Di musim panas yang tidak selesai-selesai setiap hujan
terasa seperti berkah. Setelah satu minggu tugas di luar kota, saya sampai di
rumah lagi sekitar jam tujuh malam dan cepat-cepat mandi, makan, dan… tidur.
Enak sekali rasanya bisa kembali ke tempat tidur di kamar sendiri. Seminggu lamanya
saya hampir selalu ada di ruang kalengan. Kamar hotel, taksi, ruang kantor,
semuanya ruang tertutup yang berAC. Kalau sekali-sekali keluar dari kantor
udaranya panas sekali dan mata jadi silau kalau memandang keluar. Malamnya
pasti terbangun dan susah untuk tidur lagi. Sekarang, bisa tidur di ranjang dan
kamar sendiri rasanya seperti di surga. Malam-malam saya terbangun. Membuka
mata setengah, dan kemudian merem lagi karena masih ngantuk. Angin yang
berhembus terasa dingin. Selimut yang tadi malam ditendang keras-keras sekarang
ditarik rapat-rapat. Terus berpikir, “Hujan, hmmm…” dan kembali tidur. Suara
hujan jadi latar belakang. Saya beneran bangun dalam keadaan sudah segar. Dan
untuk kesekian kali masih juga berpikir, “Enak sekali bisa tidur di sini.”
Waktu lewat dekat jendela kaca yang gordennya sudah terbuka sejak semalam dan
melihat deretan pohon kelapa dan sawah rasanya ingin mengumumkan lagi dengan
keras, “senangnya di sini lagi!”
Sayangnya hujan cuma turun sebentar-sebentar dan
jarang-jarang. Udara malah sehari-harinya jadi makin panas. Malam hari, kalau
sedang siap-siap dandan untuk acara keluar, begitu muka dikeringkan dengan tisu
untuk menyerap keringat begitu pula langsung keringatan lagi. Terpaksa krem
muka tetap dioles dan diratakan meskipun teksturnya terasa aneh di muka karena
basah sekali campur keringat. Kasih bedak saja dan ditepuk-tepuk dengan tisu.
Lalu masukkan tisu yang banyak ke dalam tas untuk bekal. Apalagi kalau habis
jalan agak lama. Saya jadi suka jalan akhir-akhir ini. Biasanya saya pilih
waktu sore hari sekitar jam enam waktu udara tidak panas untuk pergi ke ATM,
supermarket atau beli jajanan yang agak jauh. Pulangnya sudah jam tujuh dan
agak gelap. Tapi kadang-kadang saya jalan kaki lebih siang waktu udara sedang
panas dan harus buru-buru karena jam kursus nari di studio hampir mulai.
Akibatnya keringat sebesar biji jagung muncul berderet-deret di dahi, hidung,
dan bawah hidung. Sampai di studio saya dikira sakit. Ada yang minta ijin menempelkan
tangan di dahi untuk mengecek apa saya demam.
Masih hari yang panas. Saya sibuk kipas-kipas dari tadi dan
keringat mengalir di leher meskipun sudah pakai baju tipis. Saya keluar supaya
muka dan badan sedikit adem. Percuma. Duduk di teras, jangankan bisa merasakan
angin berhembus, di dalam badan serasa ada ovennya dan saya yakin kulit saya
juga mengeluarkan uap kalau saja bisa terlihat. Tiba-tiba tanpa peringatan
apapun angin mengamuk dan mengeluarkan suara keras whhuuuuuuuushhhhh. Jack
terbirit-birit mendobrak pintu yang tertutup tapi tidak dikunci dan langsung
meringkuk di pojok. Saya tidak tega mengusirnya keluar. Saya berdiri sambil
diam mendengarkan. Seram suaranya. Hujan turun. Saya menyusul Jack ke dalam dan
berdiri di bawah tangga. Percikan air menyiram muka. Ternyata jendela di lantai
atas terbuka, hujan turun dan dihembus angin masuk ke rumah sampai menciprati
saya. Saya lari ke atas. Gorden berkibar-kibar liar dihantam angin. Bersusah
payah saya menutup jendela sambil berusaha tidak menjadi terlalu basah. Dari
balik jendela kaca saya melihat serombongan burung bangau yang sedang terbang
ke arah utara dibalikkan arah terbangnya ke barat oleh angin yang
berputar-putar. Mereka mengembangkan dan menegakkan sayap ke arah datangnya
angin supaya tidak terhempas dan bersusah payah untuk tetap mengudara. Seekor
yang masih berusaha terbang ke utara mengibaskan sayapnya kuat-kuat, maju
mundur, naik turun dipermainkan angin. Saya memandang dan mengagumi badai di
luar. Langit berwarna abu-abu gelap dan deretan pohon kelapa di kejauhan tidak
jelas terlihat dihalangi air hujan yang tiba-tiba menjadi sangat lebat
turunnya. Warna-warna cerah dan segar serta cahaya matahari panas tiba-tiba
lenyap digantikan energi yang campur aduk, mau tidak mau membuat orang kagum
sekaligus takut. Kilat menyambar dan guruh menggelegar. Tidak lama, semua itu
berhenti. Hujan dan angin berhenti. Matahari bersinar dan besoknya udara panas
lagi berhari-hari.
