Kamis, 10 Mei 2012

The Artist


Bahwa Ubud pernah dan masih menjadi rumah bagi para pelukis terkenal atau yang ingin terkenal, semua orang sudah tahu. Nama-nama seperti Arie Smith, Walter Spies, Rudolf Bonnet, I Gusti Nyoman Lempad dan masih banyak lagi dikenal pernah tinggal di Ubud. The Young Artist yang didirikan berpuluh tahun yang lalu masih hidup sampai sekarang dan menjadi satu gaya tersendiri. Papan iklannya berdiri di tikungan yang mengarah ke Penestanan, dengan megah mengumumkan keberadaannya. Rasanya tidak enak juga bahwa sesudah tujuh bulan tinggal di Ubud saya hanya pernah mengunjungi Museum Puri Lukisan dan Museum Antonio Blanco, padahal masih banyak museum lain. Akan tetapi, kalaupun tidak berniat mengunjungi museum, menemukan lukisan di sini sangat mudah. Lukisan ada di mana-mana. Jalan-jalan saja di kota Ubud atau desa-desa sekitarnya, macam-macam studio lukisan memajang karyanyanya dalam berbagai macam gaya.

Saya beruntung mengenal secara pribadi seorang pelukis di Ubud. Saya sebut saja dia The Artist. Saya tahu bagaimana lukisannya disiapkan dan dikerjakan. Pertama, memotong kanvas dari gulungan sebesar karpet dan kemudian merentangkannya pada rangka kayu . Ini merupakan pekerjaan yang cukup berat karena ukuran lukisannya cukup besar. Sudut kanvas tidak boleh longgar. Cuaca yang tepat perlu diperhatikan ketika melakukan pekerjaan ini, bisa-bisa kanvas memuai dan kendor nantinya. Berbagai alat pertukangan diperlukan dalam proses ini. Catok, palu, stapler khusus kayu, dsb. Saya rasa seorang perempuan pelukis lebih suka memesan kanvas yang sudah terentang pada rangka daripada mengerjakannya sendiri. Setelah dipasang pada rangka, kanvas perlu diamplas untuk menghilangkan benang-benang halus yang mencuat yang hanya bisa dilihat oleh kaca pembesar.

Barulah kanvas siap dilukis. Diambilnya kuas besar yang dicelupkan pada cat dan minyak, kemudian disapukan dari kiri ke kanan. Warnanya merah muda, oranye dan ungu. Jadilah langit sore hari menjelang matahari terbenam, tapi masih dalam bentuk kasar. Saya paling suka menonton bagian ini, karena tiba-tiba saja kanvas yang tadinya kosong jadi menggambarkan sesuatu hanya dalam beberapa kali sapuan kuas. Kelihatannya mudah. Saya ingin mencoba, tapi dia bilang ini pekerjaan berat, tidak cocok untuk saya kalau tangan sedang sakit.

Namun kalau kuas yang digunakan kecil, untuk membuat goresan pendek-pendek untuk melukiskan riak laut di kejauhan misalnya, saya tidak bisa lagi menahan diri. Walaupun memegang kuas saja kaku, saya berhasil membujuknya agar diijinkan mengoleskan kuas pada cat dan kemudian mencelupkannya pada minyak. Lalu, sret, sret, sret, saya membuat goresan kecil-kecil di kanvas. Tidak gampang ternyata. The Artist langsung berseru, “Hebat sekali! Luar biasa!” Langsung disambarnya kuas dari tangan saya. “Cukup untuk hari ini. Sebaiknya kamu melakukan pekerjaan lain. Menulis misalnya?” Hm, nyindir ya. Ditimpanya goresan yang sudah saya buat dengan warna lain. Tapi ujungnya masih disisakan sedikit. Nanti, goresan yang saya buat ini akan menjadi bagian dari lukisannya juga, dikirim ke galeri di Singapura, dan bisa saja dibeli dan dipasang di sebuah rumah di Australia. Numpang terkenal ah.

Kehidupan seorang pelukis tentu erat hubungannya dengan warna. Mereka punya cara sendiri untuk menerangkan warna yang bisa membuat saya terbengong-bengong. Untuk mata misalnya, dia tidak akan mengatakan warna mata saya hitam. Dia bilang mata saya berwarna hitam dan kuning (maksudnya? Loreng-loreng seperti harimau?) dengan semburat ungu. Wah! Bingung dengarnya. Tapi saya maklum, artinya warna-warna inilah yang akan digunakannya kalau diminta melukis mata saya. Pernah dia mengatakan sebuah kursi plastik berwarna hijau. Buat saya, kursi itu warnanya putih. Tapi kalau ditanya lebih jelas, saya akan mengatakan bahwa warna kursi itu adalah putih kalau berada di tempat yang terang dan dilihat dari dekat. Kalau kursi berada di tempat yang agak gelap, apakah masih akan putih? Bagi saya iya, karena saya tahu warnanya putih. Tapi mata yang jujur akan mengatakan bahwa warnanya kehijauan dan abu-abu gelap kan?

Juga, ketika dia baru beli kaca mata hitam, dia bilang gagangnya berwarna hijau. Agak kaget saya. Selama ini dia tidak menunjukkan tanda-tanda perilaku eksentrik, kenapa tiba-tiba beli kaca mata warna hijau? Jangan-jangan nanti dia pakai sepatu kuning dengan kaus kaki merah muda, seperti yang pernah saya lihat dipakai oleh seseorang. Ternyata ketika kaca mata itu diperlihatkan, warna gagangnya coklat konvensional. Memang tidak coklat sekali, dan memang benar, ada sedikit campuran warna hijaunya kalau dilihat dengan lebih teliti. Bagi saya ya coklat saja, bukan hijau.

Yang paling asyik adalah melihat-lihat peralatan melukisnya. Perempuan yang paling suka dandan yang saya kenal pun kalah oleh dia menyangkut jumlah koleksi botol dan kuas. Botol milik The Artist macam-macam jenisnya, besar dan kecil. Kuasnya saja lebih dari seratus! Mulai dari yang sehalus ujung rambut sampai yang sebesar kuas tembok, bahkan lebih besar lagi. Ujung kuas ada yang rata, miring, melengkung, seperti kipas, berantakan panjang-pendek, dan lainnya. Sedangkan si centil hobi dandan itu cuma punya lima kuas dan sikat: untuk bibir, untuk pipi, untuk alis, untuk muka, untuk bulu mata.

The Scream
Kalau selama ini saya kira pelukis cuma perlu cat dan minyak selain kuas, saya salah besar. Botol milik The Artist lengkap berisi serbuk baik halus maupun kasar bahkan besar-besar seperti kerikil atau gula batu. Kemudian ada yang berbentuk jeli serta cairan baik encer maupun kental. Menurut label yang tertera, itu adalah dammar, raw sienna, mica, stand oil, linseed oil, poppy oil, umber, liquin, safe-gel, rabbit skin glue (benar, ini dibuat dari kulit kelinci!) dan sebagainya. Bahan-bahan itu ada yang dicampurkan pada cat atau sebagai lapisan yang digunakan untuk menguatkan kanvas, mengilapkan cat, membuat lukisan tahan lama, mempercepat cat kering atau justru melambatkan proses pengeringan karena cat yang terlalu cepat kering akan jadi retak-retak. Ada bubuk yang kalau dibubuhkan akan kelihatan seperti butiran pasir. Pintar juga, karena ini jauh lebih mudah daripada melukis butir pasir satu per satu.

Melihat dia melukis selalu menimbulkan penyesalan pada diri saya kenapa saya tidak punya bakat seni sedikit pun, ya. Entah itu menyanyi, menari, main musik, atau menggambar. Berita paling gres dari dunia seni rupa adalah terjualnya sebuah lukisan berjudul The Scream dengan harga hampir 120 juta dolar AS! Padahal lukisannya tidak terlalu besar, dengan menggunakan pastel di atas kertas. Melihat gambarnya yang cuma coret-coret begitu saya yang orang awam jadi berpikir jangan-jangan sebenarnya saya bisa juga membuat lukisan? Tinggal gores sana gores sini, seratus tahun kemudian anak-cucu saya bisa jadi milyarder mendadak. Hehehe.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar