Bahwa Ubud pernah dan masih menjadi rumah bagi para pelukis
terkenal atau yang ingin terkenal, semua orang sudah tahu. Nama-nama seperti
Arie Smith, Walter Spies, Rudolf Bonnet, I Gusti Nyoman Lempad dan masih banyak
lagi dikenal pernah tinggal di Ubud. The
Young Artist yang didirikan berpuluh tahun yang lalu masih hidup sampai
sekarang dan menjadi satu gaya tersendiri. Papan iklannya berdiri di tikungan
yang mengarah ke Penestanan, dengan megah mengumumkan keberadaannya. Rasanya tidak
enak juga bahwa sesudah tujuh bulan tinggal di Ubud saya hanya pernah
mengunjungi Museum Puri Lukisan dan Museum Antonio Blanco, padahal masih banyak
museum lain. Akan tetapi, kalaupun tidak berniat mengunjungi museum, menemukan
lukisan di sini sangat mudah. Lukisan ada di mana-mana. Jalan-jalan saja di
kota Ubud atau desa-desa sekitarnya, macam-macam studio lukisan memajang
karyanyanya dalam berbagai macam gaya.
Saya beruntung mengenal secara pribadi seorang pelukis di
Ubud. Saya sebut saja dia The Artist. Saya tahu bagaimana lukisannya disiapkan dan
dikerjakan. Pertama, memotong kanvas dari gulungan sebesar karpet dan kemudian merentangkannya
pada rangka kayu . Ini merupakan pekerjaan yang cukup berat karena ukuran
lukisannya cukup besar. Sudut kanvas tidak boleh longgar. Cuaca yang tepat perlu
diperhatikan ketika melakukan pekerjaan ini, bisa-bisa kanvas memuai dan kendor
nantinya. Berbagai alat pertukangan diperlukan dalam proses ini. Catok, palu,
stapler khusus kayu, dsb. Saya rasa seorang perempuan pelukis lebih suka
memesan kanvas yang sudah terentang pada rangka daripada mengerjakannya
sendiri. Setelah dipasang pada rangka, kanvas perlu diamplas untuk
menghilangkan benang-benang halus yang mencuat yang hanya bisa dilihat oleh
kaca pembesar.
Barulah kanvas siap dilukis. Diambilnya kuas besar yang dicelupkan
pada cat dan minyak, kemudian disapukan dari kiri ke kanan. Warnanya merah
muda, oranye dan ungu. Jadilah langit sore hari menjelang matahari terbenam,
tapi masih dalam bentuk kasar. Saya paling suka menonton bagian ini, karena
tiba-tiba saja kanvas yang tadinya kosong jadi menggambarkan sesuatu hanya
dalam beberapa kali sapuan kuas. Kelihatannya mudah. Saya ingin mencoba, tapi
dia bilang ini pekerjaan berat, tidak cocok untuk saya kalau tangan sedang
sakit.
Namun kalau kuas yang digunakan kecil, untuk membuat goresan
pendek-pendek untuk melukiskan riak laut di kejauhan misalnya, saya tidak bisa lagi
menahan diri. Walaupun memegang kuas saja kaku, saya berhasil membujuknya agar
diijinkan mengoleskan kuas pada cat dan kemudian mencelupkannya pada minyak.
Lalu, sret, sret, sret, saya membuat goresan kecil-kecil di kanvas. Tidak
gampang ternyata. The Artist langsung berseru, “Hebat sekali! Luar biasa!”
Langsung disambarnya kuas dari tangan saya. “Cukup untuk hari ini. Sebaiknya
kamu melakukan pekerjaan lain. Menulis misalnya?” Hm, nyindir ya. Ditimpanya
goresan yang sudah saya buat dengan warna lain. Tapi ujungnya masih disisakan
sedikit. Nanti, goresan yang saya buat ini akan menjadi bagian dari lukisannya
juga, dikirim ke galeri di Singapura, dan bisa saja dibeli dan dipasang di
sebuah rumah di Australia. Numpang terkenal ah.
Kehidupan seorang pelukis tentu erat hubungannya dengan
warna. Mereka punya cara sendiri untuk menerangkan warna yang bisa
membuat saya terbengong-bengong. Untuk mata misalnya, dia tidak akan mengatakan
warna mata saya hitam. Dia bilang mata saya berwarna hitam dan kuning (maksudnya?
Loreng-loreng seperti harimau?) dengan semburat ungu. Wah! Bingung dengarnya.
Tapi saya maklum, artinya warna-warna inilah yang akan digunakannya kalau
diminta melukis mata saya. Pernah dia mengatakan sebuah kursi plastik berwarna
hijau. Buat saya, kursi itu warnanya putih. Tapi kalau ditanya lebih jelas,
saya akan mengatakan bahwa warna kursi itu adalah putih kalau berada di tempat
yang terang dan dilihat dari dekat. Kalau kursi berada di tempat yang agak gelap,
apakah masih akan putih? Bagi saya iya, karena saya tahu warnanya putih. Tapi mata yang jujur akan mengatakan bahwa
warnanya kehijauan dan abu-abu gelap kan?
Juga, ketika dia baru beli kaca mata hitam, dia bilang
gagangnya berwarna hijau. Agak kaget saya. Selama ini dia tidak menunjukkan
tanda-tanda perilaku eksentrik, kenapa tiba-tiba beli kaca mata warna hijau?
Jangan-jangan nanti dia pakai sepatu kuning dengan kaus kaki merah muda,
seperti yang pernah saya lihat dipakai oleh seseorang. Ternyata ketika kaca
mata itu diperlihatkan, warna gagangnya coklat konvensional. Memang tidak
coklat sekali, dan memang benar, ada sedikit campuran warna hijaunya kalau
dilihat dengan lebih teliti. Bagi saya ya coklat saja, bukan hijau.
Yang paling asyik adalah melihat-lihat peralatan melukisnya.
Perempuan yang paling suka dandan yang saya kenal pun kalah oleh dia menyangkut
jumlah koleksi botol dan kuas. Botol milik The Artist macam-macam jenisnya,
besar dan kecil. Kuasnya saja lebih dari seratus! Mulai dari yang sehalus ujung
rambut sampai yang sebesar kuas tembok, bahkan lebih besar lagi. Ujung kuas ada
yang rata, miring, melengkung, seperti kipas, berantakan panjang-pendek, dan
lainnya. Sedangkan si centil hobi dandan itu cuma punya lima kuas dan sikat:
untuk bibir, untuk pipi, untuk alis, untuk muka, untuk bulu mata.
The Scream |
Kalau selama ini saya kira pelukis cuma perlu cat dan minyak
selain kuas, saya salah besar. Botol milik The Artist lengkap berisi serbuk
baik halus maupun kasar bahkan besar-besar seperti kerikil atau gula batu.
Kemudian ada yang berbentuk jeli serta cairan baik encer maupun kental. Menurut
label yang tertera, itu adalah dammar,
raw sienna, mica, stand oil, linseed oil, poppy oil, umber, liquin, safe-gel,
rabbit skin glue (benar, ini dibuat
dari kulit kelinci!) dan sebagainya. Bahan-bahan itu ada yang dicampurkan pada
cat atau sebagai lapisan yang digunakan untuk menguatkan kanvas, mengilapkan
cat, membuat lukisan tahan lama, mempercepat cat kering atau justru melambatkan
proses pengeringan karena cat yang terlalu cepat kering akan jadi retak-retak.
Ada bubuk yang kalau dibubuhkan akan kelihatan seperti butiran pasir. Pintar
juga, karena ini jauh lebih mudah daripada melukis butir pasir satu per satu.
Melihat dia melukis selalu menimbulkan penyesalan pada diri
saya kenapa saya tidak punya bakat seni sedikit pun, ya. Entah itu menyanyi,
menari, main musik, atau menggambar. Berita paling gres dari dunia seni rupa
adalah terjualnya sebuah lukisan berjudul The
Scream dengan harga hampir 120 juta dolar
AS! Padahal lukisannya tidak terlalu besar, dengan menggunakan pastel di atas
kertas. Melihat gambarnya yang cuma coret-coret begitu saya yang orang awam
jadi berpikir jangan-jangan sebenarnya saya bisa juga membuat lukisan? Tinggal
gores sana gores sini, seratus tahun kemudian anak-cucu saya bisa jadi milyarder
mendadak. Hehehe.
Sumber foto The
Scream: http://www.dailymail.co.uk/news/article-2138678/Edvard-Munch-The-Scream-painting-fetches-119m-Sothebys-auction.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar