Hari ini saya memeriksa statistik pengunjung yang membaca blog
saya. Mau tahu tulisan mana yang paling banyak dibaca orang? Sampai pembacanya
berlipat-lipat puluhan kali dibanding tulisan lain? Yak, betul, itu adalah
tulisan yang berjudul Dengan atau Tanpa
Baju, Silakan Pilih. Judul yang saya pilih tanpa maksud tertentu itu
ternyata hasilnya di luar dugaan. Geli juga saya, kok orang mudah tertarik
dengan judul semacam ini. Sayangnya, pasti banyak yang kecele membaca tulisan
itu dan komentarnya adalah, 'Ah, cuma gitu doang. Kirain bakalan seru.' Mungkin
beberapa orang malah merasa jengkel, dikiranya akan diberi kebebasan memilih dan
menikmati keindahan wanita. Sepertinya banyak yang membaca tulisan itu karena
tersesat. Ini terlihat dari statistik yang melacak pembaca blog melalui kata kunci.
Salah satu kata kunci yang diketik oleh pembaca adalah foto-foto para pemijat cantik tanpa busana. Aw, salah pilih blog,
Mas. Kok malah ke sini?
Adik saya pernah mengunjungi saya di Ubud bersama dua orang rekan
kerjanya, satu laki-laki dan satu perempuan. Saya ajak mereka ke museum Antonio
Blanco. Sepanjang perjalanan pulang, yang laki-laki terus berkomentar soal
lukisan-lukisan tanpa busana Blanco. "Apa nggak malu, ya. Apa nggak dosa,
ya. Itu kan istrinya sendiri. Memang dapat uang, tapi soal dosa gimana?"
Begitu terus diulang-ulang. Ini kan membuktikan bahwa dia terkesan sekali
dengan lukisan-lukisan tadi? Sampai gambarannya tidak hilang-hilang dari
otaknya, dibolak-balik dan diolah terus. Dia juga tadi yang ketawa-ketawa mesum
ketika seorang penjaga museum memberi teka-teki nakal mengenai salah satu
lukisan.
Setelah itu saya juga dikirimi, atau lebih tepatnya lagi
dititipi, oleh adik saya. Kali ini adalah bosnya, seorang perempuan Jepang.
Karena dia bilang suka museum, dan menurut saya salah satu museum yang terbaik
di Ubud adalah Museum Blanco, lagi-lagi dia saya ajak ke sana. Saya langsung
tahu dia benar-benar suka lukisan. Saya memberinya waktu dan jarak, saya
biarkan dia berlama-lama berdiri di setiap lukisan dan saya mengambil jurusan
yang berbeda. Saya tahu betapa risinya kalau ada orang tepat di belakang kita
memandang lukisan yang sama, apalagi kalau orang itu buru-buru dan ingin
mendesak saja kerjanya. Atau, malah ribut membahas lukisan yang sedang kita
pandangi. Jadi, ketika bos adik saya ini mengambil arah ke kanan, saya ke kiri.
Walaupun sudah beberapa kali pergi ke museum ini, saya tidak bosan dan masih
saja merasa kagum. Tapi bukan kagum model teman sekantor adik saya tadi, yang
pura-pura anti padahal suka.
Teman sekamar saya di retret selama seminggu bulan September
kemarin namanya Nina. Dia orang Inggris tapi sudah dua tahun tinggal di
Australia. Selesai mengorganisasi sebuah festival di sana dan menabung sejumlah
uang, dia ke Bali dan akhirnya nyangkut di retret ini. Sesudah retret dia akan
ke India untuk belajar ilmu yoga dengan serius. Dia bilang, dia hidup hanya
untuk di saat ini. Menikmati apa yang ada tanpa kuatir akan masa depan. Sepertinya
dia memanfaatkan retret ini sebaik-baiknya. Waktu makan malam bersama, meskipun
masih diperbolehkan bicara, dia sudah memilih tempat di pojokan dan makan
sendirian.
Nina punya tato naga besar dan bagus sekali di pergelangan
kaki kirinya. Dia tidur tanpa memakai pakaian, cuma sehelai sarung yang dipakai
sebagai selimut. Memang di sini lumayan panas, juga untuk saya yang sudah biasa
dengan udara Ubud. Kipas angin terus bekerja siang malam, meskipun malam-malam
saya sering kedinginan dan mematikan kipas. Waktu bangun kipasnya sudah jalan
lagi. Nina yang menghidupkannya. Nina berjalan ke kamar mandi setiap pagi dengan
menyelubungi tubuhnya dengan sarung, tapi dia sering lupa menutupi tubuh bagian
belakangnya sehingga saya bisa melihat bokongnya. Sepertinya dia tidak begitu
peduli.
Selama delapan hari hanya dua kali saya bicara padanya.
Pertama untuk minta maaf karena rambut panjang saya bertebaran di mana-mana dan
dia harus memungutinya dari ujung sapu ketika bersih-bersih dan membuangnya di
tempat sampah. Kedua waktu kelihatannya dia mau ke kamar mandi tapi saya sedang
berdiri di depan lemari sehingga menghalangi jalannya. Saya menyingkir dan
mempersilakannya menggunakan kamar mandi. Kalau saya dua kali buka mulut, Nina
hanya mengeluarkan bunyi-bunyian tanpa buka mulut di dua hari terakhir. Dia
bersenandung. Pasti karena capek terus membisu selama seminggu ini, hehehe.
Meditasi terakhir yang dilakukan di udara terbuka selesai
dan wejangan sudah disampaikan. Retret berakhir. Kami spontan bersalaman sambil
menyebutkan nama masing-masing. Lucu juga, delapan hari bersama-sama kenalannya
baru sekarang. Saya cari-cari Nina, di mana dia ya? Oh, itu dia di sana dengan
seseorang yang kemudian memperkenalkan diri sebagai Michal. Saya sapa Nina dan
kami berangkulan. Semua rasa penasaran dan komentar yang dipendam keluar semua.
Nina curhat, katanya di hari terkahir dia maju dengan gemas menghadap guru
untuk menyatakan frustrasinya. "Kenapa, kenapa, oh kenapa (dia benar-benar
bilang kenapa tiga kali), justru di hari-hari terakhir saya merasa gelisah dan
ingin bicara, ingin bergerak terus dan menari-nari?" Kami melanjutkan
pembicaraan di kamar Michal dan sepakat bahwa itu adalah perasaan di hari-hari
terakhir, ketika sudah lelah mengamati diri sendiri selama seminggu.
"Aku ingin berdansa! Aku ingin menari! Aku ingin
menyanyi!" seru Nina dengan ekspresif. Ditambahkannya lagi, "Aku akan
berjalan seperti ini. Aku buka bajuku satu persatu, aku lempar ke atas rumput.
Kemudian aku duduk telanjang dan bermeditasi." Diperagakannya kata-katanya
itu sambil berjalan keluar dari pintu dan menirukan penari striptease yang membuka pakaiannya dengan sangat provokatif. Saat
itu teman sekamar Michal masuk. Dipandangnya berkali-kali pintu tempat Nina
barusan keluar. "Siapa dia? Benar dia meditasi sambil telanjang?"
Saya berpandang-pandangan dengan Michal. Tak tahan lagi, kami pun tertawa
terbahak-bahak.
Untuk merayakan selesainya retret, dengan beberapa orang
lainnya kami ingin pergi ke sumber air panas. Saya duduk di tempat tidur sambil
memeriksa buku Lonely Planet punya
Nina, sementara dia sedang di kamar mandi. "Di mana sumbernya? Kok tidak
ada di sini?" tanya saya. Nina keluar dari kamar mandi untuk menunjukkan
di halaman mana saya harus memeriksa. Kali ini dia benar-benar telanjang, tidak
ada sarung yang menutupi tubuhnya. Saya cuma melirik sedikit dan menunduk lagi
memandangi halaman buku. Setelah memakai bikininya, Nina pergi ke teras untuk
menghirup udara segar. Kami pergi ke sumber air panas dengan mobil sewaan,
sedangkan Nina berangkat dengan mengendarai motor besarnya. Pantesan, saya
lihat di bawah meja kami ada jaket kulit warna merah. Rupanya dia datang ke
retret dengan mengendarai motor.
Nah, sekarang mengenai judul tulisan ini. Kenapa Telanjang?
Bukannya itu untuk menarik orang agar mau membaca? Cis! (sambil menirukan sebuah
adegan dari film jadul) maaf ya, saya tidak serendah itu. Tulisan ini memang
bicara soal telanjang. Ya sudah, judulnya itu saja. Tidak perlu diperhalus atau
distilisasi, hehehe. Kalau ada yang kesasar lagi dan merasa kecewa atau tertipu
karena merasa judulnya beda dengan isinya, ya, maaf saja. Cuma, saya heran pada
orang-orang yang selalu mengasosiasikan telanjang dengan mesum, lalu
tertawa-tawa dengan ekspresi yang... gitu, deh. Melihatnya perut saya jadi mulas
dan merasa bahwa ekspresinya lebih mesum dari telanjangnya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar