Menjelang tahun baru banyak orang menyiapkan daftar
resolusi. Mulai dari karir, relasi, rekreasi, spiritual… daftar ini panjangnya bergantung pada masing-masing orang. Saya termasuk
orang yang tidak pernah punya resolusi untuk tahun baru. Ada yang menganggap
ini aneh. Bagi mereka, menetapkan sasaran tahunan itu perlu. Hidup tanpa tujuan
adalah hidup yang terombang-ambing, katanya.
Maka, betapa
senangnya saya ketika paling tidak ada dua orang yang cukup berkompeten yang
juga memandang bahwa resolusi itu tidak perlu. Alasannya sederhana saja.
Pertama, resolusi yang kita canangkan itu sebagian besar tidak pernah tercapai. Kedua, resolusi membuat kita terpaku pada hal-hal yang direncanakan saja. Banyak kesempatan,
kemungkinan, dan peluang baru diabaikan karena tidak tertera dalam
daftar. Cobalah untuk melangkah dengan telanjang
kaki tanpa tujuan, kata salah seorang pakar itu. Kau akan terpesona dengan
jalan apa saja yang kautemui dan lalui yang tak pernah terpikir untuk dijalani sebelumnya. Ditambahkannya pula bahwa kata-katanya itu
adalah kiasan, jangan diartikan secara harafiah.
Seakan mendapat ilham,
sore harinya nasihat itu langsung saya praktikkan. Tapi, secara harafiah saja, hehehe. Caranya? Buka pintu, jalan
keluar, buka pintu pagar, dan jalan lagi. Sampai di simpang pertama
saya berhenti. Lurus atau kanan? Sebelah kanan terlihat lebih menarik, jadi
saya ambil yang kanan. Tak lama kemudian pertanyaan yang sama lagi: kiri atau
kanan? Saya ambil yang kanan dan menyusuri jalan setapak dari semen. Hehe, ini
sih memutari rumah sendiri. Di sebelah kiri sawah, di sebelah kanan deretan
rumah-rumah tetangga saya sendiri. Saya sangat jarang berjalan di sini, dan tidak pernah pergi sampai ke ujung, jadi
penasaran juga apa yang akan saya temui di sana. Ternyata ujung jalan ini
menabrak sebuah tembok berpintu, langsung masuk ke halaman rumah orang! Setelah
celingukan, baru terlihat ada tangga menurun di antara
semak-semak. Menurut perkiraan saya tangga ini menuju ke jalan besar yang akan membawa saya ke desa. Hm, kurang menarik, jalan itu terlalu sering saya lewati.
Tidak ada pilihan
lain kecuali kembali ke arah dari mana saya datang. Nanti, waktu sampai di simpang
yang terakhir, ambil saja arah yang
berbeda, pikir saya. Tapi di tengah jalan saya dapat ide baru. Kenapa tidak menyeberangi sawah saja? Malas sebenarnya lihat pematang sawah yang becek di sana sini itu, belum lagi rumputnya sering membuat kaki gatal. Tapi saya ingat lagi niat awal untuk berjalan tanpa tujuan. Oke,
nyebrang sawah!
Beberapa kali
saya mesti melompati tempat-tempat yang becek dan kaki kecipratan lumpur. Di
ujung sepetak sawah saya harus duduk dan memerosotkan
badan karena petak selanjutnya satu meter lebih rendah. Lalu lewat dekat
segerombol pohon pisang. Saya harus mepet sekali kalau
tidak mau kejebur sawah. Pematangnya sudah tidak ada, berganti
dengan tanah yang becek. Sial sekali. Padahal kalau dilihat dari teras lantai
atas rumah saya orang sepertinya enak saja jalan di sini.
Nah, sampai juga
di depan rumah Billy. Billy punya dua rumah yang berdampingan. Satu ditinggalinya sendiri, satu lagi disewakan. Dari rumah saya yang kelihatan cuma bagian belakang. Baru kali ini saya melihat bagian depannya. Asri sekali. Ada kolam kecil yang ditanami
lotus. Dari balik tumbuhan tropis terlihat sofa empuk dengan bantal warna-warni.
Saya jadi bersemangat. Saya telusuri jalan setapak itu, dan deretan
rumah yang ada di sana semua punya halaman indah dan
teduh.
Saya sama sekali tidak
merasa rugi sudah bersusah-payah. Untuk selanjutnya saya cuma jalan terus, dan
di setiap simpang jalan dengan asal saja memutuskan belok ke kiri atau ke
kanan. Sawah sudah jarang, cuma ada satu dua petak kecil. Jalan setapak berbelok-belok. Rumah semuanya dirancang bagus, sebagian
bertembok cukup tinggi sebagian tidak.
