Selasa, 19 Maret 2013

Heboh Ogoh-ogoh

Beberapa minggu sebelum hari Nyepi tiba ada kegiatan khusus yang membuat semua orang bergairah. Anak-anak rajin berkeliling mengumpulkan dana. “Untuk membuat ogoh-ogoh,” kata mereka. Para seniman desa mengerahkan seluruh kemampuannya dalam mencipta makhluk-makhluk menyeramkan dalam ukuran raksasa. Kalau saya sedang ada keperluan dan berboncengan mengitari desa-desa di Ubud di bale banjar-bale banjar terlihat potongan-potongan tubuh yang mengerikan. Tangan bercakar dengan kuku yang sangat panjang, kepala dengan mulut bertaring dan mata membelalak, tubuh raksasa berwarna biru dengan perut buncit, semuanya itu memberi gambaran tidak lengkap bagaimana jadinya nanti kalau para seniman itu sudah menyelesaikan kerjanya.

Puncak segala kesibukan ini pun tiba, yaitu sehari sebelum Hari Nyepi. Kata ngrupuk disebut-sebut. Otomatis saya teringat pada krupuk. Ngrupuk? Ramai-ramai makan krupuk? Saya tidak mau sok tahu dan menunggu saja. Lama-lama kan ngerti juga. Ternyata hari itu adalah Hari Pangrupukan. Rangkaian upacara yang dilakukan hari itu disebut ngrupuk, di antaranya mengarak ogoh-ogoh, acara yang paling dinanti-nanti oleh semua. Tidak semua daerah mengarak ogoh-ogoh pada waktu yang sama. Ada yang siang dan ada yang malam. Kalau kamu ingin nonton ogoh-ogoh saya anjurkan untuk memilih yang diselenggarakannya malam. Di sana imajinasi kamu akan berkembang lebih bebas dan kalau kamu memang berbakat (suka mengkhayal) efek yang dihasilkannya adalah takut tapi juga asyik.  Satu lagi anjuran, pilihlah lokasi di dekat perempatan jalan. Di simpang jalan inilah ogoh-ogoh akan menyajikan aksinya yang paling heboh. Simpang jalan dipercaya sebagai tempat di mana roh jahat banyak bersarang.

Sekitar dua hari sebelum ngrupuk orang Bali melakukan upacara Melasti dulu. Upacara ini diselenggarakan  di laut dan sungai karena air suci dipercaya bisa membersihkan semua kotoran dan peralatan upacara. Setelah peralatan upacara suci lagi, roh-roh jahat kena giliran juga untuk ditangani. Di sinilah ogoh-ogoh berperan. Ogoh-ogoh, atau patung raksasa berbentuk monster, melambangkan sifat jahat. Hari itu keributan dibuat sebesar mungkin, tujuannya agar roh jahat pergi jauh-jauh atau paling tidak mabok dengan segala keriuhan itu. Kemudian ogoh-ogoh dibakar. Sedangkan kesunyian dan kegelapan keesokan harinya di hari Nyepi, diharapkan akan mengecoh roh-roh jahat tadi. Mereka mengira Bali sudah ditinggalkan orang sehingga tidak ingin mendekat (nyebrang ke Jawa saja? :D).

Saya dan teman saya sudah siap sebelum jam yang ditentukan di jalan utama desa.  Semakin sore tempat itu semakin disesaki manusia. Tapi kebanyakan turis berkulit putih! Lho, mana penduduk setempatnya?  Rupanya, berdasarkan pengalaman bertahun-tahun mereka tahu bahwa acaranya pasti ngaret. Mereka punya bakat untuk datang tepat pada waktunya, menghampiri tempat kejadian perkara dengan santai tanpa tergesa kira-kira satu menit sebelum kejahatan berlangsung. Dalam hal ini kejahatan itu diwakili oleh ogoh-ogoh yang  mempertontonkan diri satu per satu. Sedangkan kami dan turis-turis yang lugu dan berniat baik  ini harus lama menunggu dan terpaksa menghibur diri dengan ngobrol untuk mengusir rasa bosan. Saya yang tadi terus mempertahankan tempat di barisan terdepan sudah capek dan mundur ke belakang, nongkrong di warung. Malah enak, karena di warung ini ada bangku yang niatnya akan saya panjat nanti.  

Ogoh-ogoh pertama muncul dari balik tikungan dengan dipanggul anak-anak muda dan didahului oleh bunyi gamelan. Ogoh-ogoh atau monster ini tidak hanya yang tradisional seperti Rahwana, Rangda, leak atau yang lainnya yang tidak saya kenal, dengan penampilan masing-masing  yang lebih dari jelek. Perut buncit, gigi bertaring, rambut panjang dan gimbal, mata melotot dan sebagainya. Ada juga ogoh-ogoh internasional. Ada nenek sihir lengkap dengan hidung panjang melengkung, topi runcing, dan sapu terbangnya. Ada serigala jadi-jadian alias werewolf. Ada Hulk juga. Wah, salah nih. Hulk itu meskipun tampangnya seram adalah pembasmi kejahatan. Tidak apalah. Orang di luar Bali juga sering mengira barong itu makhluk jahat karena penampilannya yang menyeramkan, padahal ini adalah makhluk halus baik hati yang selalu berperang melawan kemungkaran.

Ogoh-ogoh terseram menurut saya adalah yang matanya hanya berupa lubang. Di balik lubang ini, atau dalam batok kepalanya, ditempatkan lampu terang berwarna merah.  Saya tidak tahu apa nama monster ini, tapi matanya yang menyorot mengingatkan pada setan penghuni neraka yang sedang pelesiran di muka bumi. Dalam  film-film Hollywood, setan ini ketika membuka samarannya   warna matanya langsung berganti merah dan bersinar. Seram, sungguh! Maksud saya kedua-duanya, baik setan Hollywood maupun ogoh-ogoh ini. Namun secara keseluruhan efek yang dihasilkan oleh ngrupuk ini tidak seram-seram amat. Komentator yang bicara melalui pengeras suara malah mengganggu. Permintaannya agar para pemanggul ogoh-ogoh lebih giat menggoyang ogoh-ogoh di perempatan jalan sepertinya tidak perlu. Lagipula, memanggul ogoh-ogoh itu berat, tahu. Tempatnya juga kurang lega dan kabel listrik harus diangkat dengan galah agar ogoh-ogoh bisa lewat.  Tapi semua orang gembira. Anak-anak juga diberi kesempatan mengarak ogoh-ogoh berukuran kecil.

Kemudian kami mencoba pergi ke kota Ubud untuk makan malam. Bukan hal yang mudah, karena cuma di desa kami saja acaranya sudah selesai, di tempat lain belum. Maka kami harus kembali lagi karena tidak bisa lewat dan mengambil jalan memutar. Tentu saja ini juga percuma. Setelah membuat lingkaran besar mengelilingi desa-desa sekitar Ubud lagi-lagi motor  tertahan. Polisi mencegat dan motor harus diparkir di pinggir jalan. Saya ini bukan orang yang pintar dalam mengenali tempat. Mungkin kalau siang tempat itu masih bisa saya kenali, tapi malam-malam begini saya tidak tahu di mana tepatnya kami berada walaupun pasti tidak jauh-jauh darI Ubud. Kami memutuskan untuk menikmati pawai ogoh-ogoh lagi. Saya beli minuman dan kacang dulu di sebuah mini market untuk dinikmati sambil menunggu kedatangan para pemeran utama.

Dan ternyata sama sekali tidak rugi. Aneh sekali.Tempat ini dekat sekali dari Ubud maupun desa saya, tapi orang-orangnya beda. Tidak ada satu pun orang Kaukasia! Eh, ada satu orang ding. Dia ini sepertinya turis yang tidak tahan cuma nonton ogoh-ogoh sambil berdiri tenang. Dia ikut-ikutan memanggul ogoh-ogoh bersama puluhan pemuda lainnya, bergerak ke kiri, bergerak ke kanan, mengangkat ogoh-ogoh agar miring ke satu sisi dan kemudian menurunkannya lagi. Menurut saya turis yang kelewat bersemangat  ini sebenarnya tidak membantu,  justru terseret ke sana ke mari sebagai penggembira saja.

Pawai di sini terasa beda. Pemanggul ogoh-ogohnya sangat bersemangat. Kencang sekali suara alat musik yang ditabuh, begitu juga teriakan-teriakannya.  Ogoh-ogohnya kelihatan seperti hidup. Saya pandangi ogoh-ogoh tepat dari depan, sampai terasa ogoh-ogoh itu balik memandangi  saya dan datang  mendekat. Untungnya dia lewat terus dan tidak pergi ke trotoar tempat saya berdiri. Yang matanya bersinar merah memandangi saya lama sekali. Kami terus saja menonton meskipun jalanan sudah bisa dilewati lagi dari tadi. Setelah  arak-arakan lewat semuanya baru kami pergi dan bermotor memasuki Ubud.  Restoran dipilih yang bisa dicapai dan akses menuju ke sana tidak ditutup. Di restoran ini suasananya tenang dan temaram. Para pengunjung  tidak terpengaruh oleh kegilaan pesta di luar. Sedangkan yang masih berdiri menunggu di pinggir jalan, mereka ini masih ketagihan ogoh-ogoh dan ingin memenuhi malam dengan segala macam monster, setan, dan makhluk kengerian sebanyak-banyaknya. Semoga tidurnya bermimpi indah, eh seram, ya :).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar