Jumat, 02 November 2012

Telanjang


Hari ini saya memeriksa statistik pengunjung yang membaca blog saya. Mau tahu tulisan mana yang paling banyak dibaca orang? Sampai pembacanya berlipat-lipat puluhan kali dibanding tulisan lain? Yak, betul, itu adalah tulisan yang berjudul Dengan atau Tanpa Baju, Silakan Pilih. Judul yang saya pilih tanpa maksud tertentu itu ternyata hasilnya di luar dugaan. Geli juga saya, kok orang mudah tertarik dengan judul semacam ini. Sayangnya, pasti banyak yang kecele membaca tulisan itu dan komentarnya adalah, 'Ah, cuma gitu doang. Kirain bakalan seru.' Mungkin beberapa orang malah merasa jengkel, dikiranya akan diberi kebebasan memilih dan menikmati keindahan wanita. Sepertinya banyak yang membaca tulisan itu karena tersesat. Ini terlihat dari statistik yang melacak pembaca blog melalui kata kunci. Salah satu kata kunci yang diketik oleh pembaca adalah foto-foto para pemijat cantik tanpa busana. Aw, salah pilih blog, Mas. Kok malah ke sini?

Adik saya pernah mengunjungi saya di Ubud bersama dua orang rekan kerjanya, satu laki-laki dan satu perempuan. Saya ajak mereka ke museum Antonio Blanco. Sepanjang perjalanan pulang, yang laki-laki terus berkomentar soal lukisan-lukisan tanpa busana Blanco. "Apa nggak malu, ya. Apa nggak dosa, ya. Itu kan istrinya sendiri. Memang dapat uang, tapi soal dosa gimana?" Begitu terus diulang-ulang. Ini kan membuktikan bahwa dia terkesan sekali dengan lukisan-lukisan tadi? Sampai gambarannya tidak hilang-hilang dari otaknya, dibolak-balik dan diolah terus. Dia juga tadi yang ketawa-ketawa mesum ketika seorang penjaga museum memberi teka-teki nakal mengenai salah satu lukisan.

Setelah itu saya juga dikirimi, atau lebih tepatnya lagi dititipi, oleh adik saya. Kali ini adalah bosnya, seorang perempuan Jepang. Karena dia bilang suka museum, dan menurut saya salah satu museum yang terbaik di Ubud adalah Museum Blanco, lagi-lagi dia saya ajak ke sana. Saya langsung tahu dia benar-benar suka lukisan. Saya memberinya waktu dan jarak, saya biarkan dia berlama-lama berdiri di setiap lukisan dan saya mengambil jurusan yang berbeda. Saya tahu betapa risinya kalau ada orang tepat di belakang kita memandang lukisan yang sama, apalagi kalau orang itu buru-buru dan ingin mendesak saja kerjanya. Atau, malah ribut membahas lukisan yang sedang kita pandangi. Jadi, ketika bos adik saya ini mengambil arah ke kanan, saya ke kiri. Walaupun sudah beberapa kali pergi ke museum ini, saya tidak bosan dan masih saja merasa kagum. Tapi bukan kagum model teman sekantor adik saya tadi, yang pura-pura anti padahal suka.

Teman sekamar saya di retret selama seminggu bulan September kemarin namanya Nina. Dia orang Inggris tapi sudah dua tahun tinggal di Australia. Selesai mengorganisasi sebuah festival di sana dan menabung sejumlah uang, dia ke Bali dan akhirnya nyangkut di retret ini. Sesudah retret dia akan ke India untuk belajar ilmu yoga dengan serius. Dia bilang, dia hidup hanya untuk di saat ini. Menikmati apa yang ada tanpa kuatir akan masa depan. Sepertinya dia memanfaatkan retret ini sebaik-baiknya. Waktu makan malam bersama, meskipun masih diperbolehkan bicara, dia sudah memilih tempat di pojokan dan makan sendirian.

Nina punya tato naga besar dan bagus sekali di pergelangan kaki kirinya. Dia tidur tanpa memakai pakaian, cuma sehelai sarung yang dipakai sebagai selimut. Memang di sini lumayan panas, juga untuk saya yang sudah biasa dengan udara Ubud. Kipas angin terus bekerja siang malam, meskipun malam-malam saya sering kedinginan dan mematikan kipas. Waktu bangun kipasnya sudah jalan lagi. Nina yang menghidupkannya. Nina berjalan ke kamar mandi setiap pagi dengan menyelubungi tubuhnya dengan sarung, tapi dia sering lupa menutupi tubuh bagian belakangnya sehingga saya bisa melihat bokongnya. Sepertinya dia tidak begitu peduli.

Selama delapan hari hanya dua kali saya bicara padanya. Pertama untuk minta maaf karena rambut panjang saya bertebaran di mana-mana dan dia harus memungutinya dari ujung sapu ketika bersih-bersih dan membuangnya di tempat sampah. Kedua waktu kelihatannya dia mau ke kamar mandi tapi saya sedang berdiri di depan lemari sehingga menghalangi jalannya. Saya menyingkir dan mempersilakannya menggunakan kamar mandi. Kalau saya dua kali buka mulut, Nina hanya mengeluarkan bunyi-bunyian tanpa buka mulut di dua hari terakhir. Dia bersenandung. Pasti karena capek terus membisu selama seminggu ini, hehehe.

Meditasi terakhir yang dilakukan di udara terbuka selesai dan wejangan sudah disampaikan. Retret berakhir. Kami spontan bersalaman sambil menyebutkan nama masing-masing. Lucu juga, delapan hari bersama-sama kenalannya baru sekarang. Saya cari-cari Nina, di mana dia ya? Oh, itu dia di sana dengan seseorang yang kemudian memperkenalkan diri sebagai Michal. Saya sapa Nina dan kami berangkulan. Semua rasa penasaran dan komentar yang dipendam keluar semua. Nina curhat, katanya di hari terkahir dia maju dengan gemas menghadap guru untuk menyatakan frustrasinya. "Kenapa, kenapa, oh kenapa (dia benar-benar bilang kenapa tiga kali), justru di hari-hari terakhir saya merasa gelisah dan ingin bicara, ingin bergerak terus dan menari-nari?" Kami melanjutkan pembicaraan di kamar Michal dan sepakat bahwa itu adalah perasaan di hari-hari terakhir, ketika sudah lelah mengamati diri sendiri selama seminggu.

"Aku ingin berdansa! Aku ingin menari! Aku ingin menyanyi!" seru Nina dengan ekspresif. Ditambahkannya lagi, "Aku akan berjalan seperti ini. Aku buka bajuku satu persatu, aku lempar ke atas rumput. Kemudian aku duduk telanjang dan bermeditasi." Diperagakannya kata-katanya itu sambil berjalan keluar dari pintu dan menirukan penari striptease yang membuka pakaiannya dengan sangat provokatif. Saat itu teman sekamar Michal masuk. Dipandangnya berkali-kali pintu tempat Nina barusan keluar. "Siapa dia? Benar dia meditasi sambil telanjang?" Saya berpandang-pandangan dengan Michal. Tak tahan lagi, kami pun tertawa terbahak-bahak.

Untuk merayakan selesainya retret, dengan beberapa orang lainnya kami ingin pergi ke sumber air panas. Saya duduk di tempat tidur sambil memeriksa buku Lonely Planet punya Nina, sementara dia sedang di kamar mandi. "Di mana sumbernya? Kok tidak ada di sini?" tanya saya. Nina keluar dari kamar mandi untuk menunjukkan di halaman mana saya harus memeriksa. Kali ini dia benar-benar telanjang, tidak ada sarung yang menutupi tubuhnya. Saya cuma melirik sedikit dan menunduk lagi memandangi halaman buku. Setelah memakai bikininya, Nina pergi ke teras untuk menghirup udara segar. Kami pergi ke sumber air panas dengan mobil sewaan, sedangkan Nina berangkat dengan mengendarai motor besarnya. Pantesan, saya lihat di bawah meja kami ada jaket kulit warna merah. Rupanya dia datang ke retret dengan mengendarai motor.

Nah, sekarang mengenai judul tulisan ini. Kenapa Telanjang? Bukannya itu untuk menarik orang agar mau membaca? Cis! (sambil menirukan sebuah adegan dari film jadul) maaf ya, saya tidak serendah itu. Tulisan ini memang bicara soal telanjang. Ya sudah, judulnya itu saja. Tidak perlu diperhalus atau distilisasi, hehehe. Kalau ada yang kesasar lagi dan merasa kecewa atau tertipu karena merasa judulnya beda dengan isinya, ya, maaf saja. Cuma, saya heran pada orang-orang yang selalu mengasosiasikan telanjang dengan mesum, lalu tertawa-tawa dengan ekspresi yang... gitu, deh. Melihatnya perut saya jadi mulas dan merasa bahwa ekspresinya lebih mesum dari telanjangnya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar