Selasa, 19 Maret 2013

Heboh Ogoh-ogoh

Beberapa minggu sebelum hari Nyepi tiba ada kegiatan khusus yang membuat semua orang bergairah. Anak-anak rajin berkeliling mengumpulkan dana. “Untuk membuat ogoh-ogoh,” kata mereka. Para seniman desa mengerahkan seluruh kemampuannya dalam mencipta makhluk-makhluk menyeramkan dalam ukuran raksasa. Kalau saya sedang ada keperluan dan berboncengan mengitari desa-desa di Ubud di bale banjar-bale banjar terlihat potongan-potongan tubuh yang mengerikan. Tangan bercakar dengan kuku yang sangat panjang, kepala dengan mulut bertaring dan mata membelalak, tubuh raksasa berwarna biru dengan perut buncit, semuanya itu memberi gambaran tidak lengkap bagaimana jadinya nanti kalau para seniman itu sudah menyelesaikan kerjanya.

Puncak segala kesibukan ini pun tiba, yaitu sehari sebelum Hari Nyepi. Kata ngrupuk disebut-sebut. Otomatis saya teringat pada krupuk. Ngrupuk? Ramai-ramai makan krupuk? Saya tidak mau sok tahu dan menunggu saja. Lama-lama kan ngerti juga. Ternyata hari itu adalah Hari Pangrupukan. Rangkaian upacara yang dilakukan hari itu disebut ngrupuk, di antaranya mengarak ogoh-ogoh, acara yang paling dinanti-nanti oleh semua. Tidak semua daerah mengarak ogoh-ogoh pada waktu yang sama. Ada yang siang dan ada yang malam. Kalau kamu ingin nonton ogoh-ogoh saya anjurkan untuk memilih yang diselenggarakannya malam. Di sana imajinasi kamu akan berkembang lebih bebas dan kalau kamu memang berbakat (suka mengkhayal) efek yang dihasilkannya adalah takut tapi juga asyik.  Satu lagi anjuran, pilihlah lokasi di dekat perempatan jalan. Di simpang jalan inilah ogoh-ogoh akan menyajikan aksinya yang paling heboh. Simpang jalan dipercaya sebagai tempat di mana roh jahat banyak bersarang.

Sekitar dua hari sebelum ngrupuk orang Bali melakukan upacara Melasti dulu. Upacara ini diselenggarakan  di laut dan sungai karena air suci dipercaya bisa membersihkan semua kotoran dan peralatan upacara. Setelah peralatan upacara suci lagi, roh-roh jahat kena giliran juga untuk ditangani. Di sinilah ogoh-ogoh berperan. Ogoh-ogoh, atau patung raksasa berbentuk monster, melambangkan sifat jahat. Hari itu keributan dibuat sebesar mungkin, tujuannya agar roh jahat pergi jauh-jauh atau paling tidak mabok dengan segala keriuhan itu. Kemudian ogoh-ogoh dibakar. Sedangkan kesunyian dan kegelapan keesokan harinya di hari Nyepi, diharapkan akan mengecoh roh-roh jahat tadi. Mereka mengira Bali sudah ditinggalkan orang sehingga tidak ingin mendekat (nyebrang ke Jawa saja? :D).

Saya dan teman saya sudah siap sebelum jam yang ditentukan di jalan utama desa.  Semakin sore tempat itu semakin disesaki manusia. Tapi kebanyakan turis berkulit putih! Lho, mana penduduk setempatnya?  Rupanya, berdasarkan pengalaman bertahun-tahun mereka tahu bahwa acaranya pasti ngaret. Mereka punya bakat untuk datang tepat pada waktunya, menghampiri tempat kejadian perkara dengan santai tanpa tergesa kira-kira satu menit sebelum kejahatan berlangsung. Dalam hal ini kejahatan itu diwakili oleh ogoh-ogoh yang  mempertontonkan diri satu per satu. Sedangkan kami dan turis-turis yang lugu dan berniat baik  ini harus lama menunggu dan terpaksa menghibur diri dengan ngobrol untuk mengusir rasa bosan. Saya yang tadi terus mempertahankan tempat di barisan terdepan sudah capek dan mundur ke belakang, nongkrong di warung. Malah enak, karena di warung ini ada bangku yang niatnya akan saya panjat nanti.  

Ogoh-ogoh pertama muncul dari balik tikungan dengan dipanggul anak-anak muda dan didahului oleh bunyi gamelan. Ogoh-ogoh atau monster ini tidak hanya yang tradisional seperti Rahwana, Rangda, leak atau yang lainnya yang tidak saya kenal, dengan penampilan masing-masing  yang lebih dari jelek. Perut buncit, gigi bertaring, rambut panjang dan gimbal, mata melotot dan sebagainya. Ada juga ogoh-ogoh internasional. Ada nenek sihir lengkap dengan hidung panjang melengkung, topi runcing, dan sapu terbangnya. Ada serigala jadi-jadian alias werewolf. Ada Hulk juga. Wah, salah nih. Hulk itu meskipun tampangnya seram adalah pembasmi kejahatan. Tidak apalah. Orang di luar Bali juga sering mengira barong itu makhluk jahat karena penampilannya yang menyeramkan, padahal ini adalah makhluk halus baik hati yang selalu berperang melawan kemungkaran.

Ogoh-ogoh terseram menurut saya adalah yang matanya hanya berupa lubang. Di balik lubang ini, atau dalam batok kepalanya, ditempatkan lampu terang berwarna merah.  Saya tidak tahu apa nama monster ini, tapi matanya yang menyorot mengingatkan pada setan penghuni neraka yang sedang pelesiran di muka bumi. Dalam  film-film Hollywood, setan ini ketika membuka samarannya   warna matanya langsung berganti merah dan bersinar. Seram, sungguh! Maksud saya kedua-duanya, baik setan Hollywood maupun ogoh-ogoh ini. Namun secara keseluruhan efek yang dihasilkan oleh ngrupuk ini tidak seram-seram amat. Komentator yang bicara melalui pengeras suara malah mengganggu. Permintaannya agar para pemanggul ogoh-ogoh lebih giat menggoyang ogoh-ogoh di perempatan jalan sepertinya tidak perlu. Lagipula, memanggul ogoh-ogoh itu berat, tahu. Tempatnya juga kurang lega dan kabel listrik harus diangkat dengan galah agar ogoh-ogoh bisa lewat.  Tapi semua orang gembira. Anak-anak juga diberi kesempatan mengarak ogoh-ogoh berukuran kecil.

Kemudian kami mencoba pergi ke kota Ubud untuk makan malam. Bukan hal yang mudah, karena cuma di desa kami saja acaranya sudah selesai, di tempat lain belum. Maka kami harus kembali lagi karena tidak bisa lewat dan mengambil jalan memutar. Tentu saja ini juga percuma. Setelah membuat lingkaran besar mengelilingi desa-desa sekitar Ubud lagi-lagi motor  tertahan. Polisi mencegat dan motor harus diparkir di pinggir jalan. Saya ini bukan orang yang pintar dalam mengenali tempat. Mungkin kalau siang tempat itu masih bisa saya kenali, tapi malam-malam begini saya tidak tahu di mana tepatnya kami berada walaupun pasti tidak jauh-jauh darI Ubud. Kami memutuskan untuk menikmati pawai ogoh-ogoh lagi. Saya beli minuman dan kacang dulu di sebuah mini market untuk dinikmati sambil menunggu kedatangan para pemeran utama.

Dan ternyata sama sekali tidak rugi. Aneh sekali.Tempat ini dekat sekali dari Ubud maupun desa saya, tapi orang-orangnya beda. Tidak ada satu pun orang Kaukasia! Eh, ada satu orang ding. Dia ini sepertinya turis yang tidak tahan cuma nonton ogoh-ogoh sambil berdiri tenang. Dia ikut-ikutan memanggul ogoh-ogoh bersama puluhan pemuda lainnya, bergerak ke kiri, bergerak ke kanan, mengangkat ogoh-ogoh agar miring ke satu sisi dan kemudian menurunkannya lagi. Menurut saya turis yang kelewat bersemangat  ini sebenarnya tidak membantu,  justru terseret ke sana ke mari sebagai penggembira saja.

Pawai di sini terasa beda. Pemanggul ogoh-ogohnya sangat bersemangat. Kencang sekali suara alat musik yang ditabuh, begitu juga teriakan-teriakannya.  Ogoh-ogohnya kelihatan seperti hidup. Saya pandangi ogoh-ogoh tepat dari depan, sampai terasa ogoh-ogoh itu balik memandangi  saya dan datang  mendekat. Untungnya dia lewat terus dan tidak pergi ke trotoar tempat saya berdiri. Yang matanya bersinar merah memandangi saya lama sekali. Kami terus saja menonton meskipun jalanan sudah bisa dilewati lagi dari tadi. Setelah  arak-arakan lewat semuanya baru kami pergi dan bermotor memasuki Ubud.  Restoran dipilih yang bisa dicapai dan akses menuju ke sana tidak ditutup. Di restoran ini suasananya tenang dan temaram. Para pengunjung  tidak terpengaruh oleh kegilaan pesta di luar. Sedangkan yang masih berdiri menunggu di pinggir jalan, mereka ini masih ketagihan ogoh-ogoh dan ingin memenuhi malam dengan segala macam monster, setan, dan makhluk kengerian sebanyak-banyaknya. Semoga tidurnya bermimpi indah, eh seram, ya :).

Senin, 11 Maret 2013

Nyepi

Catatan: cerita ini saya tulis hampir setahun yang lalu. Waktu itu lengan dan bahu sedang sakit, susah dipakai ngetik. Waktu cerita selesai hari Nyepi sudah lama berlalu. Dengan datangnya hari Nyepi lagi, cerita ini saya munculkan sesudah sedikit diubah.

Dulu, cita-cita saya adalah berada di Bali pas sedang hari Nyepi. Adalah satu sensasi tersendiri berada di mana satu pulau serentak sunyi sepi, tanpa suara, tanpa kegiatan. Keinginan ini mulai timbul ketika sekelas dengan anak asal Bali di SMA dulu. Untuk memperingati hari Nyepi, koran satu lembar bernama Zblincker’s Gazette yang penerbitnya kelas kami sendiri dan isinya seputar gosip para selebritas kelas menurunkan berita mengenai hari raya ini. Berita itu dilengkapi dengan ilustrasi Komang berada di balik terali besi. Waktu itu belum zamannya komputer canggih seperti sekarang, jadi gambar itu hanya diambil dari pilihan yang sudah ada dan bentuknya seperti gambar kartun. Biarpun gambarnya tidak mirip, karena ada tulisan Komangnya orang dibuat percaya saja bahwa itu benar dia. Gambarnya yang sedang dipenjara cocok sekali karena dia tidak bisa ke mana-mana di hari itu.

Waktu pergi ke Bali untuk liburan dengan teman tidak pernah bertepatan dengan hari Nyepi. Usulan saya untuk pergi ke Bali di hari Nyepi ditolak. Malah sepertinya hari ini dihindari karena tidak mau rugi harus diam di tempat saja tidak bisa pergi ke mana-mana. Coba saya tahu kalau sehari sebelum Nyepi ada pawai ogoh-ogoh, kan nonton ogoh-ogoh bisa dipakai alasan untuk pergi ke Bali. Tapi waktu itu saya belum pernah dengar tentang ogoh-ogoh.

Karena ini Nyepi saya yang pertama di Bali, saya ingin melakukannya dengan benar. Tidak sekadar diam di rumah tapi sibuk nonton film atau ngobrol sepanjang hari atau membaca buku. Saya juga ingin menyepi di ‘dalam’. Kadek dan Nyoman tidak lupa mengingatkan saya untuk menyiapkan makanan sehari sebelumnya. Kelihatannya mereka khawatir kalau tiba-tiba saya ingin ke restoran padang atau ke supermarket untuk membeli bahan makanan. Takut saya ditangkap oleh pecalang? Saya beritahu mereka untuk tidak khawatir karena saya sudah tahu pantangan-pantangan hari Nyepi. Tapi entah kenapa Kadek masih juga memikirkan kesejahteraan saya. Menjelang jam makan siang dikiriminya saya nasi beserta lauk-pauk. Sepertinya makanan ini sudah disiapkan sehari sebelumnya.

Hari Nyepi ini tidak saya lewatkan sendiri. Saya ditemani. Bagus begitu, karena gabungan dari sepi ditambah sendiri pasti tidak enak, hehehe. Mulai dari bangun tidur sudah terasa sepinya. Tidak terdengar suara orang ngobrol. Mesin pengaduk semen juga libur hari ini. Tidak ada orang melintas di sawah. Sedikit siang terdengar suara Miss America dari rumah sebelah yang sibuk bertelpon ria. Untunglah akhirnya dia diam juga. Tapi ada satu suara yang terus berlangsung sampai tengah hari, suara yang tidak pernah saya sadari sebelumnya karena tertutup oleh suara-suara lain. Itu adalah suara ayam jago yang berkokok bersahut-sahutan. Jadi, saya yang selama ini percaya bahwa ayam jago hanya berkokok di pagi hari untuk membangunkan matahari ternyata salah besar! Jangan-jangan si ayam jago gendeng ini juga telmi. Dikiranya orang bangun karena jasanya. Karena hari itu orang-orang diam saja di dalam rumah, dikiranya belum bangun. Maka dibangunkannya lagi dan lagi. Nah, ternyata ketidaksukaan saya pada ayam jago punya alasan yang kuat, kan. Binatang ini tidak terlalu pintar.

Hari itu terasa sangat berbeda. Seperti ada suasana magisnya. Hari semakin terang dan burung-burung berhenti berkicau. Tidak ada satu suara yang bukan suara alam. Bunyi daun tertiup angin yang biasanya tidak disadari sekarang terdengar. Tapi sayangnya teman saya tidak begitu menghayati Nyepi. Apaan sih, katanya. Dia tidak keberatan diam di rumah dan bicara pelan-pelan serta tidak mengerjakan apa-apa, tapi tidak terima kalau dibiarkan sendiri sementara saya duduk di sudut. Maka setelah beberapa saat saya temani dia dan kami ngobrol dengan suara pelan. Rupanya Intan juga sependapat dengannya. Dia tersiksa tinggal di rumah yang suasananya sunyi mencekam serta muram sehingga tidak tertahankan lagi. Menghibur diri sendiri saja tidak boleh. Tadi masih kedengaran suaranya yang bernyanyi dengan riang tapi cepat dihentikan oleh yang berwenang. Maka Intan lari mencari suaka ke rumah saya yang berhasil diterobosnya melalui pintu yang tak terkunci. Lia segera menyusulnya, membujuk, dan menakut-nakuti dengan ancaman akan dimarahi oleh pecalang.

Intan mendekati saya untuk mencari pembelaan. Kali ini saya memunggunginya dan bersikap tidak peduli. Maaf Intan, alasan kamu mencari suaka tidak mendapatkan simpati dari saya. Khusus hari ini kamu harus bertingkah seperti perempuan dewasa dan duduk diam. Karena Intan terus saja merengek, saya gunakan taktik kuno yang pasti tidak disetujui oleh para psikolog maupun pendidik, yaitu menakut-nakutinya dengan ogoh-ogoh. Intan harus diam, kata saya. Ogoh-ogoh sedang berkeliaran sekarang ini, jadi kalau tidak mau didatangi, harus sangat sangat diam. Saya antar Intan yang sekarang bermuka tegang ke pintu supaya pulang. Oh, maafkan saya, Yang Maha Kuasa. Kalau Intan dewasa nanti punya ketakutan berlebihan dan tak beralasan pada ogoh-ogoh, itu salah saya. Ngaku deh.

Dosa saya itu mendapat hukumannya saat itu juga. Teman saya yang berdiri di samping saya yang sedang melihat Intan pergi bertanya pelan, “Apa itu?” Saya ikuti arah matanya yang memandang sudut pekarangan. Di sana tumbuh sederet daun-daunan hijau yang tingginya hampir satu meter. Tapi sekarang tanaman itu sebagian roboh, rata terinjak. Seakan-akan kaki raksasa yang melakukannya. Tidak ada hujan apalagi angin besar, kenapa tanaman itu roboh? Sambil bercanda saya bilang, ogoh-ogoh yang melakukannya. Dia sudah menginjakkan satu kakinya memasuki pekarangan, tapi kemudian melihat sesajen yang diletakkan di depan pintu oleh Kadek sehingga membatalkan niatnya.

Kami saling tersenyum dan menganggap itu lucu. Tapi mata teman saya terlihat sedikit waswas dan senyum saya tidak lepas. Terbayang mata salah satu ogoh-ogoh tadi malam yang menyorot terang dan berwarna merah, sementara puluhan anak-anak muda yang memanggulnya menggoyang-goyangkannya sehingga ogoh-ogoh itu bergerak naik turun dan kakinya menjejak-jejak begitu seram, diiringi oleh bunyi-bunyian yang diteriakkan serta gamelan yang ditabuh cepat dan keras. Kami masuk ke dalam rumah dengan diam-diam dan kali ini pintu dikunci rapat-rapat.

Untuk menutupi suasana yang sedikit tegang kami saling bercerita dengan kisah yang cocok dengan suasana. Saya mulai dengan kisah Dewi Shinta dan Rama. Dewi Shinta diculik Rahwana dan Rama minta Hanoman pergi membebaskannya. Ketika kisah berakhir dengan Shinta harus terjun ke dalam unggun api teman saya marah. “Apa? Keterlaluan Rama itu.” Dia bilang cerita itu salah sama sekali. “Harusnya bagaimana?” tanya saya. Dia bilang, cerita yang lebih bagus adalah Shinta menjadi bosan pada Rama sekembalinya ke kerajaan setelah diselamatkan oleh Hanoman. Walaupun Rama seorang raja, dia tidak romantis. Sedangkan Rahwana yang raksasa mengerikan itu pandai bersikap gallant dan menarik hati wanita. Shinta menyesali Hanoman yang sudah menyelamatkan dan mengembalikannya pada Rama. Adakah yang tersinggung dengan kisah yang diobrak-abrik ini? Mudah-mudahan tidak. Saya kemudian membuat cerita sendiri, bahwa Hanoman jatuh cinta pada Shinta dan setelah menyelamatkannya dari tangan Rahwana melarikan Shinta ke istananya di atas awan. Shinta senang hidup di sana, apalagi Hanoman juga mengajarinya terbang J .  

Setelah itu kami menghabiskan hari dan malam dengan tenang. Hanya ada suara kodok mendengkung di sawah. Rumah-rumah yang mengelilingi sawah tak satu pun yang menyalakan lampu baik di teras maupun di tamannya. Kalau ada lampu yang menyala, hanya sebuah dan nyalanya redup. Sunyi. Sepi. Hari Nyepi.

Rabu, 06 Maret 2013

Siapa Tinggal di Ubud (2)


Saya akan melanjutkan lagi cerita mengenai orang-orang yang saya temui di Ubud, masih dengan tema ‘apa yang membuat mereka datang’. Mari kita mulai.

Yang hidupnya monoton.
Tentu yang jadi bahan pembahasan ini akan menolak disebut hidupnya monoton. Mereka akan bilang beginilah cara menikmati hidup dengan sangat nikmat. Di belakang rumah saya agak ke samping kiri ada sebuah rumah yang ditinggali sebuah keluarga. Sudah berbulan-bulan mereka di sana. Entah dari negara mana, tapi kedua anaknya yang perempuan masih belasan tahun umurnya. Keluarga ini sangat tenang. Saya sering melihat salah seorang anaknya mondar-mandir di kamar, membereskan tempat tidur, menepuki bantal, dan menjemur berbagai taplak di teras. Anaknya yang lain bermenit-menit berjongkok di pematang sawah memperhatikan bunga liar berwarna putih. Kadang-kadang ketika ada hari besar Bali kedua anak remaja dan ibunya mengenakan kebaya sedangkan ayahnya bersarung dan berudeng, lalu semuanya meniti jalan setapak untuk pergi ke upacara. Kadang-kadang mereka bosan juga berada di satu tempat dan pergi untuk beberapa lama entah ke mana. Tapi, selalu, mereka kembali ke desa ini. Yang saya herankan, apakah mereka tidak sekolah? Ah, mungkin mereka mengikuti home schooling.

Rumah milik Billy juga sering disewakan kepada orang yang itu-itu saja. Mereka ini datang setiap tahun sampai 2-3 kali. Tinggal di rumah itu selama 2 bulan. Kerjanya berjam-jam membaca buku di teras. Selingan lainnya adalah ngobrol, baik dengan pembantu maupun sedikit orang yang diundangnya minum-minum. Seringnya berada di teras. Sudah. Kok nggak pergi surfing ya, atau jalan-jalan ke luar kota, atau apa kek, hehehe. Tapi saya akui hidup seperti itu enak juga. Berdiam di satu tempat untuk waktu cukup lama, menghayati kehidupan dan atmosfer suatu tempat, serta memiliki minat tentang bagaimana penduduk lokal hidup, tentu sama menariknya dengan berkunjung ke sebanyak mungkin tempat supaya bisa cerita ke handai tolan bahwa, “Saya pernah ke sini dan pernah ke situ.”

Yang pura-pura kerja.
Josh adalah orang Australia dan sudah sepuluh tahun tinggal di Ubud. Saya tidak tahu kepandaiannya berbahasa Indonesia, yang jelas dia tidak tahu apa itu laron. Orangnya kurang punya greget kalau bercerita. Cerita seru tentang ibu tirinya yang hampir diserang oleh kangguru diceritakannya dengan dingin-dingin saja. Menurut saya umurnya tidak lebih dari 35 tahun. Waktu saya tanya pekerjaannya dia bilang dia seorang desainer grafis. Klien didapatkannya melalui internet. Kadang-kadang mendapat pekerjaan melalui agen. Josh mengatakan, “Jangan mengharapkan kaya kalau tinggal di Ubud.” Saya kagum dengan kepandaiannya menyusun kalimat untuk mengatakan sesuatu secara tidak langsung. Kalau saya paling-paling cuma bilang, “Pekerjaan begini hasilnya tidak banyak.”

Baru setelahnya seorang kenalan yang lain bilang bahwa Josh punya sebuah rumah di Sydney yang diwarisi dari orang tuanya. Rumah itu disewakan dan hasil sewa itu yang terutama menutup biaya hidupnya sehari-hari. Saya rasa keputusannya tinggal di Ubud sangat tepat. Biaya hidup rendah kalau dibandingkan dengan Australia. Visa tidak ada masalah. Godaan untuk berhura-hura dan menikmati kehidupan malam tidak segencar di Kuta namun kehidupan sosial ala Australia bisa juga diperolehnya di sini. Jadi, tanpa kerja pun dia bisa hidup nyaman asal tidak boros.


Yang kerja kantoran.
Sungguh kasihan. Mereka ini terikat oleh jam kerja. Delapan jam sehari, lima hari seminggu. Walaupun begitu mereka selalu siap memanfaatkan waktu luang yang ada untuk menikmati apa saja yang bisa dinikmati oleh orang-orang yang lebih beruntung. Mungkin mereka menyesali diri karena bukan pelukis, penulis, atau pengusaha kafe, dan sabar menunggu sampai hari pensiun tiba.

Begitulah kira-kira gambarannya. Ini bukan gambaran lengkap lho, soalnya metoda ‘penelitian’nya juga tidak jelas alias seketemunya saja. Tidak ada wawancara segala macam, jadi pastilah banyak kurang dan tidak lengkapnya.
Anehnya, saya jarang ketemu orang Asia Timur seperti Jepang atau Korea yang sengaja tinggal di Ubud. Bukan berarti sama sekali tidak ada, kalau Ubud diubek tentu akan ketemu juga. Oh, maaf, ada ding seorang perempuan Korea yang datang teratur ke Ubud. Dia selalu ditemani oleh laki-laki penduduk lokal yang sama. Ada juga seorang perempuan Jepang  pemilik kafe tinggal di Ubud, tapi itu karena dia bersuamikan orang Inggris. Katanya sih orang Jepang tidak akan pindah ke luar negeri kecuali ditugaskan oleh kantornya. Sedangkan orang Indonesia biasanya pindah kota karena pekerjaan juga. Bisa ditugaskan oleh kantor atau karena memperoleh peluang kehidupan yang lebih baik di tempat lain. Sepertinya tidak banyak yang pindah semata-mata karena suka berada di suatu tempat. Ada juga sih yang pindah ke Ubud karena sudah neg dengan suasana kota dan nekat pindah ke sini walaupun  penghasilannya jadi berkurang jauh. Tapi orang-orang seperti ini jarang sekali. Lalu bagaimana dengan para pensiunan yang sudah tidak terikat lagi dengan pekerjaan? Mereka ini juga tidak bakalan pindah, karena tidak mau jauh-jauh dari anak dan cucunya.

Eh, ada yang ketinggalan. Ingin melahirkan secara normal juga bisa dijadikan alasan untuk tinggal sementara di Ubud. Contohnya adalah orang Medan ini. Hah, mau melahirkan saja kenapa harus ke Ubud, apa tidak ada tempat lain yang lebih dekat? Sepertinya perempuan ini kabur karena dokternya sejak awal mengatakan bayinya harus dilahirkan melalui operasi karena bayi yang dikandungnya sudah tahunan diusahakan dan baru berhasil sekarang, lagipula perempuan ini umurnya tidak lagi muda. Kalau dokter sudah bilang begitu, ke mana lagi harus cari dukungan? Ya ke Ubud, karena di sini ada satu klinik terkenal yang sangat mendorong perempuan untuk melahirkan secara normal.

Perempuan ini yang tadinya cuma berniat melahirkan ternyata jadi jatuh cinta pada Ubud. Waktu menemaninya mencari tempat di mana dia bisa tinggal saya ajak dia untuk melihat sebuah vila. Pertama dia menolak, karena vila terlalu mahal, belum lagi yang ingin saya tengok itu dari luar saja sudah terlihat besar. Saya membujuknya untuk mau masuk ke vila itu sekadar melihat-lihat. Yang penasaran sebenarnya saya, hehehe. Vila ini punya menara yang sudah lama ingin saya masuki. Maka masuklah kami setelah meminjam kuncinya. Pintu gerbangnya kami buka setelah mendaki beberapa anak tangga. Setelah melihat-lihat lantai pertama kami naik ke lantai dua, kemudian dari sini mendaki tangga lagi untuk pergi ke menaranya. Dan pemandangan dari sana, luar biasa! Jendela kacanya memberi kami pandangan seluas 360 derajat. Kami berada di tempat yang tinggi sekali. Punggung bukit yang pernah saya telusuri di acara jalan santai kelihatan menakjubkan di sebelah sana. Ubud menjadi lain kalau dilihat dari ketinggian seperti ini. Oh, andaikan aku burung yang bisa terbang tinggi sesukaku :).

Perempuan ini kembali ke rumahnya setelah melahirkan. Dua bulan lebih dia tinggal di Ubud. Niat awal datang ke Ubud hanya untuk melahirkan, sekarang dia jadi ingin datang lagi nanti, kalau ada waktu dan dana tentunya. Jadi, kalau kamu pergi ke Bali lagi nanti dan menganggap Ubud sama saja dengan tempat lainnya di Pulau Dewata, cobalah untuk tinggal sedikit lebih lama di sana. Berjalanlah di antara sawah-sawahnya, telusuri sungainya, bergabunglah dengan orang-orangnya, nikmati kehidupan malamnya yang tidak sehingar Kuta. Mungkin kamu akan merasakan getarannya dan akhirnya memutuskan untuk pindah ke Ubud. Maka saya akan menulis tentang kamu sebagai orang yang tinggal di Ubud, di bawah sub judul ‘yang terbujuk’ :).