Jumat, 20 Juli 2012

Cerita Reuni


Cerita reuni saya kali ini tidak lagi ada sinisme atau sarkasmenya, hehehe. Mari kita datang ke reuni dengan hati gembira dan senang. Jadi begitulah, setelah saling tunggu dengan menjadikan kemacetan sebagai kambing hitam, kami bertiga datang bersama-sama ke tempat reuni dengan sedikit terlambat. Oya, ini adalah reuni angkatan, jadi kalau semuanya hadir maka akan ada 11 kelas. Dari kelas saya yang hadir 19 orang. Cukup lumayanlah.

Kami disambut penerima tamu yang berpakaian putih abu-abu. Tadinya saya kira mereka adalah adik kelas yang sudah dipisahkan oleh tahun-tahun yang lama sekali. Kalau begitu sih sebutannya bukan ‘adik’ lagi ya, tapi ‘keponakan’ dan kami-kami ini adalah ‘tante’ dan ‘oom’ buat mereka. Dari dekat baru kelihatan bahwa roknya pendek sekali, hanya setengah paha. Mereka cantik-cantik dan berdandan lengkap dengan maskara, lipstik dan perona mata serta pipi. Rambut panjang terurai. Tahulah saya bahwa mereka di sana sedang bekerja, bukan mencari inspirasi dari kami-kami kakak kelasnya yang sudah berhasil jadi orang ini, hihihi. Boleh juga idenya, penerima tamu didandani seperti anak sekolahan. Asal saja nama sekolah saya tidak tertempel di baju ‘seragam’  dan kemudian mereka berkeliaran keliling kota naik angkot!

Teman saya Sussy sebelum masuk gedung agak senewen. Sadar dirinya pelupa, dia minta saya menyebutkan nama-nama teman kami sekelas. Tapi rupanya dia tidak perlu kuatir. Kami diberi pin lengkap dengan nama masing-masing. Tak lama kemudian saya melihatnya di seberang ruangan sedang ngobrol bersama Yanti. Sussy senang karena dia ingat nama dan wajah Yanti, tapi lupa, kapan mereka pernah sekelas? Setelah memberi tahu Sussy, Yanti yang sedikit keki menyimpulkan dengan pertanyaan retoris, “O… ternyata kita ini sekelas dari kelas 1, kelas 2, sampai kelas 3 ya, Sus?” :)

Lupa itu wajar, kan sudah tahunan berlalu. Kalau ingatan terlalu tajam malah mencurigakan. Ini seperti kejadian beberapa tahun yang lalu dalam reuni SMP. Kami yang berasal dari kelas berbeda-beda kebetulan berdiri berkelompok. Kenalnya ya baru pada saat itu. Tiba-tiba seorang laki-laki mendekat, menyalami kami satu-satu dengan cara orang Sunda. Sambil menyalami dia menyebut nama kami satu per satu. “Eh, Ika...” “Eh, Sri...” “Eh, Anna…” “Eh, Yuni…” dst. Kemudian dia langsung ngeloyor pergi. Kami semua terheran-heran. Bagaimana dia bisa tahu nama kami semua, padahal kami saja belum saling kenal sebelumnya? Kami saling bertanya-tanya, sampai pada akhirnya salah seorang menunduk dan terlihatlah name tag-nya tersemat di dada. Terang saja dia tahu! Kurang asem tuh orang….

Tapi untunglah daya ingat saya lumayan bagus untuk mengenali teman-teman sekelas di reuni SMA ini. Hanya Kiki yang bikin pangling sehingga saya terpaksa memandangi pin-nya untuk membaca namanya. Martin juga saya kenali berkat Facebook. Kalau tidak ada Facebook saya pasti tidak menyangka bahwa dia sudah sebotak itu sekarang. Hehehe, maaf Martin. Martin langsung menantang saya dan Sussy untuk menebak siapa laki-laki yang berdiri di sampingnya. Saya langsung ingat! Tapi cuma wajahnya, bukan namanya. “Tunggu, tunggu, jangan dikasih tahu dulu,” kata saya. Sesudah memeras otak beberapa saat tidak juga ketemu namanya, saya cuma bilang, “Pemusik kan?” Dwiono mengangguk senang. Tidak apa lupa nama, asal tidak lupa saja bahwa dulu saya anak band, mungkin begitu pikirnya.

