Jalan-jalan di sepanjang trotoar kota Ubud memang menggoda.
Restoran dari segala jenis makanan, kedai kopi, toko baju, toko suvenir, toko
asesoris, dsb., berlomba-lomba tampil semenarik mungkin agar naluri impulsif berbelanja
kita jadi tergelitik. Supir-supir ramai berteriak meneriakkan jasanya. “Taxi?” “Do you need taxi?” “Taxi, Miss?”
“Hello! Taxi?” Jalan seratus meter saja bisa ditawari taksi lima kali,
bahkan diteriakkan dari seberang jalan. Sebenarnya yang dimaksud bukan taksi
seperti di kota-kota besar. Mobil yang biasa dipakai adalah minibus, biasanya
Kijang, dengan tarif bergantung kepintaran kita nego. Di musim sepi liburan
biasanya mereka banting harga. Selain taksi jasa yang sering ditawarkan adalah
pijat. Gadis-gadis muda, kadang-kadang berseragam sarung, yang menawarkannya.
Kalau kita setuju untuk dipijat Mbak ini akan membawa kita memasuki sebuah gang
kecil. Tempatnya sempit, sepi, gelap, mencurigakan, bau kemenyan. Hehehe, ya
tidaklah.
Pemijat yang sekarang sering saya datangi namanya Gede. Dia
beserta istrinya membuka bisnis pijatnya di tempat yang sangat sederhana.
Kamarnya cuma dua, mungil sekali, hanya cukup untuk satu dipan, satu kursi dan
sedikit ruang tempat dia berdiri. Kamar yang satunya lagi agak besar karena
isinya ditambahi bath tub dan sebuah
toilet walaupun tempatnya mepet sekali, agar pelanggan yang baru luluran bisa
mandi. Toilet duduknya tidak mengeluarkan air dengan cara ditekan namun Gede
suami-istri menyediakan ember besar berisi air. Walaupun begitu, terlihat
tanda-tanda usaha mereka yang sangat maksimal untuk menghias tempatnya. Begitu
masuk kita disambut oleh patung Ganesha yang dikalungi untaian bunga.
Dindingnya penuh dengan gambar-gambar Budha, Krishna, Yesus, dan tokoh-tokoh
pewayangan seperti Hanoman dan Kurawa. Kadang-kadang musik meditasi juga
diputar, bersahutan dengan kicau tiga burung kenari yang sangkarnya digantung
di teras. Sarung, bunga dan handuk diatur cantik di atas dipan.
Ketika pertama kali memanfaatkan jasa ini saya minta dipijat
serta dilulur oleh istrinya. Ketika tiba waktunya mandi istri Gede memasak air
panas sepanci. Kemudian dia mempersilakan saya masuk ke bak yang sudah
diisi air hangat dan kelopak bunga. Ada servis tambahannya, yaitu, istri Gede
membasuh dan menyabuni tubuh saya seakan-akan saya seorang bayi saja. Hahaha.
Terus terang saya lebih suka mandi sendiri, tapi bukan itu alasannya saya tidak
pernah minta dipijat lagi oleh istri Gede. Pijatannya kurang keras.
Otot sekeras batu yang saya miliki hanya bisa ditaklukkan oleh yang bertenaga
besar. Jadilah saya pindah ke sang suami, Gede.
Biasanya saya akan masuk ke kamar lebih dahulu sementara
Gede menunggu di luar. Setelah melepas pakaian dan menumpuknya di kursi dan
menyelubungi badan dengan sarung dan kemudian berbaring telungkup di dipan,
saya memanggil Gede. Pertama dia akan menekan punggung saya dengan sangat keras
sampai terdengar suara tulangnya krek-krek-krek. Sedap! Saya memang memilih deep tissue massage, pijatannya keras
dan bayarnya sedikit lebih mahal. Pijat seperti ini yang saya suka, walaupun
kadang-kadang saya terpaksa meringis kesakitan dan minta tekanannya sedikit
dikurangi. Gede sedikit terkekeh seakan ingin bilang, “Makanya jangan
sok belagu minta dipijat keras-keras.” Tapi pada umumnya pijatannya enak
sekali, bisa bikin mata merem melek. Saya suka dipijat oleh Gede karena dia
sopan dan tidak banyak ngobrol kalau saya sedang tidak ingin ngobrol. Ketika menyuruh
saya membalik badan menjadi terlentang dia akan memegangi sarung sehingga
terbentuk tirai yang menghalangi pandangannya, hehehe.