Saya itu paling
suka masuk-masuk gang. Semakin ruwet dan tak terduga gang-gang itu, semakin suka saya. Kalau di Bandung gang-gang ini biasanya dihuni sangat rapat dengan rumah-rumah tanpa halaman, di sini banyak
sekali tumbuhannya. Kalau tumbuhan, saya suka tanaman tropis yang diatur rimbun
dan setengah liar. Saya juga suka rumah yang tidak terlalu
besar tapi nyaman. Dan semuanya itu ada di sini! Saya jadi merasa seperti Alice
yang berpetualang di Negeri Ajaib. Sama
sekali tidak tahu ada tempat seperti ini di dekat rumah sendiri.
Bukan berarti
semua lancar dan enak-enak saja. Dua kali saya digonggongi anjing. Anjing Billy
yang tiga ekor dan dari jauh terlihat bersahabat serta
riang dan suka saling tunggu waktu lari-lari di atas pematang sawah itu ternyata
galak sekali. Bertiga mereka menggonggongi saya dengan sangat menyeramkan. Lalu
ada lagi anjing kecil yang salakannya
melebihi anjing yang ukurannya empat kali lebih besar dari dia. Jalan yang mepet sekali dengan halaman
rumah sering membuat saya tidak yakin apakah jalan itu untuk umum atau bukan. Bisa-bisa dipelototi orang. Tapi saya nekat
karena sudah kepalang tanggung. Saya akui saya juga sekali menerobos halaman orang (sesudah menoleh kiri kanan dulu) karena penasaran sekali dengan
kolam teratainya.
Setelah
berkeliaran lama, akhirnya sampai juga ke jalan besar yang
sudah sangat saya kenal. Di antara jajaran restoran dan kafe ada satu tempat yang menurut plang namanya adalah tempat meditasi. Saya sering melihat orang-orang berpakaian
putih-putih berkumpul di situ. Saya bukan orang yang biasa mendatangi suatu
tempat tanpa rencana, dan saya tidak suka yang namanya seragam-seragaman, tapi...
bukankah sekarang acaranya adalah berjalan tanpa tujuan? Jadi, saya masuki tempat itu.
Mereka ramah
sekali, mengajak saya langsung bergabung, dan memanggil saya ‘Sis’. Walaupun metoda meditasi mereka berbeda
dengan yang sudah saya pelajari, saya pikir tidak ada salahnya untuk dicoba.
Saya memasuki ruangan yang penerangannya adalah lampu bercahaya merah yang
redup. Untuk pemeditasi disediakan tempat duduk di karpet, dan di bagian depan
ada sebuah kursi kosong yang seperti singgasana. Ada dua foto digantung. Saya
rasa itu adalah foto Sang Guru. Ada meja rendah dengan beberapa persembahan.
Yang menjadi fokus di ruangan itu adalah sebuah kain yang ditempelkan di
dinding dan di pusatnya ada titik yang terang sekali. Dari titik itu ada
pola-pola yang melebar semakin menjauh dari pusat. Tugas para pemeditasi adalah
memandangi titik itu tanpa berkedip! Setelah beberapa menit memandangi titik
ini mata saya jadi berkunang-kunang. Efek yang dihasilkannya mirip dengan baju
warna-warni pelangi tie dye yang jadi
mode beberapa tahun yang lalu. Kepala saya pusing dan mata saya ingin merem
kalau berpapasan dengan orang yang mengenakan baju ini. Untunglah mode ini akhirnya
berlalu juga.
Hari Minggu ternyata
adalah hari khusus bagi kelompok meditasi itu. Buat saya, secara sederhana
kekhususan itu bisa diterangkan begini: ada pembagian kue di akhir acara. Satu
per satu maju. Kursi singgasana itu sekarang sudah diduduki oleh seorang
perempuan. Asistennya yang duduk di sampingnya mengambil kue dengan hati-hati,
diberikan kepada ‘Sang Ratu’ untuk diserahkan pada setiap orang yang kena
giliran. Ketika tiba giliran saya, saya maju dengan berdebar-debar dan berdiri
di hadapan Sang Ratu dengan khidmat. Terjadi dialog telepatis sebagai berikut.
“Apakah kau merasa damai?” tanya Sang Ratu. “Eh…” jawab saya. Matanya menatap dalam,
senyumnya halus dan sabar. “Apakah kau merasa bahwa kita semua bersaudara?.”
“Eh…” jawab saya lagi. Senyumnya tetap sabar menunggu, wajahnya tetap ramah.
“Kalau saya merasa damai, apakah saya akan diberi kue?” tanya saya akhirnya.
Dia tetap tersenyum sabar mendengar pertanyaan saya yang tidak sopan itu. Saya
jadi merasa bersalah. “Iya, saya merasa damai, dan merasa kita semua
bersaudara,” kata saya pelan. Kue itu pun diberikan.
Begitulah pengalaman
saya berjalan tanpa tujuan. Saya tidak pernah pergi ke tempat meditasi itu
lagi, tapi saya jadi suka jalan blusukan ke mana-mana setelah itu. Coba sendiri
deh, pasti tidak akan menyesal pergi berjalan tanpa tujuan.