Namun teman-teman saya masih mengenali saya kok. Yang tidak kenal ya itu karena sejak SMA memang tidak kenal saja. Kecuali Lily. Dia lupa karena rambut saya sekarang beda. “Di-rebonding ya?” Waduh, bukan Ly. Ini rambut saya yang asli, justru waktu itu rambutnya saya buat keriting (entah kerasukan apa saya waktu itu, maklum masih labil).

Rambut memang bisa bikin susah. Saya pernah menguping sebuah percakapan, masih dalam reuni SMP. ‘Ini Ibo,” kata seorang perempuan. “Beneran. Sumpah, gua Ibo. Emang rambut gua udah lurus, tapi beneran kok, ini Ibo,” katanya berusaha meyakinkan sementara teman-temannya memandang dengan dingin dan curiga. Hihihi, kalau sudah dapat julukan sayang ‘Ibo’ karena rambutnya kribo, ya jangan sekali-sekali meluruskan rambut! Akibatnya bisa tidak dikenali oleh teman-teman dekatnya sendiri.

Banyak kejadian, orang-orang yang tadinya tidak kenal kemudian jadi dekat setelah sama-sama menghadiri reuni. Atau bisa juga tiga tahun berada di kelas yang sama, baru kenal sifat aslinya bertahun-tahun kemudian, juga di reuni. Seperti teman sekelas saya Michael. Dengan senang hati dia mempromosikan teman lainnya yang punya bisnis saham. Alur promosi diarahkan olehnya, diselingi dengan komentar-komentar kocak. Aduh, Mike, kamu itu sudah lucu dari dulu-dulu, apa ya. Kok saya tidak tahu sih? Saya pikir dia itu orangnya pendiam. Tapi Sussy membantah. Katanya, Michael dari dulu juga sudah lucu.

Bicara bisnis di reuni tentu saja tidak dilarang. Siapa tahu kan, yang tadinya cuma senang-senang ternyata bisa juga membawa keuntungan. Tapi itu bergantung kepada jenis bisnisnya dulu. Yanti terang-terangan berkata bahwa dia tidak akan mau diperiksa oleh Boy yang dokter kandungan, sampai kapan pun. Betul Yan, setuju! Cari dokter kandungan yang sama sekali belum pernah kenal saja. Lain halnya untuk dokter yang lain. Begitu ketemu dengan teman yang saya tahu dulu kuliah di fakultas kedokteran, saya menyambutnya dengan sapaan, “Sekarang kamu jadi dokter apa Din?” “Dokter Rehabilitasi Medik,” jawabnya. “Kebetulan! Gini Din, aku punya masalah. Bla bla bla….” Yang dengar pada protes. “Woy, datang ke reuni jangan malah konsultasi!” Ah, masa bodolah. Ini kan kesempatan. Tapi sayang, ternyata Dindin tinggalnya di Cirebon, sudah begitu saya lupa lagi minta nomor teleponnya. Duh….

Acara yang paling ditunggu dalam reuni tentu saja foto bersama. Saya yang biasanya paling malas bawa kamera ke mana-mana untunglah saat itu bawa kamera saku. Mas tukang fotonya saya titipi kamera saya. “Mas, kalau mau motret bilang aba-abanya ya,” kata Michael, “biar kami sempat nahan perut.” Hehehe, tidak usah dipikirlah Mike, itu sudah jadi problem semua orang, kok. Maka kami pun bergaya dengan mengacungkan tiga jari. Tiga, artinya SMA 3. Tapi karena susunan jarinya yang khas itu juga bisa merupakan lambang dari musik Metal (apa ini sekarang masih berlaku ya?).

Sebelum pulang kami sempatkan lagi foto-foto. Di depan gedung didirikan foto dua anak SMA, laki-laki dan perempuan, dengan ukuran asli. Kedua wajahnya dilubangi. Nah, ini dia! Langsung saya ajak Kukuh untuk memasukkan muka ke sana dan… klik! klik! Jadilah saya punya foto berpakaian seragam putih abu-abu lagi. Kami berlima (sayang David dan Dina tidak bisa datang ke reuni) lalu foto bersama di depan kain merah yang bertulisan moto sekolah kami: Knowledge is Power but Character is More. Keren kan motonya? Sudah itu pamitan, dadah-dadahan, sampai ketemu lagi, kalau ke Bali mampir ya. Tidak ada pembahasan lagi mengenai pergi bersama mendaki Gunung Tangkuban Perahu lewat jalur Jayagiri. Zaman dulu saja hampir semaput menjalaninya, sekarang mau gagah-gagahan? Sudah ah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar