Selasa, 10 Juli 2012

Dengan atau Tanpa Baju, Silakan Pilih


Jalan-jalan di sepanjang trotoar kota Ubud memang menggoda. Restoran dari segala jenis makanan, kedai kopi, toko baju, toko suvenir, toko asesoris, dsb., berlomba-lomba tampil semenarik mungkin agar naluri impulsif berbelanja kita jadi tergelitik. Supir-supir ramai berteriak meneriakkan jasanya. “Taxi?” “Do you need taxi?” “Taxi, Miss?” “Hello! Taxi?” Jalan seratus meter saja bisa ditawari taksi lima kali, bahkan diteriakkan dari seberang jalan. Sebenarnya yang dimaksud bukan taksi seperti di kota-kota besar. Mobil yang biasa dipakai adalah minibus, biasanya Kijang, dengan tarif bergantung kepintaran kita nego. Di musim sepi liburan biasanya mereka banting harga. Selain taksi jasa yang sering ditawarkan adalah pijat. Gadis-gadis muda, kadang-kadang berseragam sarung, yang menawarkannya. Kalau kita setuju untuk dipijat Mbak ini akan membawa kita memasuki sebuah gang kecil. Tempatnya sempit, sepi, gelap, mencurigakan, bau kemenyan. Hehehe, ya tidaklah.

Pemijat yang sekarang sering saya datangi namanya Gede. Dia beserta istrinya membuka bisnis pijatnya di tempat yang sangat sederhana. Kamarnya cuma dua, mungil sekali, hanya cukup untuk satu dipan, satu kursi dan sedikit ruang tempat dia berdiri. Kamar yang satunya lagi agak besar karena isinya ditambahi bath tub dan sebuah toilet walaupun tempatnya mepet sekali, agar pelanggan yang baru luluran bisa mandi. Toilet duduknya tidak mengeluarkan air dengan cara ditekan namun Gede suami-istri menyediakan ember besar berisi air. Walaupun begitu, terlihat tanda-tanda usaha mereka yang sangat maksimal untuk menghias tempatnya. Begitu masuk kita disambut oleh patung Ganesha yang dikalungi untaian bunga. Dindingnya penuh dengan gambar-gambar Budha, Krishna, Yesus, dan tokoh-tokoh pewayangan seperti Hanoman dan Kurawa. Kadang-kadang musik meditasi juga diputar, bersahutan dengan kicau tiga burung kenari yang sangkarnya digantung di teras. Sarung, bunga dan handuk diatur cantik di atas dipan.

Ketika pertama kali memanfaatkan jasa ini saya minta dipijat serta dilulur oleh istrinya. Ketika tiba waktunya mandi istri Gede memasak air panas sepanci. Kemudian dia mempersilakan saya masuk ke bak yang sudah diisi air hangat dan kelopak bunga. Ada servis tambahannya, yaitu, istri Gede membasuh dan menyabuni tubuh saya seakan-akan saya seorang bayi saja. Hahaha. Terus terang saya lebih suka mandi sendiri, tapi bukan itu alasannya saya tidak pernah minta dipijat lagi oleh istri Gede. Pijatannya kurang keras. Otot sekeras batu yang saya miliki hanya bisa ditaklukkan oleh yang bertenaga besar. Jadilah saya pindah ke sang suami, Gede.

Biasanya saya akan masuk ke kamar lebih dahulu sementara Gede menunggu di luar. Setelah melepas pakaian dan menumpuknya di kursi dan menyelubungi badan dengan sarung dan kemudian berbaring telungkup di dipan, saya memanggil Gede. Pertama dia akan menekan punggung saya dengan sangat keras sampai terdengar suara tulangnya krek-krek-krek. Sedap! Saya memang memilih deep tissue massage, pijatannya keras dan bayarnya sedikit lebih mahal. Pijat seperti ini yang saya suka, walaupun kadang-kadang saya terpaksa meringis kesakitan dan minta tekanannya sedikit dikurangi. Gede sedikit terkekeh seakan ingin bilang, “Makanya jangan sok belagu minta dipijat keras-keras.” Tapi pada umumnya pijatannya enak sekali, bisa bikin mata merem melek. Saya suka dipijat oleh Gede karena dia sopan dan tidak banyak ngobrol kalau saya sedang tidak ingin ngobrol. Ketika menyuruh saya membalik badan menjadi terlentang dia akan memegangi sarung sehingga terbentuk tirai yang menghalangi pandangannya, hehehe.

Beberapa teman saya tidak suka dipijat. Rata-rata bilang dipijat itu geli, tapi ada juga yang cukup jujur mengatakan bahwa alasan sebenarnya adalah tidak suka membuka pakaian di depan orang lain dan dipegang-pegang. Saya rasa ini memang soal yang agak peka. Untuk saya pribadi, saya tidak mau manfaat pijat tidak didapat hanya karena soal ini. Mbak-mbak pemijat yang bekerja di spa betulan alias mahal sepertinya punya kode etik untuk tidak mengomentari tubuh kita, entah itu bagus atau kurang bagus. Seperti Mbak pemijat yang memijat saya di spa terkenal di Bandung, dia cukup beretika untuk tidak mengomentari tubuh saya, tapi celetuknya adalah, “Celana dalamnya warnanya bagus.” Saya terbengong-bengong mendengarnya. Komentar seperti ini harus dijawab apa coba? :D

Sebenarnya spa mahal bukan jaminan bahwa pijatannya pasti memuaskan. Saya pernah mencoba spa semacam ini di Ubud, bangunannya luas, bagus, ada taman dan kolamnya, tapi ternyata… pijatannya lembek sekali. Begitu juga pijatan creambath-nya. Waktu keramas Mas yang mencuci rambut saya memasukkan air ke kuping dan bukannya memijat kulit kepala dengan ujung jari dia menggaruk keras-keras dengan kuku. Hmmfftt. Sakit tahu! Ini memang masalah klasik. Banyak sekali kapster yang tidak bisa membedakan antara memijat dan menggaruk.

Pernah saya dipijat oleh pemijat laki-laki yang direkomendasikan oleh Kadek. Seperti bisa ditebak, pemijat ini masih ada hubungan keluarga dengannya. Pertama sih oke-oke saja, tapi kemudian dia cerita tentang para langganannya yang minta dipijat untuk membesarkan pinggul, membentuk betis yang tadinya kurus jadi montok, membesarkan payudara, dan mengencangkan kulit seluruh badan. Saya langsung merasa risi. Bahkan kemudian dia menawari saya untuk memberi salah satu servisnya dengan jaminan pasti berhasil. Langsung saya jadi jengah, saya bilang tidak tertarik, yang penting Anda bisa tidak menyembuhkan tangan saya? Setelah itu saya tidak pernah lagi memintanya datang.

Satu lagi yang saya suka adalah pijat refleksi. Kalau yang ini tidak perlu buka baju, dan karena tidak menggunakan minyak, badan tidak lengket sehingga tidak perlu mandi sesudahnya. Tempat pijat refleksi langganan saya selalu terlihat kosong tanpa pekerja, tapi begitu kita minta dipijat para pemijat ini muncul secara misterius dari seberang jalan. Rupanya mereka lebih senang nongkrong di luar menunggu pelanggan. Kalau semua dipan terisi, para Mbak dan Mas ini akan bekerja sambil ngobrol dan bercanda. Walaupun tidak mengerti bahasanya saya tertular keriangan mereka dan ikut-ikutan tertawa kalau mereka tertawa.

Ada lagi pijat yang ingin saya coba, kalau tidak salah namanya sport massage. Badan ditekuk-tekuk dalam segala posisi. Kalau mau coba pijat jenis ini jangan pakai rok pendek ya. :)

Saya merasa otot-otot saya perlu diregangkan setiap hari. Tapi kalau setiap hari, berapa tuh biayanya? Refleksi setengah jam cuma punggung, bahu, dan kepala harganya 60 ribu. Pijat a la Gede yang lamanya satu jam 120 ribu. Hm, jatuhnya mahal juga. Akhirnya saya mencoba yoga. Sudah empat hari ini setiap pagi saya mengikuti langkah-langkah yoga dari Youtube. Ajaib. Youtube yang biasanya berhenti-berhenti diselingi download, khusus untuk sesi yoga yang ini lancar-mulus selama 57 menit penuh! Karena muka harus selalu menghadap laptop, maka posisi saya muter-muter. Tadinya saya bingung. Balik ke samping kiri, layar tidak terlihat. Balik ke samping kanan, tidak juga. Miring 45 derajat, tidak juga. Miring ke arah lain, kok masih belum pas juga ya. Akhirnya dapat juga. Saya harus memantati laptop! Kaki lurus, pinggang dibungkukkan sampai tangan menyentuh lantai sehingga tubuh membentuk segitiga dengan lantai. Dengan posisi muka terbalik layar laptop bisa terlihat melalui sela-sela kaki saya. Yoga yang hanya ‘begitu-begitu saja’ ini ternyata bikin capek, tapi enak sesudahnya. Namaste.

5 komentar:

  1. tjapoenk.blogspot.com13 Juli 2012 pukul 00.35

    sekali lagi....kesamaan kita yang lain. Pijet. Setiap minggu saya pijet :)

    BalasHapus
  2. Dimana lokasi persisnya di Ubud...?
    Kalao boleh minta nomor telpon Pak Gede....

    BalasHapus
  3. Nice story...
    Kalau pas lewat di Jl.Monkey Forest, silahkan mampir kesini ya: http://pondokfrog.com/pijat-refleksi-di-ubud

    Kami punya tukang pijat refleksi dan deep tissue yg pro:)

    Salam Kenal Dari Ubud
    Nyoman

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus