Dalam perjalanan dari Ubud ke bandara menggunakan travel,
sebagian besar penumpang turun di Sanur untuk menyeberang dengan kapal dan melanjutkan
perjalanan mereka ke Nusa Penida. Cuma tinggal saya dan seorang perempuan yang
tidak turun. Lalu kami ngobrol. Dia masih muda, orang Belanda yang liburan di
Bali dua minggu. Di Ubud sendiri cuma sekitar lima hari. Dia minta pada sopir
untuk diturunkan nanti di jalan karena tujuannya yang sebenarnya adalah
Uluwatu. Dia bisa melanjutkan dengan taksi. Saya menanyakan kesannya tentang
Ubud. Dia menimbang-nimbang lalu bilang, orang-orang ekspat yang ditemuinya
semuanya berasal dari satu golongan. “Maksudnya?” tanya saya. Dia menjawab
semuanya perempuan dan single. Saya
mengerutkan kening. Saya bilang banyak yang berkeluarga, banyak yang laki-laki,
yang punya anak, bahkan berusia lanjut. Dia kelihatan ragu dengan penjelasan
saya. Dia bilang orang-orang itu dikenalnya dari sebuah tempat yang populer
dengan kegiatan yoganya. Ah, pantesan. Para perempuan kalau sudah membentuk
klik memang lengket dan kerap bersama-sama. Saya sendiri sering bertanya-tanya
apa yang sebenarnya dilakukan oleh orang-orang ini, terutama yang muda, di
Ubud. Kenapa mereka membuang waktu, meninggalkan negaranya, tidak kuliah atau
berkarir di negaranya sendiri?
“Mereka itu too sweet,”
kata kenalan baru saya. Mukanya bimbang, mungkin membayangkan orang-orang yang
baru dikenalnya. Saya tidak heran. Mereka memang manis sekali. Bicara tentang
persaudaraan, cinta kasih universal, mother
earth, berpelukan erat setiap ketemu siapa saja baik laki-laki atau
perempuan. Makanan vegan bahkan mentah adalah topik bahasan kegemaran mereka.
Anti susu, anti daging, anti pemanfaatan hewan untuk pemenuhan selera manusia.
Bagaimana tidak sweet coba, semua
itu? Seorang teman saya cukup lama bekerja sebagai pengasuh dua anak dari
seorang perempuan Rusia yang masih muda dan cantik (perempuan Rusia memang
banyak yang cantik). Dia cerita bahwa kedua anak asuhannya sudah vegetarian
sejak kecil dan suka cemilan berupa wortel dan brokoli mentah. Sehat sekali. Ayah
mereka datang sekali-sekali saja ke Bali. Ibu muda ini sering bertengkar dengan
suaminya mengenai gaya hidup yang berbeda. Dia keluar hampir tiap malam dengan
kelompoknya. Mereka berpakaian longgar berimpel-rimpel, memakai gelang, kalung,
gelang kaki manik-manik, dan suka menari dan menyanyi di sekeliling api unggun
kalau purnama tiba. Mereka mengadakan ritual yang dikarang sendiri, upacara
menjelang melahirkan. Pesertanya mengenakan rok atau celana panjang bercorak
etnik. Atasannya ketat atau minim. Ada bunga-bunga, dupa, gong kecil, tarian
dan nyanyian pujaan.
“Pekerjaannya apa?” tanya saya bersemangat ingin tahu. Teman
saya bilang, dia model untuk katalog yang tentu ordernya tidak didapat tiap
hari. Sepertinya perempuan ini menganggap suaminya kurang spiritualis dan
terlalu keduniawian. Suaminya membalas dengan mengurangi jatah bulanan,
sehingga ibu dan anak harus pindah ke rumah yang tidak ada kolam renangnya
lagi. Bagaimanapun perempuan Rusia ini tidak bisa seenaknya sendiri karena
sudah punya anak. Akhirnya mereka pindah ke Rusia, mungkin demi kebaikan
anak-anaknya juga. Kalau yang single
memang suka sembarangan dan bukan-bukan. Berombongan pergi ke danau di bawah
sebuah air terjun, berenang-renang di sana, menyatakan cintanya pada Bali dan
tidak ingin meninggalkan pulau ini selamanya, lalu… membuang paspornya ke
danau! Untung ada seorang yang waras dalam rombongan itu yang cepat-cepat
terjun menyelamatkan paspor itu.
Pernah saya diajak ke sebuah warung vegan. Saya pilih nasi
campur yang seharusnya asli Bali tapi rasanya tidak bali. Ada rempah yang tidak
biasa ada, baik di masakan padang, jawa, sunda, atau bali. Saya menyebutnya
rempah rasa yoga, meskipun mungkin lebih tepat kalau disebut rasa india. Menu
bali rasa india ini dipandang cocok untuk restoran yang sering dikunjungi para
vegan yang berminat pada yoga, meditasi, dan hidup penuh cinta. Apa hubungannya
pikir saja sendiri. Menunggu hidangan datang di tempat ini lama sekali. Saya
jadi sempat jelalatan melihati orang-orang. Ada cewek bule yang manis tapi
sayangnya kurang merawat diri. Rambut panjangnya seperti sudah sebulan tidak
dicuci. Dia nyeker dan mengenakan rok sifon berbunga-bunga yang sobek-sobek dan
diikat dengan tali rombeng di pinggangnya karena rok ini kepanjangan, jadi harus
ditarik ke atas supaya tidak keserimpet waktu jalan. Temannya yang laki-laki
langsung duduk di bantal untuk bermeditasi dan sekali-sekali mengeluarkan suara
keras seperti orang sedang ngedan. Rambut rastanya yang panjang digulung di
atas kepala. Lalu terdengar sekilas pembicaraan mereka. “Kamu harus dengar
tentang vision yang saya dapatkan
tadi malam,” kata yang seorang.
Saya malas mendengar kelanjutannya lalu pindah memperhatikan
perempuan lain yang duduk sendirian di atas bantal. Dia hampir menghabiskan
semangkuk besar salad. Setiap gerakan menyendok sayur dan mengunyah
dilakukannya secara meditatif. Pandangannya lurus ke depan. Lalu dia
mengeluarkan pil-pil dari botol, ampun, banyak amat, menaruhnya dalam kepalan
tangan dan sepertinya meminta semesta untuk memberkati pil-pil itu dengan mata
tertutup. Kemudian ditelan dengan bantuan air. Perempuan ini jauh lebih enak
dilihat dari yang pertama tadi. Dia bersih dan mengenakan pakaian yoga yang
ketat dan mahal. Saya jadi berpikir untuk beli celana ketat seperti itu juga,
yang punya bolong-bolong artistik di sisi luarnya. Saya juga berpikir perempuan
yang terakhir ini mungkin dari golongan yang berbeda dengan yang pertama. Dia
serius, rajin latihan yoga tiap hari, dan disiplin dalam melatih core-nya. Mungkin terlalu serius,
melihat gerak-geriknya yang teratur dengan seulas senyum robot. Saya tidak bisa
membayangkannya bersikap apa adanya, ketawa ngakak atau berkata konyol
sekali-sekali. Jadi saya memutuskan untuk batal beli celana yoga. Alasannya
karena melatih core itu berat dan
susah. Lagi pula pakaian yoga sering bolong di mana-mana, sudah itu yang
bermerek harganya mahal pula.
Sesudah lama tidak ketemu seorang teman kami janjian untuk
ketemu lagi. Sebenarnya dia bukan benar-benar teman, cuma kenalan yang biasanya
kebetulan ketemu dalam kelompok bersama-sama orang lain. Setahu saya dari
pembicaran kami waktu itu dia cukup suka mengumpulkan uang dari beberapa usaha
yang dipunyainya. Tapi sekarang, semakin lama ngobrol dengannya saya jadi
semakin kehilangan arah. Dia ternyata serius beryoga dan bermeditasi. Kata-kata
indah berhamburan dari mulutnya. Dia terharu sekali karena teman-teman
non-vegetariannya datang memasakkan makanan di rumahnya dengan menu vegetarian.
Dia mengajak saya untuk turut berpartisipasi dalam mengembalikan daya dukung
bumi terhadap umat manusia yang jumlahnya semakin membengkak terus. Dia cerita
baru saja menasihati anaknya untuk mengikuti kata hatinya, kerja selama dua
tahun saja, kemudian berhenti karena pekerjaan itu akan sudah dikuasai dan
tidak lagi memperkaya batin. Dia menganjurkan saya untuk mencari kebenaran diri
saya sendiri yang letaknya jauh bersemayam dalam diri. Dia bilang bahwa uang
bukan yang utama dalam hidup, bahkan bisa sangat merusak.
Tidak ada yang salah dalam semua yang dikatakannya, tapi
tetap saja ada sesuatu yang tidak pas dan membuat saya gelisah. Saya
cepat-cepat konsentrasi mendengarkannya lagi, karena dia sudah merasa kalau
pikiran saya sedang melayang ke mana-mana. Dia bertanya sesuatu, saya menjawab,
dan langsung tahu dia tidak tertarik mendengar jawaban saya. Kalimat saya
dipotongnya, dia bilang mengerti maksud saya, bahkan memperjelas panjang lebar
padahal bukan itu maksud saya. Sudah, ah. Saya malas sekarang. Cuma berpikir
bagaimana menyudahi pembicaraan tanpa dianggap kurang sopan. Saya ubah topik pembicaraan
tanpa kentara. Diceritakannya apa saja yang dilakukannya untuk mendapatkan uang
tanpa susah payah. Otak bisnisnya langsung berputar dan sinar matanya berubah
cerdik. Katanya uang tidak penting? Gampang memang bilang begitu, karena dia
punya vila luas dan indah dengan kolam renang, anjing ras sebanyak tujuh ekor,
mobil mahal, dan Harley Davidson.
“Kamu jadi ke Sumatra?” tanya saya. Dia waktu itu omong
banyak, mau menjelajah Sumatra sampai pelosok dengan motornya, sendiri saja
dengan semangat berpetualang. “Tidak,” jawabnya pendek. Lalu dia tahu saya yang
lebih penakut, lebih manja dan lebih miskin dari dia sudah ke Pulau Derawan dan
kepulauan Kei di Maluku sejak terakhir kami ketemu walaupun tanpa petulangan
ala Indiana Jones. Pokoknya pergi. Dia kelihatan iri. Akhirnya saya berhasil
pamitan. Kami berpisah dan dia pergi ke bar untuk minum-minum di sana, mungkin
sampai bar itu tutup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar