Catatan: Kamu orang dewasa yang cinta
dongeng? Terutama untuk kamulah cerita ini ditulis :) Ingat, semua tempat dalam cerita ini adalah nyata. Begitu juga tokoh-tokohnya, kalau kamu dapat memahami keajaiban dongeng.
Alkisah,
hiduplah Munmun dan Nyitnyit di belantara Ubud. Sebenarnya zaman sekarang tidak
ada lagi tempat yang pantas disebut ‘belantara Ubud’, namun Munmun sudah
berhasil mengatur sedemikian rupa sehingga sepotong tanah yang didiaminya masih
bisa disebut hampir belantara dengan pohon-pohon, semak-semak, dan
sulur-suluran yang cukup rapat. Untuk menuju tempat itu kamu harus menuruni
tangga tanah yang terjal, jauh ke bawah. Bawa serta handukmu, juga perlengkapan
mandi seperti sabun dan sampo. Jangan lupa gayungnya juga. Kamu akan sampai di sebuah
bak semen yang penuh dengan air. Airnya langsung dialirkan dari mata air yang
segar sekali. Sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan air sumur maupun air
ledeng. Ada dinding yang tidak begitu
tinggi yang mengitari bak itu. Kalau kamu cukup nekat untuk membuka baju dengan
kemungkinan diintip orang dari atas, kamu bisa mandi di sana.
Namun,
setelah berpikir sejenak kamu memutuskan bahwa semangat untuk merasakan sendiri
bagaimana hidup seperti orang lokal, meskipun terdengar romantis, adalah
terlalu berisiko. Maka kamu kembali menuruni tangga tanah itu, tertarik oleh
suara menderu-deru yang disebabkan oleh air sungai yang mengalir deras. Lalu air
menghalangi langkahmu. Kamu sudah sampai di ujung. Tapi jangan dikira kamu
sudah menemukan tempat tinggal Munmun, apalagi bisa melihatnya sekilas di
antara dahan pohon. Kamu tahu bahwa Munmun tinggal di sana hanya karena kamu
sudah diberi tahu melalui cerita ini. Tapi orang-orang yang tidak seberuntung
kamu, setelah diam dan kagum sejenak, mereka akan kembali mendaki tangga itu
tanpa memikirkan Munmun. Sesampai di puncak tangga mereka menoleh lagi untuk
melihat terakhir kali betapa hijau dan rimbunnya tempat itu, lalu menghela
napas. Kemudian mereka kembali ke kota untuk belanja atau makan siang. Kepala
mereka sibuk memikirkan hal-hal lain.
Munmun tidak
mengijinkan satu orang pun mendatangi tempat tinggalnya. Begitu rumahnya ditemukan orang, akan rusaklah
tempat itu. Dengan cerdik dia sudah membuat lubang tersembunyi yang disamarkan
dengan baik, tempatnya keluar masuk. Nyitnyit baru datang kemudian. Dia berasal
dari tempat yang jauh. Munmun langsung menyukainya begitu dia melihat Nyitnyit.
Dia suka bunyi-bunyian yang keluar dari mulut Nyitnyit, dia suka kembang kuning
besar di atas telinganya, dan dia suka mata Nyitnyit yang terlihat cerdas.
Nyitnyit juga suka pada Munmun dan dia terpesona oleh cerita Munmun mengenai
tempat tinggalnya. Kamu tahu, di mana-mana belantara sudah mulai menghilang. Tempat
asal Nyitnyit tidak bisa disebut belantara, hutan pun bukan. Maka Nyitnyit
bersedia tinggal di tempatnya yang baru bersama Munmun.
Nyitnyit
bahagia tinggal di rumah barunya. Kadang-kadang dia main-main keluar dari
belantara itu, namun tidak terlalu jauh, dekat-dekat saja. Tentu saja dia harus
waspada ketika keluar dari pintu tersembunyi, jangan sampai ada orang yang
melihat. Itu tidak terlalu sulit untuknya karena dia lincah sekali. Matanya juga
tajam, gerakan daun sehalus apapun akan terlihat olehnya. Maka dia tahu ada
orang yang mengintip dari balik semak. Dia menunggu sampai orang itu pergi. Nyitnyit
pernah mendengar tentang sebuah tempat yang bernama Monkey Forest. Dia ingin
pergi ke tempat yang cukup jauh itu tapi Munmun meremehkan keinginannya.
Katanya tempat itu sangat membosankan. “Itu hutan bohong-bohongan dan semua
monyet di sana adalah badut-badut,” kata Munmun. Nyitnyit menurut saja karena
dari cerita Munmun tempat itu kedengarannya memang kurang menarik. Nyitnyit
segera melupakan tempat itu dan sibuk meloncat ke sana ke mari dengan riang.
“Nyitnyit,
berhentilah mengendus-endus. Kamu monyet, bukan anjing,” kata Munmun. Tapi
Nyitnyit terus mengendus-endus. Munmun menghela napas panjang tanda putus asa.
Menurutnya Nyitnyit sudah tak tertolong lagi. Semua benda diendusnya. Jauh di
atas belantara itu ada sebuah jembatan besar. Orang-orang menaruh sesajen di
dinding pembatas jembatan di pagi hari. Setiap hari mereka menambah sesajen itu
sampai jumlahnya banyak sekali. Sesajen-sesajen itu jadi bertumpuk-tumpuk dan
berdesak-desakan. Angin menerbangkannya dan sebagian terbawa ke belantara di
bawah sana. Ada yang menyangkut di pucuk pohon. Ada yang jatuh ke tanah. Nyitnyit mengendus semuanya. Kelopak-kelopak bunga. Potongan-potongan janur. Butir-butir
nasi. Biskuit yang sudah melempem. Dan banyak permen juga. Nyitnyit tidak
pernah makan permen. Padahal giginya sangat kuat, sedikit permen bukan masalah
untuknya. Namun Nyitnyit selalu mengeluh tentang lingkar pinggangnya yang
membuat Munmun bosan. “Dasar perempuan, di mana-mana sama saja,” keluh Munmun. Munmun
pernah membawakan permen sisa sesajen yang masih bersih namun Nyitnyit tidak
menggubrisnya. Dia takut gemuk.
Begitulah.
Nyitnyit mengendus apa saja. Dia mengendus pisang sebelum memakannya. Mengendus
ranting kayu, mengendus udara, mengendus kerikil. Apa saja. Dia suka bau-bauan.
Dia bahkan bisa membaui air tawar. Dia juga mengendus kepala Munmun. Munmun
merasa bosan dan menunggu saja dengan sabar. Akhirnya Munmun juga mencoba
mengendus. Setelah itu dia jadi sedikit mengerti kesukaan Nyitnyit itu, namun
Munmun cuma mengendus sedikit, tidak menjadikannya sebagai obsesi.
Sebaliknya,
Nyitnyit juga punya keluhan tentang Munmun. Kalau Munmun bosan dengan
endusannya, Nyitnyit bosan dengan perang abadi Munmun pada semut-semut.
“Semuuut!!!!”
teriak Munmun.
Munmun
kalang kabut. Dipatahkannya dahan pohon lengkap dengan daun-daunannya. Disapunya
semut-semut itu dalam sekali libas. Kadang-kadang dia menginjak-injak semut-semut
itu. Menenggelamkannya dengan semprotan air. Meniupnya kuat-kuat. Bahkan pernah
akan membakarnya, tapi dicegah oleh Nyitnyit karena bisa saja terjadi
kebakaran.
“Semuuut!!!!”
lagi-lagi Munmun mengagetkan Nyitnyit yang sedang santai berayun-ayun.
Tanpa
tertarik Nyitnyit melirik dengan malas. Mereka ini hidup dalam belantara, apa
lagi yang bisa diharapkan? tanya Nyitnyit dalam hati.
Begitulah
kehidupan Munmun dan Nyitnyit. Selain endusan dan perang semut yang saling
dianggap membosankan oleh masing-masing, mereka menikmati hidup. Mereka senang
mengejar-ngejar tupai, memanjat pohon, berayun-ayun di akar pohon beringin, berenang
di sungai atau memancing ikan, dan macam-macam lagi. Sampai Munmun memikirkan
hal-hal lain. Munmun ingin pindah ke pantai. Katanya di pantai banyak
warna-warna.
“Di sini
terlalu hijau,” keluh Munmun. “Pantai adalah tempat di mana kamu bisa melihat
sinar matahari menari-nari untuk menghasilkan bayangan indah yang lembut
bergetar di permukaan laut.”
“Di sini
cahaya matahari tidak bisa bebas menerobos daun-daunan,” Munmun mengeluh lagi.
Tapi
Nyitnyit suka tempat ini. Dia suka sinar redup kehijauan dan sejuknya udara.
Dia suka mendengar suara burung. Di malam hari dia bisa mendengar daun saling
berbisik dan kodok mendengkur. Dia tidak tahu sebelumnya bahwa Munmun adalah
pencinta warna. Sedangkan dirinya adalah pencinta bau-bauan. Mereka terpaksa
berpisah.
“Biarlah kamu tinggal di sini kalau kamu suka tempat ini,” kata Munmun. “Aku akan pergi ke pantai.”
“Tidak,
Munmun, aku juga akan pergi dari sini,” jawab Nyitnyit.
“Apa? Ke
mana kamu akan pergi?”
“Aku akan
pergi ke Monkey Forest.”
“Sudah
kubilang tempat itu payah! Hutannya bohong-bohongan dan semua monyet di sana
adalah…”
“Badut-badut,”
Nyitnyit menyelesaikan kalimat Munmun.
“Aku rasa
kamu salah, Munmun. Monyet-monyet di sana sopan dan cukup berbudaya. Mereka
memang harus tinggal di sana. Ke mana lagi mereka bisa pergi? Belantara tidak
cukup luas untuk menampung semuanya.”
Munmun tidak
setuju tapi diam saja.
Jadi, kalau kamu
pergi ke Monkey Forest nanti kamu bisa berpikir tentang Nyitnyit sambil
bertanya-tanya manakah dia di antara banyak monyet lainnya. Sayangnya kamu
tidak bisa membedakan suara dari monyet-monyet itu. Nyitnyit punya suara yang
indah. Kamu juga tidak bisa melihat bunga kuning besar di atas telinganya
padahal dia selalu memakainya. Satu-satunya petunjuk adalah matanya yang
bersinar cerdas. Tapi kamu juga tidak boleh menatap mata monyet. Monyet akan
menyerang kalau kamu melakukan kontak mata dengannya. Ini adalah peringatan
keras! Saya, penulis cerita ini dan satu-satunya yang tahu tentang kisah ini
sebelum menyebarkannya, dengan serius memperingatkannya. Jangan sekali-sekali
menatap mata monyet. Sedangkan mengenai Munmun, kamu tidak akan menemukannya di
sana. Dia sudah pergi jauh ke pantai.