Rabu, 06 Maret 2013

Siapa Tinggal di Ubud (2)


Saya akan melanjutkan lagi cerita mengenai orang-orang yang saya temui di Ubud, masih dengan tema ‘apa yang membuat mereka datang’. Mari kita mulai.

Yang hidupnya monoton.
Tentu yang jadi bahan pembahasan ini akan menolak disebut hidupnya monoton. Mereka akan bilang beginilah cara menikmati hidup dengan sangat nikmat. Di belakang rumah saya agak ke samping kiri ada sebuah rumah yang ditinggali sebuah keluarga. Sudah berbulan-bulan mereka di sana. Entah dari negara mana, tapi kedua anaknya yang perempuan masih belasan tahun umurnya. Keluarga ini sangat tenang. Saya sering melihat salah seorang anaknya mondar-mandir di kamar, membereskan tempat tidur, menepuki bantal, dan menjemur berbagai taplak di teras. Anaknya yang lain bermenit-menit berjongkok di pematang sawah memperhatikan bunga liar berwarna putih. Kadang-kadang ketika ada hari besar Bali kedua anak remaja dan ibunya mengenakan kebaya sedangkan ayahnya bersarung dan berudeng, lalu semuanya meniti jalan setapak untuk pergi ke upacara. Kadang-kadang mereka bosan juga berada di satu tempat dan pergi untuk beberapa lama entah ke mana. Tapi, selalu, mereka kembali ke desa ini. Yang saya herankan, apakah mereka tidak sekolah? Ah, mungkin mereka mengikuti home schooling.

Rumah milik Billy juga sering disewakan kepada orang yang itu-itu saja. Mereka ini datang setiap tahun sampai 2-3 kali. Tinggal di rumah itu selama 2 bulan. Kerjanya berjam-jam membaca buku di teras. Selingan lainnya adalah ngobrol, baik dengan pembantu maupun sedikit orang yang diundangnya minum-minum. Seringnya berada di teras. Sudah. Kok nggak pergi surfing ya, atau jalan-jalan ke luar kota, atau apa kek, hehehe. Tapi saya akui hidup seperti itu enak juga. Berdiam di satu tempat untuk waktu cukup lama, menghayati kehidupan dan atmosfer suatu tempat, serta memiliki minat tentang bagaimana penduduk lokal hidup, tentu sama menariknya dengan berkunjung ke sebanyak mungkin tempat supaya bisa cerita ke handai tolan bahwa, “Saya pernah ke sini dan pernah ke situ.”

Yang pura-pura kerja.
Josh adalah orang Australia dan sudah sepuluh tahun tinggal di Ubud. Saya tidak tahu kepandaiannya berbahasa Indonesia, yang jelas dia tidak tahu apa itu laron. Orangnya kurang punya greget kalau bercerita. Cerita seru tentang ibu tirinya yang hampir diserang oleh kangguru diceritakannya dengan dingin-dingin saja. Menurut saya umurnya tidak lebih dari 35 tahun. Waktu saya tanya pekerjaannya dia bilang dia seorang desainer grafis. Klien didapatkannya melalui internet. Kadang-kadang mendapat pekerjaan melalui agen. Josh mengatakan, “Jangan mengharapkan kaya kalau tinggal di Ubud.” Saya kagum dengan kepandaiannya menyusun kalimat untuk mengatakan sesuatu secara tidak langsung. Kalau saya paling-paling cuma bilang, “Pekerjaan begini hasilnya tidak banyak.”

Baru setelahnya seorang kenalan yang lain bilang bahwa Josh punya sebuah rumah di Sydney yang diwarisi dari orang tuanya. Rumah itu disewakan dan hasil sewa itu yang terutama menutup biaya hidupnya sehari-hari. Saya rasa keputusannya tinggal di Ubud sangat tepat. Biaya hidup rendah kalau dibandingkan dengan Australia. Visa tidak ada masalah. Godaan untuk berhura-hura dan menikmati kehidupan malam tidak segencar di Kuta namun kehidupan sosial ala Australia bisa juga diperolehnya di sini. Jadi, tanpa kerja pun dia bisa hidup nyaman asal tidak boros.


Yang kerja kantoran.
Sungguh kasihan. Mereka ini terikat oleh jam kerja. Delapan jam sehari, lima hari seminggu. Walaupun begitu mereka selalu siap memanfaatkan waktu luang yang ada untuk menikmati apa saja yang bisa dinikmati oleh orang-orang yang lebih beruntung. Mungkin mereka menyesali diri karena bukan pelukis, penulis, atau pengusaha kafe, dan sabar menunggu sampai hari pensiun tiba.

Begitulah kira-kira gambarannya. Ini bukan gambaran lengkap lho, soalnya metoda ‘penelitian’nya juga tidak jelas alias seketemunya saja. Tidak ada wawancara segala macam, jadi pastilah banyak kurang dan tidak lengkapnya.
Anehnya, saya jarang ketemu orang Asia Timur seperti Jepang atau Korea yang sengaja tinggal di Ubud. Bukan berarti sama sekali tidak ada, kalau Ubud diubek tentu akan ketemu juga. Oh, maaf, ada ding seorang perempuan Korea yang datang teratur ke Ubud. Dia selalu ditemani oleh laki-laki penduduk lokal yang sama. Ada juga seorang perempuan Jepang  pemilik kafe tinggal di Ubud, tapi itu karena dia bersuamikan orang Inggris. Katanya sih orang Jepang tidak akan pindah ke luar negeri kecuali ditugaskan oleh kantornya. Sedangkan orang Indonesia biasanya pindah kota karena pekerjaan juga. Bisa ditugaskan oleh kantor atau karena memperoleh peluang kehidupan yang lebih baik di tempat lain. Sepertinya tidak banyak yang pindah semata-mata karena suka berada di suatu tempat. Ada juga sih yang pindah ke Ubud karena sudah neg dengan suasana kota dan nekat pindah ke sini walaupun  penghasilannya jadi berkurang jauh. Tapi orang-orang seperti ini jarang sekali. Lalu bagaimana dengan para pensiunan yang sudah tidak terikat lagi dengan pekerjaan? Mereka ini juga tidak bakalan pindah, karena tidak mau jauh-jauh dari anak dan cucunya.

Eh, ada yang ketinggalan. Ingin melahirkan secara normal juga bisa dijadikan alasan untuk tinggal sementara di Ubud. Contohnya adalah orang Medan ini. Hah, mau melahirkan saja kenapa harus ke Ubud, apa tidak ada tempat lain yang lebih dekat? Sepertinya perempuan ini kabur karena dokternya sejak awal mengatakan bayinya harus dilahirkan melalui operasi karena bayi yang dikandungnya sudah tahunan diusahakan dan baru berhasil sekarang, lagipula perempuan ini umurnya tidak lagi muda. Kalau dokter sudah bilang begitu, ke mana lagi harus cari dukungan? Ya ke Ubud, karena di sini ada satu klinik terkenal yang sangat mendorong perempuan untuk melahirkan secara normal.

Perempuan ini yang tadinya cuma berniat melahirkan ternyata jadi jatuh cinta pada Ubud. Waktu menemaninya mencari tempat di mana dia bisa tinggal saya ajak dia untuk melihat sebuah vila. Pertama dia menolak, karena vila terlalu mahal, belum lagi yang ingin saya tengok itu dari luar saja sudah terlihat besar. Saya membujuknya untuk mau masuk ke vila itu sekadar melihat-lihat. Yang penasaran sebenarnya saya, hehehe. Vila ini punya menara yang sudah lama ingin saya masuki. Maka masuklah kami setelah meminjam kuncinya. Pintu gerbangnya kami buka setelah mendaki beberapa anak tangga. Setelah melihat-lihat lantai pertama kami naik ke lantai dua, kemudian dari sini mendaki tangga lagi untuk pergi ke menaranya. Dan pemandangan dari sana, luar biasa! Jendela kacanya memberi kami pandangan seluas 360 derajat. Kami berada di tempat yang tinggi sekali. Punggung bukit yang pernah saya telusuri di acara jalan santai kelihatan menakjubkan di sebelah sana. Ubud menjadi lain kalau dilihat dari ketinggian seperti ini. Oh, andaikan aku burung yang bisa terbang tinggi sesukaku :).

Perempuan ini kembali ke rumahnya setelah melahirkan. Dua bulan lebih dia tinggal di Ubud. Niat awal datang ke Ubud hanya untuk melahirkan, sekarang dia jadi ingin datang lagi nanti, kalau ada waktu dan dana tentunya. Jadi, kalau kamu pergi ke Bali lagi nanti dan menganggap Ubud sama saja dengan tempat lainnya di Pulau Dewata, cobalah untuk tinggal sedikit lebih lama di sana. Berjalanlah di antara sawah-sawahnya, telusuri sungainya, bergabunglah dengan orang-orangnya, nikmati kehidupan malamnya yang tidak sehingar Kuta. Mungkin kamu akan merasakan getarannya dan akhirnya memutuskan untuk pindah ke Ubud. Maka saya akan menulis tentang kamu sebagai orang yang tinggal di Ubud, di bawah sub judul ‘yang terbujuk’ :).

12 komentar:

  1. Saya termasuk yg jatuh Cinta sama Ubud dan Ingin tinggal di sana. Tp skrg belum bisa:)

    Nice writing

    BalasHapus
  2. Keep trying, Erik, hahaha....
    Makasih komennya

    BalasHapus
  3. mas, saya minggu depan akan pindah ke ubud untuk pekerjaan.
    Maaf lho gangguin mas di blog milik mas sendiri hehehe...
    tapi mas ada info kost / apartment murah nggak? yang mentok2 1jt / bln gitu?
    Mohon bantuan lho mas... maap ganggu hehe

    BalasHapus
  4. I love ubud so much..dan ingin sekali tinggal disana untuk melahirkan normal nantinya..semoga diijinkan-Nya..blog yang bagus..dan membacanya saja sudah 'terbujuk'..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Andhini ... dan semoga keinginannya terkabul nanti :)

      Hapus
  5. saya mau nanya klo untuk stay lama di ubud ada penginapan murah atau questhouse gtu gak?klo untuk wanita sendriaan aman ga tinggal disana?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maaf saya baru baca ini, sudah lama gak ngecek komen yang masuk. Ubud itu aman kok, lebih aman dibandingkan kota2 besar di P Jawa. Dan banyak juga guest house yang gak mahal. Tapi kalau mau tinggal lama, kalo gak mau kesepian harus keluar dan bergabung dg orang2. Bosen kan tinggal di guest house terus...

      Hapus
  6. insya allah bulan dpan sy pergi kesana dengan satu harapan kesuksesan

    BalasHapus
  7. insya allah bulan dpan sy pergi kesana dengan satu harapan kesuksesan

    BalasHapus
  8. Jadi pengen tinggal di Ubud :)

    BalasHapus
  9. Saya pengen tinggal dan berbaur dg salahsatu keluarga di ubud bbrp minggu. Untuk mengenal dan merasakan kehidupan disana, mengikuti kegiatan harian keluarga, berbaur dg kehidupan masyarakat.
    Apakah bisa bantu Saya?
    heru.santoso234@gmail.com

    BalasHapus