Setelah beberapa lama—yang bagi saya terasa lama
sekali—sawah dibiarkan saja kosong tidak ditanami, akhirnya bibit padi disemai
juga. Menurut info yang saya tahu, sawah-sawah dibiarkan kosong agak lama untuk
memutus siklus hama padi. Begitu dirasa waktu tanam sudah tiba para petani
menanam padi secara serentak. Segera setelah ditanam kecepatan tumbuh padi ini
sangat mengagumkan. Baru sebentar saja tingginya sudah setinggi lutut. Tidak
perlu menunggu lama-lama, padi itu pun berbuah.
Ada seekor anjing yang suka berlari-lari di pematang sawah.
Warna badannya seluruhnya hitam, kecuali sedikit warna putih di ujung ekornya.
Kalau dia sedang berlari-lari di antara padi, yang kelihatan dari jendela saya
hanya warna putih yang bergerak dari kiri ke kanan atau sebaliknya di atas
pucuk padi. Lucu!
Padi menguning. Tiba waktunya Suwarji memasang orang-orangan
di sawah. Orang-orangan ini adalah yang terjelek yang pernah saya lihat.
Kepalanya hanya berupa ijuk dari sapu yang didirikan terbalik .Wajahnya tidak
bermata, bermulut, apalagi berhidung atau telinga. Bajunya adalah baju kaos
milik Suwarji sendiri, tentu saja yang sudah jelek. Kaos itu bertulisan
SANIBEL. Kepalanya dipasangi kain, mungkin maksudnya adalah topi, tapi bagi
saya kelihatan seperti bando kebesaran yang merosot. Entah apa lagi yang
dilakukan Suwarji pada orang-orangan itu, karena hari berikutnya bentuknya
semakin tidak keruan. Ada benjolan besar
di tengkuk yang seperti tumor besar. Saya sampai heran melihat orang-orangan
ini. Bukankah orang Bali dikenal sangat artistik?
Seperti bisa diduga, burung-burung pipit sama sekali tidak
merasa takut. Mereka santai saja bertengger di atas kabel listrik yang
melintang tepat di atas Sanibel atau ribut mencicit-cicit kesenangan sambil
mematuki padi. Saya tidak heran melihat tingkah burung-burung itu. Jelas saja, karena
Sanibel terlihat lebih menakutkan bagi manusia daripada bagi burung. Tiba-tiba
Suwarji muncul bergegas-gegas dan berteriak. Suaranya keras seperti salakan
anjing yang sedang marah. “HAH! HAH! HAH!” Saya kagum akan kerasnya suaranya.
Burung-burung terbirit-birit melarikan diri. Rupanya Suwarji tidak sedikit pun
dalam suasana ingin berbagi, padahal burung-burung itu cuma mencuri sedikit
saja. Bukan hanya Suwarji, istrinya kadang-kadang datang dan berteriak sama
kerasnya. Memang mereka pasangan yang serasi. Mungkin kerasnya suara mereka
itulah yang mempertemukan kedua sejoli itu dulu.
Suwarji Sniper |
Aksi Suwarji yang berlagak seperti penembak jitu itu membuat
saya teringat pada peristiwa lain. Sudah lama saya mendapat gangguan dari
tokek. Setiap pagi ketika saya memeriksa meja kerja, di atas laptop sering terdapat hasil karyanya
yang sama sekali tidak menimbulkan kekaguman. Sebaliknya, itu selalu membuat
saya marah-marah karena terpaksa membersihkannya dengan kertas tisu. Baunya minta
ampun! Herannya, setiap saya geser posisi laptopnya
tokek itu seakan tahu benar di mana harus mengambil ancang-ancang untuk
menggunakan laptop saya sebagai toiletnya.
Gangguan ini harus segera diakhiri! Saya berkeluh-kesah
kepada Nyoman karena dialah yang biasa membereskan semua persoalan yang
berhubungan dengan urusan rumah. Nyoman berjanji akan mengatasi soal itu. Benar
saja, pada suatu malam dia datang mengetuk pintu dan berkata akan memburu tokek
itu sekarang juga. Di tangannya terdapat sebuah … senapan! Bukan bambu, bukan
tongkat. Saya sama sekali tidak menyangka bahwa cara mengenyahkan tokek adalah
dengan menembaknya. Sungguh, sebenarnya saya tidak ingin tokek itu dibunuh.
Tapi bagaimana lagi, apa mau melatih tokek untuk buang air di tempat yang
benar? Ya sudahlah, tidak ada pilihan. Tapi soal membunuh dengan senapan, baru
kali ini saya melihat yang seperti ini. Namun harus diakui bahwa cara ini sangat
praktis. Tidak perlu repot mengejar tokek
di tempatnya yang tinggi di langit-langit.
Intan dan Lia yang membuntuti di belakang punggung Nyoman terlihat
bersemangat walaupun sedikit takut-takut untuk menyaksikan ayahnya beraksi.
Segera kami mendeteksi keberadaan tokek itu. Nyoman membidik
penuh konsentrasi. DOR! Cukup sekali tembak, tokek itu jatuh dan mati. DOR! Seekor
lagi dieksekusi dengan cara yang sama. Goliath, tokek super besar sudah
beberapa hari menghilang dan tidak muncul-muncul sampai sekarang. Saya rasa dia
memang cerdik. Nyoman sama sekali bukan tandingannya dan dia tahu kapan harus
menghilang di saat yang kritis.
Sekarang hidup saya aman sentosa dan tidak perlu geser-geser
laptop di meja mencari posisi yang
aman. Ubud juga sudah mulai dingin karena hujan sering turun. Padi sudah siap
untuk dipanen. Seperti kecepatan tumbuhnya yang pesat, proses panennya juga
singkat sekali. Pagi-pagi sekali para perempuan sudah memotong padi-padi ini
dan memukul-mukulkannya ke kayu. DUK! DUK! DUK! Bulir padi pun rontok. Walaupun
bunyi ini bisa membangunkan saya yang sedang malas-malasan di hari Minggu, saya
tidak keberatan. Sorenya para perempuan tadi melanjutkan pekerjaan yang
tertunda karena hujan turun di siang hari. Burung-burung pipit ribut berceloteh
sambil marah-marah karena padinya hilang dalam sekejap. Mereka melompat-lompat
kebingungan dan akhirnya terbang pergi dengan kecewa. Setelah itu, batang padi
yang masih tersisa dibakar.
Dengan dipanennya padi pemandangan sawah jadi coklat
meranggas, terdiri dari batang-batang kering yang sudah terpotong. Di beberapa
tempat terdapat bekas gundukan batang padi yang dibakar. Bebek-bebeklah
sekarang yang datang tiap hari menggantikan burung pipit, sibuk mencari
sisa-sisa padi yang tercecer. KWEK! KWEK! KWEK! Mereka dengan kompak membuntuti
pemimpinnya ke sana ke mari di antara genangan air sawah dengan mulut yang
tidak bisa diam. Sanibel terpuruk di sebelah sana, seluruh badannya kotor dan
terbengkalai. Dengan tubuh patah-patah seperti sebuah boneka rusak, sungguh ini
merupakan akhir yang tragis baginya. Suwarji tidak merasa perlu untuk
menyelamatkannya. Berakhirnya tugas Sanibel juga berarti selesainya satu masa
tanam padi. Saya tidak tahu berapa lama sawah akan dibiarkan sebelum tanahnya
diolah lagi untuk musim tanam berikutnya. Tapi saya tahu apa saja yang bisa
saya harapkan akan saya dengar lagi nanti. HAH! HAH! HAH! DUK! DUK! KWEK! KWEK!
KWEK! Kalau DOR! DOR! saya harap tidak akan perlu saya dengar lagi.