Karena ingin variasi, pagi-pagi saya pergi ke pasar
tradisional di Ubud. Seorang penjual tahu yang sudah kenal saya mengucapkan
selamat lebaran. Saya tertegun. “Lebarannya besok, bukan sekarang,” jawab saya.
“Bukan. Lebarannya sekarang. Memangnya Anda tidak merayakan? Kok tidak tahu?” pandangan
matanya tajam sekali seperti menuduh. Cepat-cepat saya bilang bahwa saya
pengikut Muhammadiyah yang merayakan Lebaran besok. Ibu itu mengiyakan saja.
Untung dia tidak tahu bahwa Muhammadiyah biasanya berlebaran sehari lebih awal,
bukan sehari terlambat.
Waduh, waduh, gawat ini. Saya langsung pulang dan minta
diantar ke tempat shalat Idul Fitri. Sampai di sana tempatnya sudah penuh,
maklum area yang tersedia agak sempit. Saya disuruh petugas untuk shalat Ied di
Gianyar saja yang lebih lega tempatnya. Gianyar? Paling tidak perlu waktu 20
menit, belum lagi cari-cari tempatnya yang pasti. Sampai ke sana pasti
terlambat juga. Ya sudah, pulang saja deh.
Beginilah akibatnya kalau tidak punya TV dan tidak suka baca
koran. Tidak tahu perkembangan dunia luar! Saya bukannya tidak pernah memeriksa
kalender (saya sudah punya kalender sekarang), tapi dari lirikan sekilas saja
saya lihat bahwa hari Senin tanggal 20 ditandai dengan warna merah. Bodohnya
saya, saya tidak sadar bahwa itu adalah libur hari raya kedua. Hari raya
pertama jatuh di hari Minggu, dan dari zaman dulu sampai sekarang hari Minggu
memang selalu ditandai warna merah. Makanya Neng, lain kali lebih teliti ya.
Ini bukan kejadian yang pertama kali. Baru saja tadi pagi
seorang kenalan baru memberi saya dua buah coklat Bengbeng sebagai kado ulang
tahun. Kado yang um… apa ya namanya? Sebut saja kreatif deh. Tidak apa-apa,
yang penting kan perhatiannya. Kado itu diberikan lebih awal karena dia sudah
mau berangkat ke pantai untuk berlibur. “Ulang tahun kamu sebenarnya hari Jumat
kan?” katanya. Dengan agak bingung saya menghitung-hitung, sekarang hari apa
ya? Untuk menutupi ketololan saya, saya bilang saya tahu ulang tahun saya
tanggal 24, saya tahu itu jatuh minggu ini, tapi saya tidak biasa
mengingat-ingat hari apa sekarang.
Saya punya prinsip bahwa mengingat hari itu cuma penting
untuk orang yang sedang bersekolah atau bekerja kantoran. Saya dulu juga
(hampir) selalu ingat akan hari. Tapi saya tidak pernah peduli mengenai tanggal
kecuali kalau sudah mendekati ujian atau gajian, hehehe. Pernah saya datang
kuliah di pagi hari Rabu padahal sebenarnya kuliah pagi itu setiap hari Kamis.
Karena sudah terlambat saya tidak bisa duduk di bagian belakang, tempat favorit
saya. Biasa, mahasiswa kan
berlomba-lomba duduk di belakang biar tidak ketahuan kalau ngantuk atau kalau pelajarannya
susah. Dengan agak bosan saya mencatat uraian dosen yang gayanya sangat monoton
dan baru sadar ada yang salah satu jam kemudian. Ini mata kuliah Statistik,
bukan Ekonometrika! Padahal saya sudah lulus Statistik tahun lalu. Dosennya
memang sama. Dan mata kuliahnya penuh dengan angka-angka yang juga mirip
pemecahan soalnya. Saya tidak bisa menandai teman-teman sekelas karena saya
menunda mengambil mata kuliah ini sampai tahun depannya sehingga para mahasiswanya
tidak saya kenal. Mereka satu angkatan di bawah saya.
Bagaimana ya caranya supaya benar-benar pasti? Masa saya
harus tanya ke tetangga sebelah, “Ini kuliah apa sih?” Pasti saya akan terlihat
seperti orang tolol. Saya baru yakin ketika daftar absen datang dan tertera
bahwa ini adalah kuliah Statistik. Sialan! Apakah saya harus menghabiskan satu
setengah jam berikutnya dengan bertopang dagu dan bete mendengarkan uraian
dosen yang sia-sia saja mengharapkannya mengucapkan sesuatu yang menarik?
Akhirnya dengan nekat saya berjalan dari bangku paling depan ke pintu keluar yang
terletak di belakang, dengan semua mata mengikuti langkah kaki saya. Kabuur!
Masih muda sudah pikun. Pergi kuliah dengan sepatu putih di
kaki kiri dan sepatu hijau di kaki kanan juga pernah. Pergi kuliah naik mobil
pribadi dan kemudian pulangnya naik angkot sementara mobil masih menunggu dengan
sabar di tempat parkir juga pernah. Lupa bawa dompet dan baru sadar setelah berada di angkot sehingga terpaksa minta dibayari penumpang lain juga pernah. Tapi bukan berarti saya ini seperti profesor
linglung, ya. Saya justru ingat hal-hal yang dilupakan oleh banyak orang. Saya
ingat pada anak baru di SMA dulu yang aneh sekali dan tidak bisa bergaul, tapi
sanggup membuat gadis paling cantik di kelas kami jatuh sakit keesokan harinya karena
ditolak (ini cuma goyonan a la kelas kami, karena dua peristiwa itu hanya
dihubung-hubungkan secara asal). Saya ingat ada murid dari kelas lain yang
nyelonong masuk ke kelas kami ketika tidak ada guru dan kemudian berkotbah
panjang lebar tentang surga dan neraka di depan semua murid. Saya ingat artikel
di koran yang penerbitnya adalah kelas kami sendiri yang isinya memberi alternatif
profesi yang bisa dipilih sesudah lulus, di antaranya buka bengkel ketok magic. Padahal ketika saya tes semua ingatan
itu pada teman sekelas, dia tidak ingat sama sekali! Nah lho, bukankah ingatan
itu sebuah misteri?
Saya kok tidak yakin bahwa tajamnya ingatan itu mutlak
berhubungan dengan usia. Ada orang yang lebih mudah mengingat kejadian di masa
lalu, tapi pelupa dengan detil-detil membosankan yang dianggapnya tidak
penting. Seperti saya, hehehe. Kalau anak kecil, Intan misalnya, ingatan jenis
apa yang bakalan lekat di otaknya ya? Dengan usianya yang empat tahun, apakah
bertahun-tahun kemudian dia akan teringat pada seorang perempuan baik hati dari
Bandung yang sering mengijinkannya bermain-main di kamarnya dan sering
memutarkan film Ratatouille atau Garfield dan meladeni kecerewetannya? Apa dia
juga ingat bahwa perempuan itu ternyata tidak sebaik yang kelihatannya, karena
barang-barang yang menarik seperti kamera, tempat pinsil, cairan pembersih kaca,
kosmetik, payung, kipas, mouse, teropong
semuanya disingkarkan ke atas lemari supaya tidak bisa diraihnya? Kotak tisu
saja disingkirkan ke sana!
Saya harap dia ingat yang baik-baik saja tentang saya. Kalau
bisa, kebaikan saya itu jadi berlebihan dalam ingatannya nanti. Ini mungkin
saja terjadi. Sering kan, ingatan masa kecil kita yang serba besar, serba
indah, serba lucu, dan serba-serba lainnya kemudian terbukti tidak sesuai
dengan kenyataan. Jangankan ingatan masa kecil, ingatan kita sebagai manusia
dewasa saja kadang tidak bisa diandalkan. Saya pernah pergi ke pelosok Jawa
Barat yang tidak direkomendasikan untuk turis. Jalannya berbatu-batu, sempit,
turun naik dengan tikungan tajam. Di sebelah sana saya melihat hutan cemara kecil
yang dihalangi kabut, dengan warna-warna seperti dari negeri dongeng tempat
para peri tinggal. Waktu serasa berhenti beberapa detik. Tidak ada yang lebih
saya inginkan selain kembali lagi ke sana. Ketika saya kembali minggu depannya,
keajaiban itu tidak ada lagi. Hanya ada hutan kecil dengan warna hijau yang
membosankan. Mengecewakan sekali. Jangan-jangan waktu itu saya hanya
berkhayal saja, atau kena tenung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar