Minggu, 20 April 2014

Pulang Kampung

Sawah yang habis dipanen dengan batang-batang padi yang terpotong dan gundukan batang padi yang coklat terbakar di sana-sini selalu membuat perasaan  agak sendu melihatnya. Pemilik sawah itu, Dirna, tidak perlu lagi datang ke sawah setiap hari. Hari Minggu ini adalah hari yang tenang. Bebek-bebek belum datang berombongan dengan ribut untuk memakani sisa-sisa padi yang tercecer setelah panen. Mungkin kabar tentang panen sawah Dirna belum diketahui para pemilik bebek. Semua gerakan seperti diperlambat, angin juga berhenti bertiup. Bukan cuma manusia, alam juga malas hari itu.

Lalu terlihat gerakan cepat dan tergesa di sebelah kiri atas. Seekor tupai sedang meniti kabel listrik dengan kaki-kakinya yang kecil. Dia bergerak dengan cepat dan ahli, pasti sekali dengan tujuannya. Dua ekor merpati bertengger di kabel itu juga dengan jarak agak jauh.Tupai tidak mengurangi kecepatannya ketika mendekati merpati pertama. Merpati tidak sudi bergerak untuk menyingkir. Dia mengibaskan sayapnya dengan jengkel ketika tupai itu menabrak badannya. Siut…. dalam satu gerakan saja Tupai membalikkan badan, sekarang bergerak masih dengan tergesa dengan posisi kepala di bawah. Lalu dia berbalik lagi dengan posisi normal, dan siut…, kembali berakrobat membalikkan badan ketika merpati kedua juga menamparnya dengan kibasan sayap. Tanpa terganggu dia melanjutkan perjalanan. Tupai berubah pikiran, tidak jadi meniti kabel sampai ujung. Dia menerjunkan diri ke atas pohon pisang lalu melarikan diri ke atas atap dan menghilang.

Paul memperhatikan kejadian itu dari jendela rumahnya. Itu sedikit menghiburnya. Banyak hal di daerah ini yang membuatnya jengkel—orang membangun tidak henti-hentinya, satu rumah selesai disambung dengan rumah lain. Sawah semakin banyak menghilang. Turis-turis berdatangan mengubah suasana desa dengan sangat drastis. Dia sering merindukan negaranya, Australia. Empat tahun dia tidak pernah pulang. “Di Australia, kamu bisa mengendarai mobil di jalan yang sangat lurus tanpa satu belokan sejauh bermil-mil dan tidak berpapasan dengan mobil lain… Kamu bisa berjalan di pantai berpasir putih dan menjadi satu-satunya orang di sana…. Kamu bisa pergi ke bush, diam di sana dan mencoba mendengarkan suara—dan kamu tidak mendengar apa-apa, tidak ada yang terdengar, bahkan suara angin.” Ubud sudah menjadi terlalu ramai baginya. Hanya dalam waktu empat tahun, puluhan rumah baru bertumbuhan di tempat yang tadinya sawah. Gergaji listrik bersuara melengking sering membuatnya gila.

Akan tetapi dia tahu dia akan sangat merindukan tempat ini. Sudah empat tahun dia tinggal di sini, di rumah yang sama. Belum pernah sekali pun dia tinggal selama ini di rumah yang sama, sejak umur enam belas ketika dia meninggalkan rumah orang tuanya untuk mulai hidup mandiri. Sekarang dia harus pergi, dan tidak merasa pasti apakah akan kembali lagi. “Kamu tahu,” katanya pada saya, “kepulangan saya ke Australia ini sudah ada yang meramalkan sejak lama. Tapi saya tidak mempedulikan. Saya tidak benar-benar mendengarkan.”

Peramal yang dimaksudnya itu adalah Oracle, nama yang diberikannya pada tokek yang tinggal di rumahnya. Sudah sering dia bilang bahwa Oracle pintar meramal, dan itu selalu membuat saya menghela napas panjang dan memutar mata. Tapi dia tidak terpengaruh. “Saya tahu kamu berbahasa Inggris dengan baik, tapi itu bukan bahasa ibumu,” katanya pada saya. “Oracle beda. Dia bicara bahasa Inggris dari hati, dan saya mengerti apa yang dikatakannya.” Oh, jadi bahasa Inggris saya dikalahkan oleh seekor tokek bali. Ini hal yang baru buat saya. Memang apa sih yang dikatakan Oracle agung yang pandai meramal itu? Macam-macam. Dulu dia sering bilang “Wacko. Wacko.” Itu kata Paul. Menurut pendengaran telinga saya kata-kata tokek itu adalah, “Tokek. Tokek.” Itu sebabnya reptil ini disebut tokek, saya mencoba menjelaskan. Sebagai jawaban Paul memandang saya dengan kasihan, seakan saya seorang anak polos yang tidak mengerti rahasia alam.

Oracle ini sering sinis, bahkan jahat dan berbahasa kasar. Kata-katanya yang lain adalah “F**k off. F**k off.” Waktu Paul sedang malas dan membuat-buat alasan untuk tidak memenuhi janji bertemu dengan seorang temannya, Oracle yang kadang-kadang bisa penuh pengertian memberinya semangat dengan, “Let’s go. Let’s go.” Paul jadi merasa dia diajak keluar rumah, bukan dipaksa. Yang tadinya malas sekarang semangat lagi. Tapi ini kejadian yang sangat jarang. Oracle lebih sering dalam keadaan normalnya yang jahat dan sinis tadi.

Lama-lama Oracle jadi sangat menjengkelkan. Dia sering bersuara tanpa mempertimbangkan waktu yang cocok, memberikan ramalan yang tidak diminta. Suaranya jadi semakin keras dan serak. Paul memberi tahu saya, “Ternyata Oracle itu seekor betina!” Waduh, mana saya tahu membedakan tokek jantan atau betina, apa lagi cuma dari suaranya saja. Terserah situ, deh. Setelah sering mengganggu Paul di tengah malam, Paul memutuskan bahwa Oracle harus disingkirkan. Dengan bahasa yang halus, dibuat pergi. Caranya dengan ditembak. Kalau yang ini saya tidak punya kata-kata yang halus.

Tapi bukan Oracle namanya kalau mudah saja disingkirkan. Dia tahu kapan harus bersembunyi. Jadi dia dengan tenang masih terus memberikan ramalannya. “Just go. Just go,” perintahnya. Dan Paul luput memperhatikan ramalan terakhirnya ini. Baru ketika dia harus pergi dia bilang, “Jadi itu yang dikatakan Oracle selama ini.” Saya jengkel mendengarnya. “Dari dulu, sekarang, dan nanti, tokek cuma bilang ‘tokek’,” jawab saya. Saya kaget sekali ketika dia menjawab, “Kamu benar. Oracle sebenarnya tidak bisa bahasa Inggris. Dia cuma asal bunyi.” Nah, gitu dong. Lega rasanya soal ini sudah selesai.

Seperti Aryo, Paul juga tidak suka anjing. Tapi dia suka ikan dan berbagai burung. Waktu masih remaja dia pernah menyelamatkan dan berusaha menyembuhkan burung elang yang patah sayapnya karena tertembak. Sudah lama burung ini dirawat, masih juga belum sembuh dan tidak sanggup terbang. Paul sudah membayangkan hari-hari suram yang menantinya sampai umur tiga puluhan. Burung itu cuma bisa meloncat-loncat, meliriknya dengan pandangan aneh dan berteriak serak, “Kroaaak, kroaaak…, sayang sekali ya, kamu tidak pernah menikah.” (Paul terlalu sibuk untuk punya pacar lalu menikah karena burung itu terus membebaninya). Tapi nyatanya Paul pernah menikah, jadi bisa dipastikan burung itu akhirnya sembuh.

Burung itu sembuh secara ajaib dan meninggalkan kandangnya secara ajaib pula. Kandang itu tidak punya bekas-bekas dibuka secara paksa. Paul merasa kehilangan sekaligus lega. Tiga hari kemudian dia melihat burung itu di sebuah pohon di desa tempat tinggalnya. Burung itu masih tinggal di pohon itu beberapa lama untuk mengucapkan terima kasih. Suatu hari dia pergi dan Paul tidak pernah melihatnya lagi.

Sebagai pencinta binatang liar Paul juga mengajari saya bagaimana mengerti bahasa kodok. Tinggal di daerah persawahan seperti ini, memang bagus sih pemandangannya, tapi harus siap mendengar suara kodok yang macam-macam jenisnya di malam hari. Memahami bahasa kodok itu jadi penting, karena sangat tidak enak kalau kita bengong sendiri di tengah-tengah percakapan yang tidak kita mengerti. Tidak perlu juga paham dengan tepat sekali, dan imajinasi juga merupakan hal yang penting di sini. Menurut Paul kodok-kodok itu bersahut-sahutan seperti ini:

“Krok-krok-kung.”
“Krok-krok.”
“Keh-keh-keh.”
“Kik-kik-kik.”
“Besok hujan tidak?” seekor kodok mulai bicara dengan jelas.
“Krok!”
“Yak!”
“Tauk!”
“(Barang)kali.”
“Besok hujan tidak?” Ini kodok yang lain, bukan yang tadi.
“Ha-ha-ha” (ada yang terbahak)
“Kik-kik-kik” (ada yang terkikik)
“Keh-keh-keh” (ada yang terkekeh)
“Sekarang giliran siapa?” seekor kodok bertanya.
“Saya! Euh…, besok hujan tidak?”
Semua kodok itu serempak terbahak, terkikik dan terkekeh. Habis pertanyaan seperti itu selalu ditanyakan setiap kodok di mana saja dan kapan saja.

Kalau kamu lalu ingin ikutan dengan konser mereka, boleh dicoba dengan menirukan suara mereka dengan keras dan usahakan semirip mungkin. Pasti salah satu akan menyahut.
“Ada yang mau ikutan! Diterima tidak?”
“Krok!”
“Kung!”
“Tauk!”
“Oke!”
Oke? Kok kedengarannya bukan seperti suara kodok? Oh, ini sih Oracle yang nimbrung. Memang antara “tokek” dan “oke” mirip ya?

Kamis, 02 Januari 2014

Perabot Beroda


Beberapa hari belakangan ini tempat saya kerja sering sekali memanggil teknisi komputer untuk datang. Internet yang ngadatlah, printer yang macet atau kehabisan tinta, program yang macet, layar monitor yang bergaris-garis, pokoknya macam-macam. Teknisi itu, Pak Gus, orangnya kalem sekali. Biarpun disambut dengan teriakan panik, atau ditelpon mendadak dan disuruh datang saat itu saja, dia tidak pernah bingung atau kesal atau apa pun. Karena selalu melihatnya cuek dan dingin, untuk memancing reaksinya saya memikirkan kata-kata apa yang bisa membuatnya sedikit bereaksi. Saya bilang begini, “Pak, kami ini klien yang baik, ya? Baru seminggu saja sudah nyuruh Bapak datang tiga kali. Mestinya dikasih diskon, tuh.” Dengan sangat kalem dia menjawab telak, “Jadual saya jadi berantakan gara-gara sering disuruh datang ke sini.” Sialan. Pintar juga dia menjawab.

Sudah agak lama saya ingin posisi meja saya diputar membelakangi jendela supaya jadi lebih lega. Saya juga sudah dipesankan komputer baru. Waktu Pak Gus datang untuk memasang komputer baru, saya pakai kesempatan itu memintanya menggeser letak meja sekalian. Menurut Pak Gus posisi membelakangi jendela itu kurang bagus karena cahaya matahari akan memantul di layar monitor. Silau. Saya tes dengan menyuruh Pak Gus memegangi monitor berhadapan dengan jendela untuk melihat ada pantulannya apa tidak. “Nggak masalah, kok, Pak,” kata saya. “Tapi sekarang sedang mendung. Kalau matahari sedang terang beda lagi,” jawabnya. Tapi saya yakin dengan keputusan saya. Saya sudah tidak sabar ingin posisi meja yang baru.

Setelah geser sana geser sini mengikuti kemauan saya yang ingin mencoba berbagai macam posisi meja, akhirnya Pak Gus mengatur dua meja kerja saya dalam bentuk huruf L. Dia bukan cuma memasang kabel, printer, dan mengetes komputer, tapi juga memindahkan semua file, alat tulis, buku-buku, dan semua yang berat-berat. Yang agak repot masalah kabel. Dengan pindahnya posisi meja, stop kontak lama tidak bisa digunakan lagi karena terlalu jauh letaknya. Pak Gus sibuk naik-naik meja dan mondar-mandir memecahkan masalah. Akhirnya beres juga. Saya mengelap permukaan meja dengan tisu basah untuk menghilangkan debu lalu duduk di depan layar monitor. Hah! Ada pantulan cahayanya. “Pak Gus, saya nggak suka letak mejanya. Cahaya matahari mantul di monitor,” kata saya. Untuk pertama kalinya muka Pak Gus yang selalu kalem itu bereaksi. Mulutnya melongo, matanya melotot tidak percaya. Saya bisa membaca pikirannya. “Apa?! Jadi mau minta pindah lagi?!  Mbak ini kelihatannya baik tapi ternyata sadis!”

Begitu juga reaksi Paul waktu saya ceritakan kejadian itu. Dia kaget. “Kamu cuma bercanda, kan?” “Nggak,” jawab saya, “memang ada pantulan cahayanya, kok.” Menurut Paul masalah itu dengan gampang bisa dipecahkan. Bikin saja meja beroda. “Jadi, kamu bisa geser meja itu kapan saja kamu mau, sambil mengikuti gerakan matahari dari timur ke barat.” Haduh, saran aneh seperti itu, siapa yang mau dengar? Tapi saya tidak heran saran seperti itu keluar dari mulutnya karena hampir semua perabot di rumahnya beroda. Mulai dari kursi bar, meja komputer, sampai meja kerjanya yang dua buah, semua ada rodanya. Juga meja tamu, sofa, meja berlaci dan lemari pakaian. Cuma tempat tidur saja yang tidak beroda. Tidak masalah untuk perabotan yang aslinya tidak beroda. Dia akan memasang sendiri rodanya. Mungkin pacarnya nanti juga akan dipasangi roda di kakinya. Begitu fanatiknya dia dengan roda. Tapi dia tidak sadar bahwa saya tidak begitu berminat pada idenya. “Gimana kalau saya datang ke kantormu dan memasang roda di semua perabot yang ada di sana? Tukang bersih-bersih pasti senang sekali, lebih mudah membersihkan ruangan yang perabotannya bisa digeser-geser.” Saya pura-pura tidak dengar dan cepat mengubah pembicaraan.

“Pohon apa itu? Dulu tidak ada,” tanya saya sambil melihat ke halaman. Paul bilang itu pohon alpukat. “Alpukat yang dulu?” tanya saya untuk meyakinkan. Katanya memang iya. Pohon alpukat itu dulu diikatnya dan batangnya ditahan supaya tumbuh mendatar ke samping. Dia mengharapkan pohon itu selain tumbuh ke samping, juga akan menumbuhkan cabang-cabang yang tegak lurus ke atas. Dengan begitu cabang-cabang beserta daunnya itu bisa sekaligus menjadi pagar. Tapi pohon alpukat itu punya rencana lain. Dia tidak suka diatur-atur orang. Dengan tenaganya sendiri dia berhasil membebaskan diri dari ikatan dan tumbuh normal ke arah atas. Pohonnya sudah lumayan tinggi sekarang. Paul bilang pohon itu harus ditebang karena tumbuhnya terlalu dekat ke pagar. Akarnya nanti bisa membongkar tembok pagar kalau pohon itu sudah benar-benar besar. Sayang sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi.

Kembali ke masalah komputer dan posisi meja, saya memang tidak menyuruh Pak Gus untuk mengembalikan meja ke tempat semula. Saya juga tidak tega kok. Tapi saya sudah cukup terhibur melihat reaksinya yang kaget bercampur takut. Lucu sekali. Sedangkan masalah pantulan di layar monitor, itu juga harus diselesaikan. Saya berpikir sebentar, bagaimana menyusun kata-kata supaya Pak Gus mau memindahkan meja tidak pakai ngambek. Apa menyuruh orang lain saja? Tapi karena saya sebenarnya suka dengan ruang kerja saya yang jadi lebih lega sekarang, kami memutuskan untuk memasang gorden saja di jendela. Saya panggil Pak Putu, pekerja kantor, supaya memindahkan gorden yang ada ke jendela di belakang saya.

Waktu sedang beres-beres bos saya datang. Ini sudah keempat kalinya saya merepotkan orang. Baru beberapa hari kerja di sana saya sudah minta pindah ke pojokan di mana mesin fotokopi diletakkan. Alasannya, banyak orang yang mondar-mandir di depan meja saya untuk pergi ke mesin fotokopi itu, saya jadi tidak bisa konsentrasi. Jadi, mesin fotokopi yang berat itu harus pindah ke ujung ruangan yang satunya lagi. Akibatnya lemari arsip juga harus pindah. Beberapa hari kemudian saya juga minta kaki meja saya dipendekkan. Selain itu saya juga minta dibuatkan meja mini yang diletakkan di atas meja kerja, untuk alas komputer. Dengan begitu keyboard letaknya rendah, sedangkan layar monitor jadi tinggi. Ini perintah dokter, bukannya saya mengada-ada, demikian saya terangkan ke bos saya. Semua ini dituruti. Sekarang, melihat Pak Putu yang sedang repot memasang gorden, bos diam. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Mungkin dia jadi mempertanyakan lagi keputusannya sudah mempekerjakan saya, jangan-jangan kerja saya pindah-pindah posisi dan bongkar pasang barang bakalan tidak ada habisnya. Saya coba terangkan bahwa posisi meja saya yang sekarang ini ideal sekali, tapi dia tidak menjawab. Setelah menanyakan sesuatu dia langsung pergi.

Sekarang sudah ada orang yang bilang suka dengan posisi baru meja saya. Katanya ruangan jadi lebih terang. Hm, apa hubungannya, ya? Mungkin maksudnya muka saya jadi lebih bersinar -ehem- karena duduk membelakangi sumber cahaya. Lama-lama bos juga senang. Dulu, kalau sedang perlu data di komputer saya, dia duduk di samping saya yang tempatnya sempit sekali. Setiap kali saya berdiri untuk ambil file dia harus berdiri juga dan keluar dulu untuk memberi jalan. Sekarang, dia bisa duduk di ujung meja yang bentuknya seperti huruf L dengan nyaman. Dia mudah melihat layar komputer karena berada di belakang agak ke samping kanan. Lemari arsip juga pas ada di sebelah kiri saya, tidak perlu lagi keluar meja untuk ambil arsip. Bos juga dapat tempat di meja untuk meletakkan buku dan coret-coret. Sepertinya dia betah duduk bermenit-menit di sana. Nah, kan? Lebih enak begini. Makanya, percaya deh sama saya.