Jumat, 07 September 2012

Libur Dulu

Dari tanggal 8 sampai 16 September saya akan pergi ke luar kota tanpa akses komputer, internet, bahkan hp. Jadi, libur dulu menulisnya. Sampai ketemu lagi setelah tanggal 16 ya! :)

Minggu, 02 September 2012

Balada Nama


Ada seseorang yang meminta untuk ditambahkan pada daftar teman saya di situs pertemanan Facebook. Namanya panjang dan megah sekali, seperti nama raja-raja Jawa zaman dulu, tapi tidak saya kenali. Fotonya juga tidak. Bagaimana mau kenal, la wong fotonya hanya menampakkan satu buah matanya saja yang di-close up? Untung orang ini masih bisa berpikir panjang karena dia juga meninggalkan pesan untuk memberi tahu jati dirinya. Kalau tidak, tentu permintaannya itu akan saya abaikan saja.

Ternyata dia adalah teman sekelas saya waktu kuliah dulu. Dan dia sudah berganti nama. Pantas saja saya tidak kenal. Setelah beberapa kali chatting saya tahu bahwa dia serius sekali dalam hal mengganti nama ini. Namanya yang baru sudah disahkan melalui pengadilan segala. KTPnya pun sudah dengan nama yang baru. Dia bilang tidak sembarangan dalam memilih nama. Dalam namanya yang baru itu terkandung mantra yang akan menyebabkannya selalu tampil awet muda, murah rejeki, dan terkenal. “Ng…, sudah tercapaikah cita-citamu itu?” tanya saya. “Tentu saja,” jawabnya. Memang saya lihat dari foto-fotonya bahwa dia terlihat awet muda, punya rumah bagus, dan sepertinya punya usaha pula selain berprofesi sebagai dosen. Kalau soal terkenal tadi? “Saya pernah diwawancara oleh TV Bandung,” jawabnya. Oh!

Dia bilang nama saya harus diganti juga. “Kamu mau jadi seperti apa?” tanyanya. Saya ikuti saja permainannya, sebuah obrolan iseng dan menghibur, walaupun sebenarnya diam-diam saya juga mengharapkan bisa punya uang banyak melalui nama yang membawa hoki, hehehe. Tapi akhirnya saya cuma bilang mau jadi orang yang spiritualis. Soalnya malu mau bilang pingin kaya, hehehe. Katanya lagi, kalau begitu nama saya harus ada huruf Z dan Unya. “Bagaimana kalau Zuc?” katanya. Heh, nama apaan tuh! Jelas saya protes. Akhirnya setelah dikotak-katik didapatlah nama Zuba. Oke deh, nama itu akan saya tulis di selembar kertas, kemudian saya segel dan simpan baik-baik ya? “Tidak bisa,” katanya. Harus disahkan di pengadilan, digunakan di KTP, dan jangan mau menoleh lagi kalau dipanggil dengan nama yang lama. Wah… berat banget syaratnya! Gagal deh saya berganti nama. Dan benar saja, sekarang kalau latihan meditasi kok rasanya susah ya. Ini pasti karena nama saya bukan Zuc. :(

Jelas saja saya tidak mau ganti nama. Nama saya itu menurut saya cukup bagus dan mudah diucapkan oleh orang dari negara mana saja. Paling tidak, dengan sedikit latihan orang yang pengucapannya tidak benar bisa diperbaiki dengan segera. Nama saya itu juga sama dengan nama seorang bintang film. Walaupun bintang film zaman dulu, dia cukup terkenal (di antara orang-orang seumuran orang tua saya kalee). Selain itu, asal-usul nama saya itu tidak begitu jelas, dan saya suka yang tidak begitu jelas. Seperti misteri, begitu, hehehe. Kata yang memberi nama, yaitu ayah saya sendiri, nama saya itu disebut dalam sebuah lagu ninabobok berbahasa Jerman. Dari situlah nama saya diambil. Saya kok ragu ya, menurut saya lebih mungkin nama itu dicontek dari poster film di bioskop, tapi ayah saya berkeras bahwa kejadiannya memang begitu. Ya sudahlah. Mana bisa saya membantah, kan waktu itu saya belum lahir.

Setiap orang punya nama favorit, dan saya paling suka nama-nama Bali. Nama kesukaan saya adalah Ngurah. Tapi saya suka juga nama-nama seperti Rajig, Pugig, Jembong, Gerebig, Lempad. Sayang, banyak sekali di antara mereka yang menyesuaikan namanya agar lebih berterima di tingkat nasional, seperti Dewi atau Ani. Nama-nama seperti itu kan biasa banget, ya. Sedangkan nama-nama yang luar biasa seperti John, Raffles, Winston Churchill, Washington, jangan salah, itu adalah nama orang Padang dan Batak!

