Rabu, 03 April 2013

Pantangan Kasta


Beberapa tahun yang lalu waktu rekan kerja saya yang orang India bilang bahwa pacarnya tidak disukai orang tuanya gara-gara kastanya lebih rendah, saya mendengarkan saja dengan terbengong-bengong. Waktu itu di tempat kerja saya ada beberapa orang Indianya. Dalam dua tahun saya sudah punya empat rekan kerja orang India, semuanya perempuan. Yang satu sudah saya ceritakan tadi, pacarnya tidak disetujui. Yang tiga lainnya menikah di usia muda, semuanya dijodohkan oleh orang tua, dan ketiga-tiganya pernah merasa kalut karenanya. Bagaimana keadaannya sekarang? Semuanya sudah memaafkan ‘pemaksaan’ dulu itu dan sekarang cukup bahagia dengan suami masing-masing. Tapi yang seorang mungkin belum benar-benar lupa, sehingga berjanji untuk tidak menghalangi-halangi putrinya untuk pacaran dan menikah dengan siapa pun yang disukainya. Sedangkan yang satu lagi percaya bahwa perjodohan adalah sebaik-baiknya cara, meskipun dulu dia resah harus pergi dari India pada awal umur dua puluhan untuk menikah dengan laki-laki yang, walaupun sebangsa, tinggal nun jauh di seberang lautan. Bayangkan, pergi dari negerinya sendiri ke negara yang tidak dikenal untuk menikah dengan laki-laki yang tidak dikenal juga. Sepertinya mengerikan. 

Buat kebanyakan orang Indonesia, sistem kasta bukan hal biasa. Dan perjodohan adalah salah satu cara menghindari perkawinan dengan orang yang kastanya tidak diharapkan. Lalu apakah di Bali sistem ini masih diterapkan? Setelah agak lama pergi ke luar kota, pulang-pulang saya mendapati seorang gadis baru yang akan bekerja di bawah pengawasan saya, yang sudah bergabung dengan Widiya beberapa lama. Namanya Candra. Tapi semua orang memanggilnya Dewa Ayu. “Gimana kalau panggilannya Dayu saja?” saya mengusulkan. Dewa Ayu cuma tertawa, dan itu artinya tidak. Hush. Lain kali hati-hati sebelum menyingkat nama orang, ya, saya mengingatkan diri sendiri. Perasaan saya bilang, nama Dewa Ayu itu hanya dimiliki oleh kasta tinggi. Karena itu sesudah kenal lebih dekat saya menanyakan apa kastanya. Ternyata kastanya adalah Brahmana, kasta pendeta, dan kakeknya adalah seorang pemangku (pendeta). Dewa Ayu santai-santai saja bahwa dia tidak bisa bergaul dengan sembarang cowok dan menikah nanti juga harus dengan yang sama kastanya. Susah lho, karena persentase kasta ini kecil sekali. Perjodohan adalah jalan keluarnya.

Suatu hari Widiya minta ijin untuk menghadiri pesta perkawinan temannya. Karena tahu kebiasaan di Bali, saya tanya, “Temannya sudah hamil belum?” “Sudah doong,” jawab Widiya. Memang itu kebiasaan di sini, bulan madunya duluan, baru upacara pernikahan menyusul. Tidak perlu malu kalau menikah dalam keadaan hamil. Buku Island of Bali karangan Covarrubias diterbitkan pertama kali pada 1937 namun masih menjadi referensi meyakinkan tentang Bali sampai hari ini. Digambarkan dalam buku ini, seorang pemuda Bali harus melarikan gadis pilihan hatinya. Begitu hilangnya gadis ini diketahui, sang ayah memukul kentongan agar orang-orang desa berkumpul. Ayah bertanya adakah yang tahu siapa yang membawa lari putrinya? Tentu saja semua bilang tidak. Kemudian regu pencari dibentuk untuk menemukan gadis itu. Dengan bersemangat semua orang sibuk mencari dan tidak ketemu, karena mereka tidak mau mencari di tempat yang benar. Orang tua gadis itu tahu, semua orang tahu dengan siapa gadis itu sekarang, tapi memang begitu aturannya. Semua orang gembira dengan permainan ini. Sementara itu kedua sejoli hidup dalam persembunyian. Seru, ya.

Namun itu adalah kebiasaan dalam kasta pekerja atau kasta Sudra. Seorang gadis bangsawan pantang berkelakuan liar seperti itu dan dia dijaga ketat sampai hari perkawinan tiba. Widiya juga bilang bahwa sekarang tidak perlu lagi para pasangan yang sedang kasmaran ini melarikan diri. Sang pemuda meminta ijin untuk membawa gadisnya kabur. Duh, gimana sih, masa kawin lari pakai minta ijin segala? Begitulah akibat dari perkembangan zaman. Adat lama jadi berkurang serunya. Tidak ada kentongan, tidak ada ribut-ribut, tidak ada ketegangan pura-pura. Perkembangan zaman juga yang melonggarkan pemisahan jenis pekerjaan. Sekarang bisa saja seorang karyawan berkasta Kesatria, sedangkan bosnya dari kasta Sudra.

Browsing saya di internet menginfokan bahwa kasta di Bali tidak seketat di India. Kasta Bali adalah pembagian jenis pekerjaan yang dimulai pada abad 14. Tapi saya tidak ingin tahu terlalu dalam, nanti kalau ketemu seorang Ida Bagus, Cokorda, atau Desak, bisa-bisa saya terus bertanya-tanya harus bersikap seperti apa. Lebih baik bersikap sebagai orang luar saja yang tidak tahu apa-apa, hehehe.

Tentang kasta ini, saya baru baca sebuah artikel tentang daerah di Bali yang hampir tidak mengenal perbedaan kasta. Mereka adalah suku Bali Aga, yang sudah mendiami Tenganan sejak sebelum agama Hindu datang. Memang di Bali ini banyak ragam adat dan budayanya yang sering berbeda dari satu daerah dengan daerah lain. Ngaben dilaksanakan di seluruh Bali? Tidak. Ada daerah yang mengubur orang mati atau hanya meletakkannya di atas tanah. Barong selalu berbentuk singa? Tidak. Ada barong yang berwujud celeng, macan, dan naga. Semua keluarga Bali tinggal di kompleks keluarga besar? Tidak. Ada daerah yang mempunyai kebiasaan setiap keluarga inti tinggal terpisah.

Waktu pergi ke Singaraja mobil kami tertahan karena ada pawai ondel-ondel. Yak betul, pawai ondel-ondel. Sopir saya tidak bisa bercerita banyak mengenai ondel-ondel ini, bahkan tidak tahu namanya dalam bahasa Bali karena boneka yang mirip dengan milik orang Betawi itu tidak ada di derahnya. Tapi dia tidak merasa heran seperti saya yang bolak-balik protes, “Kok ada ondel-ondel di Bali?” Setiap daerah punya kebiasaan masing-masing, tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah, walaupun semuanya itu adalah bagian dari upacara agama. Pelajaran penting untuk sementara orang yang suka ribut-ribut soal perbedaan, hehehe. (Catatan: lama sekali saya baru tahu bahwa ‘ondel-ondel’ itu adalah barong juga!).

Saya selalu menanti hal-hal baru. Setelah beberapa malam terdengar suara gamelan sayup-sayup yang bersumber dari pura yang didirikan di lembah dekat aliran sungai, Kadek bilang nanti malam pemangku akan menghidupkan roh orang mati. Saya sangat tertarik untuk nonton walaupun sadar bahwa mungkin kejadiannya tidak akan sengeri yang dibayangkan. Tapi acaranya baru berakhir sekitar jam dua pagi dan tidak seorang pun diperkenankan meninggalkan tempat sebelum acara selesai. Tidak ada yang mengawasi pintu keluar, tapi orang yang berusaha kabur langkah kakinya akan terasa berat sehingga tidak bisa pergi, Kadek menerangkan. Jadi, saya batal pergi. Sayang, padahal acara ini jarang diadakan.

Waktu sedang beres-beres lemari saya menemukan baju terusan yang sudah lama tidak dipakai. Baju ini baru dipakai sekali untuk foto bersama di studio. Saya suka sekali baju ini, motifnya batik berbunga. Sejak di toko baju ini sudah kekecilan tapi saya maksa beli karena suka model dan coraknya dan yakin bisa menurunkan berat badan dua atau tiga kilo. Mudah ditebak, niat saya yang begitu mulia ini tidak pernah kesampaian, sampai akhirnya keputusan berat harus diambil: berikan baju ini kepada orang yang lebih pantas memakainya yang tidak harus berjuang mengempiskan perut sambil loncat-loncat supaya baju ini bisa masuk. Pilihan saya jatuh pada Dewa Ayu, karena kelangsingannya yang membuat iri itu. 

Spontan saja saya membentangkan dan mengangkat baju itu supaya terlihat oleh Dewa Ayu. Dewa Ayu menolak, dan mukanya bereaksi seakan-akan saya sudah mengatakan sesuatu yang tidak pantas. Aduh, jangan-jangan saya salah lagi, ya. Saya biasa memberi dan menerima baju di antara teman-teman kalau memang suka bajunya. Mungkin memberi baju bekas itu tidak sopan? Tapi ini bajunya bagus kok, hampir baru lagi. Oh, ya sudah. Mungkin Dewa Ayu tidak suka modelnya, mungkin saya yang harus lebih peka dan belajar mana yang boleh dan tidak boleh dikatakan. Sampai sekarang baju itu masih ada di lemari, dan saya memperbarui niat untuk bisa turun dua atau tiga kilo. Doakan, ya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar