Saya akan melanjutkan lagi cerita
mengenai orang-orang yang saya temui di Ubud, masih dengan tema ‘apa yang
membuat mereka datang’. Mari kita mulai.
Yang hidupnya monoton.
Tentu yang jadi bahan pembahasan
ini akan menolak disebut hidupnya monoton. Mereka akan bilang beginilah cara
menikmati hidup dengan sangat nikmat. Di belakang rumah saya agak ke samping
kiri ada sebuah rumah yang ditinggali sebuah keluarga. Sudah berbulan-bulan
mereka di sana. Entah dari negara mana, tapi kedua anaknya yang perempuan masih
belasan tahun umurnya. Keluarga ini sangat tenang. Saya sering melihat salah
seorang anaknya mondar-mandir di kamar, membereskan tempat tidur, menepuki
bantal, dan menjemur berbagai taplak di teras. Anaknya yang lain bermenit-menit
berjongkok di pematang sawah memperhatikan bunga liar berwarna putih. Kadang-kadang
ketika ada hari besar Bali kedua anak remaja dan ibunya mengenakan kebaya
sedangkan ayahnya bersarung dan berudeng,
lalu semuanya meniti jalan setapak untuk pergi ke upacara. Kadang-kadang mereka
bosan juga berada di satu tempat dan pergi untuk beberapa lama entah ke mana.
Tapi, selalu, mereka kembali ke desa ini. Yang saya herankan, apakah mereka
tidak sekolah? Ah, mungkin mereka mengikuti home
schooling.
Rumah milik Billy juga sering
disewakan kepada orang yang itu-itu saja. Mereka ini datang setiap tahun sampai
2-3 kali. Tinggal di rumah itu selama 2 bulan. Kerjanya berjam-jam membaca buku
di teras. Selingan lainnya adalah ngobrol, baik dengan pembantu maupun sedikit
orang yang diundangnya minum-minum. Seringnya berada di teras. Sudah. Kok nggak
pergi surfing ya, atau jalan-jalan ke
luar kota, atau apa kek, hehehe. Tapi saya akui hidup seperti itu enak juga. Berdiam
di satu tempat untuk waktu cukup lama, menghayati kehidupan dan atmosfer suatu
tempat, serta memiliki minat tentang bagaimana penduduk lokal hidup, tentu sama
menariknya dengan berkunjung ke sebanyak mungkin tempat supaya bisa cerita ke
handai tolan bahwa, “Saya pernah ke sini dan pernah ke situ.”
Yang pura-pura kerja.
Josh adalah orang Australia dan
sudah sepuluh tahun tinggal di Ubud. Saya tidak tahu kepandaiannya berbahasa
Indonesia, yang jelas dia tidak tahu apa itu laron. Orangnya kurang punya greget
kalau bercerita. Cerita seru tentang ibu tirinya yang hampir diserang oleh
kangguru diceritakannya dengan dingin-dingin saja. Menurut saya umurnya tidak
lebih dari 35 tahun. Waktu saya tanya pekerjaannya dia bilang dia seorang
desainer grafis. Klien didapatkannya melalui internet. Kadang-kadang mendapat pekerjaan
melalui agen. Josh mengatakan, “Jangan mengharapkan kaya kalau tinggal di Ubud.”
Saya kagum dengan kepandaiannya menyusun kalimat untuk mengatakan sesuatu
secara tidak langsung. Kalau saya paling-paling cuma bilang, “Pekerjaan begini
hasilnya tidak banyak.”
Baru setelahnya seorang kenalan
yang lain bilang bahwa Josh punya sebuah rumah di Sydney yang diwarisi dari
orang tuanya. Rumah itu disewakan dan hasil sewa itu yang terutama menutup
biaya hidupnya sehari-hari. Saya rasa keputusannya tinggal di Ubud sangat
tepat. Biaya hidup rendah kalau dibandingkan dengan Australia. Visa tidak ada
masalah. Godaan untuk berhura-hura dan menikmati kehidupan malam tidak segencar
di Kuta namun kehidupan sosial ala Australia bisa juga diperolehnya di sini.
Jadi, tanpa kerja pun dia bisa hidup nyaman asal tidak boros.
Yang kerja kantoran.
Sungguh kasihan. Mereka ini terikat
oleh jam kerja. Delapan jam sehari, lima hari seminggu. Walaupun begitu mereka
selalu siap memanfaatkan waktu luang yang ada untuk menikmati apa saja yang
bisa dinikmati oleh orang-orang yang lebih beruntung. Mungkin mereka menyesali
diri karena bukan pelukis, penulis, atau pengusaha kafe, dan sabar menunggu
sampai hari pensiun tiba.
Begitulah kira-kira gambarannya. Ini
bukan gambaran lengkap lho, soalnya metoda ‘penelitian’nya juga tidak jelas
alias seketemunya saja. Tidak ada wawancara segala macam, jadi pastilah banyak
kurang dan tidak lengkapnya.
Anehnya, saya jarang ketemu orang
Asia Timur seperti Jepang atau Korea yang sengaja tinggal di Ubud. Bukan
berarti sama sekali tidak ada, kalau Ubud diubek tentu akan ketemu juga. Oh,
maaf, ada ding seorang perempuan Korea yang datang teratur ke Ubud. Dia selalu
ditemani oleh laki-laki penduduk lokal yang sama. Ada juga seorang perempuan
Jepang pemilik kafe tinggal di Ubud,
tapi itu karena dia bersuamikan orang Inggris. Katanya sih orang Jepang tidak
akan pindah ke luar negeri kecuali ditugaskan oleh kantornya. Sedangkan orang
Indonesia biasanya pindah kota karena pekerjaan juga. Bisa ditugaskan oleh
kantor atau karena memperoleh peluang kehidupan yang lebih baik di tempat lain.
Sepertinya tidak banyak yang pindah semata-mata karena suka berada di suatu
tempat. Ada juga sih yang pindah ke Ubud karena sudah neg dengan suasana kota
dan nekat pindah ke sini walaupun penghasilannya jadi berkurang jauh. Tapi
orang-orang seperti ini jarang sekali. Lalu bagaimana dengan para pensiunan
yang sudah tidak terikat lagi dengan pekerjaan? Mereka ini juga tidak bakalan
pindah, karena tidak mau jauh-jauh dari anak dan cucunya.
Eh, ada yang ketinggalan. Ingin
melahirkan secara normal juga bisa dijadikan alasan untuk tinggal sementara di
Ubud. Contohnya adalah orang Medan ini. Hah, mau melahirkan saja kenapa harus
ke Ubud, apa tidak ada tempat lain yang lebih dekat? Sepertinya perempuan ini
kabur karena dokternya sejak awal mengatakan bayinya harus dilahirkan melalui operasi
karena bayi yang dikandungnya sudah tahunan diusahakan dan baru berhasil
sekarang, lagipula perempuan ini umurnya tidak lagi muda. Kalau dokter sudah
bilang begitu, ke mana lagi harus cari dukungan? Ya ke Ubud, karena di sini ada
satu klinik terkenal yang sangat mendorong perempuan untuk melahirkan secara
normal.
Perempuan ini yang tadinya cuma
berniat melahirkan ternyata jadi jatuh cinta pada Ubud. Waktu menemaninya
mencari tempat di mana dia bisa tinggal saya ajak dia untuk melihat sebuah
vila. Pertama dia menolak, karena vila terlalu mahal, belum lagi yang ingin
saya tengok itu dari luar saja sudah terlihat besar. Saya membujuknya untuk mau
masuk ke vila itu sekadar melihat-lihat. Yang penasaran sebenarnya saya,
hehehe. Vila ini punya menara yang sudah lama ingin saya masuki. Maka masuklah
kami setelah meminjam kuncinya. Pintu gerbangnya kami buka setelah mendaki
beberapa anak tangga. Setelah melihat-lihat lantai pertama kami naik ke lantai
dua, kemudian dari sini mendaki tangga lagi untuk pergi ke menaranya. Dan
pemandangan dari sana, luar biasa! Jendela kacanya memberi kami pandangan
seluas 360 derajat. Kami berada di tempat yang tinggi sekali. Punggung bukit
yang pernah saya telusuri di acara jalan santai kelihatan menakjubkan di
sebelah sana. Ubud menjadi lain kalau dilihat dari ketinggian seperti ini. Oh,
andaikan aku burung yang bisa terbang tinggi sesukaku :).
Perempuan ini kembali ke rumahnya
setelah melahirkan. Dua bulan lebih dia tinggal di Ubud. Niat awal datang ke
Ubud hanya untuk melahirkan, sekarang dia jadi ingin datang lagi nanti, kalau
ada waktu dan dana tentunya. Jadi, kalau kamu pergi ke Bali lagi nanti dan
menganggap Ubud sama saja dengan tempat lainnya di Pulau Dewata, cobalah untuk
tinggal sedikit lebih lama di sana. Berjalanlah di antara sawah-sawahnya,
telusuri sungainya, bergabunglah dengan orang-orangnya, nikmati kehidupan
malamnya yang tidak sehingar Kuta. Mungkin kamu akan merasakan getarannya dan
akhirnya memutuskan untuk pindah ke Ubud. Maka saya akan menulis tentang kamu
sebagai orang yang tinggal di Ubud, di bawah sub judul ‘yang terbujuk’ :).
Saya termasuk yg jatuh Cinta sama Ubud dan Ingin tinggal di sana. Tp skrg belum bisa:)
BalasHapusNice writing
Keep trying, Erik, hahaha....
BalasHapusMakasih komennya
mas, saya minggu depan akan pindah ke ubud untuk pekerjaan.
BalasHapusMaaf lho gangguin mas di blog milik mas sendiri hehehe...
tapi mas ada info kost / apartment murah nggak? yang mentok2 1jt / bln gitu?
Mohon bantuan lho mas... maap ganggu hehe
I love ubud so much..dan ingin sekali tinggal disana untuk melahirkan normal nantinya..semoga diijinkan-Nya..blog yang bagus..dan membacanya saja sudah 'terbujuk'..
BalasHapusTerima kasih Andhini ... dan semoga keinginannya terkabul nanti :)
Hapussaya mau nanya klo untuk stay lama di ubud ada penginapan murah atau questhouse gtu gak?klo untuk wanita sendriaan aman ga tinggal disana?
BalasHapusMaaf saya baru baca ini, sudah lama gak ngecek komen yang masuk. Ubud itu aman kok, lebih aman dibandingkan kota2 besar di P Jawa. Dan banyak juga guest house yang gak mahal. Tapi kalau mau tinggal lama, kalo gak mau kesepian harus keluar dan bergabung dg orang2. Bosen kan tinggal di guest house terus...
Hapusinsya allah bulan dpan sy pergi kesana dengan satu harapan kesuksesan
BalasHapusinsya allah bulan dpan sy pergi kesana dengan satu harapan kesuksesan
BalasHapusSemoga sukses :)
HapusJadi pengen tinggal di Ubud :)
BalasHapusSaya pengen tinggal dan berbaur dg salahsatu keluarga di ubud bbrp minggu. Untuk mengenal dan merasakan kehidupan disana, mengikuti kegiatan harian keluarga, berbaur dg kehidupan masyarakat.
BalasHapusApakah bisa bantu Saya?
heru.santoso234@gmail.com