Untuk mengikuti acara-acara utama di Ubud Readers and Writers Festival ini kita harus pandai-pandai
memilih, dan yang lebih penting, jangan serakah. Kalau serakah malah bisa
frustrasi sendiri, kan tidak mungkin semua acara mau diikuti. Selama empat hari
acara berlangsung serempak dari pagi sampai sore di tiga tempat berbeda. Ketiga
tempat itu letaknya berdekatan, jadi peserta bisa pindah dari satu tempat ke
tempat lainnya dengan mudah. Dua di antara tempat itu adalah restoran, letaknya
bersebelahan, jadi benar-benar tinggal keluar dari satu pintu terus masuk ke
pintu yang lain. Yang satu lagi adalah Museum Neka, harus ditempuh kira-kira
lima menit jalan kaki (jalannya yang cepat, ya) dari kedua restoran tadi. Kalau
masih pagi sih tidak apa-apa, tapi kalau sudah siang panasnya minta ampun.
Jadi, walaupun ada acara menarik diselenggarakan di Museum Neka, saya yang
sudah berada di suatu acara di restoran tadi memilih untuk tetap tinggal di
tempat yang sama.
Gara-gara malas jalan kaki di siang bolong itulah saya
kehilangan kesempatan untuk mendengar pembahasan buku Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer. Padahal ini adalah
tema festival tahun ini. Karena tempatnya luas, Museum Neka dipilih untuk acara
yang diperkirakan peminatnya pasti banyak. Jose Ramos Horta juga bicara di
sini. Ternyata beliau ini juga seorang penulis, dan buku anak-anak yang
ditulisnya kalau tidak salah tokoh utamanya adalah seekor buaya. Sudah bisa
ditebak bahwa pembicara dan pendengar lebih suka untuk tidak membahas buku ini.
Yang lebih menarik untuk dibicarakan adalah tentang masa depan Timor Timur,
hubungannya dengan Indonesia, dan bagaimana mereka mengubur luka lama. Ramos
Horta ini orangnya lucu sekali, dan tidak terlihat dendam sedikit pun pada
perlakuan pemerintah kita dulu terhadapnya. Berkali-kali dia membuat para
pendengarnya tertawa. Katanya, yang mestinya dapat penghargaan Nobel itu
Presiden Soeharto. Namun panitia seleksi Nobel salah ucap, yang harusnya Pak
Harto jadi Pak Horta.
Ada satu acara lain yang khusus membahas tentang humor dalam
buku. Panitia memilih dua penulis dengan cara yang sangat ajaib, atau pintar
sekali. Yang seorang adalah pastor dari Kupang, kulitnya hitam dan mukanya
keras. Yang seorang lagi perempuan penulis muda dari Norwegia, mukanya pucat
sekali dan rambutnya juga pirang sekali, hampir putih. Pastor ini sangat
periang. Acara dibuka dengan permainan gitarnya sambil menyanyikan lagu
ciptaannya sendiri. Saking riangnya lagu ini, para pendengar ikut bertepuk
tangan mengikuti irama walaupun tidak mengerti lagunya: "kucing mengeong,
ekornya melingkar, disambar kilat, meong-meong-meong," nyanyinya. Penulis
Norwegia di sebelahnya hanya tersenyum sangat tipis sementara yang lain
bertepuk.
Penulis Norwegia ini bilang bahwa dia sering ditanya orang,
apakah benar orang-orang Nordic itu jarang tertawa? Dia bilang memang benar. Tapi
bukan berarti mereka tidak suka humor. Hanya saja, humornya lain. Dia bercerita
tentang buku mengenai perang yang pernah
dibacanya. Perang itu kejam dan absurd, menertawakan perang adalah lebih dari
absurd. Dalam buku itu digambarkan kepala-kepala yang terpenggal, dan
satu-satunya reaksi yang mungkin adalah tertawa terbahak-bahak. Hm, dalam
bayangan saya, pastor dan perempuan Norwegia ini tentu tidak akan sepakat tentang
apa yang disebut lucu, sampai kapan pun. Tapi para pendengar sangat tertarik
dengan pembicaraan perempuan ini. Saya juga, jadi saya beli bukunya yang
bercerita tentang perempuan tua yang dalam ketakutannya menyambut kematian
melakukan hal-hal yang absurd.
Seorang pembicara di sesi lain adalah penulis puisi yang
tinggal di kaki gunung Jawa Barat. Cara berbicaranya sangat Sunda, seperti
profesi yang diucapkan propesi dan novel yang diucapkan nopel. Puisinya sama
menariknya dengan ceritanya mengenai kehidupan sehari-hari, dan memang puisinya
berisi cerita kehidupan sehari-hari. "Bagi saya, melihat petani kedinginan
berangkat ke ladang di pagi hari sudah merupakan puisi itu sendiri,"
katanya menjelaskan. Kadang pembicaraannya terdengar lugu, seperti bagaimana
petani miskin harus tahan mandi dengan air dingin. Kalaupun ingin mandi dengan
air hangat, mereka menghangatkannya dengan cara mengalirkan listrik ke air.
Jadi harus sangat hati-hati, bisa-bisa kesetrum! Sepertinya dia tidak selugu yang
ditampilkannya karena dia berpendidikan tinggi. Tapi seperti banyak orang Sunda
lainnya, dia suka melucu. Orang Sunda bilang ngabodor. Penerjemahnya yang berkulit putih tidak menerjemahkan
semua banyolannya itu, mungkin karena tidak mengerti di mana letak lucunya.
Ketika diskusi selesai dan orang-orang meninggalkan tempat
duduk untuk pindah ke tempat lain, saya tetap diam di tempat. Seorang perempuan
duduk di samping saya. Katanya dia adalah guru SMU dari Jakarta yang membawa
murid-muridnya ke Ubud khusus untuk menghadiri festival ini. Dia juga banyak
tanya soal brem Bali, katanya pesanan orang. Belinya di mana, jenisnya apa
saja, mereknya apa saja. "Maaf ya, saya banyak tanya-tanya, soalnya saya
bukan peminum." Eh, apa maksudnya, nih. Dipikirnya saya ini peminum, apa?
Dia tanya lagi, brem apa yang paling bagus? Saya jawab, pilih saja yang paling
mahal. Wah, dia tertawa keras-keras sampai beberapa orang melirik tajam karena
panelis sudah mulai berbicara di depan ruangan. Astaga, selucu itukah, sampai
harus tertawa keras-keras? Selama acara berlangsung dia sibuk memencet-mencet
dan memperhatikan layar handphonenya
saja.
Beberapa kali saya melihat sekelompok remaja perempuan masuk
ke ruangan berombongan, duduk sebentar mendengarkan, bergerak-gerak gelisah,
kemudian keluar lagi sambil berjingkat-jingkat. Saya maklum, tentunya acara ini
terlalu berat untuk mereka, apalagi semua pembicaraan dalam bahasa Inggris.
Pasti ibu gurunya kurang teliti memilih program nih, karena sebenarnya festival
ini juga menyelenggarakan berbagai acara khusus untuk remaja dan anak-anak.
Kelompok remaja laki-lakinya bersikap lebih berani, mereka memilih untuk
berlama-lama nongkrong di restoran sambil memasang musik keras-keras. Saya
hampiri mereka, dan bilang, "Di sebelah sana dipasang musik gamelan Jawa
baguus sekali, tapi saya nggak bisa dengar karena musik di sini terlalu
keras." Mereka spontan menjawab, "Aduh..., maaf, Tante!"
Penyesalannya tulus sekali dan musik langsung dimatikan, tapi... hey! siapa
kasih ijin untuk panggil saya Tante? Sejak kapan saya nikah sama Oom-mu?
Waktu sedang istirahat di bangku di bawah tenda seorang
kakek-kakek minta ijin untuk duduk di depan saya di bangku yang masih kosong. Dia
bertanya apakah saya seorang penulis. "I
am trying," jawab saya. Kakek itu dengan semangat membalas, "Me too." Wah, saya salut dengan
kakek ini. Sudah tua tapi masih punya minat untuk melakukan sesuatu yang
disukainya. Dia datang jauh-jauh dari negaranya untuk mengikuti acara festival
ini. Karena saya sudah baca keempat tetralogi buku Pram, dan dia baru baca yang
jilid satu, dipaksanya saya menceritakan apa yang terjadi pada suatu keluarga.
Yang lupa pun saya karang-karang saja, habis, dia terus memaksa saya untuk
ingat! Kakek ini juga bercerita mengenai buku yang sedang ditulisnya dan minta
pendapat saya segala, hehehe. Enaknya jadi manula di negara maju. Sudah pensiun
bisa menikmati hari-harinya dengan santai sambil bepergian ke sana ke mari. Anak-anak
SMU itu juga beruntung. Walaupun bosan dengar ceramah mereka bisa nonton film
yang tidak biasa setiap sore, seperti Drupadi
misalnya. Kapan bisa nonton film sebagus ini kalau bukan di festival?
Huaaaaaa! Ileran saya bacanya mbak ( g bilang ' sejak kapan kamu jadi adik saya' kan?)
BalasHapusSaya nyesel banget nggak bisa datang ke URWF tahun ini.
Trus, karena festivalx udah selesai, postinganx bakal lancar lagi kan?
hehehe ini postingan emang telat banget ya. lagi sibuk nihhhh. rugi lho gak dateng ke URWF.
BalasHapus