Sebelum
pindah ke rumah yang saya tempati sekarang ini saya memikirkan satu persoalan
dengan serius. Apakah akan mulai memelihara kucing? Kucing saya rasa cocok
untuk dipelihara karena tidak terlalu repot mengurusnya dibandingkan dengan
kalau memelihara anjing. Ada teman kerja yang mau pulang ke negara asalnya dan
dia juga sedang pusing memikirkan nasib dua ekor kucingnya, karena masih belum
ada orang yang bersedia mengadopsi. Repotnya, dua ekor kucing ini tidak boleh
dipisahkan. “Mereka sejak kecil tumbuh bersama,” katanya menerangkan. Saya
belum siap untuk memelihara dua ekor kucing jadi tawarannya tidak saya ambil.
Pilihan lainnya adalah keluarga kucing yang tidak punya majikan tetap dan
senang bersantai-santai di teras rumah saya. Satu induk kucing dan dua ekor
anaknya yang masih kecil. Salah satu anaknya akan saya bawa. Teman saya tidak
mendukung. Mending ambil dari penampungan kucing saja, yang sudah divaksin,
begitu pendapatnya. Iya sih, tapi kucing-kucing ini meskipun masih liar sudah
sering saya kasih makan. Gimana, ya? Saya terus berpikir. “Susah nangkapnya!”
katanya mengambil keputusan terakhir. Ah, bilang aja malas. Nangkap kucing apa
susahnya sih. Memang saya sudah menyebut-nyebut dialah yang bertanggungjawab
akan kesejahteraan kucing itu kalau saya sedang ke luar kota, datang ke rumah
tiap hari untuk mengecek. Terang saja dia malas.
Sambil
pindahan saya masih menimbang-nimbang apakah harus membawa anak kucing itu.
Tidak jadi. Akhirnya keputusan ini malah menguntungkan. Soalnya sekarang saya
punya binatang yang sering menemani tapi tidak perlu memberinya makan dan
menyediakan semua keperluannya. Enak kan? Namanya Jack. Dia peliharaan Mawar,
yang tinggal selang satu rumah dari rumah saya. Dia blasteran antara anjing
bali dan anjing ras. Warnanya kuning. Itu kalau dalam keadaan biasa dan kering,
tidak ditutupi lumpur sawah yang hitam kecoklatan. Pernah satu kali, sekitar
jam sembilan Jack mendengking-dengking di depan pintu pagar minta masuk. Saya
datang untuk memeriksa. Dia mengibas-ngibaskan ekornya, senang menyambut saya.
Tapi badannya penuh lumpur, seluruhnya sampai ke muka dan ekornya. Baunya gak
enak.
“Tunggu,
Jack. Tunggu. Tunggu, ya,” kata saya bersemangat.
Saya lari
masuk ke rumah. Jack menggoyang-goyang ekor dengan senang, tahu saya pergi
untuk mengambil kunci pintu pagar. Saya datang lagi mendekatinya dengan HP di
tangan. Ceklik, ceklik, ceklik. Tiga jepretan.
“Sori, Jack.
Kamu kotor sekali, hari ini gak boleh masuk.” Lalu pergi meninggalkannya.
Jack kaget
sekali, tidak menyangka saya setega itu. Dia menggonggong protes satu kali.
Lalu menunggu selama sepuluh menit dengan sabar, siapa tahu saya berubah
pikiran. Saya intip dia dari balik gorden. Akhirnya dia pergi juga.
Jack yang penuh lumpur |
“Beneran, gak boleh…?” katanya sambil matanya
melirik dengan rendah hati namun penuh harap.
“Yaa…
sudahlah,” saya mengalah.
Jack masuk
dengan senang. Tak terasa tangan saya meremas-remas kupingnya dan lipatan di
dekat lehernya. Dia senang sekali. Sama senangnya kalau dia dengar saya buka
pintu pagar yang selalu berderit kalau dibuka tutup. Dia datang dari rumahnya
sendiri untuk menjemput. Ekornya bergoyang-goyang. Matanya yang biasanya sendu
dan sering bikin saya tidak tega tanpa tahu untuk alasan apa sekarang
berseri-seri. Mulutnya menyeringai. Mau ke mana nih sekarang, sepertinya itu
yang ingin dia katakan. Dia tidak pernah mengikuti saya. Dia lebih senang
berjalan di depan sambil sesekali menoleh ke belakang melihat ke mana saya
pergi dan yang lebih penting lagi, memastikan saya masih ada di belakang dan
tidak kabur darinya. Ke rumahnya untuk bertemu Mawar? Tidak. Belok kanan menuju
rumah Rima? Tidak. Bagus! Jadi kita pergi jalan-jalan ke sawah kan?
Dia paling
senang kalau diajak jalan-jalan ke sawah. Begitu sudah tahu tujuan saya dia berlari
kencang duluan di dinding semen saluran irigasi yang sempit sementara saya
harus jalan pelan dan hati-hati supaya tidak jatuh. Setelah lama mengendus-endus
semak-semak ke sana ke mari Jack lari kencang mendatangi saya lagi. Kalau saya
masih mau terus dia bersedia berbalik arah. Pergi ke mana saja tidak masalah
buat dia selama punya kesempatan banyak untuk mengendus-endus dan lari-lari.
Sedang saya mengagumi kecepatan larinya tanpa sedikitpun terpeleset, eh… saya
lihat dia salah ambil ancang-ancang. Kedua kaki belakangnya terperosok ke
saluran irigasi. Dia menarik badannya ke atas sambil melirik malu ke arah saya.
Hahaha, sekali ini bisa luput juga dia.
Sekali waktu
saya sudah siap jalan-jalan dengan Jack, ternyata Si Putih sudah menunggu. Dia
adalah anjing betina yang tinggalnya agak jauh dan sekali-sekali pergi main di
dekat rumah kami. Saya sering lihat Jack dan Si Putih main bersama-sama dan
kejar-kejaran di sawah tanpa padi karena habis dipanen. Kadang-kadang ada
beberapa anjing lain yang ikut bergabung tapi perhatian Jack cuma tertumpah
pada Si Putih. Anehnya kali ini Jack tidak peduli pada Si Putih. Dia terus
mengikuti saya padahal Si Putih terus berusaha mengingatkan Jack kalau dia ada
di sana. Sampai acara jalan-jalannya selesai dan kami sudah pulang menuju
rumah, Jack tetap mengabaikan Si Putih. Bisa-bisa Si Putih sakit hati dan lain
kali tidak akan mau repot-repot lagi berkunjung untuk main bersama. Bukan salah
saya lo, karena saya tidak pernah mengekang dan selalu memberinya kesempatan
bergaul dengan siapa saja.
Jack
sekarang sudah jarang datang dalam keadaan berlumpur. Saya rasa ini bukan
karena dia jarang mengejar-ngejar bebek, tapi karena sawahnya tidak berair
lagi. Saya perhatikan di beberapa tempat saluran irigasi ditutup dan air
dibelokkan ke jurusan lain ke saluran yang mengairi petak-petak sawah yang
masih membutuhkan air. Jack ternyata pernah pergi juga ke petak sawah ini. Dia
tertangkap basah dalam keadaan berlumpur sedang tiduran di teras saya.
“Pergi,
Jack,” kata saya. Jack langsung menurut. Saya masuk ke rumah, ambil minum, dan
keluar lagi ke teras. Eh, ternyata Jack sudah ada di sana lagi. Untuk sampai ke
teras ada tiga anak tangga yang harus didaki, seperti layaknya rumah-rumah di
Bali. Satu kaki depannya yang sebelah kanan sudah berada di anak tangga nomor
dua. Dia berhenti dalam adegan slow
motion ini seakan tombol pause-nya
saya tekan. Matanya melirik pada saya.
“Boleh?” tanyanya.
“Gak!” kata
saya galak dan memberi isyarat mengusir.
Tanpa sakit
hati dia meninggalkan rumah saya, juga meninggalkan saya dalam perasaan
bersalah. Aduh, Si Jack ini….
Sekarang
sudah berhari-hari saya tidak mengajak Jack jalan-jalan. Jalan-jalan ini
waktunya memang harus pas, kalau bisa sebelum jam tujuh. Setelah itu matahari
terasa panas. Kalau saya bangun siang atau sibuk dengan yang lain saya sering
lupa. Jack datangnya juga lebih siang karena saya terlambat membuka pintu
pagar. Dengan sabar dia menemani saya. Tingkahnya sopan dan kalem. Dia mendadak
bersemangat kalau saya bilang, “Ayo, jalan-jalan!” biarpun matahari sebenarnya
agak panas, baik pagi maupun sore. Dan selalu, dia berlari-lari kecil dengan
sekali-sekali menoleh ke belakang.
“Masih di
situ? Cepet dikit napa.”
Tapi itu
diisyaratkannya dengan sabar. Karena Jack selalu sabar. Sesekali dia
mendengking tidak jelas, lari menjauh, mendekat, menjauh lagi, mengajak saya
lompat-lompat bersamanya. Sepertinya dia tidak sadar saya sudah terlalu tua
untuk lompat-lompat. Tapi di sebagian besar kesempatan dia sibuk mengendus
semak-semak sendirian sementara saya menikmati cahaya keemasan sinar matahari
di atas daun-daun dan batang padi dan langit yang berubah warna menjelang
matahari terbenam.