Ketika anak kedua kakak saya lahir, saya terheran-heran karena dia belum menyiapkan nama, tapi sekaligus senang karena kami diberi kesempatan untuk memilihkan. Nah, bagus itu, sebagai tantenya saya tidak mau dong punya keponakan namanya Oneng atau Iteung (aduh, aduh, maaf, bukan bermaksud menghina. Tapi setuju kan bahwa nama itu kurang manis di telinga?). Kami sepakat bahwa nama yang harus dipilih jangan kebarat-baratan namun tetap enak didengar. Akhirnya pilihan jatuh pada Puti, diambil dari Puti Reno Bungsu, seorang ratu (atau putri raja ya?) Minangkabau. Saya agak kesal kalau ada yang merasa nama itu asing dan mengira nama yang sesungguhnya adalah Putri. Haduh, Putri itu kan nama yang banyak banget pemakainya :( (maaf, sekali lagi maaf).

Di kalangan kelas menengah atas ada kecenderungan untuk memberi nama yang berbau Barat pada anak.  Waktu saya masih bekerja di sekolah yang katanya bertaraf internasional, nama-nama yang saya dapati di antaranya adalah Caitlyn, Rebecca, Matthew, Steven, Henry dsb. Dan mereka itu semuanya anak Indonesia, lho. Ada sepasang adik kakak di sekolah itu yang namanya saya suka sekali, yaitu Prince dan Lady. Saya agak heran, kok bisa pas sekali ya. Kedua nama itu saya kenal dari buku seri Rumah Kecil karangan Laura Ingalls, bacaan favorit saya sejak kecil sampai sekarang. Seorang tokoh dalam cerita itu, yaitu Almanzo Wilder, punya pasangan kuda bernama Prince dan Lady. Mungkin orang tua anak-anak itu juga penggemar seri Rumah Kecil. Kalau saja dia adalah teman saya sendiri, tentu akan saya tanyai untuk memastikan. Tapi saya diam saja walaupun penasaran, karena tidak mau menyinggung perasaan orang tua. Padahal sih, kan kuda itu yang menggunakan nama manusia, bukan sebaliknya, ya.

Nama-nama yang keren di sekolah itu sepertinya agak asing bagi Pio, seorang penjaga sekolah yang juga sering merangkap sebagai pekerja serabutan di sana. Salah seorang ibu dari anak-anak ini pernah mendatangi saya dengan muka yang kurang senang. Dia bilang, “Masa nama anak saya ditulisnya begini?” Saya baca nama yang tertera pada CD berisi foto-foto yang dipesannya beberapa hari yang lalu, yang disodorkannya di depan hidung saya. Ternyata di sana tertulis STHEPFEN. Terang saja ibu Steven kurang senang. Aduh Pio…, kamu bikin malu saya saja. Saya tidak berani membela diri dengan mengatakan itu tulisan Pio, nanti dia malah protes kenapa penjaga sekolah mengerjakan pekerjaan yang seharusnya saya lakukan? Yah, terpaksa saya pasrah saja dianggap kampungan tidak bisa menulis nama anaknya dengan benar. :(

Kalau kita senang menggunakan nama yang kebarat-baratan, sebaliknya, sementara orang Barat pun suka nama-nama yang dianggap eksotis. Di Ubud ini saya dapati orang-orang bule bernama Yaari, Shanti, Samapan, Rama. Pasti mereka ini orang-orang yang berinisiatif mengganti namanya sendiri. Kalau teman saya yang diceritakan di bagian awal tadi mengganti nama setelah menghitung-hitung dan menggunakan primbon segala, mereka ini mungkin mengganti namanya setelah pergi ke India atau bahkan Tibet dan mendapatkan bisikan gaib setelah memperoleh pencerahan di sana. Aduh, macam-macam saja, tapi menarik juga sih untuk dibicarakan. Di kelas conversation beberapa tahun lalu kami juga membahas soal nama. “Nama untuk anak perempuan yang khas Cina biasanya diambil dari nama bunga,” kata salah seorang. “Kalau untuk anak laki-laki….” Belum selesai dia bicara gurunya iseng melanjutkan, “Diambil dari nama sayuran?” Terbayang tidak sih, ada orang namanya Kentang, Wortel, Kol. Hehehe.