Sedihnya, hujan yang sangat diharapkan tapi jarang turun itu
membuat sawah di depan rumah tidak ditanami. Alang-alang memenuhi sawah sampai
tinggi sekali. Padahal petak sawah di sebelah sana sedikit semuanya ditanami
dan padinya sekarang sudah siap untuk dipanen. Setiap kali ditanya kenapa tidak
tanam padi, jawabannya selalu karena tidak ada air. Padahal air bergemericik
mengalir terus di saluran irigasi. Saya tidak pernah kekurangan air untuk mandi
dan cuci. Juga untuk menyiram tanaman dengan selang air, walaupun kebiasaan
saya adalah berhemat dan berusaha tidak banyak buang-buang air. Tapi rupanya
itu masih kurang. Air cukup untuk mengairi sebagian sawah saja, yang lain harus
menunggu giliran di musim berikutnya. Kalau untuk perhitungan seperti ini
mereka tidak mungkin salah. Subak di Bali sudah terkenal dan bisa dipercaya.
Musim kemarau bagusnya cuma satu. Pohon bugenvil saya
bunganya keluar banyak sekali dan warnanya cemerlang, asal saja tidak lupa
disirami. Kalau sedang tertimpa sinar matahari yang sangat terik warnanya malah
semakin keluar. Kalau musim hujan biasanya yang rimbun daunnya saja. Namun akhirnya
perubahan terjadi juga. Sementara orang mulai panen padi di sawah yang duluan
ditanami, sawah di depan rumah saya mulai diolah. Rumputnya yang keterlaluan
tingginya dipotong dengan mesin yang sudah seminggu baru selesai. Lalu dibajak,
dengan mesin juga. Sempat berhenti karena mereka ragu apakah akan diteruskan
karena jumlah air belum seperti yang diharapkan. Untung kemudian dilanjutkan
lagi. Seseorang ditugaskan untuk mengawasi aliran air. Di sudut sawah bibit
padi ditumbuhkan dulu, dan beberapa hari kemudian dipindahkan di seluruh petak
sawah dengan jarak tertentu. Nah. Akhirnya ditanami juga. Selain itu udara
sudah terasa lebih dingin sekarang, dan dingin sekali menjelang subuh. Angin
kencang datang lagi.
Saya tidak terlalu memperhatikan tapi saya yakin sudah
beberapa bulan angin kencang ini tidak terdengar. Untuk orang yang baru pertama
kali mendengar akan banyak yang mengira itu adalah suara truk di kejauhan. Tapi
itu bukan truk. Itu angin. Kalau sedang bertiup, suaranya bisa menyeramkan atau
menyedihkan seperti orang melolong, tergantung orang yang mengartikan. Saya
sudah terbiasa sekarang, tidak seperti dulu yang agak takut juga mendengarnya.
Malah tanpa sadar saya berharap mendengarnya lagi setelah beberapa bulan tidak
ada. Jack jadi aneh tingkahnya sebelum angin ini datang. Dia gelisah dan mencium-cium
udara. Waktu angin ini benar-benar bertiup dan melolong dia lupa semua aturan
dan menghantamkan badannya ke pintu supaya bisa masuk.
Jack sedang suka bersikap aneh. Kemarin waktu pergi ke sawah
dia tidak mau ikut ke arah yang saya pilih dan lari waktu dipanggil. Terpaksa
saya mengikuti dia ke sawah yang dipilihnya dan dia pergi bersenang-senang
semaunya. Saya tidak begitu suka karena di sini rumputnya tumbuh terlalu
tinggi, membuat saya berpikir apa yang mungkin ada di baliknya. Saya ingin tahu
apa jadinya kalau Jack diikat dengan tali dan saya yang menuntunnya jalan-jalan
ke mana saya suka. Sayang saya tidak mungkin tahu, karena pasti tidak diijinkan
oleh yang punya. Dia punya prinsip anjing tidak boleh diikat. Saya lihat ke
sebelah. Ada bambu setinggi satu meter ditegakkan di antara padi-padi yang
kuning. Bambu itu dikerat runcing
ujungnya dan di sana seekor kepiting tertusuk mati. Semeter dari sana daun
kelapa diberdirikan. Setiap helai daunnya dipotong pendek meninggalkan hanya
lidi, dan di situ ditusukkan juga beberapa kepiting mati. Masih ada beberapa daun
kelapa berisi kepiting berdiri agak berjauhan di antara padi. Kepiting memang
banyak berkeliaran di saluran irigasi dan pinggir sawah. Apakah ini persembahan
untuk dewi padi menjelang panen? Saya merasa seram. Saya panggil Jack tapi
suara saya tidak bisa keras. Mana bisa Jack mendengar. Saya panggil lagi dia. Jack tidak mau datang. Dia tetap
lari-lari sendiri meskipun sudah melihat saya. Udara terasa berat dan padat dan
bisikannya di antara daun seakan menggeram menyuruh saya pergi. Saya putuskan
untuk pulang saja, merasa kurang diterima dengan ramah kali ini.