Beberapa teman saya tidak suka dipijat. Rata-rata bilang
dipijat itu geli, tapi ada juga yang cukup jujur mengatakan bahwa alasan
sebenarnya adalah tidak suka membuka pakaian di depan orang lain dan
dipegang-pegang. Saya rasa ini memang soal yang agak peka. Untuk saya pribadi,
saya tidak mau manfaat pijat tidak didapat hanya karena soal ini. Mbak-mbak
pemijat yang bekerja di spa betulan alias mahal sepertinya punya kode etik untuk
tidak mengomentari tubuh kita, entah itu bagus atau kurang bagus. Seperti Mbak
pemijat yang memijat saya di spa terkenal di Bandung, dia cukup beretika untuk
tidak mengomentari tubuh saya, tapi celetuknya adalah, “Celana dalamnya
warnanya bagus.” Saya terbengong-bengong mendengarnya. Komentar seperti ini
harus dijawab apa coba? :D
Sebenarnya spa mahal bukan jaminan bahwa pijatannya pasti
memuaskan. Saya pernah mencoba spa semacam ini di Ubud, bangunannya luas,
bagus, ada taman dan kolamnya, tapi ternyata… pijatannya lembek sekali. Begitu
juga pijatan creambath-nya. Waktu
keramas Mas yang mencuci rambut saya memasukkan air ke kuping dan bukannya
memijat kulit kepala dengan ujung jari dia menggaruk keras-keras dengan kuku.
Hmmfftt. Sakit tahu! Ini memang masalah klasik. Banyak sekali kapster yang
tidak bisa membedakan antara memijat dan menggaruk.
Pernah saya dipijat oleh pemijat laki-laki yang
direkomendasikan oleh Kadek. Seperti bisa ditebak, pemijat ini masih ada
hubungan keluarga dengannya. Pertama sih oke-oke saja, tapi kemudian dia cerita
tentang para langganannya yang minta dipijat untuk membesarkan pinggul,
membentuk betis yang tadinya kurus jadi montok, membesarkan payudara, dan
mengencangkan kulit seluruh badan. Saya langsung merasa risi. Bahkan kemudian
dia menawari saya untuk memberi salah satu servisnya dengan jaminan pasti
berhasil. Langsung saya jadi jengah, saya bilang tidak tertarik, yang penting
Anda bisa tidak menyembuhkan tangan saya? Setelah itu saya tidak pernah lagi
memintanya datang.
Satu lagi yang saya suka adalah pijat refleksi. Kalau yang
ini tidak perlu buka baju, dan karena tidak menggunakan minyak, badan tidak
lengket sehingga tidak perlu mandi sesudahnya. Tempat pijat refleksi langganan saya
selalu terlihat kosong tanpa pekerja, tapi begitu kita minta dipijat para
pemijat ini muncul secara misterius dari seberang jalan. Rupanya mereka lebih senang
nongkrong di luar menunggu pelanggan. Kalau semua dipan terisi, para Mbak dan
Mas ini akan bekerja sambil ngobrol dan bercanda. Walaupun tidak mengerti
bahasanya saya tertular keriangan mereka dan ikut-ikutan tertawa kalau mereka
tertawa.
Ada lagi pijat yang ingin saya coba, kalau tidak salah
namanya sport massage. Badan ditekuk-tekuk dalam segala posisi. Kalau mau coba pijat jenis ini jangan pakai
rok pendek ya. :)
Saya merasa otot-otot saya perlu diregangkan setiap hari.
Tapi kalau setiap hari, berapa tuh biayanya? Refleksi setengah jam cuma
punggung, bahu, dan kepala harganya 60 ribu. Pijat a la Gede yang lamanya satu
jam 120 ribu. Hm, jatuhnya mahal juga. Akhirnya saya mencoba yoga. Sudah empat
hari ini setiap pagi saya mengikuti langkah-langkah yoga dari Youtube. Ajaib.
Youtube yang biasanya berhenti-berhenti diselingi download, khusus untuk sesi yoga yang ini lancar-mulus selama 57 menit
penuh! Karena muka harus selalu menghadap laptop,
maka posisi saya muter-muter. Tadinya saya bingung. Balik ke samping kiri,
layar tidak terlihat. Balik ke samping kanan, tidak juga. Miring 45 derajat,
tidak juga. Miring ke arah lain, kok masih belum pas juga ya. Akhirnya dapat
juga. Saya harus memantati laptop!
Kaki lurus, pinggang dibungkukkan sampai tangan menyentuh lantai sehingga tubuh
membentuk segitiga dengan lantai. Dengan posisi muka terbalik layar laptop bisa terlihat melalui sela-sela
kaki saya. Yoga yang hanya ‘begitu-begitu saja’ ini ternyata bikin capek, tapi
enak sesudahnya. Namaste.
sekali lagi....kesamaan kita yang lain. Pijet. Setiap minggu saya pijet :)
BalasHapuscobain yoga juga deh:)
HapusDimana lokasi persisnya di Ubud...?
BalasHapusKalao boleh minta nomor telpon Pak Gede....
Nice story...
BalasHapusKalau pas lewat di Jl.Monkey Forest, silahkan mampir kesini ya: http://pondokfrog.com/pijat-refleksi-di-ubud
Kami punya tukang pijat refleksi dan deep tissue yg pro:)
Salam Kenal Dari Ubud
Nyoman
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus