yang paling muda, paling lincah, dan paling gendut. Dia tidak segan-segan menyapa tamu  yang baru saja datang sambil membawa ransel besar dan kelihatan agak bingung mencari tempat menginap. “Hey Friend, looking for villa?” tanyanya sok akrab. Dia tidak patah semangat kalau yang disapanya itu sudah punya tujuan menginap yang pasti. Kalau belum, dia akan menawarkan vila milik anaknya dengan gencar.

Melihat saya pulang dengan bungkusan telur dari supermarket, Made menawari untuk membeli telur bebek darinya. Daripada capek-capek beli telur sendiri, belum lagi risiko pecah, katanya. Saya ragu-ragu. Buat saya telur bebek itu untuk diasinkan. Saya belum pernah makan telur bebek segar. Made tidak mau menerima alasan  saya. Dia bilang saya harus mencoba. Bebek-bebek miliknya diberi makanan berkualitas dan jelas asal-usulnya, tidak seperti ayam-ayam petelur yang serba meragukan. Bebek-bebeknya adalah binatang bebas, beda dengan ayam petelur yang diam di kandang saja. Selain itu telur bebek lebih besar, lebih banyak vitaminnya, blah blah blah…. Untuk melepaskan diri dari arus kata-katanya yang seperti banjir bandang saya mengiyakan saja. Made bilang dia akan segera mengantar telurnya. Oke, jawab saya. Lalu saya tersadar, saya kan baru beli telur. Saya tidak perlu telur lagi dalam waktu dekat. Tapi Made sudah menghilang entah ke mana di atas sepeda motornya.

Setelah itu mulailah babak baru dalam hidup saya, babak kehidupan yang dipenuhi  dengan telur.  Belum juga  saya sempat mandi keesokan harinya, pagi-pagi  Made sudah mengetuk pintu. Diletakkannya telur-telur ke atas tangan saya. Saya membayar sepuluh telur yang dibawanya. Empat hari kemudian dia menyerahkan sepuluh telur lagi. Saya protes, “Telur yang kemarin masih ada.” “O… kalau begitu lain kali saya datang seminggu sekali saja,” jawabnya. Dia datang seminggu kemudian, tapi sekarang membawa 20 telur. “Kalau cuma sepuluh tanggung, saya repot ngaturnya,” jawabnya menangkis protes yang saya lancarkan. Lalu dia menguraikan banyak alasan teknis kenapa itu merepotkan. Lho, dia yang kesulitan mengatur arus produksi serta pemasaran, kok saya yang kena getahnya. Saya yang tidak biasa makan telur untuk sarapan sekarang harus memakannya setiap pagi. Mungkin Made mengira saya makan telur setiap saat, untuk sarapan, selingan, makan siang, camilan, makan malam…. Pintar sekali dia ngomong dan memberi alasan. Bahkan kalau rumah saya kosong waktu dia datang, dia tidak kehilangan akal. Digantunginya cabang pohon bugenvil saya dengan telur-telur.

Sebagian besar telur itu saya berikan pada Kadek. Widiya dan Dewa Ayu juga saya bekali dengan telur bebek rebus untuk dibawa pulang. Tapi Made tidak perlu tahu, biasa-bisa dia pikir saya membutuhkan lebih banyak telur lagi untuk disumbang-sumbangkan. Sekali waktu saya berjalan tergesa-gesa melewatinya yang seperti biasa sedang nongkrong di ujung jalan. “Mau ke mana?” tanyanya. Saya jawab saya akan menemui teman yang sedang menginap di Hotel Tjampuhan. Tempat menginap teman saya ini penting untuk disebut, supaya dia tidak akan menawari vila, padahal saya sedang dalam keadaan buru-buru. Tapi saya salah kalau mengira bisa lolos begitu saja. Matanya bersinar seketika. “Temannya perlu mobil? Mungkin lukisan? Mau sewa sepeda? Sewa motor? Tour ke sawah?” Saya memasang senyum selebar mungkin supaya dia tidak tersinggung. “Sepertinya enggak. Maaf saya buru-buru….” jawab saya sambil terbirit-birit melarikan diri. Dia meneriaki saya, “Nanti sore saya antar telurnya!”

Saya suka ngrasani Made pada Aryo.Di depan Aryo saya menyebutnya Humpty Dumpty. Nama yang cocok, bukan saja karena dia menghujani saya dengan telur, tapi karena badannya yang bulat. Dia senang berkeliaran dengan baju kaos ditarik ke atas untuk mendinginkan perut buncitnya. “Ugh,” saya menirukan orang yang sedang mual. Saya bilang, “Aku nggak suka orang jelek.” Menurut saya jadi orang yang tidak jelek itu gampang saja. Jangan pergi ke mana-mana dengan memamerkan perut (mending buka baju sekalian) atau membiarkan gundukan tembakau menempel di gusi bagian depan. Aryo cuma ketawa.

Saya memang lebih bersimpati pada teman nongkrong Made yang dua orang lagi. Padahal salah seorang di antaranya, yang paling tua dan paling tinggi, tidak pernah memperlihatkan muka ramah pada saya. Setiap saya berusaha menyapa dia menjawab dengan geraman. Belum pernah saya melihat mulut cemberut yang bentuknya benar-benar melengkung ke bawah seperti punyanya. Tapi saya tidak pernah tersinggung dicemberuti olehnya (kalau takut sih iya :( ). Dia tidak suka para pendatang di desanya. Melihat usianya yang sudah tua saya memaklumi kekecewaannya melihat perubahan  begitu drastis yang telah terjadi di desanya. Pasti dia merindukan masa yang telah lampau ketika suasana masih sepi dan tentram tanpa banyak orang asing berkeliaran. Dia tetap mempertahankan sepotong kecil tanahnya dari incaran pemodal yang membangun sekumpulan cottage yang entah karena alasan apa arsiteknya merancangnya berbentuk rumah khas Jawa Tengah. Sawahnya yang sepetak itu menyempil di antara bangunan-bangunan cottage. Dia juga punya sepetak kecil sawah di belakang rumah saya. Dia sering terlihat bersama bebek-bebeknya di sana. Bersama Suwarji yang masih mempertahankan sawahnya, dia berjasa dalam menjaga kehijauan Ubud.

Aryo lebih mengidolakan Made yang riang gembira.  Katanya Made adalah pejuang, pintar memanfaatkan situasi desanya yang semakin ramai. “Jualan telur misalnya,” kata Aryo. Rupanya telur sudah ditakdirkan mengikuti saya ke mana saja. Malam harinya waktu saya ceklak-ceklik di depan laptop saya menemukan video Youtube yang menayangkan telur-telur dengan dua buah kuning dalam satu cangkang. Tidak tanggung-tanggung, perempuan ini yang baru belanja telur menemukan bahwa seluruh telurnya, 22 butir, semua bagian kuningnya kembar! Untung dia punya firasat bagus bahwa semua telur di mangkuknya punya keistimewaan. Suaminya disuruh mengambil gambar videonya ketika dia memecahkan telur-telur itu satu per satu. Saya nonton video itu sambil teriak-teriak senang sendiri. “Eh, satu lagi!” “Itu, satu lagi!” “Lagi! Lagi!” :D

Dokter kiropraktik saya suka ngobrol macam-macam sambil memberi perawatan. Dan apakah bahan obrolannya yang terakhir? Telur. Dia cerita bahwa neneknya adalah seorang pembuat telur asin. Waktu masih kecil dia senang membantu neneknya memilih telur. Diteropongnya telur itu satu per satu ke arah cahaya untuk memastikan kesegarannya dan terutama, untuk mencari telur yang punya kuning kembar. Telur berkuning kembar ini disisihkan dan disayang-sayang. Waktu dia kuliah di Australia neneknya datang berkunjung. Untuk cucu kesayangannya dia membuatkan dua lusin telur asin istimewa. Semuanya berkuning kembar. Telur-telur itu masih dalam keadaan setengah mentah dan berlepotan dengan abu. Waktu memasuki Australia telur-telur itu tanpa ba-bi-bu dibuang oleh petugas. Si nenek  mengamuk. Dipukulinya petugas pabean dengan tas tangannya sambil jerit-jerit. Saya ngakak mendengar cerita ini. Sekali ini petugas pabean Australia yang terkenal paling hobi membuangi barang ‘terlarang’ kena batunya. Tapi kasihan juga si nenek. Niatnya menyenangkan cucu tidak kesampaian.

Dokter saya bilang bahwa dalam seribu telur cuma ada dua yang berkuning kembar. Tapi kalau dipikir-pikir, saya rasa perbandingannya jauh lebih besar. Soalnya seumur-umur saya belum pernah menemukan telur seperti ini. Baik yang berasal dari dapur sendiri maupun dapur warung, restoran, atau kenalan dan saudara. Jangan-jangan telur berkuning kembar sudah dicegat mulai dari hulu dalam rantai distribusi. Kalau ingin mendapatkannya harus minta pada pembuat telur asin atau juragan telur.