Paul menelpon waktu saya sedang ada di kantor sekitar jam
setengah dua belas. Dia heran.
“Hari Sabtu kok kerja?”
Saya cepat-cepat mengiyakan dan pura-pura mengeluh mengenai
banyaknya pekerjaan.
“Tapi sudah mau pulang,” saya menerangkan.
Dia ingin saya datang ke rumahnya karena ada tamu yang ingin
ketemu saya, tapi tidak mau bilang siapa orangnya. Katanya biar surprise. Saya
sebenarnya tidak begitu suka sama yang namanya surprise. Lebih tepatnya tidak
percaya, karena kebanyakan ‘surprise’ itu garing ternyata. Tapi Paul tetap
tidak mau bilang siapa surprisenya meskipun sudah didesak.
“Laki-laki apa perempuan?” tanya saya minta petunjuk,
setelah mengancam tidak mau datang kalau tidak ada keterangan apapun.
“Sejujurnya, saya juga tidak yakin dia laki-laki atau
perempuan,” jawab Paul.
Hah! Saya tidak sabar dengar caranya menjawab. Tapi saya
diam saja karena takut kalau ditanggapi nanti dia mulai berfilosofi.
“Yah, saya mau datang asal dijemput,” jawab saya pada akhirnya.
Sampai di rumah saya langsung tiduran dan berharap Paul
datangnya nanti saja sekitar jam 3 supaya saya sempat tidur dulu. Harapan yang
sia-sia, karena tadi dia sudah bilang tamunya bisa saja tiba-tiba pergi. Dalam
hati saya bilang,
“Biarin aja pergi. Syukur malah.”
Ternyata benar. Paul tidak memberi saya kesempatan untuk
tidur sebentar saja karena tiba-tiba dia sudah mengetuk pintu. Dengan
ogah-ogahan saya menemuinya dan tanya apa perlu ganti baju? Dia bilang tidak
usah. Maka berangkatlah kami.
Saya agak curiga karena pintu rumah Paul tertutup dan tidak
ada sandal atau sepatu di depan pintunya. Bisa saja tamunya itu tidak mau copot
sandal dan takut masuk angin, jadi ini bukan petunjuk pasti bahwa tamunya sudah
pergi. Paul kelihatan tenang-tenang saja dan membukakan pintu untuk saya.
Anehnya saya malah disuruh ke lantai atas dan dilarang berisik. Saat itu saya
tahu bahwa mungkin ‘surprise’ kali ini tidak begitu garing. Mungkin saya akan
menemukan sebuah lukisan di sana? Tapi kenapa dilarang berisik?
“Keluar ke teras, belok ke kanan, dan lihat ke atas,”
instruksinya.
Saya melakukan perintahnya, berjalan berjingkat dan dengan
hati-hati mengintip dari balik tembok, untuk melihat… seekor burung hantu! Dia
sedang bertengger di balok penyangga atap. Besar dan sangat tampan. Dibukanya
matanya perlahan lalu dipandangnya saya dengan mata mengantuk. Sepertinya dia
bilang,
“Halo, ini saya. Iya, tadi juga sudah banyak orang datang
satu per satu untuk lihat saya. Kamu juga, ya?”
Saya cepat-cepat mundur. Takut dia kabur karena merasa
terganggu dipandangi terus dengan mata melotot. Wow! Ini baru namanya surprise!
“Sejak kapan dia di sini? Dia cuma berdiri saja atau
kadang-kadang terbang? Dia tidak takut orang? Apa sebaiknya lapor ke…mmm siapa
ya? Boleh lihat lagi?”
Paul bilang burung itu sudah ada di terasnya selama tiga
hari (Saya mencela, “Sudah tiga hari kok baru bilang sekarang?”). Mungkin
sebelumnya juga sudah ada di sana tapi dia tidak memperhatikan. Saya agak
takut-takut mendekat, tidak mau burung itu terbang. Tapi ternyata burung itu
tenang-tenang saja. Setiap saya mendekat dia selalu mendengar, membuka matanya
setengah dan merem lagi kalau saya mundur menjauh. Dipandanginya saya dengan
kelopak mata setengah tertutup dari tempat bertenggernya di atas. Setahu saya
burung hantu tidur di siang hari dan berburu di malam hari. Burung itu tidur
dengan satu kaki diangkat. Kakinya yang sebelah dilipat rapat dan disisipkan ke
dalam bulu-bulu di perutnya. Sepertinya itu posisi favoritnya.
Burung hantu sebesar itu siapa yang punya, ya. Menurut Paul burung
itu bukan asli Indonesia. Hmm, kalau begitu, burung ini mungkin kabur dari seorang
kolektor! Pemiliknya mungkin juga masih tinggal di seputar Ubud. Saya kembali menyebut-nyebut soal menelpon
petugas, tapi Paul mengisahkan cerita mengharukan tentang betapa seekor burung
yang terkungkung dalam sarang besar akhirnya berhasil menemukan lubang di
kandang kawatnya, melarikan diri dan menemukan kebebasan yang selalu didambakannya.
Menurut saya belum tentu juga. Bisa saja sekarang burung ini menyesal karena
melarikan diri, ingin kembali ke kandang di mana makanan selalu tersedia. Paul
menjawab, burung itu selalu terbang di malam hari mencari makan, dan dia
sanggup tidur berdiri dengan satu kaki diangkat selama seharian.
“Jadi jangan kuatir, burung ini cukup makan dan sangat
sehat,” katanya.
Yang jelas burung ini tidak punya teman dari bangsanya
sendiri. Tidak ada siapa-siapa kecuali dirinya sendiri. Tapi dia kan burung,
ya? Mungkin itu bukan masalah buat dia? Soal seperti ini bakalan sulit untuk
dipecahkan karena seekor burung tidak bisa ditanyai apa maunya. Saya yakinkan
saja bahwa burung ini tidak apa-apa, dan kalaupun benar dia melarikan diri dari
kandang dia sanggup mengurus dirinya sendiri. Jadi saya tidak komentar lagi. Saya
sangat berharap burung yang diberi nama Bond itu selamanya akan tinggal di
teras Paul. Kalau dia mau. Kalau dia akhirnya pindah juga, terpaksa saya harus
puas dengan burung-burung yang tidak begitu mengesankan dibanding dia.
Paul melarang saya untuk memberi tahu orang-orang mengenai
Bond. Katanya orang akan datang untuk menangkapnya kalau mereka tahu dia ada di
sana. Tadinya saya tidak percaya, tapi ternyata itu benar. Waktu saya cerita
kepada beberapa orang di tempat saya kerja (ini tidak melanggar larangan Paul,
karena ‘orang-orang’ yang dimaksudnya adalah mereka yang tinggal sedesa), dan
menunjukkan fotonya untuk jadi bukti kalau saya tidak bohong, semua kagum dan banyak
yang bertanya, “Nggak ditangkap?”. Ternyata benar kata Paul. Saya ceramahi
mereka supaya sedikit maju pikirannya, tapi saya malah dianggap aneh. Akhirnya
saya tahu bahwa untuk mereka, punya kurungan yang berisi makhluk eksotik supaya
bisa dipandangi sendiri atau dipamerkan kepada orang lain adalah sebuah
pencapaian tinggi yang bisa menaikkan prestise.
Bond si burung hantu bukan satu-satunya yang eksotik dan
orang ingin mengurungnya kalau bisa. Tupai juga. Ada seekor yang tinggal di
pepohonan dekat rumah saya. Saya pernah melihatnya sedang duduk dengan kaki
depan diangkat ke dekat muka, dan mulutnya bergerak-gerak seperti sedang makan.
Tupai ini membuat sarang beberapa meter di atas teras saya yang dibangunnya di
atas batang-batang pohon bambu yang lebat dan tumbuh menjorok ke teras. Suatu
pagi saya menemukan sarang ini tergeletak di lantai teras. Pasti karena
malamnya hujan lebat sekali dan angin kencang menjatuhkan sarang itu. Pak Putu
(tukang ojek saya yang baru) yang menunjukkan sarang itu. Saya mengamati sarang
yang terbuat dari ijuk yang tebal sekali itu dan saling menjalin rapat. Lalu
Pak Putu menemukan dua ekor bayi tupai di dalamnya! Kecil sekali, hanya sebesar
jempol orang dewasa. Pak Putu mengembalikan sarang ke pohon bambu, tapi tidak
bisa di tempat yang sama karena letaknya terlalu tinggi.
Saya cerita lagi mengenai kejadian ini. Salah seorang sangat
bersemangat dan minta diijinkan untuk mengambil bayi tupai itu. Beuh. Ini lagi.
Kenapa gak minta ijin sama ibu tupai, saya kan bukan orang tua dari bayi-bayi
itu. Dia yakin bisa membesarkan bayi itu, dan tahu apa makanannya. “Susu, tapi
harus dicairkan, kalau enggak jadi sakit perut dan bisa mati,” katanya yakin.
“Kalau tupainya sudah besar dan lari-lari di dalam kandang, keren sekali!”
Karena dia bujangan yang mengurus diri sendiri saja tidak mampu, dan menurut
gosip kamar kosnya sendiri kaya kandang, saya cuma mendengus menghina.
Ada satu hal yang membuat saya kuatir. Orang bilang ibu
tupai tidak akan mau menyentuh anaknya lagi kalau anaknya itu sudah tercampur
dengan bau manusia. Saya mengingat-ingat apakah saya menyentuh bayi-bayi tupai
itu. Sepertinya tidak. Pak Putu juga tidak. Besoknya lagi, saya minta Pak Putu
menurunkan sarang tupai itu untuk diperiksa. Kosong. Berarti ibu tupai sudah
memindahkan anaknya. Tapi dia tidak mau menggunakan sarang itu lagi. Dibiarkan
kosong saja. Mungkin benar kata orang, karena sarang itu pernah dipegang
manusia, sarang itu sudah tercemar.