Musik berhenti dan para pemain band bubar untuk istirahat
selama setengah jam. Kami bertepuk tangan dan kembali ke meja kami. Ngobrol dan
bercanda sambil menghabiskan minuman. Memang enak kalau habis nari gini, hati
ringan dan gampang ketawa. Seorang pramusaji datang lalu meletakkan satu botol
anggur merah dan gelas lima buah. Diisinya gelas satu per satu. Lho? Kami kan
tidak pesan anggur?
“Dari Bapak,” katanya.
Yang dimaksudnya dengan ‘Bapak’ adalah pemilik dari restoran
dan bar itu. Di sini ada live music-nya
setiap malam. Biasanya kami ke sana di malam minggu. Kami melambai dari jauh
untuk mengucapkan terima kasih untuk anggurnya. Setelah itu masih beberapa kali
kami mendapat hadiah yang sama kalau sedang ke sana. Malah pernah dikasih dua botol
tapi kami tolak. Kalau nanti ada yang mabuk padahal harus naik motor pulangnya,
bagaimana? Biasanya Mawar dan Miren cuma minum satu gelas anggur, sedangkan
Rima bir. Saya senangnya jus cranberry,
jahe panas, atau teh. Eh? Di bar minta teh panas? Dulu-dulu saya langsung
merasakan efek mabuk meskipun cuma minum seperempat gelas anggur. Sekarang mendingan,
mabuknya hilang, tapi ngantuknya jadi tidak tertahan. Mending tidak minum
minuman beralkohol sekalian saja. Pernah dalam acara makan malam resmi saya terus
berdoa dan melirik jam dengan putus asa. Ini acara makan sudah dua jam kok
nggak selesai-selesai, sih. Ngantuuuuk. Hoahmmm! Tapi tetap saja anggur putihnya
saya habiskan. Untung saya ingat untuk menutup mulut dengan tangan. Padahal
saya kalau nguap biasanya baru puas kalau membuka mulut lebar-lebar yang bikin
orang takjub. Mana mungkin muka dan kepala sekecil itu, yang kalau pinjam helm orang
talinya harus disetel sependek-pendeknya, bisa punya bukaan mulut yang
mengalahkan ukuran normal?
Di mana ada live music
sedang berlangsung kami bisa membuat suasananya jadi lebih meriah dengan mulai
menari pertama. Jenis musiknya bisa apa saja, asal enak dipakai nari. Yang
lain-lainnya baru mau setelah melihat contoh benar yang kami lakukan, dan iri
melihat kegembiraan yang kami rasakan. Pengunjung senang, pemain band senang dengan
banyaknya yang menari. Mereka semakin bersemangat memainkan musik. Kadang musik
yang berirama latin lebih dipercepat dan ini bikin penari salsa pemula jadi
kalang kabut (udah, lupakan aturan salsa, bergerak semau dan sebebasnya sajaah…).
Penyanyi band datang setelah acara musik selesai untuk bersalaman sekalian
ngobrol sebentar. Pemilik restoran pasti senang juga, kalau tidak mana ada
kasih-kasih wine gratis? Suasana meriah bisa membuat orang ingin datang lagi,
jadi yang suka nari biasanya disambut dengan baik meskipun mereka cuma minum di
sana, hahaha. Sepertinya dua tempat yang biasa kami datangi karena live musicnya ini punya pengunjung yang
berganti-ganti terus. Mungkin mereka turis yang tidak sempat untuk membentuk
kelompoknya sendiri. Akibatnya, ya itu tadi. Saling tunggu meskipun kaki sudah
gatal bergerak. Kami juga begitu di tempat yang baru.
Acara tahun baru kami kemarin juga dirancang dengan ada
acara narinya. Pertama makan dulu di restoran. Setelah itu pulang untuk
menyalakan kembang api. Ini terutama untuk menyenangkan Jazz, anaknya Mawar
yang berumur 9 tahun. Bunyi kembang api yang keras membuat Jack nyungsep ketakutan
di bawah kursi. Seluruh badannya gemetar hebat. Harap dimaklum ya Jack, ini
acara satu tahun sekali. Setelah itu baru kami keluar lagi untuk mendengarkan musik
tanpa Jazz karena dia harus tidur. Tempat nongkrong yang didatangi ini
suasananya sedikit dingin. Harus saya akui, pendapat ini subjektif sekali.
Sekarang, kalau dengar musik di restoran atau yang lainnya tanpa ada acaranya
narinya, saya anggap suasananya kurang asyik. Padahal ya salah sendiri, mau
nari tidak dilarang kok. Tapi entah kenapa kami waktu itu tidak ada yang
berminat untuk keluar dari kursi. Akhirnya sekitar jam sebelas kami pindah tempat, ke tempat yang sudah
biasa didatangi saja. Tempatnya penuh! Tapi manajernya santai saja, dia yakin
bisa menyelipkan kami di antara para pengunjung. Kami dicarikan tempat supaya
bisa bergabung dengan Miren dan Brett yang sudah dari tadi ada di sana dan
sedang duduk dengan dua orang lagi. Maka kami berdelapan duduk berdesakan.
Letak mejanya ideal sekali, di depan, jadi tidak ada yang merasa keberatan.
Lagian ini malam tahun baru, masa mau sepi?
“Aku dari tadi belum dance,”
kata Miren.
Kami bertukar pandang mengirim isyarat dan langsung saling mengerti.
Saya dengan Miren memang klik kalau urusan nari. Kalau yang satu malas dance,
dan yang satu juga malas dance, begitu keduanya digabung hasilnya jadi semangat dance, hahaha. Kami ngobrol sambil
minum sampai si manajer memutuskan suasana harus dibuat lebih hangat. Dia memberi
isyarat ke arah meja kami menyuruh kami maju untuk menari. Gak perlu di suruh
dua kali, langsung deh kami ngedance. Begitu juga yang lain. Lama-lama yang tadi
masih mikir sekarang tidak ragu lagi. Suasana semakin lama semakin meriah.
Setelah menghitung mundur untuk sampai ke jam duabelas malam, acara musik masih
diteruskan. Kan tahun baru. Biasanya di Ubud musik di kafe dan bar harus
berhenti paling lambat jam duabelas atau malah jam sebelas.
Saya bersyukur punya
teman-teman yang suka nari meskipun agak disayangkan mereka tidak begitu suka
nari salsa. Untunglah Lina sekarang sudah mau disuruh belajar salsa. Saya sedikit
berkorban dengan mengulang lagi dari dasar demi menemaninya belajar di kelas. Kursus
salsa privat juga masih saya teruskan meskipun tidak rutin lagi. Ternyata cara
orang ngajar itu beda-beda. Made, guru privat saya yang pertama lebih
mengutamakan sebanyak mungkin menari. Sejam belajar dengan dia bisa menari
sampai delapan lagu. Belajar dengan dia fun!
Apalagi dia punya kombinasi gerakan macam-macam. Kalau Agung lain lagi. Semua
gerakan saya dikoreksi dan kebiasaan yang salah dipaksanya untuk dihilangkan.
Muternya salah. Tangannya salah. Kakinya salah. Bahu mesti begini. Kaki mesti
jinjit. Ulang lagi! Sampai bisa! Sejam dengan dia keringat menetes-netes. Dia
duduk merokok sambil mengawasi sementara saya harus melangkah dengan gerakan
dasar banget selama lima menit untuk mendapatkan 'hitungan 1'nya. Dapat apa tidak saya tidak tahu karena dia cuma ngeliatin tanpa komentar hehehe.Jadi ajarannya sebenarnya banyak manfaatnya.
Saya sadar tidak mungkin jadi penari salsa yang sangat baik.
Disuruh rajin mendengarkan musik untuk melatih kepekaan saja malas. Latihan
muter sendiri cuma bertahan dua hari.
Sekarang pun, kalau sudah berdiri berhadapan mau mulai menari latin, saya masih
nanya sama partner narinya, “Ini salsa apa bachata?” karena belum bisa
membedakan musiknya dari awal. Untung banget jadi cewek, semua urusan
koreografi gak perlu mikir. Tapi ada yang bilang jadi cewek itu susah karena
tidak tahu gerakan selanjutnya bakal gimana. Saya suka iri kalau melihat orang
yang jago menari salsa. Tapi banyak penari salsa yang hanya mau atau bisa
menari latin. Begitu selesai menari di satu tempat kadang-kadang kami pindah ke
tempat lain. Di tempat yang kedua ini ketemu lagi dengan mereka. Para penari latin
ini banyak yang diam saja karena musiknya bukan latin. Satu dua menari salsa meskipun
musiknya rock. Oke deh. Boleh-boleh saja kok nari salsa dengan iringan musik
rock.
Satu-satunya yang tidak suka saya menari adalah Jack. Kalau
saya nyetel musik lalu goyang-goyang di depannya, pertama dia menonton dengan
heran, terus mengalihkan mata, malu melihat kelakuan saya. Lama-lama dia tidak
tahan dan terus pergi.
“Heh, ngapain kabur?!? Sini!” perintah saya, merasa
dilecehkan.
Jack tidak mau dan terus ngeloyor pergi. Saya tersinggung
nih. Tapi waktu dipikir lagi, ini adalah cara praktis mengusir Jack dari dalam
rumah. Dia sudah sering nakal sekarang, tidak mau menurut kalau disuruh keluar.
Maka saya praktikkan lagi hari berikutnya, goyang-goyang di depannya diiringi musik.
Dia keheranan lalu melengos. Berhasil, pikir saya. Terus dia berdiri dan berjalan
ke…. bawah sofa! Matanya merem serapat-rapatnya dan pura-pura budeg. Ternyata
Jack lebih pintar dari saya. Kalau sudah di bawah sofa semakin susah saya
mendorongnya dan semakin cuek dia membantah.