Senin, 11 Maret 2013

Nyepi

Catatan: cerita ini saya tulis hampir setahun yang lalu. Waktu itu lengan dan bahu sedang sakit, susah dipakai ngetik. Waktu cerita selesai hari Nyepi sudah lama berlalu. Dengan datangnya hari Nyepi lagi, cerita ini saya munculkan sesudah sedikit diubah.

Dulu, cita-cita saya adalah berada di Bali pas sedang hari Nyepi. Adalah satu sensasi tersendiri berada di mana satu pulau serentak sunyi sepi, tanpa suara, tanpa kegiatan. Keinginan ini mulai timbul ketika sekelas dengan anak asal Bali di SMA dulu. Untuk memperingati hari Nyepi, koran satu lembar bernama Zblincker’s Gazette yang penerbitnya kelas kami sendiri dan isinya seputar gosip para selebritas kelas menurunkan berita mengenai hari raya ini. Berita itu dilengkapi dengan ilustrasi Komang berada di balik terali besi. Waktu itu belum zamannya komputer canggih seperti sekarang, jadi gambar itu hanya diambil dari pilihan yang sudah ada dan bentuknya seperti gambar kartun. Biarpun gambarnya tidak mirip, karena ada tulisan Komangnya orang dibuat percaya saja bahwa itu benar dia. Gambarnya yang sedang dipenjara cocok sekali karena dia tidak bisa ke mana-mana di hari itu.

Waktu pergi ke Bali untuk liburan dengan teman tidak pernah bertepatan dengan hari Nyepi. Usulan saya untuk pergi ke Bali di hari Nyepi ditolak. Malah sepertinya hari ini dihindari karena tidak mau rugi harus diam di tempat saja tidak bisa pergi ke mana-mana. Coba saya tahu kalau sehari sebelum Nyepi ada pawai ogoh-ogoh, kan nonton ogoh-ogoh bisa dipakai alasan untuk pergi ke Bali. Tapi waktu itu saya belum pernah dengar tentang ogoh-ogoh.

Karena ini Nyepi saya yang pertama di Bali, saya ingin melakukannya dengan benar. Tidak sekadar diam di rumah tapi sibuk nonton film atau ngobrol sepanjang hari atau membaca buku. Saya juga ingin menyepi di ‘dalam’. Kadek dan Nyoman tidak lupa mengingatkan saya untuk menyiapkan makanan sehari sebelumnya. Kelihatannya mereka khawatir kalau tiba-tiba saya ingin ke restoran padang atau ke supermarket untuk membeli bahan makanan. Takut saya ditangkap oleh pecalang? Saya beritahu mereka untuk tidak khawatir karena saya sudah tahu pantangan-pantangan hari Nyepi. Tapi entah kenapa Kadek masih juga memikirkan kesejahteraan saya. Menjelang jam makan siang dikiriminya saya nasi beserta lauk-pauk. Sepertinya makanan ini sudah disiapkan sehari sebelumnya.

Hari Nyepi ini tidak saya lewatkan sendiri. Saya ditemani. Bagus begitu, karena gabungan dari sepi ditambah sendiri pasti tidak enak, hehehe. Mulai dari bangun tidur sudah terasa sepinya. Tidak terdengar suara orang ngobrol. Mesin pengaduk semen juga libur hari ini. Tidak ada orang melintas di sawah. Sedikit siang terdengar suara Miss America dari rumah sebelah yang sibuk bertelpon ria. Untunglah akhirnya dia diam juga. Tapi ada satu suara yang terus berlangsung sampai tengah hari, suara yang tidak pernah saya sadari sebelumnya karena tertutup oleh suara-suara lain. Itu adalah suara ayam jago yang berkokok bersahut-sahutan. Jadi, saya yang selama ini percaya bahwa ayam jago hanya berkokok di pagi hari untuk membangunkan matahari ternyata salah besar! Jangan-jangan si ayam jago gendeng ini juga telmi. Dikiranya orang bangun karena jasanya. Karena hari itu orang-orang diam saja di dalam rumah, dikiranya belum bangun. Maka dibangunkannya lagi dan lagi. Nah, ternyata ketidaksukaan saya pada ayam jago punya alasan yang kuat, kan. Binatang ini tidak terlalu pintar.

Hari itu terasa sangat berbeda. Seperti ada suasana magisnya. Hari semakin terang dan burung-burung berhenti berkicau. Tidak ada satu suara yang bukan suara alam. Bunyi daun tertiup angin yang biasanya tidak disadari sekarang terdengar. Tapi sayangnya teman saya tidak begitu menghayati Nyepi. Apaan sih, katanya. Dia tidak keberatan diam di rumah dan bicara pelan-pelan serta tidak mengerjakan apa-apa, tapi tidak terima kalau dibiarkan sendiri sementara saya duduk di sudut. Maka setelah beberapa saat saya temani dia dan kami ngobrol dengan suara pelan. Rupanya Intan juga sependapat dengannya. Dia tersiksa tinggal di rumah yang suasananya sunyi mencekam serta muram sehingga tidak tertahankan lagi. Menghibur diri sendiri saja tidak boleh. Tadi masih kedengaran suaranya yang bernyanyi dengan riang tapi cepat dihentikan oleh yang berwenang. Maka Intan lari mencari suaka ke rumah saya yang berhasil diterobosnya melalui pintu yang tak terkunci. Lia segera menyusulnya, membujuk, dan menakut-nakuti dengan ancaman akan dimarahi oleh pecalang.

Intan mendekati saya untuk mencari pembelaan. Kali ini saya memunggunginya dan bersikap tidak peduli. Maaf Intan, alasan kamu mencari suaka tidak mendapatkan simpati dari saya. Khusus hari ini kamu harus bertingkah seperti perempuan dewasa dan duduk diam. Karena Intan terus saja merengek, saya gunakan taktik kuno yang pasti tidak disetujui oleh para psikolog maupun pendidik, yaitu menakut-nakutinya dengan ogoh-ogoh. Intan harus diam, kata saya. Ogoh-ogoh sedang berkeliaran sekarang ini, jadi kalau tidak mau didatangi, harus sangat sangat diam. Saya antar Intan yang sekarang bermuka tegang ke pintu supaya pulang. Oh, maafkan saya, Yang Maha Kuasa. Kalau Intan dewasa nanti punya ketakutan berlebihan dan tak beralasan pada ogoh-ogoh, itu salah saya. Ngaku deh.

Dosa saya itu mendapat hukumannya saat itu juga. Teman saya yang berdiri di samping saya yang sedang melihat Intan pergi bertanya pelan, “Apa itu?” Saya ikuti arah matanya yang memandang sudut pekarangan. Di sana tumbuh sederet daun-daunan hijau yang tingginya hampir satu meter. Tapi sekarang tanaman itu sebagian roboh, rata terinjak. Seakan-akan kaki raksasa yang melakukannya. Tidak ada hujan apalagi angin besar, kenapa tanaman itu roboh? Sambil bercanda saya bilang, ogoh-ogoh yang melakukannya. Dia sudah menginjakkan satu kakinya memasuki pekarangan, tapi kemudian melihat sesajen yang diletakkan di depan pintu oleh Kadek sehingga membatalkan niatnya.

Kami saling tersenyum dan menganggap itu lucu. Tapi mata teman saya terlihat sedikit waswas dan senyum saya tidak lepas. Terbayang mata salah satu ogoh-ogoh tadi malam yang menyorot terang dan berwarna merah, sementara puluhan anak-anak muda yang memanggulnya menggoyang-goyangkannya sehingga ogoh-ogoh itu bergerak naik turun dan kakinya menjejak-jejak begitu seram, diiringi oleh bunyi-bunyian yang diteriakkan serta gamelan yang ditabuh cepat dan keras. Kami masuk ke dalam rumah dengan diam-diam dan kali ini pintu dikunci rapat-rapat.

Untuk menutupi suasana yang sedikit tegang kami saling bercerita dengan kisah yang cocok dengan suasana. Saya mulai dengan kisah Dewi Shinta dan Rama. Dewi Shinta diculik Rahwana dan Rama minta Hanoman pergi membebaskannya. Ketika kisah berakhir dengan Shinta harus terjun ke dalam unggun api teman saya marah. “Apa? Keterlaluan Rama itu.” Dia bilang cerita itu salah sama sekali. “Harusnya bagaimana?” tanya saya. Dia bilang, cerita yang lebih bagus adalah Shinta menjadi bosan pada Rama sekembalinya ke kerajaan setelah diselamatkan oleh Hanoman. Walaupun Rama seorang raja, dia tidak romantis. Sedangkan Rahwana yang raksasa mengerikan itu pandai bersikap gallant dan menarik hati wanita. Shinta menyesali Hanoman yang sudah menyelamatkan dan mengembalikannya pada Rama. Adakah yang tersinggung dengan kisah yang diobrak-abrik ini? Mudah-mudahan tidak. Saya kemudian membuat cerita sendiri, bahwa Hanoman jatuh cinta pada Shinta dan setelah menyelamatkannya dari tangan Rahwana melarikan Shinta ke istananya di atas awan. Shinta senang hidup di sana, apalagi Hanoman juga mengajarinya terbang J .  

Setelah itu kami menghabiskan hari dan malam dengan tenang. Hanya ada suara kodok mendengkung di sawah. Rumah-rumah yang mengelilingi sawah tak satu pun yang menyalakan lampu baik di teras maupun di tamannya. Kalau ada lampu yang menyala, hanya sebuah dan nyalanya redup. Sunyi. Sepi. Hari Nyepi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar