Made sudah
berumur 50 atau 60, saya tidak tahu
pasti. Bersama dua orang temannya dia senang nongkrong di ujung jalan di atas
sepeda motor-sepeda motor yang diparkir di sana. Nama-nama Bali memang membingungkan.
Made adalah nama yang diberikan pada anak yang lahir dengan nomor urut dua,
bisa laki-laki bisa perempuan. Jadi bayangkan saja betapa banyaknya Made dalam
satu kampung. Made yang saya maksud sekarang bukan Made yang pernah saya
ceritakan sebelumnya. Kalau yang itu adalah Made Sopir, sedangkan yang ini untuk mudahnya
sebut saja Made Telur. Nah, di antara bapak-bapak temannya yang dua lagi Made
ini yang paling muda, paling lincah, dan paling gendut. Dia tidak segan-segan
menyapa tamu yang baru saja datang
sambil membawa ransel besar dan kelihatan agak bingung mencari tempat menginap.
“Hey Friend, looking for villa?”
tanyanya sok akrab. Dia tidak patah semangat kalau yang disapanya itu sudah
punya tujuan menginap yang pasti. Kalau belum, dia akan menawarkan vila milik
anaknya dengan gencar.
Melihat saya
pulang dengan bungkusan telur dari supermarket,
Made menawari untuk membeli telur bebek darinya. Daripada capek-capek beli
telur sendiri, belum lagi risiko pecah, katanya. Saya ragu-ragu. Buat saya
telur bebek itu untuk diasinkan. Saya belum pernah makan telur bebek segar. Made
tidak mau menerima alasan saya. Dia
bilang saya harus mencoba. Bebek-bebek miliknya diberi makanan berkualitas dan
jelas asal-usulnya, tidak seperti ayam-ayam petelur yang serba meragukan. Bebek-bebeknya
adalah binatang bebas, beda dengan ayam petelur yang diam di kandang saja. Selain
itu telur bebek lebih besar, lebih banyak vitaminnya, blah blah blah…. Untuk
melepaskan diri dari arus kata-katanya yang seperti banjir bandang saya
mengiyakan saja. Made bilang dia akan segera mengantar telurnya. Oke, jawab
saya. Lalu saya tersadar, saya kan baru beli telur. Saya tidak perlu telur lagi
dalam waktu dekat. Tapi Made sudah menghilang entah ke mana di atas sepeda
motornya.
Setelah itu mulailah
babak baru dalam hidup saya, babak kehidupan yang dipenuhi dengan telur. Belum juga saya sempat mandi keesokan harinya,
pagi-pagi Made sudah mengetuk pintu. Diletakkannya
telur-telur ke atas tangan saya. Saya membayar sepuluh telur yang dibawanya.
Empat hari kemudian dia menyerahkan sepuluh telur lagi. Saya protes, “Telur
yang kemarin masih ada.” “O… kalau begitu lain kali saya datang seminggu sekali
saja,” jawabnya. Dia datang seminggu kemudian, tapi sekarang membawa 20 telur.
“Kalau cuma sepuluh tanggung, saya repot ngaturnya,” jawabnya menangkis protes
yang saya lancarkan. Lalu dia menguraikan banyak alasan teknis kenapa itu
merepotkan. Lho, dia yang kesulitan mengatur arus produksi serta pemasaran, kok
saya yang kena getahnya. Saya yang tidak biasa makan telur untuk sarapan
sekarang harus memakannya setiap pagi. Mungkin Made mengira saya makan telur
setiap saat, untuk sarapan, selingan, makan siang, camilan, makan malam…. Pintar
sekali dia ngomong dan memberi alasan. Bahkan kalau rumah saya kosong waktu dia
datang, dia tidak kehilangan akal. Digantunginya cabang pohon bugenvil saya
dengan telur-telur.
Sebagian
besar telur itu saya berikan pada Kadek. Widiya dan Dewa Ayu juga saya bekali
dengan telur bebek rebus untuk dibawa pulang. Tapi Made tidak perlu tahu,
biasa-bisa dia pikir saya membutuhkan lebih banyak telur lagi untuk
disumbang-sumbangkan. Sekali waktu saya berjalan tergesa-gesa melewatinya yang
seperti biasa sedang nongkrong di ujung jalan. “Mau ke mana?” tanyanya. Saya jawab
saya akan menemui teman yang sedang menginap di Hotel Tjampuhan. Tempat
menginap teman saya ini penting untuk disebut, supaya dia tidak akan menawari
vila, padahal saya sedang dalam keadaan buru-buru. Tapi saya salah kalau
mengira bisa lolos begitu saja. Matanya bersinar seketika. “Temannya perlu
mobil? Mungkin lukisan? Mau sewa sepeda? Sewa motor? Tour ke sawah?” Saya memasang senyum selebar mungkin supaya dia
tidak tersinggung. “Sepertinya enggak. Maaf saya buru-buru….” jawab saya sambil
terbirit-birit melarikan diri. Dia meneriaki saya, “Nanti sore saya antar
telurnya!”
Saya suka ngrasani Made pada Aryo.Di depan Aryo
saya menyebutnya Humpty Dumpty. Nama yang cocok, bukan saja karena dia
menghujani saya dengan telur, tapi karena badannya yang bulat. Dia senang
berkeliaran dengan baju kaos ditarik ke atas untuk mendinginkan perut
buncitnya. “Ugh,” saya menirukan orang yang sedang mual. Saya bilang, “Aku
nggak suka orang jelek.” Menurut saya jadi orang yang tidak jelek itu gampang
saja. Jangan pergi ke mana-mana dengan memamerkan perut (mending buka baju
sekalian) atau membiarkan gundukan tembakau menempel di gusi bagian depan. Aryo
cuma ketawa.
Saya memang
lebih bersimpati pada teman nongkrong Made yang dua orang lagi. Padahal salah
seorang di antaranya, yang paling tua dan paling tinggi, tidak pernah
memperlihatkan muka ramah pada saya. Setiap saya berusaha menyapa dia menjawab
dengan geraman. Belum pernah saya melihat mulut cemberut yang bentuknya
benar-benar melengkung ke bawah seperti punyanya. Tapi saya tidak pernah
tersinggung dicemberuti olehnya (kalau takut sih iya :( ). Dia tidak suka para pendatang di
desanya. Melihat usianya yang sudah tua saya memaklumi kekecewaannya melihat
perubahan begitu drastis yang telah
terjadi di desanya. Pasti dia merindukan masa yang telah lampau ketika suasana
masih sepi dan tentram tanpa banyak orang asing berkeliaran. Dia tetap
mempertahankan sepotong kecil tanahnya dari incaran pemodal yang membangun
sekumpulan cottage yang entah karena
alasan apa arsiteknya merancangnya berbentuk rumah khas Jawa Tengah. Sawahnya
yang sepetak itu menyempil di antara bangunan-bangunan cottage. Dia juga punya sepetak kecil sawah di belakang rumah
saya. Dia sering terlihat bersama bebek-bebeknya di sana. Bersama Suwarji yang masih
mempertahankan sawahnya, dia berjasa dalam menjaga kehijauan Ubud.
Aryo lebih
mengidolakan Made yang riang gembira.
Katanya Made adalah pejuang, pintar memanfaatkan situasi desanya yang
semakin ramai. “Jualan telur misalnya,” kata Aryo. Rupanya telur sudah ditakdirkan
mengikuti saya ke mana saja. Malam harinya waktu saya ceklak-ceklik di depan
laptop saya menemukan video Youtube yang menayangkan telur-telur dengan dua
buah kuning dalam satu cangkang. Tidak tanggung-tanggung, perempuan ini yang
baru belanja telur menemukan bahwa seluruh telurnya, 22 butir, semua bagian
kuningnya kembar! Untung dia punya firasat bagus bahwa semua telur di
mangkuknya punya keistimewaan. Suaminya disuruh mengambil gambar videonya
ketika dia memecahkan telur-telur itu satu per satu. Saya nonton video itu
sambil teriak-teriak senang sendiri. “Eh, satu lagi!” “Itu, satu lagi!” “Lagi!
Lagi!” :D
Dokter
kiropraktik saya suka ngobrol macam-macam sambil memberi perawatan. Dan apakah
bahan obrolannya yang terakhir? Telur. Dia cerita bahwa neneknya adalah seorang
pembuat telur asin. Waktu masih kecil dia senang membantu neneknya memilih
telur. Diteropongnya telur itu satu per satu ke arah cahaya untuk memastikan
kesegarannya dan terutama, untuk mencari telur yang punya kuning kembar. Telur
berkuning kembar ini disisihkan dan disayang-sayang. Waktu dia kuliah di
Australia neneknya datang berkunjung. Untuk cucu kesayangannya dia membuatkan
dua lusin telur asin istimewa. Semuanya berkuning kembar. Telur-telur itu masih
dalam keadaan setengah mentah dan berlepotan dengan abu. Waktu memasuki
Australia telur-telur itu tanpa ba-bi-bu dibuang oleh petugas. Si nenek mengamuk. Dipukulinya petugas pabean dengan
tas tangannya sambil jerit-jerit. Saya ngakak mendengar cerita ini. Sekali ini
petugas pabean Australia yang terkenal paling hobi membuangi barang ‘terlarang’
kena batunya. Tapi kasihan juga si nenek. Niatnya menyenangkan cucu tidak
kesampaian.
Dokter saya
bilang bahwa dalam seribu telur cuma ada dua yang berkuning kembar. Tapi kalau
dipikir-pikir, saya rasa perbandingannya jauh lebih besar. Soalnya seumur-umur
saya belum pernah menemukan telur seperti ini. Baik yang berasal dari dapur
sendiri maupun dapur warung, restoran, atau kenalan dan saudara. Jangan-jangan
telur berkuning kembar sudah dicegat mulai dari hulu dalam rantai distribusi.
Kalau ingin mendapatkannya harus minta pada pembuat telur asin atau juragan
telur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar